• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Fungsi dan Sifat hak Cipta Pasal 2

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak Terkait Pasal 49

1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(4)
(5)

Katalog Dalam Terbitan (KDT) ALBINTANI, Muchid

Berburu Rente di Pulau Batam Provinsi Istimewa Singapura dan “Negara Bintan”/oleh Muchid Albintani.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, April 2016.

xvi, 178 hlm.; Uk:15.5x23 cm

ISBN 978-Nomor ISBN

1. Ekonomi I. Judul

330 Hak Cipta 2016, Pada Penulis

Desain cover : Herlambang Rahmadhani

Penata letak : Invalindiant Candrawinata, S.S.

Jl. Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581 Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com e-mail: deepublish@ymail.com PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)

Anggota IKAPI (076/DIY/2012) Copyright © 2016 by Deepublish Publisher

All Right Reserved

Isi diluar tanggung jawab percetakan Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau

memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

(6)

PENGANTAR BATAM POS

Antara ‚Negara Bintan‛ atau Provinsi Istimewa?

Sebagai akademisi yang pernah jadi wartawan atau mantan wartawan yang kini jadi akademisi, tentu tak sulit bagi Bang Muchid Albintani menyusun tulisan-tulisan yang tersaji dalam buku ini. Hasilnya dapat jadi bukti: sudut pandang yang tajam, konteks masalah yang terpapar baik, kritik yang menggelitik. Semuanya disajikan dengan bahasa yang renyah. Jauh dari kesan akademis yang selalu berat.

Beberapa di antara tulisan-tulisan itu saya baca jauh sebelum ada rencana menerbitkannya jadi buku, karena pernah terbit di majalah online Batam Pos. Bang Muchid adalah penulis tetap untuk rubrik Segantang Minda di majalah yang kini sudah tutup itu. Dan, kebetulan, saya ketika itu ikut mengelola majalah tersebut.

Ada beberapa poin menarik dan penting, menurut saya, yang dihadirkan dalam buku karya Bang Muchid ini. Penting dan menarik adalah dua komponen utama sebuah karya tulis. Ia tak mesti berjalan beriringan. Mereka dapat terpisah pada tiap-tiap topik tulisan.

Boleh jadi ada sebuah tulisan yang sangat menarik untuk dibaca, kendati sesungguhnya ia tak penting-penting amat untuk diketahui khalayak. Sebaliknya, ada pula sebuah tulisan yang sejatinya sangat penting bagi publik, namun ia bukanlah isu yang menarik untuk diikuti orang banyak boleh jadi karena dianggap

(7)

terlalu ’berat’. Di buku ini, kedua komponen itu dapat diramu Bang Muchid dengan baik.

Poin penting dan menarik yang saya catat itu adalah,

pertama, judulnya cukup menarik, meski terkesan ’bombastis’ dan agak berbau ’separatisme’. Kedua, paparan tentang kuatnya intervensi ’Negeri Singa’ di Pulau Batam. Poin ketiga, perihal

kebijakan pemerintah pusat di Pulau Batam yang berubah-ubah, yang menimbulkan ketidakpastian.

Ketiga poin di atas, menurut saya, memunculkan sebuah rangkaian panjang episode pembangunan Pulau Batam dengan fenomena dan dinamika yang luar biasa.

Tajuk yang dikemukakan buku ini secara sederhana sesungguhnya ingin mengilas-balik pelbagai fenomena itu. Hal pertama, terkait dengan ‚Negara Bintan‛ yang menganalogikan Pulau Bintan dengan Pulau Singapura yang secara posisi geografis tidak berbeda. Dalam realita, dapat dilihat ketika para pebisinis atau pelancong dari Eropa ingin pergi ke Pulau Batam, mereka harus terbang dan turun ke Singapura, bukan langsung ke Pulau Batam. Mengapa? Penulis telah memberikan jawabannya dalam buku ini.

Kedua, terkait dengan istilah ’Provinsi Istimewa Singapura’

merupakan perumpamaan yang rasional, bahwa pelbagai kebijakan

yang dikeluarkan pemerintah pusat untuk Batam, ’stop kontak’-nya ada di Singapura. Perumpamaan ini adalah personifikasi penulis

terkait Pulau Batam yang sesungguhnya secara ekonomi ’adalah bagian dari Singapura’-tapi kedaulatan politiknya berada di Jakarta.

(8)

Kedua hal tersebut hemat saya merupakan pesan utama dari buku ini yang ingin disampaikan penulisnya. Pesan inilah yang juga menurut Saya sebagai pelajaran menarik dari episode pembangunan kawasan strategis di Kepulauan Riau yang diwakili Pulau Batam.

Harian Pagi Batam Pos selalu menaruh kepedulian terhadap pengembangan intelektual, tentu saja menghargai penerbitan buku ini. Semoga dapat membantu penyebarluasan hasil-hasil pemikiran dan proses kreatif para penulis di Kepulauan Riau dan Indonesia.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bang Muchid Albintani. Semoga buku ini dapat menambah keragaman pendapat, khususnya tentang pengelolaan Pulau Batam dan pembangunan kawasan ekonomi di Indonesia secara umum, yang tentu saja tujuannya untuk kemajuan dan kesejahteraan. Terima kasih.

Pulau Batam, April 2016

Muhammad Iqbal

(9)

PENGANTAR PENULIS

Ekonomi-Politik-Hukum Pengelolaan Pulau Batam

Di awal pengantar buku ini perlu disampaikan bahwa ada tiga hal utama ikhwal yang mendasari penulisannya. PERTAMA, buku yang bertajuk Berburu Rente di Pulau Batam, Provinsi Istimewa Singapura dan “Negara Bintan‛, ini diterbitkan atas jasa baik rekan-rekan yang berkerja di bidang media di Pulau Batam dan akademis secara bersamaan. Bahan-bahan yang diterbitkan merupakan kumpulan tulisan di rubrik Opini Harian Pagi Batam Pos dan

Majalah Batam Pos versi online pada rubrik ‘Segantang Minda’.

Sebagai tambahan juga diambil dari beberapa tulisan dari buku,

‚Berburu Rente di Perbatasan Menolak Pembangunanisme di Riau

Kepulauan,‛ yang masih relevan dan untuk melengkapinya tulisan juga diambil dari bahan lain yang kesemuanya terintegrasi dalam representasi judul yang dikemukakan. Selanjutnya perlu disampaikan bahwa kumpulan tulisan yang dirangkum menjadi satu ini merupakan upaya menyebarluaskan hasil proses kreatif kepada khalayak yang pada esensinya melaksanakan salah satu

kegiatan tridharma seorang ‘guru’ yang mengajar di perguruan

tinggi.

KEDUA, ketika menunggu proses mendesain cover buku dan editing, rekan-rekan bertanya berhubungan kesamaan kata berburu dan rente dalam buku sebelumnya [terbit tahun 2005] dengan buku ini. Mereka mempertanyakan jika Saya hobi menggunakan kata

(10)

berburu dan rente. Ada apa dengan perburuan? Apa yang diburu? Siapa pemburunya?

Jujur saja pertanyaan tersebut memberikan inspirasi Saya untuk menjawabnya berdasarkan tiga bagian ulasan buku ini.

Pertama, ‘Ekonomi-Politik-Hukum Pulau Batam’. Bagian ini

mendeskripsikan sebuah pendekatan aktual dalam memahami fenomena keberadaan Pulau Batam yang direpresentasikan institusi Otorita Batam. Representasi ini berdasarkan pelbagai istilah kawasan ekonomi di Pulau Batam. Istilah yang dimulai dari

Entrepot Partikulir, Bonded Warehouse, Bonded Zone, Free Trade Zone

dan KEK.

Realitas keberadaan Pulau Batam dengan Otorita Batam serta kawasan ekonominya tidak dapat dipisahkan dari tiga kegiatan yang terintegrasi antara ekonomi, politik dan hukum. Ekonomi [yang dicirikan dengan pelbagai istilah kawasan], politik [keberadaan organ pemerintah pusat] dan hukum [produk kebijakan]. Ketiga kegiatan ini menjadikan pendekatan ekonomi-politik tak dapat menjelaskan fenomena di saat hukum [peraturan] diproduksi dengan latarbelakang motivasinya. Sementara pendekatan politik-hukum tak berdaya menjelaskan dominasi kawasan ekonomi yang mengembalikan peran sentralisasi pemerintah pusat.

Berpijak pada argumentasi ini untuk memahami keberadaan Pulau Batam [Otorita berubah sementara menjadi Badan Pengusahaan dan kembali ke Otorita dengan istilah ‘Dewan Kawasan’+ ini diperlukan pendekatan integratif yang disebut

(11)

Bagian kedua mengulas sub tema Berguru dan Bersaing dengan Singapura merefleksikan berhubungan dua hal. Pertama, posisi geografis, dan kedua kawasan strategis. Posisi gegrafis dan kawasan strategis menempatkan Singapura sebuah negara mini yang luasnya kalau dilihat dari peta, lebih besar sedikit dari Pulau

Batam. Hanya saja yang menarik negara mini dan ‘makmur’ ini

mempunyai kekuatan besar mempengaruhi semua kebijakan Indonesia di wilayah perbatasan Kepulauan Riau. Realitas ini secara sangat strategis menjadikan sangat rasional apabila pemerintah pusat berguru dan sekaligus bersaing dengan negeri yang cerdik ini.

