• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TEORI PENERIMAAN PESAN DAKWAH

B. Dakwah Sebagai Proses Komunikasi

Dakwah merupakan salah satu bentuk komunikasi, khususnya komunikasi yang bercorak keagamaan (religious communication). Seperti bentuk komunikasi pada umumnya, dakwah mengandung unsur pengiriman informasi atau pesan (massage), pengirim pesan (source, sender), penerima pesan (receiver), saluran (channel), serta pengaruh (effect).23

Kajian dakwah sebagai model komunikasi keagamaan telah mendapat perhatian para ahli komunikasi, khususnya para ahli komunikasi muslim. Mereka mengidentikkan dakwah sebagai bentuk komunikasi Islam.24 Hamid Mowlana, Gholam Khiabany, dan Muhammad I. Ayish menempatkan diskursus komunikasi Islam (Islamic communication) sebagai bentuk ‘perlawanan’ terhadap dominasi teori komunikasi Barat. Para pengusungnya bermaksud mengatakan bahwa Dunia Islam memerlukan teori komunikasi yang sesuai dengan nilai kebudayaan yang bersumber

20 Andi Faisal Bakti, “The Role of Higher Educations in Fostering Islamic Understanding, Peace, and Development: Communication Perspective,” dalam Comparative Education Terrorism and Human Security (New York: Palgrave Macmillan, 2003), h. 109-125; Andi Faisal Bakti, “Prophetic Communication Strategies: Risale-I Nur’s Perspective, Paper dipresentasikan pada The 10 International Badiuzzaman Symposium on “The Role and Place of Prophethood in Humanity’s Journey to the Truth: The Perspective of Risale-I Nur,” Turki, 22-24 September 2013; Andi Faisal Bakti, “The Integration of Dakwah in Journalism: Peace Journalism” Jurnal Ilmu Komunikasi Islam, vol. 5, no. 1, 2015, h. 186.

21 Lebih lanjut lihat Yoshita Miike, “Non Western Theories of Communication: Indigenous Ideas and Insights,” dalam Ling Chen (ed.), Intercultural Communication, (Berlin: Walter de Gruyter, 2017), h. 88.

22 Hamid Mowlana, Global Communication in Transition: the End of Diversity?, (New Delhi: Sage Publications Internasional Educational and Professional Publisher, 1996), h. 117.

23 Andi Faisal Bakti dan Venny Eka Meidasari, “Trendsetter Komunikasi Di Era Digital: Tantangan Dan Peluang Pendidikan Komunikasi dan Penyiaran Islam,” Jurnal Komunikasi Islam, vol 4, no. 1, 2014, h. 21-44

24 Komunikasi Islam merupakan bentuk integrasi antara Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi; Ilmu Dakwah yang diperkuat dengan landasan teoritis-filosofis Ilmu Komunikasi. Hal inilah yang membedakan antara Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam. Lihat Paparan Andi Faisal Bakti, “Applied Communication To Dakwah For Peace”, makalah dipresentasikan pada kuliah umum di Pascasarjana UIN Alauddin Makasar, 1 September 2009. Sumber: https://www.academia.edu/35657730/applied_ communication _for_dawa _for_peace.pdf. (diakses pada 28-02-2019. Jam 22.09); Nasrillah MG, “Perbandingan Teori Komunikasi Islam dan Barat,” Jurnal Warta, no 48, April 2016.

31

dari ajaran agama yang menjadi pedoman kehidupan umat Islam.25 Hamid Mowlana memandang bahwa pembentukan diskursus pengetahuan tentang komunikasi berasal dari pengalaman khas masyarakat Barat yang memiliki nilai dan keyakinan yang berbeda dengan masyarakat dunia di kawasan lain. Karenanya, masyarakat muslim, sebagai komunitas yang memiliki nilai, keyakinan, dan pengalaman yang berbeda pastinya memiliki perspektif yang berbeda. Mowlana berusaha menampilkan sejumlah pandangan yang dipercayainya sebagai dasar komunikasi Islam (foundation of communication in islamic societies).26 Dalam analisis Gholam Khiabany terhadap tawaran Mowlana, komunikasi Islam merupakan upaya dewesternisasi atau penolakan terhadap teori media Barat (de-westernizing media theory) atau perlawanan terhadap orientalisme.27 Sedangkan Muhammad Ayish menilai bahwa penolakan terhadap teori hasil pengalaman Barat ini muncul dan berangkat dari perspektif yang bercorak Islam-Arab.28

