• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TEORI PENERIMAAN PESAN DAKWAH

E. Konsep Kunci Teori Penerimaan Aktif

Teori penerimaan memiliki banyak tokoh, tetapi lingkaran penerimaan aktif memiliki tokohnya sendiri. Di antara yang mengembangkan diskursus ini adalah Lee Thayer, Rene Jeane Ravault, dan Andi Faisal Bakti. RJ Ravault menggunakan teori boomerang effect salah satunya untuk memotret fenomena terorisme (lihat gambar 0.7). Melalui teori ini ia melihat bahwa media Amerika Serikat memiliki peran tidak langsung dalam menumbuhkan rasa cemburu dan frustasi dari masyarakat non-Amerika yang berpuncak pada kebencian terhadap negara tersebut. Hal ini karena, menurut Ravault, media Amerika terlalu berlebihan dalam membangun citra tentang

63 Lihat dalam makalah Stuart Hall, “Encoding and Decoding in The Television Discourse,” dalam seminar “Training on The Critical Reading of Televisual Leanguage”, di Universitas Leicester, 1973.

45

Amerika yang serba sempurna melalui kampanye global tentang kebebasan, toleransi, demokrasi, hak asasi manusia, dan seterusnya. Melalui kampanye global (baca: globalisasi), media-media Amerika berhasil membangun citra Amerika yang ideal, menarik minat banyak orang dari berbagai negara untuk bermigrasi ke sana, atau setidaknya mengenyam Pendidikan tinggi di sana.

Namun dampak yang tak disadari, ketika para mahasiswa berangkat ke Amerika dan para imigran menetap di sana, teknologi komunikasi buatan Amerika masih menghubungkan mereka dengan dunia lama mereka yang memiliki sistem kebudayaan, pandangan dunia, worldview atau weltanschauung yang berbeda. Worldview inilah yang membuat mereka menolak segala citra Amerika yang dibentuk media. Di sinilah kemudian para imigran itu tidak terintegrasi secara total dengan nilai-nilai lokal Amerika, karena pada akhirnya mereka hanya terhubung dengan orang-orang yang bicara dengan bahasa yang sama, mengakses siaran televisi yang berasal dari negara mereka, dan seterusnya. Tidak pernah terjadi integrasi sosial. Ravault mengakui bahwa tidak sedikit yang berhasil melakukan integrasi sosial dengan masyarakat lokal Amerika. Mereka mungkin puas karena harapan mereka untuk menjadi Amerika telah berhasil sesuai ekspektasi mereka.

Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat sejumlah orang yang digambarkan justru frustasi dengan kondisi sebenarnya di Amerika. Ravault mengangkat tokoh Sayid Quthb, tokoh Ikhwanul Muslimin terkemuka dari Mesir. Ia mendapatkan pendidikan Barat di negerinya. Puncaknya adalah ia mengunjungi pusat peradaban Barat, Amerika Serikat. Tetapi kunjungannnya ini memutarbalikkan seluruh pandangannya tentang Amerika yang ideal. Menurutnya klaim penghargaan terhadap kemanusiaan, nilai yang diagungkan Barat, tidak lebih ideal dibanding yang ditawarkan Islam. Apa yang ditawarkan peradaban Barat justru merendahkan derajat kemanusiaan yang disebutnya sebagai peradaban jahiliyah. Beberapa pelaku serangan 11 September juga merupakan orang-orang yang belajar menerbangkan pesawat di Amerika. Osama bin Laden, pemimpin teroris anti-Amerika terkemuka, adalah orang yang selama mudanya hidup dengan cara orang-orang Barat. Orang-orang yang disebut ini telah terpapar informasi tentang Barat, sebagaimana ditampilkan oleh pemerintah, industri dan media Amerika yang kapitalistik. Namun, sikap yang mereka tunjukkan justru berseberangan dengan tujuan kampanye keagungan Amerika yang ditampilkan media. Inilah efek boomerang yang ingin ditunjukkan RJ. Ravault.