Dalam posisi ini tak dapat dinafikan menciptakan Pulau Batam dalam posisi simalakama [secara politik kedaulatan bagian dari [terintegrasi ke] Indonesia dan secara ekonomi terintegrasi ke Singapura]. Posisi simalakami ini menjejaskan keberadaan

‘mentalitas’ para pengelola Pulau Batam untuk melakukan yang

disebut perburuan rente. Yang diburu tentu saja keuntungan dari

imbal ‘sewa’ posisi jabatan yang dimiliki terhadap pelbagai produk

kebijakan yang dibuat. Sementara si pemburu [para aktor] sudah jelas para pemegang jabatan yang berkolaborasi dengan swasta dan pihak yang berkepentingan lainnya.

Sedangkan bagian ketiga memaparkan sebuah wacana yang juga pengandaian Pulau Batam merupakan bagian Provinsi Istimewa Singapura. Keistimewaan Pulau Batam diibaratkan

Singapura bagai sebuah ‘korporasi’ besar. Wacana Pulau Batam

dimaksudkan akibat kalah bersaing serta ketidakberdayaan pemerintah pusat mengelola Pulau Batam. Ketakberdayaan ini juga sebagai ilustrasi sederhana terkait posisi geografis antara Singapura

(12)

dan Pulau Bintan [bagian dari gugus pulau di Riau Kepulauan] yang tak jauh berbeda. Jika dianalogikan Pulau Bintan sebuah negara, tentu saja Pulau Batam, Rempang, Galang, Karimun dan Natuna misalnya, dapat memberikan inspirasi positif yang mengandung nilai strategis bersaing dengan Singapura. Mengapa? Karena jika dicermati dengan menggunakan peta, Singapura adalah bagian tak terpisahkan dari gugus Riau Kepulauan itu sendiri.

KETIGA, pada akhir penulisan pengantar ucapan terima kasih dianugerahkan kepada pelbagai pihak yang membantu penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih yang pertama kepada Bapak Rida K Limasi atau Bang Rida saya selalu memanggilnya sebagai Pimpinan di Riau Pos Group. Kemudian ucapan terima kasih kepada rekan-rakan di Batam Pos, Muhammad Iqbal dan Anwar Saleh. Tak lupa rekan-rakan di kampus tercinta, Bang Jumali, Adlin, Auradian Marta, dan Ahmad Jamaan.

Secara khusus dan teristimewa, ucapan terima kasih

sebesar-besarnya ditujukan kepada sahabat ‘OKY’ yang telah ‘berbaik hati’

menjadi sumber inspirasi dan semangat, serta memberikan nasihat berharga agar tetap tegar, tidak berputus asa dalam proses pencarian walaupun ketegarannya merupakan sebuah penantian yang tiada akhir. Atau dalam ungkapan lainnya disebut dengan sabar sampai sepanjang hayat.

Ucapan khusus kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini, namun nama mereka belum tercantum dalam pengantar. Atas dukungan mereka semua adalah esensi penting dari akhir penyelesaian penerbitan buku ini. Saya meyakini tanpa jasa baik mereka buku ini tidak akan dapat diterbitkan.

(13)

Sebagai kata akhir Saya menyadari jika penerbitan buku ini tidak terlepas dari kekurangan di sana sini. Berlatar demikianlah kritik dan saran yang membangun amat diharapkan dari pembaca untuk perbaikan penerbitannya di edisi mendatang. Semoga budi baik beserta amal bakti semua mendapat imbalan di kharibaan Allah SWT. Amin.

Pekanbaru, April 2016

(14)

PENGANTAR PENERBIT

Buku yang berjudul Berburu Rente di Pulau Batam: Provinsi Istimewa Singapura dan “Negara Bintan”, karya Saudara Muchid Albintani ini diterbitkan atas kerja sama antara penerbit Deepublish Yogyakarta dan penulisnya. Sebagai institusi yang bergerak di bidang penerbitan, dan Saudara Muchid adalah dosen di perguruan tinggi upaya penerbitan ini menjadi kolaborasi strategis dalam pelaksanaan tridharma perguruan tinggi.

Dicermati berdasarkan latar belakang bahan-bahan buku yang diterbitkan yang merupakan kumpulan tulisan di harian Pagi Batam Pos pada rubrik opini dan Majalah Batam Pos versi online

pada rubrik ‘Segantang Minda’ yang kesemuanya adalah bagian

dari Riau Pos Group.

Deepublish sebagai sebuah lembaga penerbitan yang menaruh kepedulian atas pelestarian dan pengembangan intelektual di Indonesia, menerbitkan buku ini merupakan upaya membantu menyebarluaskan hasil-hasil kreatif para penulis di pelbagai bidang termasuk para akademisi perguruan tinggi di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Dukungan ini diberikan sebagai upaya merespon positif kebijakan pemerintah Indonesia umumnya dan Universitas Riua yang menempatkan pembangunan sumber daya manusia sebagai penyanggah utama memberantas kebodohan.

Oleh karena itu penerbitan buku ini adalah langkah nyata akan keberadaan penerbit Deepublish membantu dan mendukung kebijakan tersebut. Langkah nyata ini yang menurut kami bagian

(15)

dari mengekspresikan karya-karya kreatif para akademisi perguruan tinggi di seluruh Indonesia umumnya dan Universitas Riau salah satunya.

Mengakhiri pengantar ini penerbit Deepublish mengucapkan terima kasih kepada Saudara Muchid Albintani. Semoga buku ini menjadi bagian dalam upaya menambah khazanah keintelektualan di Universitas Riau khususnya dan Indonesia umumnya. Selamat.

Yogyakarta, April 2016

(16)

DAFTAR ISI

PENGANTAR BATAM POS ... v

PENGANTAR PENULIS ... viii

PENGANTAR PENERBIT ... xiii

DAFTAR ISI ... xv

BAGIAN PERTAMA EKONOMI POLITIK HUKUM PULAU BATAM ... 1

(1) Antara Pulau Batam dan Pulau Pinang ... 2

(2) Teori Ledakan Balon ... 8

(3) Sentripugal vs Sentripetal ... 13

(4) FTZ dan ‘Kejahatan’ Pusat’ ... 17

(5) Ekonomi Politik Hukum Pulau Batam ... 22

(6) Ada Apa dengan Provinsi ‘Elite’ Kepri? ... 27

(7) Provinsi Kepulauan Riau vs UU Free Trade Zone ... 32

(8) Pemerintah vs DPR RI = ftz? ... 39

(9) Pemberlakuan PPN dan PPNBM = Bom Waktu? ... 44

(10) Pulau Batam [Tanpa] Pasca Otorita?... 50

(11) ‘Lembaga Istimewa’ Batam ... 57

BAGIAN KEDUA BERGURU DAN BERSAING DENGAN SINGAPURA ... 61

(1) ‘Cetak Putih’ Kawasan Strategis ... 62

(2) Meramal Batam? ... 68

(3) Pemimpin, Data dan Singapura?... 72

(17)

(5) Singapura dan Politik Pembodohan ... 81

(6) Intelijen Investasi ... 86

(7) Poros Rikep-Global ... 91

(8) Singapura dan Politik ‛Cuci Tangan‛ ... 96

(9) Bandara ‘Internasional’, Bukan Hang Nadim ... 100

(10) Antara Hang Nadim dan Changi ... 103

(11) Asap, Asep dan Singapura ... 106

BAGIAN KETIGA PROVINSI ISTIMEWA ATAU ‘NEGARA BINTAN’ ... 109

(1) Rumah Kita, Bukan Rumah ‘Kami’ ... 110

(2) Provinsi Riau Kepulauan? ... 113

(3) Seandainya Saya Gubernur Kepri?... 117

(4) Menggagas Daerah Istimewa Pulau Batam ... 123

(5) Empat Pilar dan Caretaker ... 131

(6) Caretaker dan Tiga Hikmah... 135

(7) Caretaker Gubernur Kepulauan Riau?... 140

(8) Quo Vadis Provinsi Kepri ... 145

(9) Provinsi Kepulauan Natuna: Menuju Konfederasi Riau? ... 151

(10) Negara Kepulauan Riau Bagian Korporasi Singapura ... 158

DAFTAR BACAAN ... 162

LAMPIRAN ... 167

INDEKS ... 172

(18)
(19)

ULISAN ini mengulas eksistensi kawasan industri di Pulau Batam, Indonesia dan Pulau Pinang, Malaysia. Arti penting ulasan ini dilihat dari tiga ciri utama. Pertama, kedua-dua kawasan tersebut merupakan kawasan pertumbuhan industri yang pesat lebih dari tiga puluh tahun terakhir. Kedua, kedua-dua kawasan itu secara ekonomi diuntungkan dengan kerangka kerja pemerintahan negara dalam melayani kepentingan pasar global [kapitalisme]. Ketiga, kedua-dua kawasan tersebut pada konteks sistem pemerintahan sama-sama berada dalam sistem politik pemerintahan otoritarian, walaupun untuk konteks Indonesia ada Reformasi.

Berhubungan dengan studi ini pada kedua-dua kawasan tersebut telah dilakukan oleh Kelly (2004). Berbeda dengan studi ini, Kelly terfokus pada hubungan industrialisasi dan Masyarakat Madani di Pulau Batam dan Pulau Pinang. Sementara hubungan negara dengan kebijakan industrialisasi terhadap kapital [modal], dilakukan oleh Hadi (2005). Berbeda dengan studi ini, Hadi memfokuskan kebijakan industrialisasi pada modal Jepang terhadap era kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia dan PM Mahathir Mohammad, Malaysia.

