• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pusat vs Daerah

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 51-62)

Tidak dapat disangkal dalam konteks implementasinya sejak Provinsi Kepri diperjuangkan sehingga terjadinya tarik ulur persetujuan UU FTZ sesungguhnya mempersonifikasikan begitu tajamnya konflik antara dua kutub kekuasaan yang mengatasnamakan otonomi daerah [desentarlisasi] dengan otorita

[sentralisasi]. Terjadinya pertelingkahan kedua kutup kekuasaan tersebut--yang justru berbahaya adalah variabel ikutan yang direpresentasikan melalui kekuatan swasta yang tanpa disadari menjadi desainer [pembuat scenario] terhadap perjuangan Provinsi Kepri maupun UU FTZ.

Kekuatan swasta yang muncul itu tidak saja berasal dari swasta murni yang terjun ke dunia bisnis. Yang berbahaya adalah terjadinya kooptasi kekuasaan ekonomi politik hukum yang diwakili oleh birokrat [penguasa/pejabat] yang memiliki jalur korporasi dengan swasta baik asing maupun dalam negeri. Sebab jabatan yang dipegang dapat berfungsi sebagai legitimasi ekonomi politik hukum untuk melakukan ‘perburuan rente ekonomi’ terhadap sewa [imbal jasa] kekuasaan dari pejabat bersangkutan kepada pihak swasta [luar maupun dalam negeri].

Sesungguhnya Kepulauan Riau sebagai kawasan strategis [disebut strategis yang paling menonjol karena berbatasan langsung dengan Singapura] akibat pergumulan pusat vs daerah tersebut telah mengeliminasi [menghilangkan] kedudukan ini. Dalam skala makro [nasional] kondisi perjuangan Provinsi Kepri beserta UU FTZ merupakan determinasi kondisi riil sistem politik kekuasaan di Indonesia secara keseluruhan. Begitu terdistrosinya

setting politik kekuasaan Indonesia saat ini. Sehingga efek domino

hasil produksi sentralisasi kekuasaan yang begitu lama [32 tahun] telah memasung kawasan perbatasan menjadi arena ‚perburuan rente‛ ekonomi politik hukum yang selalu menampilkan kambing hitam baik atas nama rakyat, demokrasi, pertumbuhan, pembangunan ekonomi, HAM---yang sesungguhnya wilayah (kawasan perbatasan) ini berada dalam ‘penjajahan asing’.

Pergulatan pusat vs daerah di kawasan ini jika mau disadari merupakan keuntungan langsung yang diambil serta dinikmati negara lain. Betapa tidak, bukankah selama ini kawasan perbatasan belum pernah menikmati kelebihan letaknya yang sering diklaim strategis, kecuali kehidupan masyarakatnya yang hanya di bawah ‚teror dolar‛ Singapura!

Oleh karena itu gagasan ekstrim yang paling mungkin untuk menghindari terjadinya konflikasi kepentingan daerah vs pusat, terlebih dahulu harus memprioritaskan pilihan antara UU Provinsi Kepri dan UU FTZ. Walaupun kelihatan sepintas, tidak ada hubungan kausalitas antara pembentukan Provinsi Kepri dengan UU FTZ jika dilihat dari latarbelakang masalah yang dihadapinya. Provinsi Kepri terkendala karena belum adanya rekomendasi gubernur dan DPRD Riau. Sementara, UU FTZ masih terjadi tarik-ulur karena hilangnya kewenangan daerah [belum terakomodirnya eksistensi Pemko dan DPRD Kota Batam]. Namun bukankah substansi persoalan terletak pada ‘kewenangan’ yang dalam bahasa ekonomi politik hukum berkonsekuensi terhadap ‘siapa mendapat apa terkait penerbitan sebuah regulasi’. Artinya siapa yang berkuasa akan mendapat imbalan jasa terhadap kekuasaan [kewenangan] yang dipegangnya.

Latar belakang yang menyebabkan terjadinya pertelingkahan selama ini jelas membuktikan bahwa yang lebih mengedepan adalah seputar persoalan kekhawatiran kehilangan [pengurangan] wilayah kekuasaan. Kenyataan membuktikan bahwa motivasi kepentingan ekonomi mendominasi setiap lahirnya sebuah kebijakan baik berupa, Keppres, PP atau UU itu sendiri. Apalagi suasana ketidakpastian ekonomi ditambah hidup dalam teror

dollar AS [dengan utang yang akan mencapai Rp1000 triliun], membuat setiap orang Indonesia [tidak di pusat atau daerah] lebih berpikir dulu untuk mempertahankan hidup dibandingkan kepentingan lainnya. Sehingga kenyataan sampai saat ini tidak jelasnya perjuangan Provinsi Kepri maupun keberadaan UU FTZ.