46

Gambar 0.7 Model Efek Bumerang RJ. Ravault

Di sini kita bisa melihat bahwa Ravault memandang bahwa worldview atau weltanschauung (pandangan dunia) bekerja menjadi penyaring informasi bagi para penerima pesan dari negara-negara dunia ketiga. Para penerima pesan ini kemudian mengubah makna pesan yang dikirim oleh media Amerika sebagai bentuk-bentuk ‘kejahiliyahan’ yang harus ditinggalkan dan bahkan harus dilawan. Dalam kasus para ekstremis, kampanye kemanusiaan dan demokrasi yang diagung-agungkan Amerika tidak sesuai dengan kenyataan di negara-negara Muslim, di mana Amerika justru membuat kebijakan yang menyengsarakan umat Islam. Di sini, para ekstremis menggunakan logika keadilan untuk membaca kampanye global media Amerika. Ketika hal itu tidak memiliki tingkat koherensi, ekspektasi mereka terhadap Amerika berubah menjadi pemaknaan yang justru berseberangan dengan yang diinginkan oleh para pemilik media sebagai pengkode pesan. Ravault menulis,

Most mass communication theoreticians consider that whomever owns the media controls the content and, more importantly, their effect upon audiences, whatever the cultural background of the members of the audiences could be. However, a closer look shows that when foreign recipients take into account American-made mass communication products, they transform them simultaneously into significant and relevant ‘messages’. The memory they keep of these products and the meaning they get out of them are co-constructed by the recipients’ ‘weltanschauung’, or world view. This weltanschauung of foreign recipients has been shaped, structured,

Kampanye global media tentang Amerika

Para penerima pesan dari berbagai negara berkembang Efek: Menarik pendatang, baik untuk belajar maupun menetap (imigran). Banyak pendatang merasa harapannya terwujud dengan datang ke Amerika; mereka terintegrasi dengan masyarakat dan budaya Amerika

Namun ada pula yang justru menegosiasikan, bahkan menolak budaya Amerika karena dianggap bertentangan dengan world view tradisional mereka. Hasilnya yang paling ekstrem adalah munculnya para teroris anti-Amerika.

Fenomena Bullet effect

Fenomena boomerang effect

47

and programmed through previous faceto-face, coercive and seductive, interactions with the significant members of their communication networks that constitute their community of identification.

(Sebagian besar ahli teori komunikasi massa menganggap bahwa siapa pun yang memiliki media bisa mengendalikan konten dan, yang lebih penting, pengaruhnya terhadap audiens, apa pun latar belakang budaya anggota audiens. Namun, pandangan yang lebih dekat (kepada kebenaran) menunjukkan bahwa ketika penerima asing memperhitungkan produk komunikasi massa buatan Amerika, mereka mengubahnya secara bersamaan menjadi 'pesan' yang signifikan dan relevan. Memori yang mereka simpan dari produk-produk ini dan makna yang mereka peroleh dari produk-produk tersebut dibangun bersama oleh 'weltanschauung' penerima, atau pandangan dunia. Weltanschauung dari penerima asing ini telah dibentuk, disusun, dan diprogram melalui wajah-wajah sebelumnya, interaksi koersif dan menggoda, dengan anggota signifikan dari jaringan komunikasi mereka yang membentuk identifikasi komunitas mereka).64

Sebagai akibat dari keberhasilan pendekatan koersif (tekanan) dan seduksi (godaan, rayuan) anggota jaringan komunikasi di lingkungan lama yang bersifat interpersonal, para imigran penerima pesan asing ini memahami produk media Amerika melalui kerangka yang telah dibentuk sebelumnya. Ravault menulis,

Consequently, the way foreign recipients select American media and decode their contents depends much more upon the coercive and seductive power of the significant members of the interpersonal networks that structure their community of origin than upon the alleged ‘might’ of the American communication media and products.

(Akibatnya, cara penerima asing memilih media Amerika dan mendekodekan isinya lebih tergantung pada kekuatan koersif dan seduktif dari anggota penting jaringan interpersonal yang menyusun komunitas asal mereka daripada pada dugaan 'kekuatan' media dan produk komunikasi Amerika).65