Berdasarkan pada kedua studi tersebut, tulisan ini memfokuskan telaahnya pada eksistensi kawasan industri di Pulau

(20)

Batam, Indonesia dan Pulau Pinang, Malaysia dalam konteks sistem politik pemerintahan Indonesia yang sudah mengalami reformasi [transisi menuju transformasi demokrasi], dan sistem politik pemerintahan Malaysia yang masih relatif otoriter..

Upaya memperbandingkan kedua kawasan industri tersebut dalam sistem politik pemerintahan menjadi penting dan menarik oleh karena berhubungan dengan pertanyaan: Apakah benar reformasi dapat membawa perubahan ke arah sistem politik pemerintahan yang demokratis? Atau sebaliknya, sistem politik pemerintahan otoriter, tidak menjadi kendala bagi terjadinya kepastian hukum [law enforcement] yang merupakan perangkat penting bagi proses demokrasi itu sendiri?

Kawasan Industri di Batam dan Pinang

Sebagai bagian dari negara berkembang, Pulau Batam dan Pulau Pinang di penghujung tahun 1970-an mempunyai keinginan yang sama mewujudkan strategi perindustrian yang berorientasi eskpor (Faqih 2004 dan Yusof 2008). Perubahan pada strategi baru ini sesuai kehendak negara-negara maju dan sejalan dengan pengkhususan kerja internasional yang baru. Pada masa itu struktur pengeluaran dalam sistem kapitalis dunia telah semakin mengglobal. Pada konteks struktur ini yang mengikutsertakan kedua negeri ini untuk melakukan hal yang sama sebagai bagian dari pengaruh sistem dunia.

Berdasarkan latarbelakang itulah pembangunan kawasan industri Pulau Batam yang dimulai sejak 1970-an identik dengan lembaga Otorita Batam yang mengelola kawasan industri. Kehadiran Otorita Batam untuk memperkuat kedudukan Pemerintah Pusat yang sejak awal dirancang menyaingi Singapura.

(21)

Untuk mempermudah mendapatkannya, maka dasar hukum pendirian Otorita Batam tidak perlu disetujui lembaga legislatif [DPR RI], tetapi langsung berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES). Sehingga berdasarkan Keputusan Presiden itulah silih berganti diterbitkannya pelbagai kebijakan mulai dari Keputusan Presiden No.65 Tahun 1970 sehingga No.28 Tahun 1992 yang berjumlah 11 [diterbitkan era Orde Baru], kemudian 3 Keputusan Presiden diterbitkan pada era Reformasi Konstitusi. Selain pelbagai Keputusan Presiden tentang Otorita Batam dan Kawasan Industri, pada era Reformasi secara bersamaan terbit Undang-Undang No.53 Tahun 1999 [diubah dengan UU No.13 Tahun 2000] tentang, Pendirian Kota Batam yang otonom.

Dengan kebijakan ini Pulau Batam yang semula hanya sebagai Kota Administratif [tanpa legislatif daerah], statusnya berubah menjadi daerah otonom kota yang mempunyai kewenangan dan anggota legislatif daerah. Kebijakan ini menyebabkan dualisme kekuasaan antara Otorita Batam [Pemerintah Pusat] dan Pemerintah Kota Batam tentang lembaga mana yang berhak mengelola Pulau Batam.

Berbeda dengan Pulau Batam, pembangunan kawasan industri di Pulau Pinang merupakan strategi industri yang berorientasi ekspor yang dikelola oleh Pemerintah Daerah [kerajaan negeri] pada penghujung tahun 60-an. Pada tahun 1968, undang-undang yang memacu investasi diterbitkan (Shari & Woon 1984). Undang-undang ini memainkan peran aktif memacu pendirian industri yang memproduksi barang jadi untuk diekspor dengan diberikan pelbagai fasilitas fiskal, keuangan dan juga kepastian hukum [law enforcement] yang tidak terdapat di Pulau Batam.

(22)

Salah satu aspek penting dalam strategi Pembangunan Berorientasi Ekspor di Malaysia adalah mendirikan Kawasan Perdagangan Bebas [KPB] termasuk di Bayan Lepas, Pulau Pinang. Seperti di Negara Sedang Membangun [kecuali di Pulau Batam] yang lain, Kawasan Perdagangan Bebas di Malaysia adalah kawasan berpagar, tidak terdapat pusat komersial dan tidak bercampur aduk dengan penduduk [kawasan terpisah].

Dalam memahami hubungan pembangunan kawasan industri antara Pulau Batam dan Pulau Pinang terdapat dua perbedaan. Pertama, kawasan industri dan institusi yang mengelola di Pulau Batam tidak didukung berdasarkan undang-undang dan kepastian hukum, kecuali Keputusan Presiden pada era Orde Baru dan Reformasi [sebelum tahun 2007].

Sementara di Pulau Pinang kawasan industri dan pengelolanya berdasarkan undang-undang. Kedua, dalam pengelolaan kawasan industri di Pulau Pinang, tidak terjadi dualisme kekuasaan, sementara di Pulau Batam terjadi dualisme kekuasaan antara Otorita Batam [Pemerintah Pusat] dengan Pemerintah Kota Batam. Terkait dengan dualisme tersebut, maka sebagaimana banyak diberitakan oleh media [baca: massa], ada upaya uji materi terhadap UU tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas yang terkait Badan Pengusahaan Batam atau dalam laman webnya selalu menyebut juga Otorita Batam.

Sistem Pemerintahan dan Politik Industrialisasi

Berdasarkan pengalaman Pulau Batam dan Pulau Pinang bahwa sistem politik demokrasi atau otoriter dalam pemerintahan tidak selalu menghambat proses industrialisasi. Dalam konteks kasus eksistensi kawasan industri Pulau Batam dan Pulau Pinang

(23)

merupakan argumentasi bagi menelaah hubungan pembangunan kawasan industri dalam konteks sistem politik pemerintahan otoriter dan demokrasi.

Eksistensi kawasan industri di Pulau Batam yang masih terbelenggu oleh kepastian status antara kawasan industri yang terbatas atau kawasan perdagangan bebas [kantong atau bukan kantong] misalnya, menunjukkan apabila politik industrialisasi yang dijalankan pemerintah Indonesia tidak dominan mengikuti kontrol pasar dan Reformasi, tetapi lebih pada pengaruh pengelola kekuasaan yang lebih suka mempraktikkan sistem politik sentralisasi [otoriter].

Sementara pada sisi yang lain, dengan diberlakukannya kebijakan Pajak Pertambahan Nilai [Value Added Tax] dan Pajak Penjualan Barang Mewah (Tax Luxury On Good) pada kawasan industri di Batam adalah bagian penting yang menunjukkan bahwa kebijakan tersebut diterbitkan karena intervensi pasar. Dapat dijelaskan jika kebijakan Pajak Pertambahan Nilai [PPN] tersebut adalah representasi dari Memorandum of Understanding [MOU] antara Pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund [IMF] yang mengharuskan di Pulau Batam dipungut PPN. Kemudian, kebijakan kawasan industri dan eksistensi Badan Pengusahaan Batam sebagai pengelola kawasan dengan landasan hukum awal yang hanya Keputusan Presiden merupakan bagian dari sistem politik otoriter.

Pada kedua kasus ini jelas ada tarik-menarik pengaruh. Yang sekaligus menunjukkan bahwa Reformasi Konstitusi di Indonesia [UUD 1945], tidak mempunyai pengaruh terhadap perbaikan atau pun perubahan regulasi [meski untuk sementara berdasarkan hasil

(24)

uji materi di Mahkamah Konstitusi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan]. Sesungguhnya menurut hemat penulis masih ada celah yang perlu dimasukkan kembali terhadap uji materinya, misalnya pada realitasnya Otorita Batam dan Badan Pengusahaan Batam adalah organ yang sama. Contoh paling mudah coba dicermati websitenya yang masih tertulis Otorita Batam/Badan Pengusahaan Batam.

Sementara di Pulau Pinang, meski sistem politik pemerintahan Malaysia dicirikan dengan apa yang disebut demokrasi negara (statist democracy) atau Otoriterisme Birokratis (Kelly 2004), namun regulasi tentang pembangunan kawasan industri berjalan pada aturan yang pantas dan stabil [tidak tumpang-tindih]. Di Malaysia, meski aktivitas politik oposisi tetap ada, tetapi tunduk pada kontrol negara yang berdasarkan Undang-Undang Federal [Perlembagaan Persekutuan].

Berdasarkan pada argumentasi tersebut, maka untuk konteks Indonesia, Reformasi pemerintahan melalui perubahan terhadap UUD 1945, tidak dapat mengubah wajah lembaga pengelola kawasan industrinya yang masih terkesan otoritarian. Sementara kawasan industri Pulau Pinang, tumpang-tindihnya undang-undang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak terjadi. Sehingga sejak dibangun kawasan Industri Pulau Pinang, masalah kepastian hukum [law enforcement] merupakan hal mutlak.

(25)

ENJELANG akhir tahun lalu banyak pemikiran yang telah dituangkan dalam bentuk tulisan tentang pembangunan Pulau Batam yang menghiasi media masa. Pada esensinya, kebanyakan tulisan menyoroti pembangunan Pulau Batam agar dapat berjalan dengan baik sesuai gagasan awal pengembangannya. Sehingga masyarakat Pulau Batam optimis memandang kehidupan pada masa mendatang. Namun, pada sisi lainnya, ada pula yang mengkaji pembangunan Pulau Batam dalam sudut pandang yang lebih pesimis. Saya termasuk orang yang sangat pesimis melihat pembangunan Pulau Batam masa depan.

