• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SELEBRITAS HIJRAH SEBAGAI KELAS MENENGAH

C. Karakteristik Kelas Menengah

Kebangkitan kelas menengah muslim tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lainnya seperti Malaysia, Turki, Dubai, Qatar, Iran, dan lain-lain. Vali Nasr menyebut kelas menengah muslim yang sedang tumbuh di beberapa negara ini

30 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan..., h. 602.

31 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan..., h. 604.

32 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan..., h. 578.

33 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan..., h. 579.

95

sebagai forces of fortune (kekuatan keberuntungan). Dalam bukunya Force of Fortune, Nasr ingin menunjukkan kepada dunia, khususnya masyarakat Barat, bahwa ada kabar baik dari Timur Tengah yang selama ini dicitrakan sebagai lahan subur radikalisme pasca 9/11, yaitu tumbuhnya kelas menengah muslim baru yang sebetulnya memiliki keinginan sama dengan masyarakat Barat. Kelas menengah muslim ini dapat dijadikan sebagai penguat ekonomi, demokrasi, dan HAM di Timur Tengah. Hal serupa juga disampaikan Inayah Rakhmani mengakui sejak penyerangan gedung WTC 11 September 2001.35

Azyumardi Azra memahami istilah kelas menengah muslim baru (new Muslim middle class) yang digunakan dalam buku Vali Nasr mengisyaratkan adanya kelas menengah muslim lama. Meskipun Nasr tidak menjelaskan perbandingan dan perbedaan antara kedua kelompok tersebut, namun dalam pandangan Azra ada perbedaan antara kelas menengah muslim baru dengan kelas menengah muslim lama. Perbedaan utamanya adalah kelas menengah muslim baru identik dengan konsumerisme, yang sangat jarang ditemukan pada kelas menengah sebelumnya.36 Kelas menengah muslim baru ini sebagian besar masih berusia muda, mapan secara ekonomi, memiliki daya beli cukup tinggi, dan melek informasi sehingga mereka cukup peka terhadap perubahan, baik itu perubahan ekonomi, sosial, dan politik.37

Ariel Heriyanto menyebut kelompok ini sebagai kelompok kaya baru yang menjadi tanda-tanda awal terbentuknya gugusan baru muslim modern di Indonesia.38 Salah satu karakteristik dari kelompok ini adalah menolak Islam eksklusif dan ekstrimis.39 Dalam hal gaya hidup, mereka memiliki hasrat tinggi untuk menikmati produk kapitalisme industrial yang tidak islami, baik yang berasal dari Barat ataupun Asia, tapi pada saat yang sama juga ingin menampakan sisi religiusitasnya. Misalnya, mereka senang menggunakan pakaian muslim yang fashionable dan mahal, mengadakan pengajian di hotel berbintang, haji dan umrah dengan fasilitas khusus, dan lain-lain. Gaya konsumtif ini berpengaruh terhadap tumbuhnya gejala yang kian lazim disebut sebagai komodifikasi Islam.40 Komodifikasi Islam berarti mengkomersilkan (memperdagangkan) Islam atau berbaliknya keimanan dan simbol-simbolnya menjadi sesuatu yang bisa diperjualbelikan untuk mendapatkan untung.41 Sebab itu, tidak mengherankan bila belakangan ini industri dan produk islami semakin diminati dan berkembang pesat, seperti maraknya industri hijab, kosmetik halal, bank dan keuangan syariah, makanan halal, hotel syariah, dan sebagainya.42

35 Inaya Rakhmani, Mainstreaming Islam in Indonesia: Television, Identity, and the Middle Class, (New York: Palgrave Macmillan, 2016), h. 2.

36 Azyumardi Azra, “Kelas Menengah Muslim...,” h. xx.

37 Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi, Indonesia Middle Class Muslim: Religiosity and consumerism, (Jakarta: Alvara, 2017), h. 2.

38 Ariel Heriyanto, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, penerjemah Eric Sasono, (Jakarta: KPG, 2015), h. 49.

39 Ariel Heriyanto, Identitas dan Kenikmatan..., h. 50.

40 Azyumardi Azra, “Kelas Menengah Muslim..., h. xx.

41 Greg Fealy, “Mengonsumsi Islam: Agama...,” h. 16.

42 Yushowadi, dkk., Gen M: Generation Muslim, (Bandung: Bentang, 2016), h. XV.

96

Hal yang menarik dari fenomena menggeliatnya pasar muslim dan industri berbasis Islam tersebut adalah nilai-nilai Islam dan ajaran Nabi mulai menjadi driving factors bagi konsumen muslim Indonesia dalam memutuskan pembelian dan mempengaruhi perilaku membeli dan mengonsumsi mereka. Artinya, ketaatan kepada ajaran Islam menjadi faktor yang kian penting bagi mereka dalam memutuskan produk dan jasa yang akan mereka beli dan konsumsi. Jadi, pertimbangan halal atau tidak, mengandung riba atau tidak, syar’i atau tidak menjadi faktor penting dalam keputusan pembelian.43 Dalam penelitian yang dilakukan Asef Bayat di Mesir misalnya, sebagian media, pendidikan, dan bisnis lainnya mengatasnamakan Islam untuk menarik perhatian konsumen. Salah satu pemilik toko obat yang diteliti Bayat mengakui label Islam tersebut membawa keberkahan, mengangkat kepercayaan masyarakat, dan menarik pelanggan dalam bisnisnya.44