Dengan demikian, efek boomerang sebenarnya timbul karena adanya informasi lain yang telah lebih dahulu dikonsumsi oleh para penerima pesan dari negara lain itu. Informasi itu diinjeksikan ke dalam pikiran penerima pesan melalui strategi koersif dan seduksi. Koersif sendiri merupakan upaya mempengaruhi audiens dengan menggunakan tekanan atau mungkin paksaan yang bersifat intimidatif. Sedangkan strategi seduksi berarti upaya mempengaruhi audiens dengan tindakan rayuan dan godaan, bisa saja dilakukan dengan mendorongnya melalui janji-janji, imbalan, dan lain sebagainya. Koersif untuk kasus para ekstremis bisa berarti mereka ditekan sedemikian rupa dengan berbagai stigma seperti jika enggan bergabung, maka mereka akan dicap sebagai antek-Amerika, pengkhianat, tidak loyal terhadap budaya dan nilai-nilai tradisional komunitas mereka. Stigmatisasi semacam ini akan sangat berat bagi calon ekstremis yang berharap bisa menjadi bagian dari elit di komunitas. Seduksi bisa jadi menggunakan janji-janji spiritual seperti kematian sebagai seorang syahid, jaminan masuk surga, kebanggaan sebagai

64 René Jean Ravault, “Is there a Bin Laden in the Audience? Considering the Events of September 11 as a Possible Boomerang Effect of the Globalization of US Mass Communication,” Prometheus, vol. 20, no. 3, 2002.

48

anggota komunitas yang setia, dan lainnya. Apapun itu, sebenarnya hal ini akan sangat berpengaruh dalam diri para audiens karena dilakukan secara individual dan interpersonal, tidak melalui strategi komunikasi massa sebagaimana dilakukan oleh media Amerika. Tingkat kedekatan individual ini pada akhirnya membuat kerangka acuan dalam menilai informasi yang mereka dapatkan dari media Amerika. Hasilnya, bisa ditebak bahwa mereka lebih mempercayai apa yang dikatakan orang-orang dalam komunitasnya daripada informasi media Amerika. Inilah kekuatan koersif dan seduksi yang mampu membuat seseorang menolak informasi dari pihak asing.

Menurut Ravault, koersif dan seduksi yang dalam istilahnya sering disebut secara akronimis “koer-seduksi”66 merupakan pilar utama dalam teori audiens aktif (istilah yang dipilih Ravault untuk menyebut resepsi aktif). Ravault memang sangat konsern terhadap diskursus koer-seduksi ini. Bagaimana Ravault menggunakan konsep ini lebih jauh? Dalam ulasannya tentang kolonialisme kebudayaan, Ravault memotret fenomena globalisasi budaya yang dilakukan sejumlah negara maju, khususnya Amerika Serikat, melalui berbagai produk komunikasinya. Pada mulanya adalah budaya lokal tertentu, tetapi negara dan industri melihatnya sebagai komoditas budaya yang memiliki nilai jual.

Dengan demikian, motif ekonomi mendominasi kepentingan negara dan industri Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa motif politik terhadap negara-negara di dunia, khususnya negara-negara-negara-negara yang pernah menjadi rival Amerika selama Perang Dunia II seperti Jerman dan Jepang. Komodifikasi budaya semacam ini terkadang dilakukan negara tanpa mempertimbangkan produsen budaya itu sendiri. Artinya, negara sebenarnya mengabaikan peran para penduduk lokal yang menjadi produsen budaya tersebut, dan mengembangkan sendiri kebutuhan, agenda, dan tujuannya dalam mengekspor kebudayaannya ke dunia internasional melalui komunikasi globalnya. Semangat eksibisionis ini memang menempatkan nilai-nilai Amerika dikenal di pentas global, dan selanjutnya menempatkan Amerika mempraktikkan penjajahan kebudayaan.

Amerika sama sekali tidak memperhatikan bagaimana kebudayaan yang menjadi pesan yang mereka kirim ke berbagai kawasan diterima atau dimanfaatkan. Para ahli komunikasi melihat hal ini hanya akan memperkuat hegemoni Amerika terhadap dunia yang kebudayaannya telah didominasi oleh kebudayaan Amerika. Tanpa disadari hal ini telah menimbulkan kolonialisme kebudayaan negara importirnya. Disebut kolonialisme karena Amerika memaksakan imajinasi kolektifnya kepada penduduk-penduduk di kawasan lain agar bermimpi seperti seperti mimpi Amerika. Memandang negara-negara penerima kebudayaan Amerika hanya bersikap pasif adalah sebuah kesalahan. Karena nyatanya, negara penerima memiliki sikap yang beragam. Meminjam konsep keragaman tipologi penerimaan yang dikembangkan Stuart Hall, Ravault membagi negara penerima dalam tiga tipe.67