Diakui atau tidak pembangunan Pulau Batam hari ini maupun masa depan, belum ada sedikit pun indikasi yang mengharuskan agar bersikap optimis. Secara sangat sederhana fenomena ini dapat diukur dalam kerangka konsep kawasan

perdagangan yang masih ‘mengambang’ antara ‘kawasan berikat’

[yang sering diasosiasikan dengan FTZ enclave] dengan kawasan perdagangan bebas [FTZ menyeluruh], rapuhnya struktur kekuasaan dalam bingkai tatanan hukum yang mengatur hubungan pusat daerah, konflik kekuasaan yang mengedepankan isu lokal bukan lokal, dan ‘perlawanan’ masyarakat secara laten

terhadap pemberlakuan kebijakan PPN dan PPnBM. Yang sangat mengharukan di awal tahun 2004 lalu, pemerintah pusat

‘menghadiahkan’ masyarakat Pulau Batam dengan PP No.63 Tahun

(26)

2003. Sebagaimana berita yang dilansir di harian ini, Minggu [20/6], bulan Juli nanti PPN akan diberlakukan sekaligus terhadap semua komoditi.

Saya meyakini jika pelbagai persoalan ini berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha [baca:

investasi+ di negeri yang berjuluk ‘Kalajengking’ ini. Kita sudah

mahfum di dalam belantara ketidakjelasan [kalau boleh disimpulkan demikian], umumnya selalu digunakan oleh

penyelenggara kekuasaan *baca: penguasa+ untuk ‘bermain mata’

dengan pengusaha kemudian berkolaborasi dalam perburuan rente ekonomi.

Saya tidak akan mengamati secara spesifik bagaimana perburuan rente itu dilakukan. Namun bagaimana menelusuri pelbagai persoalan itu akan dihampiri dalam perspektif gagasan Teori Balon mantan Ketua Otorita Batam, B.J Habibie. Kemudian sejauh mana kerelavansian teori itu dapat mendeteksi pembangunan di kawasan perbatasan pada hari ini dan masa depan?

Sejak B.J Habibie pada 1978-1998 menjadi pimpinan Otorita Batam [OB], proses pembangunan Pulau Batam tidak lepas dari gagasan mantan Menristek era Orde Baru ini mengembangkan kawasan tersebut. Gagasan yang dikenal sebagai Teori Balon sudah menjadi pembicaraan antara B.J Habibie dan Lee Kuan Yew pada tahun 1979.

Gagasan tersebut merupakan analogi proses pengembangan kawasan dan sekitarnya sebagai sistem balon. Singapura yang telah berkembang ekonominya menghadapi masalah kekurangan tanah dan tenaga kerja sehingga tidak dapat dikembangkan lagi [terjadi

(27)

proses kejenuhan]. Oleh kerana itu diperlukan balon-balon lain untuk menampung keperluan Singapura untuk berkembang lagi.

Lee Kuan Yew pula mengemukakan gagasannya berkaitan kecenderungan perkembangan ekonomi yang menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi telah bergerak melewati batas negara, di mana produksi sebuah negara dapat dibuat dan diekspor ke negara lain. Sehubungan dengan itulah kawasan industri di sekitar Singapura dapat menunjang perkembangan ekonomi Singapura.

Pandangan kedua-dua petinggi negeri yang bertetangga ini mencerminkan kesadaran bahwa kedua-dua negara saling memerlukan dalam mengembangkan perekonomian. Jadi kedua-dua gagasan itu merupakan esensi dalam penganalogian kawasan ini sebagai balon yang lebih kecil berbanding balon Singapura yang sudah besar terlebih dahulu.

Dalam konteks mencari relevansi pembangunan Pulau Batam dengan perspektif teori balon sejarah membuktikan tidak adanya titik temu gagasan teori itu dengan fakta pembangunan Pulau Batam hari ini. Ketiadaan hubungan dikaitkan jika pembangunan tidak hanya diartikan sebagai fisik saja, melainkan juga hukum, sistem ekonomi politik, keteraturan struktur kekuasaan dan mentalitas penyelenggara pemerintahan.

Fakta membuktikan bila benturan antar kepentingan ekonomi politik oknum penguasa, pengusaha dan elite politik di pusat pemerintahan dan daerah telah berafiliasi terhadap ketidakpastian hukum [law inforcement]. Kenyataan ini telah mendistorsi gagasan Teori Balon berubah menjadi Teori Ledakan Balon. Gagasan besar B.J Habibie yang mengidam-idamkan Pulau Batam menjadi bagian

(28)

balon Singapura telah hancur berkecai-macai menjadi serpihan

‘balon’ yang tidak berharga lagi.

Menurut hemat Saya yang sangat relevan, aktual dan kontekstual melihat Pulau Batam hari ini bukan lagi dalam perspektif Teori Balon, melainkan dengan Teori Ledakan Balon. Artinya benturan pelbagai kepentingan yang tidak dapat diakomodir oleh manajemen kekuasaan pusat dan daerah telah meledakkan balon Pulau Batam. Tanpa adanya kepastian baik status hukum, konsep kawasan dan kekacauan struktur kekuasaan, maka ke depan tak banyak yang diharapkan dari Pulau Batam.

Sebagai balon yang telah meledak, hancur berkeping dan berkecai-macai, sesungguhnya dalam lingkup persaingan ekonomi internasional menunjukkan bahwa Singapura sebagai balon induk tetap digjaya. Hancurnya pembangunan Pulau Batam secara langsung membawa keuntungan dalam hubungan persaingan menuju perdagangan bebas. Sementara pelbagai upaya promosi yang telah dilakukan ke luar negeri: hanya mempertontonkan sesuatu yang ambigu [berwajah dua yang bertolak belakang].

Tanpa kejelasan status, upaya promosi atau ‘studi banding’ *maaf

biar berbau ilmiah] untuk mencari investor ke luar negeri hanyalah sebuah pengabsahan terhadap upaya yang sesungguhnya lebih

merupakan ‘piknik kolektif.’

Bersandar dari perspektif Teori Ledakan Balon dan sejauh mana kerelevansiannya dalam konteks pembangunan Pulau Batam hari ini dan masa depan, kemudian solusi apa yang dapat diberikan penting untuk dijelaskan? Menurut hemat Saya, memahami fenomena pembangunan Pulau Batam dengan perspektif Teori Ledakan Balon, hanya mencitrakan sebuah kesan yang ambigu—

(29)

berkarakter dua yang saling bertolak-belakang [mencari solusi yang tanpa solusi].

Dalam bahasa pesimisnya jika pemerintah pusat masih

senang memberlakukan ‘status quo’ Pulau Batam dengan

ketidakjelasan dan ketidakpastian, maka tiada kata yang patut diungkapkan. Bom waktu sudah dipasang! Bukankah pemerintah pusat sendiri yang sudah menyetel waktunya melalui pelbagai kebijakan-kebijakannya? ***

(30)

AHULU di awal tahun 1960-an, menurut cerita orang tua-tua sebelum dedolarisasi [tidak diberlakukannya lagi mata uang dolar Singapura], keadaan ekonomi di Riau Kepulauan lebih makmur dibanding sekarang. Ini disebabkan ketika itu nilai tukar mata uang, satu rupiah sebanding dengan satu dollar Singapura. Tetapi setelah dedolarisasi akibat konflik politik antara pemerintah Indonesia dan Malaysia [waktu itu Singapura masih bagian dari Malaysia], nilai tukar rupiah tidak lagi sama atau sebanding dengan dollar Singapura. Pemerintah melarang menggunakan dua mata uang sekaligus [rupiah dan dollar] ketika melakukan transaksi perdagangan. Sejak saat itu hingga ke hari ini setelah krisis ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap dollar Singapura tetap terus terpuruk!

Pertanyaannya: Mungkinkah sejarah akan terulang kembali jika di kawasan perbatasan ini nilai tukar rupiah sebanding dengan nilai dollar Singapura, sama seperti sebelum diberlakukannya kebijakan dedolarisasi?

Jujur saja sejak krisis ekonomi yang tak kunjung usai ini, tinggal di kawasan perbatasan yang katanya strategis ini lebih dominan merasakan dampak negatifnya daripada keuntungan positifnya. Betapa tidak jika setiap hari untuk tetap bertahan hidup, secara terus-menerus dalam belenggu teror dollar Singapura. Dollar naik semua harga barang-barang dan jasa menjadi ikut naik. Padahal kita tidak hidup dan tinggal di Singapura. Kita menetap

(31)

dan hidup di negeri yang memiliki kedaulatan, punya mata uang sendiri, rupiah! Lalu kalau hidup di bawah tekanan dollar seperti ini, apakah kita masih dapat dikatakan berdaulat?

Secara politik kekuasaan kita memang berdaulat hidup di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI]. Hanya saja secara ekonomi kita sudah tidak punya kedaulatan lagi, apalagi nasionalisme. Ukurannya gampang, pertanyaan ini dapat menuntun kita agar bersikap jujur dan terbuka khusus dalam menjawab terkait nasionalisme itu.

‚Bila disuruh memilih sekarang, Anda mau menyimpan rupiah atau dollar?‛ Jawabnya: pasti dolar! Sebaliknya jika ditanya:

‚Anda cinta mana, antara rupiah dan dollar?‛ Jawabnya pasti

rupiah!

Kita boleh setuju atau pun tidak dengan jawaban tersebut. Sebab esensi dari jawaban ini bukan terletak pada setuju atau tidak. Substansi jawabannya lebih pada persoalan sikap antara dua pilihan yang tanpa alternatif, cinta dan kepentingan.