Di Indonesia, diskursus komunikasi Islam menemukan momentumnya bersamaan dengan perkembangan ide integrasi keilmuan yang muncul sejak tahun 80-an dan mengkristal pada tahun 2000-an yang ditandai dengan kemunculan sejumlah Universitas Islam Negeri (UIN). Pada era sebelumnya, di mana institusi ini bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dikenal Jurusan atau Fakultas Ilmu Dakwah. Model pengkajiannya meniru gaya kajian Timur Tengah yang berorientasi normatif. Pada perkembangannya, para sarjana yang terafiliasi dengan institusi ilmu dakwah merasa kurang puas menghadapi stagnasi keilmuan yang terjadi di dalamnya. Banyak di antaranya yang kemudian mengambil spesialisasi komunikasi yang dinilai memiliki unsur kesamaan. Dakwah adalah proses komunikasi. Karenanya, dakwah dapat didekati menggunakan pendekatan dan teori komunikasi. Menurut Imron Rosyidi, integrasi ilmu komunikasi dan ilmu dakwah membuka peluang terciptanya teori-teori atau konsep-konsep baru yang menajamkan operasionalisasi dakwah Islam. Diskusi ini melahirkan konsep baru yang disebut Komunikasi Dakwah atau Komunikasi Islam.29

25 Hamid Mowlana, “Theoretical Perspectives on Islam and Communication.” China Media Research, vol. 3, no. 4, 2007; Hamid Mowlana, “Foundation of Communication in Islamic Societies,” Mediating Religion: Conversations In Media, Religion And Culture, 2003, h. 305-316; Gholam Khiabany, “De-Westernizing Media Theory or Reverse Orientalism: Islamic Communication’as Theorized By Hamid Mowlana,” Media, Culture & Society, vol 25, no. 3, 2003, h. 415-422; Muhammad I. Ayish, “Beyond Western-Oriented Communication Theories A Normative Arab-Islamic Perspective,” Javnost-The Public: Journal Of The European Institute For Communication And Culture, vol. 10, no. 2, 2003, h. 79-92; Gholam Khiabany, “Is There an Islamic Communication?: The Persistence of ‘Tradition’ and The Lure Of Modernity,” Critical Arts: A Journal Of South-North Cultural Studies, vol. 21, no. 1, 2007, h. 106-124.

26 Hamid Mowlana, “Foundation Of Communication...,” h. 305-316.

27 Gholam Khiabany, “De-Westernizing Media Theory..., h. 415-422.

28 Muhammad I. Ayish, “Beyond Western-Oriented Communication...,” h. 79-92

29 Imron Rosyidi, “Komunikasi dan Dakwah: Ikhtiar Integrasi Keilmuan dan Urgensi Kekinian,” Jurnal Madania, vol. 5, no. 1, 2015; Suhaimi, “Integrasi Dakwah Islam dengan Ilmu Komunikasi,” Jurnal Miqot, vol. XXXVII, no. 1, Januari-Juni 2013.

32

Di sinilah kemudian dibuat diferensiasi dengan komunikasi pada umumnya di mana komunikasi Islam menaruh perhatian pada cara dan tujuan yang hendak dicapai.30 Pesan yang dikirim adalah nilai-nilai Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah. Pengirimnya adalah individu Muslim yang berupaya menyebarkan dan mengajak orang lain untuk menerima ajaran Islam. Saluran yang digunakan dapat menyesuaikan dengan perkembangan kebudayaan dan teknologi dalam suatu masyarakat. Pengaruh atau efek yang ditimbulkan adalah sikap semakin religius seseorang yang menjadi obyek dakwah dengan beragam ekspresinya. Di sini, kita bisa melihat bahwa dalam proses dakwah beberapa unsur yang penting dianalisis adalah meliputi pesan, pengirim pesan (sender), dan penerima pesan (komunikan), saluran pengiriman (channel), dan tentu efek yang ditimbulkan (effect).