Skenario Jalan Ketiga

Bagaimana meminimalisir rivalitas atas nama kewenangan *siapa yang berkuasa+ ini dapat diupayakan melalui skenario ‘jalan ketiga’ dengan melakukan dua langkah strategis. Pertama, menjadikan kawasan Kepulauan Riau, Pulau Batam yang memiliki otonomi khusus. Kedua, menjadikan Kepulauan Riau, Pulau Batam sebagai Daerah Istimewa [Daerah Khusus, seperti Aceh, Papua, Jogjakarta dan Jakarta].

Kedua pilihan tersebut dianggap strategis mengingat setidaknya terdapat lima pertimbangan. Pertama, terlalu banyak dan seringnya produk maupun perubahan kebijakan di Batam. Kenyataan ini, sesungguhnya mencitrakan inkonsistensinya pemerintah pusat. Kedua, dominasinya sentralisasi kekuasaan yang dibuktikan banyaknya kebijakan yang lahir berbentuk Keppres sepanjang sejarah pembangunan Batam sebagai kawasan berikat [bonded zone]. Ketiga, Pulau Batam yang berbatasan dengan kekuatan penetrasi ekonomi Singapura. Kedudukan ini sesunguhnya dapat menjejaskan ketergantungan ekonomi Batam dengan Singapura secara absolut. Terjadinya tarik menarik yang menyebabkan posisi Batam pada kedudukan tidak mengembirakan. Secara ekonomi, Batam terintegrasi [ergantung] pada Singapura, sementara secara politik diikat ke pusat [otonomi setengah hati].

Keempat, realitas Batam yang secara de facto sudah menjadi FTZ sementara de jure sampai saat ini belum ada UU FTZ [masih terkatung-katung] Kelima, skenario kebijakan ekonomi yang diperaktikkan di Pulau Batam oleh pemerintah Indonesia memunculkan tampilnya kapitalisme internasional secara mutlak. Misalnya saja kebijakan investasi dalam Peket Desember [PAKDES] 1987 yang mengizinkan seratus persen kepemilikan asing di wilayah yang ditentukan [Pulau Batam].

Berdasarkan kelima argumentasi ini paling tidak dapat menjadi wacana awal dalam mengusulkan draf Pulau Batam sebagai Daerah Istimewa [otonomi khusus], sebelum selesainya penyusunan UU FTZ. Sementara bagaimana status Provinsi Kepri secara de jure [karena sesungguhnya de facto, Kepri sudah sejak dahulu menjadi provinsi-- jika dibanding dengan beberapa provinsi lainnya di Indonesia], mari sama-sama kita tunggu tanggal mainnya. ***

ULAU Batam ‘meledak’! Penyebab ledakan bukan akibat

teror bom sang teroris yang selalu menjadi kambing hitam dalam setiap peristiwa ledakan bom di negeri tercinta ini. Pulau Batam yang menurut Profesor Habibie bagaikan balon itu telah meledak berkeping dan berkecai-macai akibat ulah dua kepentingan yang selalu mengklaim dengan atas nama rakyat! Yang satu, atas nama rakyat yang merepresentasikan diri menjadi Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] Republik Indonesia [RI] atau legislatif. Sementara yang satunya selalu mengatasnamakan kepentingan pemerintah [negara dalam arti sempit] atas nama eksekutif [presiden beserta jajaran kabinetnya] yang konon 20 September 2004 ini dipilih secara langsung oleh rakyat!

Menurut kabar terbaru Rancangan Undang-undang [RUU]

Free Trade Zone Pulau Batam yang disahkan secara sepihak melalui

hak inisiatif DPR RI tidak digubris oleh pemerintah sebagai mitranya. Dalam konteks memahami fenomena silang-sengketa kepentingan pada kedua lembaga di atas nama rakyat yang menarik untuk dibongkar lebih jauh adalah: Mengapa DPR RI tetap memaksakan kehendaknya? Sementara pada saat yang sama, mengapa pula pemerintah justru tetap menolak atau tidak menggubrisnya? Bukankah kedua lembaga ini selalu mengklaim atas nama kepentingan rakyat? Oleh karena itu sesungguhnya kepentingan rakyat yang mana?