Dalam konteks ini cinta itu sesungguhnya tidak sama dengan kepentingan. Saya cinta rupiah, tetapi Saya lebih penting menyimpan dollar. Sama artinya Saya cinta Indonesia, karena saya dilahirkan di Indonesia. Hanya saja Saya lebih penting menyimpan dollar karena tinggal di kawasan perbatasan!

Fenomena antara cinta dan kepentingan ini samalah kejadian di awal krisis ekonomi ketika pemerintah Orde Baru

mencanangkan kebijakan ‘Aku Cinta Rupiah’. Saya masih ingat

ketika menyaksikan siaran di salah satu televisi swasta, banyak pembesar di negeri ini yang menunjukkan jika mereka cinta rupiah. Dengan disorot kamera salah satu televisi itu, mereka [para

(32)

petinggi negeri], menukar dollar AS yang mereka miliki dengan rupiah. Namun siapa yang menjamin kalau secara diam-diam, ternyata para petinggi ini jumlah uang dollarnya yang ‘nangkring’

di bank-bank luar negeri ada triliunan? Bukan menuduh!

Lalu pertanyaannya: Bagaimana memahami fenomena antara cinta dan kepentingan khusus bagi kita yang tinggal dan hidup di kawasan yang letaknya di perbatasan ini? Untuk menjawab pertanyaan itu dapat dihampiri dengan dua pendekatan.

Pertama, mengungkap fenomena bagi yang tinggal di kawasan perbatasan ini dapat dihampiri dengan pendekatan ‘gaya sentripugal’. Gaya ini menjelaskan sebuah kekuatan yang ‘menarik’

ke luar. Dalam implementasinya gaya ini dianalogikan dengan pengaruh ekonomi Singapura yang kuat di kawasan perbatasan. Sehingga menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat kawasan perbatasan ini dengan negeri Singa tersebut.

Secara kasat mata bagaimana dahsyatnya pengaruh ekonomi Singapura tidak terbantahkan lagi. Contoh paling sederhana bagaimana setiap terjadi transaksi jual-beli pelbagai barang, tidak di Pulau Batam atau pun di Tanjungpinang [Saya belum tahu percis bagaimana di keadaannya di Tanjungbalai Karimun atau Natuna] selalu dihubung-hubungkan dengan dollar Singapura. Yang terkadang menggelikan adalah ketika seorang pedagang mengatakan, jangan Ikan Bilis, sayur atau bawang-bawangan pun diklaim berasal dari Singapura. Padahal kita tahu di Singapura tidak pernah ada kebun sayur apalagi bawang. Yang sangat disayangkan kenaikan dollar selalu disejalankan dengan kenaikan harga barang. Sementara turunnya nilai tukar dollar tidak dibarengi dengan turunnya harga barang.

(33)

Kedua, memahami fenomena tinggal di kawasan perbatasan

ini dapat dilihat dalam perspektif ‘gaya sentripetal’. Gaya ini memiliki kekuataan untuk menarik [mengikat] ke dalam. Gaya ini dianalogikan sebagai kedaulatan yang secara politik kekuasaan kawasan perbatasan merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI], sebagai negara yang berdaulat kita memiliki mata uang rupiah.

Fenomena tinggal di kawasan strategis yang berbatasan langsung dengan negeri tetangga harus menerima resiko tarik-menarik antara kekuatan ekonomi [gaya sentripugal] dengan kekuatan politik kekuasaan [gaya sentripetal] menyebabkan kehidupan menjadi keras dan liar. Setiap hari harus siap diteror dollar. Hidup dengan serba dollar. Sehingga biaya hidup melabung tinggi (high cost). Negeri yang bebas pajak, tetapi harga-harga selalu melebihi barang yang kena pajak! Sungguh aneh tapi nyata!

Memahami fenomena tinggal di perbatasan ini seharusnya sejarah masa lalu menjadi pelajaran berharga khusus bagi pengambil kebijakan agar diketahui bahwa dahulu di kawasan ini tanpa konfrontasi politik dan kebijakan pematokan mata uang [fixed exchange rate], nilai tukar satu rupiah sama dengan satu dollar. Pertanyaannya: Mengapa sekarang tidak?

Kalau memang hidup harus di bawah teror dollar terus-menerus: Mengapa kita tidak bergabung saja dengan Singapura? Bukankah orang bijak mengatakan, if you cannot beat him, joint him

[kalau kamu tidak dapat mengalahkannya, maka lebih baik kamu bergabung dengannya]. Atau dalam bahasa lainnya orang selalu mengatakan sambil berbisik-bisik jika Pulau Batam seperti menjadi bagian dari Singapura. Provinsi yang diistimewakan Singapura. ***

(34)

‘Pada tahun 2007 kalau pemerintah memaksa FTZ enclave, Pulau Batam akan dihuni tikus-tikus.’

(Abidin Hasibuan, Ketua Apindo Batam).

***

‘FTZ memang bukan proyek lokal, melainkan nasional dan Bahkan menyangkut kepentingan regional.’

(Oentarto SM, Dirjen Otda Depdagri).

***

ETUA Asosiasi Pengusaha Indonesia [APINDO] Batam, Abidin Hasibuan memprediksi jika pemerintah pusat tetap memaksakan FTZ Eclave diberlakukan, maka pada tahun 2007, Batam akan kehilangan eksistensinya. Dia memperkirakan pada tahun itu pulau ini sudah sepi dan lambat laun yang tinggal adalah hotel, rumah toko [ruko] dan gudang yang kosong. Pasalnya investor sudah dipastikan bakal hengkang bila FTZ diterapkan secara enclave. Batam akan dihuni oleh tikus-tikus (Batam Pos, Kamis 15 Juli 2004).

Dirjen Otonom Daerah [OTDA] Depdagri, Oentarto S.M mengatakan, Departemen Dalam Negeri [DEPDAGRI] akan mengusulkan FTZ Enclave untuk Batam. Ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan lalu lintas barang yang ke luar masuk Batam sekaligus untuk memperkuat posisi Pemerintah Kota Batam. Dia menjelaskan kalau diberlakukan secara menyeluruh akan sulit

(35)

mengawasi lalu lintas barang yang sebenarnya cuma diperuntukkan bagi kawasan industri saja. Padahal di sana ada banyak pintu terbuka untuk penyelundupan. Jadi amat berbahaya kalau diberlakukan di seluruh pulau karena dikhawatirkan, akan banyak barang yang sebenarnya dilarang, tapi dapat masuk dan menjadi konsumsi penduduk. FTZ memang bukan proyek lokal, melainkan nasional dan bahkan menyangkut kepentingan regional (Batam Pos, Jumat 16 Juli 2004).

Tulisan ini diawali oleh sebuah cuplikan dan penggalan dua pendapat yang berbeda berkaitan kebijakan Free Trade Zone (FTZ)

di Pulau Batam, sebagaimana dilansir harian ini dalam rentang waktu satu hari. Jika dicermati lebih jauh kedua perbedaan itu memiliki makna yang sangat signifikan. Sebab perbedaan ini dilatarbelakangi dengan dua kepentingan yang berbeda pula. Pada satu sisi ada kepentingan pengusaha yang mewakili aspirasi masyarakat pengusaha di Pulau Batam. Sementara pada sisi yang

lain ada kepentingan pemerintah pusat yang selalu ‘diklaim’

mewakili masyarakat Indonesia.

Dalam perbincangan berdasarkan kedua kepentingan yang berbeda itu yang didasarkan kepada hubungan keterwakilan [aspirasi], pertanyaannya: dimanakah sesungguhnya kepentingan mayoritas masyarakat Pulau Batam? Terkait dengan kepentingan mayoritas masyarakat Pulau Batam kalau boleh jujur sesungguhnya FTZ ‘sepenggal’, sebagian atau menyeluruh bukanlah yang utama

persoalannya. Oleh karena itu yang perlu dikritisi faktor apa yang melatarbelakangi perbedaan itu mengemuka?

Selama ini menurut hemat Saya pemerintah pusat belum pernah [kalau tidak boleh dikatakan tidak pernah] berusaha

(36)

mencari latarbelakang, mengapa perbedaan itu mengdepan. Apalagi sampai saat ini belum ada satu pun survei atau poling yang independen dan representatif khusus terkait dengan pilihan

‘mayoritas’ masyarakat Pulau Batam antara: apakah FTZ Enclave

*versi pemerintah pusat+ atau FTZ ‘menyeluruh’ *keinginan

masyarakat pengusaha]?

Dalam konteks perbedaan ini yang sangat disesali jika gagasan pemerintah pusat baik melalui Depdagri maupun Deprindag yang menghendaki FTZ Enclave selalu didasari dan didorong oleh sikap apriori terhadap kekhawatiran maraknya penyelundupan. Sikap ini sesungguhnya akan menjadi bumerang bagi pemerintah pusat. Ini tentu saja berdasarkan pengalaman kesalahan pemerintah masa lalu dalam mendesain Pulau Batam dengan pelbagai kebijakan yang kontraproduktif.

Saya masih ingat ketika berlangsungnya gerakan penolakan besar-besar terhadap kebijakan pemberlakukan PPN dan PPnBM [PP No.39 Th 1998] di Pulau Batam pada awal tahun 2000. Gerakan penolakan itu mendatangkan hasil yang optimal, karena pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan penundaan [PP No.45 Th 2000].