Dalam ilmu komunikasi modern, skema sistemik komunikasi ini muncul secara bertahap. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan ilmu komunikasi secara umum, di mana pada mulanya teori komunikasi lebih banyak memberikan penekanan pada pengirim pesan dan cenderung bersifat satu arah. Lalu secara bertahap para ahli memberikan penekanan untuk menganalisis saluran yang digunakan dalam komunikasi, bersamaan dengan dengan munculnya berbagai teknologi komunikasi yang menciptakan model komunikasi massa. Kemunculan teknologi komunikasi, baik elektronik seperti radio dan televisi atau cetak seperti koran dan majalah, telah membantu perkembangan ilmu pengetahuan, penyebaran informasi yang lebih luas dan dengan cara yang sangat efektif. Namun, belakangan dengan semakin tumbuhnya demokrasi, sikap kritis individu, dan independensi masyarakat, pesan yang diterima tidak selalu diterima sesuai dengan kehendak pengirimnya. Di sini kemudian, muncul studi yang luas untuk memotret model penerimaan individu dan masyarakat terhadap suatu pesan yang dikirim melalui proses komunikasi.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih detail, ada baiknya jika kita mengulas sekilas lima model/teori komunikasi yang banyak dikenal dalam studi komunikasi, lalu secara bertahap akan kita akan mulai mendiskusikan posisi penerima pesan (receiver, komunikan) dalam studi komunikasi dan budaya.

Studi komunikasi mengenal setidaknya lima model komunikasi yang meliputi model retoris (rhetorical model), model komunikasi Lasswell, model komunikasi antarpribadi ala Wilbrum Scramn, model komunikasi dua tahap (two step flow model), dan model komunikasi Stimulus-Respons (S-R).

Pertama, model retoris (lihat pada gambar 0.2) yang merupakan model komunikasi yang pertama dikenal dalam studi komunikasi. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno. Ciri utama komunikasi retoris adalah penekanan pada pendekatan persuasi dalam berkomunikasi. Dalam komunikasi retoris, terdapat tiga unsur dasar proses komunikasi yang meliputi: pembicara (speaker), pesan (massage), dan pendengar (listener). Komunikasi bermula dari seorang pembicara yang menyampaikan sebuah pesan. Pesan tersebut kemudian diterima oleh pendengar. Komunikasi persuasi dapat efektif jika dalam model komunikasi ini terpenuhi tiga unsur utama yang meliputi: ethos, logos, dan

30 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 39.

33

panthos. Ethos adalah unsur keterpercayaan yang terdapat dalam diri pembicara. Keterpercayaan dibangun dari kapasitas individu dan kekuatan argumen. Logos mencakup kekuatan argumen yang disampaikan dalam pembicaraan. Sedangkan panthos adalah upaya memainkan emosi massa. Terpenuhinya ketiga unsur di atas merupakan faktor penting untuk menjadikan sebuah komunikasi efektif. Berikut adalah skema komunikasi Aristoteles:

Gambar 0.2. Alur model komunikasi retoris

Para ahli komunikasi menilai model ini sangat sederhana jika dibandingkan dengan model-model komunikasi yang dikemukakan para teoritikus komunikasi yang lebih belakangan. Hal ini karena alur komunikasi hanya memperhatikan tiga unsur komunikasi: pembicara, pesan, dan pendengar. Padahal dalam komunikasi terdapat unsur saluran, dampak, gangguan komunikasi, umpan balik, dan faktor non-verbal yang sangat mempengaruhi proses komunikasi. Hal ini wajar mengingat pada era perumusan model ini belum berkembang teknologi komunikasi seperti dikenal di era modern.