66 René Jean Ravault, “Colonialisme Culturel et ‘Coerséductions’ Autochtones,” Communication Information Médias Théories, vol. 8, no 1, 1986, h. 54-106

49

1. Negara yang menerima produk komunikasi Amerika sesuai dengan cara dan tujuan Amerika meng-kode-kannya. Penerimaan pesan dengan pola semacam ini terjadi di negara-negera maju, negara Dunia Pertama, seperti Inggris, Prancis, Jerman dan Jepang. Terutama di kalangan masyarakat kelas menengah di negara-negara tersebut, terjadi penerimaan gaya hidup Amerika sedemikian rupa. Ciri utamanya adalah menerima kebudayaan lain secara lebih terbuka, khususnya negara yang lebih maju, dan menjadi negara terbuka yang kebudayaannya diekspor ke negara-negara lain. Hampir tidak ada ketakutan bahwa kebudayaan mereka akan digunakan pihak asing untuk tujuan yang dapat menghancurkan kehidupan mereka sendiri.

2. Negara yang melakukan ‘negosiasi’ dalam menerima produk

komunikasi/kebudayaan Amerika. Pada umumnya, negara-negara Dunia Kedua seperti negara-negara di kawasan Skandinavia dan Catalonia, Spanyol. Karakter utama negara negosiasi ini adalah mereka mengimpor produk komunikasi negara maju, tetapi mereka bersikap tertutup agar kebudayaan mereka tidak terekspos keluar. Mereka bisa memahami bahasa Inggris sebagai bahasa global, tetapi masyarakat global tidak mempunyai akses terhadap bahasa dan budaya mereka karena memang mereka tidak melakukan ekspor kebudayaan ke kawasan lain. Dengan cara demikian, negara-negara ini dapat menjaga diri mereka dari kekhawatiran penggunaan unsur-unsur kebudayaannya untuk menyerang mereka.

3. Negara-negara yang mengembangkan sikap perlawanan-oposisional. Pada umumnya didominasi oleh negara-negara Dunia Ketiga atau Keempat yang memiliki jarak menganga cukup lebar dalam aspek kesejahteraan. Di antaranya adalah kawasan Amerika Latin dan Asia. Di Amerika Latin, globalisasi kebudayaan Amerika dilawan dengan menggunakan narasi Teologi Pembebasan, suatu doktrin perlawanan yang dibangun di atas dasar doktrin keagamaan Katolik yang dikombinasikan dengan semangat perjuangan kelas Marxisme. Di Iran, globalisasi yang pada awalnya diterima oleh Rezim Syah Reza Pahlevi, mulai mendapat perlawanan dari kalangan kiri dan islamis yang dipimpin oleh Ayatullah Khomaini. Indonesia, di bawah kepemimpinan Soekarno, mengembangkan semangat berdikari dalam politik, ekonomi, dan kebudayaan, yang menolak kampanye kebudayaan Amerika sebagai upaya yang justru membangkitkan semangat revolusioner pasca perang kemerdekaan.

Amerika dengan segala kampanye global akan kebesarannya justru menyebarkan citra yang dapat membuat orang frustasi dan cemburu, di mana hal ini dapat membangkitkan perlawanan terhadap Amerika. Amerika Latin, Iran, dan Indonesia menggunakan saluran komunikasi yang bisa dikatakan tradisional, sangat mengandalkan komunikasi interpersonal dibanding teknologi modern, yang sekalipun demikian dibingkai dalam modus koerseduksi yang kuat. Tekanan komunitas dan bujukan kesetiaan terhadap nilai-nilai perjuangan bangsa menjadi pengikat yang kuat agar para

50

anggota komunitas memandang informasi yang datang dari luar dengan sikap penuh curiga lalu menjadikan suara komunitas sebagai rujukan untuk memberikan penilaian.

Koerseduksi bekerja menanamkan nilai-nilai komunitas ini. Dengan

menggunakan nilai-nilai atau dalam istilah Ravault disebut

worldview/weltanschauung, mereka akan menganggap produk komunikasi asing sebagai ancaman terhadap komunitas. Di sinilah terjadi efek boomerang di mana para penerima pesan di negara-negara Dunia Ketiga menggunakan produk informasi Amerika sebagai senjata untuk melawan balik keinginan Amerika. Produk komunikasi Amerika, yang diandaikan Amerika sebagai alat untuk menyatukan pandangan dengan berbagai kepentingan Amerika, justru digunakan untuk menolak Amerika.