Pelbagai pertanyaan tersebut kalau boleh dikritisi untuk diidentifikasi jawabannya minimal harus dihampiri dengan dua pendekatan yakni pendekatan struktur kekuasan dan ekonomi politik. Pertama, secara struktur kekuasaan RUU FTZ Pulau Batam antara DPR RI dengan pemerintah dalam draf RUU FTZ tahun 2000 lalu, terbentur dalam persoalan kata ‘otorita’. Dalam kedua draf tersebut yang agak ganjil DPR RI tetap mempertahankan kata ‘otorita’, sementara pemerintah pusat tidak menggunakan lagi kata otorita. Artinya kalau boleh disederhanakan sesungguhnya pemeritah pusat mewakili aspirasi daerah yang memang tidak menghendaki lagi kehadiran ‘badan otorita’ yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Namun sebaliknya DPR RI masih tetap mempertahankan kata otorita. Ada apa ini?

Belajar dari terjadinya perbedaan pendapat dalam draf RUU FTZ dua tahun lalu itu memang dalam konteks struktur kekuasaan [siapa yang berkuasa], antara pemerintah dengan DPR RI sudah mengalami kemajuan.

Artinya kedua belah pihak yang sama-sama mengklaim atas nama rakyat sudah sepakat apabila gubernur adalah Ketua Badan Pengusaha Kawasan. Padahal sebelumnya dalam draf Tahun 2002 lalu DPR RI mengusulkan jika Ketua Dewan Kawasan adalah Menkoekuin dan gubernur [waktu itu Gubernur Riau] menjadi wakilnya. Sementara, waktu itu pemerintah pusat mengusulkan gubernur sebagai Ketua dan Wali Kota Batam menjadi wakilnya. Pertanyaannya: Mengapa dalam waktu hanya sebentar saja usulan dapat berubah-ubah, walaupun akhirnya diperoleh kesepakatan bersama yang menunjuk bahwa Gubernur Kepri sebagai Ketua Dewan Kawasan?

Kedua, secara ekonomi politik hukum persoalan yang tidak tuntas dan masih menjadi tarik-ulur adalah terkait luas kawasan FTZ antara menyeluruh Pulau Batam atau enclave [sebagian atau daerah kantong]. Menurut perspektif ekonomi politik hukum persoalan ini berkaitan erat dengan siapa mendapat apa. Artinya apabila FTZ Pulau Batam menyeluruh, siapa yang diuntungkan? Sebaliknya apabila FTZ diberlakukan sebagian kawasan tertentu saja [enclave] sesungguhnya siapa yang dirugikan?

Terkait dengan persoalan siapa mendapat apa inilah menurut hemat saya merupakan puncak ketidaksepakatan antara DPR RI dan pemerintah pusat yang terfokus dalam persoalan luas wilayah FTZ. Padahal sebelumnya di dalam draf RUU FTZ Tahun 2000 yang lalu, luas kawasan tidak menjadi persoalan signifikan yang menyebabkan silang sengketa antara DPR RI [Legislatif] dengan pemerintah [Eksekutif].

Berdasarkan konsep Pemerintah Pusat, Kawasan Batam adalah Daerah Kota Batam sesuai dengan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Sementara berdasarkan konsep DPR RI ada tiga [3] ayat yakni : (1) Kawasan Batam adalah Daerah Kota Batam sesuai dengan Undang Undang Nomor 53 Tahun 1999 yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap; [2] Untuk tahap pertama, kawasan Batam meliputi: Batam, Rempang, Galang, dan Belakang Padang; [3] Penentuan tahap berikutnya, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Berpijak berdasarkan draf tahun lalu tersebut sesungguhnya menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa justru saat ini yang menyebabkan silang-sengketa terkait dengan persoalan luas wilayah? Dalam pendekatan ekonomi politik hkum, persoalan ini

dilatarbelakangi dengan pertanyaan: Siapa mendapat Apa? Pertanyaannya: Mengapa DPR RI menghendaki luas wilayah secara menyeluruh sementara pemerintah hanya enclave? Faktor apa saja yang melatarbalakangi terjadinya perbedaan dan tarik-menarik ini, kalau bukan siapa mendapat apa? Artinya keuntungan atau kerugian apa yang didapat pemerintah [oknum yang memerintah] apabila FTZ menyeluruh atau sebagian? Siapa di balik atau di belakang yang membonceng kepentingan pemerintah tersebut? Kemudian, mengapa DPR RI menghendaki FTZ menyeluruh?