Selain konsumtif, karakteristik kelas menengah muslim baru berikutnya adalah kesalehan aktif. Kesalehan aktif ini sebetulnya istilah yang digunakan Asef Bayat untuk menjelaskan fenomena keagamaan kelas menengah muslim di Mesir di

mana mereka tidak hanya mempraktikkan keimanannya, tetapi juga

mengkhotbahkannya, serta menginginkan orang lain untuk percaya dan berbuat seperti halnya mereka. Bahkan, kelompok kesalehan aktif ini mulai mengadili yang lain tentang apa dan bagaimana mereka berkeyakinan. Kesalehan aktif ini merupakan lawan dari kesalehan pasif yang sebelumnya dianut oleh kebanyakan masyarakat Mesir.45 Kelompok yang memeluk Islam secara pasif biasanya sudah terbiasa dengan keberagamaan masyarakat lainnya dan mempraktikkan agama sesuai dengan standar komunitas dan kelas sosialnya.46

Fenomena kesalehan aktif ini menurut Julia Day Howell tidak hanya terjadi di Mesir, tetapi juga tumbuh di Indonesia, terutama pasca reformasi. Howell meneliti bagaimana kesalehan aktif tersebut dipertontonkan dalam dakwah televisi di Indonesia. Penceramah-penceramah yang tidak mempelajari ilmu agama secara mendalam, atau penceramah awam, seperti Abdullah Gymnastiar, Jefry Al-Buchori, Yusuf Mansur, dan lain-lain berperan besar dalam menumbuhkan kesalehan aktif di kalangan anak muda dan perempuan dari kelas menengah hingga kelas atas. Mereka dimotivasi untuk mempraktikkan keimanan mereka secara lebih disiplin yang berbeda dengan komitmen keagamaan suka-suka dan tidak terfokus pada masa lalu.47 Para penceramah tersebut seringkali menyampaikan kisah pertobatan mereka untuk menjadi daya tarik jemaah. Mereka memperlihatkan ke publik ibadah dengan penuh emosi, seperti berdoa dengan isak tangis sambil merenungi dosa yang pernah dilakukan dan bertaubat kepada Allah Swt. Suara para penceramah ini enak di telinga dan retorikanya penuh penjiwaan sehingga membawa hadirin ke dalam suasana hati bertaubat dan memudahkan rasa khusyuk dalam berdoa. Model

43 Yushowadi, Gen M: Generation..., h. 121.

44 Asef Bayat, Pos-Islamisme..., h. 276.

45 Asef Bayat, Pos Islamisme..., h. 278.

46 Julia Day Howell, “Variasi-variasi Kesalehan Aktif: Profesor dan Pendakwah Televisi Sebagai Penganjur Sufisme Indonesia,” dalam Greg Fealy dan Sally White (Ed.), Ustadz Seleb: Bisnis..., h. 42.

97

ceramah seperti ini, khususnya menangis saat ceramaah ataupun doa, pada masa sebelumnya tidak lazim dilakukan.48

Karakteristik terakhir dari kelas menengah muslim baru adalah solidaritas sosial tinggi. Memberi (giving) sudah menjadi gaya hidup yang keren di kalangan kelas menengah saat ini. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi: Pertama, memberi adalah sebuah bentuk kepedulian untuk membantu orang lain dan Islam menganjurkan untuk membantu sesama umat manusia; Kedua, memberi dan membantu orang lain pada masa sekarang dimungkinkan dengan platform digital (sharing platform) yang memang sedang naik daun. Melalui sharing platform, kini semua orang dapat mengorganisasi secara mandiri dalam mengampanyekan program memberinya untuk menggalang dana (fundraising) dari masyarakat.49

Hilman Latief menambahkan bahwa kemapaman ekonomi dan politik membuat kelas menengah mencoba mencari aktivitas terbaru di mana melalui aktivitas tersebut mereka bisa memberi pengaruh. Aktivitas sosial (charitable activism) adalah salah satu pilihan untuk memberi pengaruh tersebut. Tujuan mereka terlibat dalam aktivitas seperti ini adalah untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan, respons atas pengaruh liberalisme Barat, dan kebijakan ekonomi.50 Meningkatnya semangat kelas menengah muslim untuk berbagi ini memicu tumbuhnya lembaga filantropi dan zakat di Indonesia. Menariknya, sebagian lembaga filantropi Islam di Indonesia tumbuh dari pengajian dan majelis ta’lim yang diadakan kelas menengah muslim, misalnya: Rumah Zakat Indonesia dan Dompet Peduli Umat Darut Tauhid Bandung, Yayasan Dana Sosial al-Falah di Surabaya, dan Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat di Jakarta.51

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga karakteristik kelas menengah muslim baru di Indonesia: konsumerisme, kesalehan aktif, dan solidaritas sosial tinggi.