Ravault menyamakan sikap negara-negara berkembang oposisi ini dengan sikap para tantara Nazi-Jerman yang menghadapi berakhirnya kekuasaan mereka. Menghadapi propaganda sekutu yang massif, Nazi tidak ingin tentaranya turun moral juangnya. Karena itu, mereka menggunakan materi propaganda Sekutu sebagai alat untuk menciptakan ketakutan dan kebencian terhadap musuh. Akibatnya adalah tantara Nazi masih rela berperang dan melakukan aksi bunuh diri terakhir sebelum kejatuhan pemerintahan mereka.

Setelah Perang Dunia II berakhir, Jerman dan Jepang sebagai bekas rival Amerika dalam Perang Dunia II, sebenarnya juga mengembangkan strategi perlawanan tetapi dengan cara menerima untuk mendapatkan keuntungan. Baik Jerman maupun Jepang sangat terbuka terhadap produk komunikasi kebudayaan Amerika, tetapi mereka menggunakannya untuk membangun negaranya. Bisa jadi Amerika merasa bahwa kebudayaan mereka diterima di kedua negara, keduanya menjadi negara mitra yang strategis, dan dengan demikian terjadi dominasi yang menguntungkan Amerika. Tetapi bagaimana pun, Jerman dan Jepang memiliki agendanya sendiri yang bukan agenda setting Amerika.68

Ravault menekankan peran penting worldview yang ditanamkan oleh jaringan interpersonal dan pendekatan yang koerseduktif (tekanan dan rayuan). Tetapi, Lee Thayer memiliki penjelasan yang berbeda mengapa receiver dapat memiliki kesadaran untuk menyaring pesan.

Thayer membangun teorinya dari keyakinan bahwa seluruh bagian alam semesta yang kita kenal pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat sistemik. Setiap bagiannya merupakan sub sistem dari sistem yang lebih besar. Masing-masing tidak berdiri sendiri, baik sub sistem itu adalah bagian dari dunia organisme maupun non organisme. Demikian pula proses komunikasi pada dasarnya merupakan bentuk sistem. Setidaknya terdapat tiga sub sistem di dalamnya yang meliputi data, informasi, dan komunikasi itu sendiri. Inilah bagian utama dalam

51

sistem komunikasi manusia, yang dibedakan dari sistem komunikasi lainnya. Dalam sistem komunikasi manusia, terdapat tiga unsur prinsipil yang bekerja seperti budaya dan bahasa simbolik, transformasi yang bersifat transaksional, dan konteks yang memberi peluang. Sistem komunikasi manusia bersifat terbuka. Bahkan Thayer menegaskan, sistem komunikasi manusia adalah yang paling terbuka dari semua sistem terbuka. Komunikasi manusia berbeda dari sekadar transmisi data ataupun pertukaran informasi. Komunikasi manusia menggabungkan kedua unsur ini. Data dan informasi tidak lain merupakan entitas simbolik. Umumnya, keduanya dapat ditafsirkan berdasarkan konvensi sosial.69

Thayer menjelaskan bahwa komunikasi tidak berbeda sama sekali dari organisme hidup yang mengambil nutrisi, metabolisme mereka, lalu menolak limbah. Demikian juga seseorang yang akan berkomunikasi. Ia harus, atau setidaknya bersikap selektif, mengambil berbagai bentuk data dan informasi yang akan dicerna oleh pikirannya, serta membuang setiap limbah (informasi yang tidak dibutuhkan) yang terbawa dalam proses penerimaan informasi. Menurut Thayer, sejatinya kita menerima informasi dan data dalam aktifitas komunikasi bukan untuk orang lain, atau juga untuk saling berbagi dengan orang lain tentang satu hal. Tetapi, seperti organisme yang mengambil dari organisme lain, komunikasi ini mengambil data dan informasi untuk kepentingan diri kita sendiri. Karena itu, lebih jauh Thayer menyatakan, bahwa komunikasi adalah bentuk egosentrisme dan intersubyektifitas yang merupakan pengalaman manusia modern. Egosentrisme ini tidak selalu berakhir buruk karena dari sanalah manusia modern mengenal dan merasakan pengalaman “sadar diri”. Pengalaman ini tentu dibentuk oleh suatu kondisi sosio historis dan kemajuan teknologi. Di sini, individu menggunakan teknologi untuk mendapatkan “pegangan diri” secara aktif. Terakhir, Thayer melihat bahwa budaya, pengalaman, nilai-nilai pribadi dan asumsi menjadi alat untuk menyaring informasi yang diperoleh oleh manusia.70