Kedua, model komunikasi Lasswell (lihat dalam Gambar 0.3). Harold D. Lasswell adalah seorang ahli ilmu politik dari Universitas Yale. Dia mendeskripsikan proses komunikasi melalui lima pertanyaan yang perlu ditanyakan dan dijawab dalam sebuah proses komunikasi: who (siapa), say what (mengatakan apa), in wich medium (dalam media apa), to whom (kepada siapa), dan what effect (apa efeknya). Sederhananya, model komunikasi Lasswell mengharuskan adanya pengirim pesan, pesan, sarana, audien dan efek. Berikut skemanya:

Gambar 0.3 Alur model komunikasi Lasswell

Pembicara atau pengirim pesan dapat berbentuk seorang individu atau kelompok orang seperti organisasi atau persatuan. Pesan adalah materi yang disampaikan dalam sebuah komunikasi. Saluran merupakan alat menyampaikan pesan seperti berbicara, gerakan badan, kontak mata, sentuhan, radio, televisi, surat,

Pembicara Pesan Pendengar

34

buku, dan gambar. Alat komunikasi ini bersifat kontekstual, dalam arti tidak semua cocok digunakan dalam semua situasi. Audien adalah para penerima pesan. Sedangkan efek adalah akibat yang ditimbulkan dari sebuah proses komunikasi. Efek terdiri dari dua hal: apa yang ingin dicapai dari hasil sebuah komunikasi dan apa yang dilakukan oleh audien dari komunikasi tersebut. Di sini, yang perlu diperhatikan adalah perilaku audien sangat mungkin dipengaruhi oleh hasil komunikasi, tetapi tidak menutup kemungkinan ada sesuatu di luar komunikasi yang berperan membentuknya.31

Jika dibandingkan dengan model Aristoteles, terdapat dua unsur tambahan yang disadari tidak kalah penting dibanding lainnya. Model Aristoteles menekankan pembicara, pesan, dan audien, sedangkan Lasswell menambahkan saluran dan efek. Sekalipun sudah ada kesadaran akan keberadaan efek, tetapi masih ada asumsi bahwa komunikasi bersifat satu arah dan menganggap subyek bersikap pasif (hanya menerima dan tidak melakukan penafsiran atau penyaringan informasi). Sekalipun demikian, model Lasswel menjadi kunci penting yang membuka studi lebih luas terhadap dampak komunikasi pada audien.

Ketiga, model Schramm (lihat Gambar 0.4). Model ini pada mulanya menekankan pada peran penting pengalaman dalam membentuk efektifitas komunikasi. Pengalaman akan menentukan apakah sebuah pesan yang dikirim akan diterima oleh audien sesuai dengan keinginan pengirim pesan. Belakangan, Schramm menambahkan peran penting balikan dari penerima pesan. Dengan demikian, Schramm mengembangkan model komunikasi dua arah. Inilah yang membedakan antara model Scharamm dengan model retoris dan Lasswell.

Para ahli komunikasi menyebut model Schramm dengan istilah komunikasi antar-personal. Dalam model ini, seorang penerima pesan (decoder, penerima sandi) akan melakukan penafsiran (interpretasi) terhadap pesan yang diterimanya dari pengirim pesan (encoder, penyandi). Dalam proses penafsiran ini timbul pemahaman dari kedua belah pihak. Apa maksud sebuah pesan dan tujuannya. Pemahaman yang diperoleh dapat bersifat positif jika kedua belah pihak membicarakan kepentingan yang sama, memberikan solusi, tujuan bersama, dan disampaikan menggunakan cara baik serta sopan. Pemahaman negatif akan diperoleh jika dalam pembicaraan hanya untuk kepentingan diri sendiri atau disampaikan dengan cara yang kurang etis. Model komunikasi antar-pribadi memiliki dua karakter utama. Pertama, selalu melalui beberapa tahapan. Dimulai dari interaksi awal sampai pada tahap pemutusan (dissolution). Kedua, hubungan antar-pribadi berbeda-beda dari sisi keluasan (breadth) dan kedalaman (depth).32 Berikut adalah skema model komunikasi Schramm.

31 Zachary S. Sapienza, Narayanan Iyer & Aaron S. Veenstra, “Reading Lasswell’s Model Of Communication Backward: Three Scholarly Misconceptions,” Mass Communication And Society, 2015, Doi:10.1080/15205436.2015.1063666

32 Sapienza, Zachary S., Et Al. “The Transmission Model Of Communication: Toward A Multidisciplinary Explication,” Etc.: A Review Of General Semantics 73/4, 2016, h. 321.