Pertanyaannya: Siapa sesungguhnya di belakang atau yang membonceng DPR RI yang sudah hampir habis masa jabatannya, tetapi tetap ‘memaksakan’ kehendak? Untuk menjawab pelbagai pertanyaan ekonomi politik hukum ini memerlukan waktu yang sangat panjang. Sebab pengalaman mengajarkan proses transaksi jual beli kepentingan atau perburuan rente ekonomi yang terjadi di Pulau Batam selama ini tidak pernah dapat diidentifikasi secara konkrit. Ini sama dengan masalah politik uang yang selalu mengemuka dalam setiap proses suksesi kepala daerah, tetapi tidak pernah dapat dibuktikan di hadapan hukum. Apalagi belakangan muncul rumor jika ‘perburuan rente ekonomi’ di Pulau Batam dilakukan secara kolektif, berjamaah dan bergotong-royong. Ini terindikasi akibat tidak satu pun kasus besar terkait korupsi, penyelundupan dan perjudian yang terungkap di Pulau Batam.

Bersandar dari analisis struktur kekuasaan dan pendekatan ekonomi politik hukum dalam persoalan FTZ: Pertanyaannya mau dibawa ke mana pembangunan Pulau Batam hari ini dan mada depan? Menurut hemat Saya memahami fenomena pembangunan Pulau Batam dengan kedua perspektif tersebut, hanya mencitrakan

sebuah kesan yang ambigu—berkarakter dua yang saling bertolak-belakang.

Kalau boleh meminjam pepatah, ‘Gajah bertarung dengan harimau, pelanduk mati di tengahnya’. Jadi kalau DPR RI *legislative+ ‘bertarung’ dengan pemerintah pusat *eksekutif+ lalu pertanyaannya, Siapa sesungguhnya yang calon menjadi pecundangnya? ***

EGARA yang selalu diklaim sebagai penguasa dalam arti

sempit [pemerintah] yang merupakan pembenaran mengabsahkan tindakan dalam konteks memproduksi sebuah kebijakan tidak selalu mutlak kebenarannya. Negara yang dalam arti sempit itu selalu dipersonifikasikan dengan pemerintah [eksekutif yakni presiden beserta jajaran kabinetnya] dinilai merupakan suatu badan yang bertugas membuat kebijakan dan terkadang selalu lupa untuk menyejahterakan masyarakatnya [rakyatnya]. Oleh kerana itu negara [pemerintah] tidak dapat dimengerti saja sebagai cerminan [yang mewakili] dari sifat atau pilihan sosial masyarakat. Dalam proses penyusunan kebijakan ternyata negara melakukan pelbagai hal untuk mencapai kepentingannya sendiri.

Dalam konteks pembangunan Pulau Batam penerbitan PP No.39 Tahun 1998 tentang, ‘Pemberlakuan PPN dan PPnBM di ‘kawasan berikat’ daerah industri Pulau Batam‛, di mana kebijakan tersebut merupakan bagian dari ciptaan negara yang juga merefleksikan kepentingan negara. Hanya saja pada kenyataannya penerbitan kebijakan itu mendapat penentangan [penolakan] dari sebagian [kalau tidak boleh dikatakan seluruhnya] masyarakat di Pulau Batam.

Adanya gerakan penentangan penerbitan PP tersebut berimplikasi langsung terjadinya gejolak ekonomi politik hukum maupun pelbagai tindakan anarkis yang mengakibatkan pemerintah menangguhkan perlakuan kebijakan berkenaan. Namun setelah ditunda beberapa kali tanpa sosialisasi, dan evaluasi terhadap pelbagai kebijakan yang dibuat pemerintah sendiri [pemerintah masa lalu maupun hari ini] di luar perkiraan banyak kelangan, pemerintah kembali memberlakukan PPN dan PPnBM di Pulau Batam, berdasarkan PP No.63 Tahun 2003 tentang, ‘Pemberlakuan PPN dan PPnBM di kawasan berikat [bonded zone] daerah industri Pulau Batam’.

Tulisan ini, bertujuan untuk menganalisa serta menelusuri

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 51-62)

Dokumen terkait