Berdasarkan pengalaman ini pemerintah tidak pernah mau mengkaji aspek historis [faktor yang melatarbelakangi]: mengapa mayoritas masyarakat di Pulau Batam menolak pemberlakukan kebijakan yang sungguh tidak popular itu? Menurut pengamatan Saya dalam konteks ini, kesalahan pemerintah [reformasi pasca Orde Baru] yang sangat fatal karena tidak ada satu pun kebijakan pemerintah sebelumnya yang mengatakan jika Pulau Batam bebas PPN dan PPnBM. Padahal tidak dipungutnya PPN dan PPnBM di

(37)

Pulau Batam akibat kesalahan pemerintah masa lalu [sebelum reformasi]. Sementara dengan tiba-tiba [tanpa sosialisai],

pemerintah ‘seenaknya’ mengeluarkan kebijakan tersebut!

Belajar dari kasus penolakan PPN dan PPnBM ini, seharusnya pemerintah pusat lebih cerdas, elegan dan logis dalam berargumentasi dengan tidak melupakan sejarah: khususnya kesalahan terhadap desain struktur kekuasaan di kawasan berikat [bonded zone] ini. Apalagi kalau mau diungkit-ungkit bagaimana kesalahan kebijakan pemerintah masa lalu yang ‘menzalimi’ Riau

Kepulauan umumnya dan Pulau Batam khususnya.

Mengamati potensi letak strategis yang dimiliki Riau Kepulauan di era Orde Baru menunjukkan bahwa pelbagai produk kebijakan sentralistis: Keppres atau PP sesungguhnya adalah

representasi sisi ‘kejahatan Pusat’ yang selalu mengatasnamakan

kepentingan negara. Pelbagai kebijakan yang diproduksi di Riau Kepulauan umumnya tidak memberikan kontribusi positif bagi pembangunan apalagi kesejahteraan rakyat. Mulai dari kasus bekas penambangan timah di Dabo Singkep, ganti rugi tanah di Lagoi, eksploitasi pasir laut, pembuangan limbah tanah [marine clay] dari Singapura hingga ‘ijonisasi gas’ Natuna adalah contoh ‘kejahatan pusat’ yang paling absah di kawasan perbatasan ini.

Di masa depan agar pemerintah pusat tidak semena-mena terhadap aspirasi mayoritas masyarakat lokal yang strategis adalah membentuk formula perjuangan dengan menggunakan wacana yang lebih kritis: Manifesto Politik! Gerakan intelektual kemudian didukung basis massa yang cerdas diyakini perjuangan akan dapat terus berkesinambungan.

(38)

Di antaranya di masa depan dapat dimulai dengan melahirkan Manifesto Politik Rakyat Pulau Batam. Sejarah Kepri membuktikan dahulu ketika menolak keputusan pemerintah pusat

tentang, ‚Kepulaun Riau tidak lagi menjadi daerah bebas pabean‛,

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) Kepulauan Riau mengeluarkan Manifesto Politik: menolak keputusan pemerintah! ***

(39)

ELBAGAI kalangan di Pulau Batam mengeluh! Khabar yang masuk katanya keluhan itu akibat tidak transparannya pemerintah pusat dalam memberikan alasan terkait kepastian kapan sesungguhnya Pulau Batam menjadi kawasan perdagangan bebas. Atau kapan Rancangan Undang-Undang [RUU] kawasan perdagangan bebas [free trade zone] direalisasikan menjadi undang-undang?

Dalam perspektif [sudut pandang] ekonomi-politik-politik alasan tidak transparannya pembahasan RUU FTZ yang sudah menginjak lebih kurang empat tahun--memiliki hubungan negatif terhadap pelbagai persoalan konstruksi seputar struktur kekuasaan. Masa transisi dalam kerangka reformasi Indonesia pada kenyataannya tidak membawa perubahan signifikan positif bagi pembangunan Pulau Batam. Transisi tampaknya selama ini selalu disejalankan dengan kepentingan siapa yang berkuasa [yang memegang kendali pemerintahan]. Sehingga yang mengedepan bukan bagaimana menata ulang struktur kekuasaan yang telah porak-poranda akibat terdistorsi perilaku penguasa otoriter Orde Baru, melainkan membiarkannya dalam posisi status Pulau Batam yang tidak jelas.

Dalam perspektif ekonomi-politik-hukum, ketidakjelasan ini dapat dimanfaatkan untuk menarik sebesarnya-besarnya keuntungan rente ekonomi dalam kondisi ketidakpastian hukum. Dalam keadaan seperti ini yang sangat berbahaya adalah terjadinya

(40)

kolaborasi antara para ‘penjahat pejabat’ dengan ‘pengusaha hitam’

yang melakukan perburuan rente ekonomi dalam aktivitas ekonomi ilegal [termasuk di dalamnya pelbagai aktivitas penyelundupan, perjudian dan pencucian uang].

Berdasarkan fenomena yang mengemuka tulisan ini mencoba memaparkan dua hal terkait dengan ketidakjelasan status Pulau Batam sebagai akibat tidak transparannya pemerintah perihal RUU FTZ. Pertama, apa yang melatarbelakangi bertahannya ketidakjelasan status Pulau Batam? Kedua, siapa yang diuntungkan dalam ketidakjelasan status itu?

Kronologi Ketidakjelasan

Berdasarkan struktur kekuasaan, ketidakjelasan status Pulau Batam dapat dilihat secara kronologis melalui pelbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah masa lalu. Pada mulanya Pulau Batam dibangun sebagai basis logistik Pertamina dan juga sebagai kawasan industri berdasarkan Keputusan Presiden [Keppres] No.65 Tahun 1970. Akibat masalah internal khususnya krisis korupsi di Pertamina pada awal 1980-an, terdapat perubahan rancangan

pembangunan Pulau Batam menjadi ‘kawasan berikat’ *bonded zone] dan daerah industri sehingga ke hari ini. Untuk mendukung perubahan tersebut pemerintah [presiden] menerbitkan Keppres No.74 Tahun 1971 yang menetapkan sebagian dari Pulau Batam menjadi daerah industri.

Berkat pesatnya perkembangan Pulau Batam, pemerintah menerbitkan lagi Keppres No.41 Tahun 1973 yang menetapkan seluruh Pulau Batam sebagai daerah industri. Pada masa yang sama Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam [OBDIP] atau Otorita Batam (OB) telah didirikan. Setahun berikutnya,

(41)

pemerintah menerbitkan Keppres No.33 Tahun 1974 yang menunjuk serta menetapkan Batu Ampar, Sekupang dan Kabil sebagai gudang berikat [bonded warehouse]. Sebelum penetapan ketiga-tiga daerah ini sudah pun didiami penduduk yang tersebar menjadi satu dengan kawasan pemukiman dan komersial. Empat tahun berikutnya pemerintah menerbitkan Keppres No.41 Tahun 1978 yang menetapkan seluruh Pulau Batam sebagai wilayah usaha bonded warehouse. Lima tahun kemudian pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.34 Tahun 1983 tentang pembentukan Kota Madya Batam di wilayah Provinsi Daerah TK I Riau. Penerbitan PP ini bertujuan guna meningkatkan pelayanan di bidang pemerintahan dan pembangunan di luar daerah industri Pulau Batam. Pada masa ini, kehadiran Pemerintah Kota Madya Batam untuk mengurus pemerintahan secara umum [Pemerintah Kota Madya Batam tidak mempunyai otonomi seperti saat ini].

Setahun berikutnya pada tahun 1984, tanpa terlebih dahulu melakukan kajian terhadap pengaruh pelbagai penerbitan kebijakan sebelumnya, pemerintah menerbitkan Keppres No.56 Tahun 1984 yang menetapkan seluruh Pulau Batam ditambah dengan lima Pulau sekitarnya, Kasem, Moy-moy, Ngenang, Tanjung Sauh, Janda Berhias menjadi wilayah usaha bonded warehaouse. Alasan itulah yang dijadikan argumentasi untuk terus mengembangkan pembangunan kawasan industri di Pulau Batam.

Delapan tahun selepas itu, pemerintah kemudian menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1992 tentang penambahan wilayah lingkungan kerja daerah industri Pulau Batam (Barelang—

Batam--Rempang--Galang) dan penetapannya sebagai wilayah kawasan berikat [bonded zone]. Perubahan status Pulau Batam dari

(42)

bonded warehouse menjadi ‘kawasan berikat’ *bonded zone] juga dilakukan tanpa pengkajian terlebih dahulu. Keadaan ini dapat diidentifikasi melalui pengertian bonded warehouse maupun bonded zone yang begitu berbeda di dalam undang-undang dengan realitas di lapangan. Akibat tidak pernah dilakukan evaluasi terhadap pelbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah di Pulau Batam sebagai daerah industri membawa pengaruh bagi ketidakjelasan status Pulau Batam antara bonded zone dan free trade zone.

Pelbagai kebijakan tentang Pulau Batam memunculkan beberapa konsekuensi ketidaklaziman dalam konsep pengembangan sebuah kawasan komersial perdagangan. Pertama, konsep kawasan berikat dilaksanakan di Pulau Batam menyalahi undang-undang karena Pulau Batam sudah berpenduduk tetap [tidak ada pemisahan antara kawasan penduduk, pemukiman, industri, dan komersial]. Kedua, Pulau Batam merupakan satu-satunya kawasan berikat yang berpenduduk di dunia. Ketiga, sebagai implikasinya secara undang-undang Pulau Batam adalah kawasan berikat, tetapi faktanya sudah terjadi praktik free trade zone

[FTZ] disebabkan masyarakat di Pulau Batam sudah lama mendapat kemudahan bebas PPN dan PPnBM.

Siapa yang Diuntungkan?