35

Gambar 0.4 Alur komunikasi model Scharmm

Skema komunikasi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) pada mulanya komunikator menafsirkan ide yang akan dikomunikasikan dengan cara membuat sandi atau kode tertentu (mengkode/menyandikan) dalam sebuah pesan. Proses intepretasi ini sangat tergantung dari pengalaman lapangan (field experience) dan kondisi psikologis komunikator. Pesan inilah yang kemudian dikirim kepada komunikan. Tahap berikutnya, (2) komunikan menerima kode (mendekode) pesan tersebut lalu menafsirkannya sehingga ia memahami gagasan yang dikirim oleh komunikator. Berikutnya, (3) terkadang komunikan memberi reaksi atas gagasan yang diterimanya sehingga ia menerjemahkan gagasannya dengan cara mengubahnya menjadi sebuah sandi dalam bentuk pesan dan dikirimkan kembali sebagai umpan balik. Dalam proses ini komunikan dapat berposisi menjadi komunikator. Menurut Schramm, proses komunikasi semacam ini berjalan tanpa henti antara komunikator dengan komunikan yang masing-masing dapat berganti posisi. Menurut Nuryanto, model proses komunikasi Schramm di atas memiliki kelemahan. Model Schramm terlalu sederhana karena hanya melibatkan dua pihak. Padahal, dalam proses komunikasi ada banyak model seperti pengirim pesan berjumlah lebih dari seorang dan penerima pesan hanya satu orang, atau pengirim pengirim pesan satu orang sedang penerima pesan adalah banyak orang. Fenonema semacam ini tak dapat diakomodir dalam skema komunikasi Schramm.33

Keempat, model komunikasi dua tahap (two step flow model) (lihat gambar 0.5). Model ini dikembangkan oleh Paul Lazarsfeld dan Elihu Katz. Intinya, komunikasi ini diawali dengan sebuah komunikasi massa dan berlanjut dengan komunikasi antarpersonal. Komunikator pertama menyampaikan pesan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Komunikan kemudian menerima pesan tersebut dan menyampaikannya kepada khalayak melalui komunikasi antar personal secara tatap muka. Bisa pula pada tahap awal tidak melalui komunikasi massa, namun sumber pertama menyampaikan pesannya kepada (beberapa) orang melalui

33 Nuryanto, “Ilmu Komunikasi Dalam Konstruksi Pemikiran Wilbur Schramm,” Jurnal Komunikasi Massa, vol. 4, no. 2, Juli 2011, h. 1-16

Penyandi

Interpreter

Penerima

sandi

Penerima Sandi Interpreter Penyandi Pesan Pesan

36

komunikasi antarpersonal atau kelompok. Lalu setiap anggota kelompok menyampaikan kembali pesan yang telah diterima kepada orang lain dalam berbagai kesempatan dan tempat secara tatap muka. 34

Model ini merupakan teoritisasi lebih lanjut, setelah muncul media massa dan studi tentang komunikasi massa, dan muncul individu-individu yang menaruh perhatian lebih padanya sehingga muncul kelompok masyarakat yang terpapar informasi. Pada akhirnya, “kelompok terpapar” ini menjadi semacam pengendali opini (opinion leader) yang memiliki karakter utama: menerima pesan lalu menginterpretasikannya sesuai cara pandang dan pengalaman personal. Ia kemudian menyampaikannya kepada individu-individu lain secara antarpersonal, mungkin menggunakan bahasa, pengalaman, serta contoh-contoh yang sangat lokalistik dan kontekstual sesuai komunitasnya.35

Gambar 0.5 Alur komunikasi model dua tahap

Kelima, model komunikasi Stimulus-Respon (S-R) (lihat gambar 0.6). Model ini berangkat dari studi psikologi aliran behaviorisme dan menekankan pada hubungan aksi-reaksi sederhana antara memberi stimulus dan respon yang diberikan terhadap stimulus tersebut. Model ini mengasumsikan bahwa kata-kata verbal (lisan-tulisan), isyarat non verbal, simbol, gambar dan tindakan tertentu akan dapat merangsang orang lain untuk memberikan respon dengan cara tertentu. Dalam

34 Lihat uraian Dennis K. Davis, “Two-Step and Multi-Step Flow,” dalam Stephen W. Littlejohn Dan Karen A. Foss (ed.), Encyclopedia Of Communication Theory, (London: Sage Publication, 2009), h. 696.