Di sini, beberapa asumsi teoritik yang dikembangkan Thayer meliputi sejumlah konsep: pertama, manusia tidak hidup sendiri terpisah dari manusia lainnya. Manusia menerima konsep, informasi, dan data dari orang lain. Ia menggunakannya untuk memenuhi kepentingannya sendiri (intention, need, purpose). Terkadang ia merasa mengalami semacam “kesadaran diri” yang menempatkan dirinya dalam situasi yang membingungkan. Kesadaran diri ini ternyata juga dapat membantu manusia menemukan “pegangan”. Di sini, kesadaran manusia sangat terkait dengan unsur di luar dirinya. Thayer membangun konsep ini berdasarkan asumsi bahwa segala sesuatu di alam semesta merupakan sistem dan sub sistem yang saling terkait. Komunikasi adalah bagian dari suatu sistem besar, dan mengandung sub sistem yang lebih kecil. Manusia bicara dengan bahasa yang tertanam dalam dirinya melalui proses pengalaman sejak kecil bersama dengan orang lain selama hidupnya. Kedua, manusia memiliki kesadaran diri. Dengan kesadaran diri ini, manusia akan memilih mana yang akan “dikonsumsi” dan

69 Corey Anton, “A Heuristic Sketch of Lee Thayer’s Systems Theory Orientation to Human Communication: Reflections on the Range of Open Systems,” Systema: Connecting Matter, Life, Culture and Technology, vol. 3, no 1, 2015.

52

diterima sebagi informasi yang berguna untuk diri dan mana yang akan dibuang dan dianggap sebagai pengetahuan yang tak berguna untuk dirinya. Kesadaran diri ini dibentuk oleh budaya, pengalaman, nilai-nilai pribadi dan asumsi.

Ketiga, manusia adalah makhluk yang berbeda dengan benda mati yang tidak memiliki kesadaran. Ketika memahami komunikasi antar manusia (interpersonal), kita harus memahami hal ini dengan baik. Memahami manusia sebagai organisme yang memiliki kemampuan menyaring informasi, sebagaimana organisme hidup lainnya menyaring nutrisi yang berguna bagi kelangsungan hidupnya dan memisahkannya dari limbah yang tidak berguna. Dengan memahami manusia sebagai organisme hidup yang mengkonsumsi informasi untuk bertahan hidup, maka kita akan dapat memahami bahwa manusia bersifat aktif dalam memburu informasi, lalu memilah antara yang dapat bermanfaat dan yang tidak dapat bermanfaat, membuang yang tidak bermanfaat untuk kepentingannya. Di sinilah kita mendapatkan penjelasan bagaimana seorang penerima informasi (receiver) dapat bersikap aktif, dalam mencari, memilih, dan menolak informasi yang dikemudian hari disebut oleh para ahli sebagai penerimaan aktif.

Ravault dalam banyak tulisannya memang menempatkan negara dalam konteks hubungan internasional sebagai objek analisisnya. Hal ini menempatkan Ravault dalam spektrum yang sama dengan Lee Thayer sebagai teoritikus yang berkecenderungan strukturalistik. Jika Lee Thayer berbicara dalam kerangka komunikasi interpersonal, khususnya komunikasi organisasi, maka Ravault lebih menyoroti negara yang dibingkai dalam konteks hubungan internasional. Pandangan strukturalistik ini diikuti dengan baik oleh Andi Faisal Bakti yang mencoba mengimplementasikan resepsi aktif-strukturalistik kedua sarjana di atas dalam konteks Indonesia (lihat gambar 0.8).

Indonesia era Orde Baru menerapkan kebijakan pembangunan di segala sektor untuk mencapai target sebagai negara maju. Salah satu program pembangunan yang dicanangkan adalah melalui pengendalian populasi penduduk. Para perancang program ini, umumnya berpendidikan Barat dan mengacu pada standar pembangunan global, percaya bahwa hanya dengan mengendalikan populasi penduduk Indonesia akan dapat mengatur kehidupan publiknya. Rekayasa sosial ini digadang-gadang cukup ampuh meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Para