Berdasarkan kronologi itu terdapat tiga hal yang menyebabkan ketidakjelasan status Pulau Batam. Pertama, akibat kesalahan pemerintah masa lalu yang tidak pernah melakukan kajian ulang [evaluasi] terhadap pelbagai kebijakan yang telah dikeluarkan. Kedua, akibat kebijakan yang tanpa kendali disebabkan begitu kuatnya dominasi kekuasaan eksekutif. Ketiga, akibat kesalahan pemerintah masa lalu, pemerintah saat ini

(43)

seolah-olah ingin ‘cuci tangan’ dengan mengembangkan [ketidakjelasan] status Pulau Batam.

Dalam konteks ketidakjelasan tersebut pertanyaannya: sesungguhnya siapa yang diuntungkan? Menurut hemat Saya sebagaimana yang dikhawatirkan pelbagai kalangan bahwa ketidakjelasan status Pulau Batam baik dalam kerangka ketaklaziman perihal konsep kawasan perdagangan [aturan perangkat hukumnya Pulau Batam sebagai kawasan berikat sementara faktanya kawasan perdagangan bebas], dan kacaunya struktur kekuasaan dalam kerangka hubungan antara pemerintah pusat dan daerah memberikan pengabsahan keuntungan bagi para pemburu rente konomi. Para pemburu rente ekonomi ini

dipersonifikasikan oleh ‘penjahat pejabat’ yang menyewakan kekuasaan kepada ‘pengusaha hitam’ yang memperoleh proteksi

kekuasaan untuk melakukan aktivitas ekonomi ilegal. Kolaborasi

antara ‘penjahat pejabat’ dengan ‘pengusaha hitam’ menghasilkan

pelbagai produk ekonomi yang ilegal dalam versi hukum

[undang-undang+, tetapi ‘absah’ keberadaannya dalam konteks realita.

Menurut hemat Saya dalam kondisi aktual ketidakjelasan status Pulau Batam saat ini, tak banyak yang dapat diramalkan untuk masa depan Batam sebelum menuju 2004, kecuali kita sepakat bersama-sama mengucapkan: the end of Batam. ***

(44)

EBAGAIMANA yang dilansir Harian Pagi Batam Pos, Sabtu (23/8) perihal masalah caretaker Gubernur Provinsi Kepulauan Riau yang masih kontroversial. Sejak kelahirannya yang memang penuh onak dan duri Provinsi Kepri tak habis dirundung malang. Ini paling tidak dilatarbelakangi akibat kelahirannya yang lebih bertendensi politik kekuasaan berbanding aspiratif perjuangan masyarakatnya. Artinya,

pemerintah mau ‘mengakui’ pembentukan Provinsi Kepri atas usul

hak inisiatif DPR RI lebih terdorong akibat isu disintegrasi wilayah (baca: Riau merdeka), berbanding perjuangan aspiratif komponen masyarakat Kepulauan Riau itu sendiri.

Sehingga, sampai saat ini yang menjadi alasan ketidakseriusan pemerintah pusat untuk melaksanakan UU pembentukan Provinsi Kepri yang selalu mengedepan adalah konflik internal di Kepulauan Riau yang hampir tak pernah terselesaikan. Benarkah? Tulisan ini merupakan refleksi kilas balik dalam upaya mengidentifikasi tiga hal signifikan. Pertama, ada apa dibalik tarik-ulur perwujudan praktis Provinsi Kepulauan Riau? Kedua, mengapa pemerintah pusat selalu mendramatisir politik kekuasaan perwujudan teknis Provinsi Kepulauan Riau? Ketiga, apa implikasinya ke depan?

(45)

Fenomena Kepentingan Elite

Pelbagai kendala terhambatnya perwujudan teknis pelaksanaan Provinsi Kepri termasuk masalah penunjukkan gubernur caretaker menurut amatan awam yang selalu disebutkan adalah, pertama, masalah penolakan Kabupaten Natuna. Kedua, persoalan keabsahan keberadaan Bupati Kepulauan Riau. Ketiga, berkisar pada persoalan status Pulau Batam. Dalam konteks ini mari kita cermati lebih spesifik-kritis, apa benar ketiga persoalan itu yang menjadi faktor signifikan-dominan terganjalnya perwujudan teknis pelaksanaan Provinsi Kepulauan Riau?

Persoalan pertama menyangkut penolakan Kabupaten Natuna yang selama ini dijadikan pengabsahan oleh pemerintah pusat dinilai sudah tidak memiliki relevansi terhadap perwujudan teknis Provinsi Kepri. Sebab sudah menjadi rahasia umum jika penolakan tersebut berlatarbelakang elitis, bukan aspiratif. Artinya penolakan dilandasi atas persoalan elite politik Kabupaten Natuna khusus terkait isu politik uang ketika suksesi kepala daerah. Adanya isu intervensi politik kekuasaan dari provinsi yang banyak diekpose media massa adalah bagian dari skenario penghambatan yang bertendensi elitis. Dan ini dapat diklasifikasi menjadi fenomena kepentingan elite, bukan aspiratif. Kemudian untuk menutupi agar penghambatan ini bukan bertendensi elitis, didistorsi dengan persoalan ekonomi bagi hasil sumber daya alam [SDA]. Oleh karena itu bertitik tolak atas argumentasi ini persoalan pertama sesungguhnya tidak ada relevansi langsung dengan perwujudan teknis Provinsi Kepulauan Riau.

Kedua, persoalan keabsahan kepala daerah dalam suksesi yang melibatkan elite dan tokoh perjuangan Provinsi Kepri juga

(46)

sudah tidak relevan untuk diabsahkan terhambatnya perwujudan teknis Provinsi Kepulauan Riau. Sebab perjuangan Provinsi Kepri dengan masalah suksesi Bupati Kepri adalah dua hal yang sangat berbeda. Kemudian kedua masalah itu yang ‘seolah-olah’ menjadi integratif disebabkan kebetulan salah seorang yang ‘dianggap’

tokoh perjuangan Provinsi Kepri adalah juga terkait langsung dengan persoalan suksesi Bupati Kepri. Percampuran aduk inilah yang selama ini telah mendistorsi perjuangan kolektif Provinsi Kepri. Sehingga persoalan suksesi Bupati Kepri seolah-olah menjadi penghambat perwujudan teknis pelaksanaan Provinsi Kepri. Padahal sekali lagi, persoalan ini merupakan fenomena kepentingan elite yang dibelokkan menjadi permasalahan kolektif perjuangan.

Ketiga, persoalan status Pulau Batam. Secara kebetulan Pulau Batam yang akan dijadikan sebagai ibu kota Provinsi Kepri sementara, sampai saat ini masih mengalami kendala terhadap persoalan status maupun pembagian kewenangan. Sesungguhnya jika dicermati lebih teliti persoalan stutus Pulau Batam maupun pembagian kewenangan merupakan kesalahan desain kekuasaan pemerintah lama. Jadi menjadi tidak signifikan jika persoalan ini dibasahkan menghambat perwujudan teknis Provinsi Kepri. Sebab penunjukkan gubernur caretaker merupakan solusi temporer untuk mengantisipasinya. Hanya saja terkait siapa yang ditunjuk untuk menjadi gubernur caretaker, sekali lagi juga lebih bertendensi elitis!

Provinsi Politik Elite

Kalau dicermati berdasarkan pelbagai argumentasi yang selalu dijadikan pembenaran penghambatan perwujudan teknis Provinsi Kepri mengedepankan tendensi kepentingan politik elite

(47)

berbanding aspirasi masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu agar

perwujudan teknis Provinsi Keperi tidak terkesan ‘proyek politik

elite’ dan menjadi perjuangan politik kolektif seluruh masyarakat

Kepulauan Riau di mana pun berada, paling tidak ada beberapa agenda penting yang perlu mendapat pertimbangan.

Pertama, masyarakat harus menyadari dan dapat memahami konfigurasi konflik politik di Kepulauan Riau yang selalu menjadi pembenar sebagai penghambat perwujudan teknis Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian sejauh mana kebenaran pembenar itu dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan argumentasi yang aspiratif? Oleh karena itu guna kepentingan ke depan memang merupakan tanggung jawab semua pihak untuk memperbanyak kelompok pemikir [think-thank] yang tumbuh dari bawah (aspiratif). Sehingga tidak lagi terjadi pembelokan terhadap informasi—yang seharusnya aspiratif menjadi elitis. Seorang elite

tidak selalu mengklaim sebagai tokoh ‘tunggal perjuangan’,

kemudian tidak menjadikan persoalan individu didistorsi seolah-olah kepentingan kolektif perjuangan.

Kedua, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan momen politik pemilihan umum [Pemilu] untuk membangun basis perjuangan baru dalam perwujudan teknis Provinsi Kepri. Pemilihan umum kali ini dapat menjadi cek kosong bagi masyarakat Kepulauan Riau untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah secepatnya mengaplikasikan Provinsi Kepulauan Riau. Artinya pemilu dapat diabsahkan masyarakat untuk menuntut sikap konsisten pemerintah. Ini misalnya persoalan pembentukan Komisi Pemilihan Umum [KPU] Provinsi Kepulauan Riau yang mandiri, tidak lagi di bawah Provinsi Riau. Sebab ini terkait

(48)

langsung dengan persoalan suksesi Gubernur Kepri definitif nantinya.

Ketiga, men-deadline pemerintah pusat dengan kepastian hukum yang jelas dan tegas. Artinya pengalaman masa lalu terkait ketidakkonsistennya pemerintah dalam masalah Peraturan Pemerintah [PP] tidak terulang kembali. Ini misalnya saja PP hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam sebagaimana yang diamanatkan UU No.53 Tahun 1999 sampai saat ini entah hilang ke mana?