35 Dennis K. Davis, “Two-Step and Multi-Step...,” h. 696.

komunikator Pesan Media Komunikan/opinion leader

Komunikan

Komunikan

Komunikan

Komunikan Komunikan

37

Model S-R, komunikasi dapat terjadi secara timbal-balik serta memiliki efek yang beragam. Masing-masing efek dapat mempengaruhi tindakan komunikasi setelahnya. Model S-R dapat berlangsung secara positif dan negatif. Para ahli komunikasi mengkritik model ini karena mengabaikan faktor manusia yang memiliki keinginan serta kehendak yang bebas. Model ini dinilai memperlakukan manusia secara statis. Secara sederhana, berikut adalah skema komunikasi S-R:

Gambar 0.6 Alur komunikasi S-R

Stimulus Respon

Kelima model komunikasi di atas memiliki tiga karakteristik dasar yang sama. Pertama, kelimanya sepakat menekankan peran penting pengirim pesan (sender). Kedua, sebagai implikasi penekanan terhadap yang pertama, menempatkan penerima pesan (receiver) dalam posisi subordinat. Hal ini ditandai dengan kurang diperhatikannya adanya dilema-dialektis dalam pikiran penerima dan lebih-lebih dialektika interpersonal antara sesama penerima pesan. Kelima model kurang memperhatikan bahwa dalam struktur komunikasi, terkadang juga terjadi saling komunikasi antar penerima. Ketiga, paradigma ini menciptakan struktur komunikasi yang bercorak hierarkhis-vertikal. Analisis terhadap proses komunikasi menitikberatkan pada hubungan atas-bawah, bukan sebuah pola komunikasi antar sesama yang setara-horizontal. Hal ini dibuktikan dengan minimnya analisis terhadap dinamika pemikiran/batin penerima pesan dan antar penerima pesan secara interpersonal. Sekalipun sebenarnya, posisi penerima pesan mulai cukup diperhatikan dalam model-model komunikasi seperti dalam tiga model komunikasi terakhir (model Schramm, two step flow, dan S-R).

Ketiga model terakhir, setidaknya mulai menyadari receiver sebagai pihak yang punya peran penting dalam sistem komunikasi. Sekalipun demikian, ketiganya masih fokus pada peran pengirim pesan. Di sinilah kemudian muncul kecenderungan baru dalam studi komunikasi yang memberikan posisi lebih strategis terhadap receiver dalam proses komunikasi. Kecenderungan ini sebagai ditawarkan oleh misalnya Stuart Hall, Lee Thayer, René Jean Ravault, dan Andi Faisal Bakti (lihat Tabel 0.1). Para sarjana yang disebut belakangan mengembangkan apa yang disebut teori penerimaan aktif (active-reception) yang sangat memusatkan perhatiannya pada penerima pesan dibanding pengirim. Teori ini bahkan dikembangkan sampai pada tahap mengabaikan peran penting pengirim pesan (source can be removed). Para penerima pesan membuat penafsiran tersendiri terhadap pesan yang diterimanya melalui proses komunikasi interpersonal.

Tabel 0.1 Model komunikasi, tahapan, dan faktor terpenting

No. Model Tahapan Faktor Terpenting

01. Retorik Satu alur Sumber sangat dominan

02. Lasswell Satu alur Sumber sangat dominan

03. Scrhamm Dua arah Interaktif, sumber masih dinilai

penting 04. Two step flow

model

38

05. S-R Dua arah,

hierarkhis

Interaktif, sumber masih dinilai penting

06. Penerimaan Aktif Dua arah, horizontal

Interaktif, sumber dinilai tidak penting