Yang pasti jika pemerintah pusat masih terus mendramatisir dipastikan kekuataan kolektif politik masyarakat akan terulang kembali. Jangan sampai peristiwa penolakan besar-besaran terhadap Pemberlakuan PPN dan PPnBM di Pulau Batam berlangsung lagi. Mari berjuang. ***

(49)

ALAM sudut pandang kajian ekonomi politik hukum, Kepulauan Riau [yang dimaksud Kepri meliputi beberapa kabupaten termasuk Batam] sebagai daerah perbatasan memiliki konsekuensi negatif dengan berbagai deraan yang tak kunjung usai. Sejak reformasi digulirkan yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter Soeharto dengan multilevel krisisnya tak banyak mengalami perubahan signifikan positif. Yang mengedepan justru munculnya konflik baru yang direpresentasikan [diwakili] dengan tampilnya arogansi daerah [atas nama otonomi] berhadapan dengan pusat [atas nama sentralisasi].

Bergumulnya dua kekuatan ini menyebabkan tidak produktifnya perkembangan pembangunan Kepulauan Riau sebagai daerah perbatasan. Kata perbatasan yang selalu disebut dengan istilah strategis--hanya merupakan retorika: mudah diucapkan yang tak pernah diimplementasikan. Sampai sejauh ini belum ada gagasan besar yang secara khusus mendesain pembangunan Pulau Batam sesuai format sebagai daerah strategis yang letaknya di perbatasan.

Tampaknya selama ini desain pembangunan selalu disejalankan dengan kepentingan siapa yang berkuasa. Sehingga keuntungan apa yang didapat dari Kepulauan Riau jika berbagai

(50)

kebijakan dibuat termasuk pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dan UU FTZ, tidak terlepas dari berbagai kepentingan.

Tulisan ini diangkat guna mendiskusikan sebagai refleksi awal bagaimana terjadinya tarik-ulur perjuangan Provinsi Kepulauan Riau beserta ketidakpastian hukum di Pulau Batam sambil menunggu UU FTZ yang tak kunjung dating.

Rivalitas Ekonomi Politik Hukum

Galaunya kondisi Kepulauan Riau yang ditandai dengan persoalan perjuangan pembentukan secara hukum [de jure] provinsi dan UU FTZ mempersonifikasikan begitu runyamnya rivalitas ekonomi politik hukum yang sedang terjadi. Perjuangan Provinsi Kepri yang diharapkan dapat membawa sejarah baru bagi kesejahteraan masyarakatnya, sampai saat ini masih saja terkatung-katung. Pelbagai janji-janji berupa retorika di media massa perihal kepastian pengesahan undang-undangnya tak kunjung terbukti. Rumor terakhir menyebutkan jika DPR RI pada 24 September 2002 dengan dan atau, tanpa pemerintah akan mengesahkan UU Provinsi Segantang Lada tersebut. Sementara berhasil atau tidak, hanya Allah SWT yang tahu.

Namun yang pasti akibat rivalitas [persaingan Kepri-Pekanbaru-Jakarta] yang mengemuka selama ini justru menghasilkan koruptor-koruptor baru yang mengatasnamakan perjuangan provinsi untuk memanipulasi uang rakyat melalui APBD. Patut dipertanyakan sesungguhnya rakyat mana yang diwakili, sehingga muncul klaim jika APBD digunakan untuk kepentingan rakyat. Dan lagi perlu digarisbawahi rakyat mana yang menyuruh uang rakyat [APBD] untuk memperjuangkan Provinsi Kepri? Padahal sesungguhnya dalam konteks perjuangan

(51)

Provinsi Kepri adalah milik seluruh rakyat Kepri, bukan milik perorangan maupun kelompok. Perjuangan sakral Provinsi Kepri jangan dipersonifikasikan dengan perjuangan individu, kelompok atau hanya daerah tertentu melainkan perjuangan seluruh rakyat Kepri yang mencakup berbagai daerah kabupaten maupun kota.

Sementara, bagaimana menciptakan kepastian hukum [law inforcement] di Pulau Batam agar iklim investasi semakin kondusif justru mengalami berbagai keganjilan. Undang-undang FTZ yang semula sudah menjadi draf melalui usulan pemerintah yang diadopsi dari berbagai aspirasi mulai dari pemerintah pusat, provinsi dan kota justru dementahkan kembali melalui hak inisiatif DPR RI. Kondisi ini menyebabkan logika kekuasaan menjadi kacau, tak terkontrol dan terdistorsi akibat banyaknya pihak yang bermain dalam pusaran UU FTZ tersebut.

Dalam konfigurasi pusaran UU FTZ tentu saja logika kekuasaan jelas menempatkan pihak yang memiliki kekuatan dukungan finansialnya menjadi lebih dominan. Guna mengidentifikasi munculnya dominasi tersebut akan dapat ditelusuri dari sisi kontensnya. Untuk sementara dengan munculnya secara tiba-tiba [tak terduga] draf UU FTZ versi DPR RI sesungguhnya sudah dapat dinilai siapa yang unggul dalam konfigurasi pusaran UU FTZ saat ini?

Pusat vs Daerah

Tidak dapat disangkal dalam konteks implementasinya sejak Provinsi Kepri diperjuangkan sehingga terjadinya tarik ulur persetujuan UU FTZ sesungguhnya mempersonifikasikan begitu tajamnya konflik antara dua kutub kekuasaan yang mengatasnamakan otonomi daerah [desentarlisasi] dengan otorita

(52)

[sentralisasi]. Terjadinya pertelingkahan kedua kutup kekuasaan tersebut--yang justru berbahaya adalah variabel ikutan yang direpresentasikan melalui kekuatan swasta yang tanpa disadari menjadi desainer [pembuat scenario] terhadap perjuangan Provinsi Kepri maupun UU FTZ.

Kekuatan swasta yang muncul itu tidak saja berasal dari swasta murni yang terjun ke dunia bisnis. Yang berbahaya adalah terjadinya kooptasi kekuasaan ekonomi politik hukum yang diwakili oleh birokrat [penguasa/pejabat] yang memiliki jalur korporasi dengan swasta baik asing maupun dalam negeri. Sebab jabatan yang dipegang dapat berfungsi sebagai legitimasi ekonomi

politik hukum untuk melakukan ‘perburuan rente ekonomi’

terhadap sewa [imbal jasa] kekuasaan dari pejabat bersangkutan kepada pihak swasta [luar maupun dalam negeri].

Sesungguhnya Kepulauan Riau sebagai kawasan strategis [disebut strategis yang paling menonjol karena berbatasan langsung dengan Singapura] akibat pergumulan pusat vs daerah tersebut telah mengeliminasi [menghilangkan] kedudukan ini. Dalam skala makro [nasional] kondisi perjuangan Provinsi Kepri beserta UU FTZ merupakan determinasi kondisi riil sistem politik kekuasaan di Indonesia secara keseluruhan. Begitu terdistrosinya

setting politik kekuasaan Indonesia saat ini. Sehingga efek domino hasil produksi sentralisasi kekuasaan yang begitu lama [32 tahun]

telah memasung kawasan perbatasan menjadi arena ‚perburuan rente‛ ekonomi politik hukum yang selalu menampilkan kambing

hitam baik atas nama rakyat, demokrasi, pertumbuhan, pembangunan ekonomi, HAM---yang sesungguhnya wilayah

Gambar

TABEL 1 :  KRONOLOGI  DAN  PERBANDINGAN  KEBIJAKAN  ANTARA    OTORITA  BATAM  DAN  PEMERINTAH  KOTA BATAM [1973-2005]  1978 1992 1998198419771974199319831973 1999 2005200420012000
TABEL 2 :  KRONOLOGI  DAN  PERBANDINGAN  KEBIJAKAN  ANTARA  OTORITA  BATAM  DAN  PEMERINTAH  KOTA BATAM [1997-2005]
GAMBAR 1 :  ILUSTRASI  POSISI  GEOGRAFIS  PERBANDINGAN  ANTARA  SINGAPURA  SEBUAH  NEGARA  DENGAN ‘NEGARA BINTAN’
GAMBAR 2 :  ILUSTRASI KEKHUSUSAN GEOGRAFIS PROVINSI  KEPULAUAN  RIAU  AWAL  PERJUANGAN  MENJADI ‘PROVINSI ISTIMEWA’

Referensi

Dokumen terkait

Dengan latar belakang ini penulis mengangkat masalah mengenai “Analisis Yuridis Terhadap Pembajakan Buku (Ditinjau Terhadap Undang-Undang No. Adapun tujuan dari penelitian

Keberadaan Undang Undang Hak Cipta merupakan salah satu norma atau tatanan yang berlaku dalam masyarakat, sehingga untuk dapat mengetahui efektifitas berlakunya undang-undang

Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh

Dengan latar belakang ini penulis mengangkat masalah mengenai “Analisis Yuridis Terhadap Pembajakan Buku (Ditinjau Terhadap Undang-Undang No. Adapun tujuan dari penelitian

Selain adanya beasiswa yang disediakan oleh pemerintah Malaysia terhadap calon pelajar Indonesia yang akan melanjut- kan studinya, ternyata pemerintah Malaysia dan Indonesia juga

bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan

Yaitu dengan cara tidak melakukan pelanggaran hak cipta seperti yang telah tertulis dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, di antaranya

Akhirnya, dengan melakukan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional milik bangsa ini, maka peluang untuk melakukan persaingan global yang berbasis pada