• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SELEBRITAS HIJRAH SEBAGAI KELAS MENENGAH

D. Model Dakwah di Kalangan Kelas Menengah Muslim

2. Model Pengajian Umum

Pengajian umum yang dimaksud di sini adalah pengajian yang terbuka bagi siapapun dan berlokasi di tempat umum seperti masjid, lapangan, dan fasilitas umum lainnya. Pengajian ini berbeda dengan Kajib Klub Agama dan FAST yang terlihat lebih eksklusif dan berbayar. Pengajian umum siapapun bisa datang, tanpa harus registrasi atau mendaftar terlebih dahulu. Kendati demikian, pengajian umum di perkotaan tetap memiliki perbedaan dengan pengajian umum di pedesaan. Salah satu yang membedakan adalah pendekatan dan media yang digunakan. Pendakwah kota menyadari betul pentingnya keterampilan komunikasi (public speaking) dalam berdakwah agar sasaran dakwah tertarik mendengar materi yang disampaikan, meskipun sebagian pendakwah perkotaan yang populer tidak memiliki latar belakang keilmuan agama, seperti Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, Felix Siauw, dan Handy Bonny. Andi Faisal Bakti mengingatkan belajar public speaking sangat penting supaya dihargai oleh pangsa pasar.103

Selain memiliki kemampuan komunikasi yang bagus, pendakwah perkotaan juga menggunakan media sebagai sarana untuk menyebarluaskan dakwah. Pada saat yang bersamaan, industri juga menyediakan program-program keagamaan dengan menghadirkan pendakwah perkotaan, karena minat belajar agama kelas menengah Muslim semakin tinggi. Maka terjadilah kerjasama antara yang bersifat agama (sakral) dan yang bersifat duniawi (profan). Dalam sejarah dakwah Islam, kedua hal ini bisa bekerjasama dan saling menguntungkan.104 Dalam konteks ini, media diuntungkan dengan rating yang semakin tinggi, sementara pendakwah juga diuntungkan dengan materi dakwahnya semakin tersebar luas dan bisa mempengaruhi banyak orang. Hew Wai Weng menyebut belakangan ini ada

101 Wawancara dengan Weemar Aditya, 4 April 2020.

102 Wawancara dengan Weemar Aditya, 4 April 2020.

103 Andi Faisal Bakti, “Manfaat Public Speaking Course,” dipresentasikan pada Seminar Nasional Reach Great Success by Great Speaking,” Tantowi Yahya Public Speaking School, Jakarta, (Februari 2015), h. 3.

107

peningkatan jumlah pendakwah Islam populer di Indonesia yang mengerti media. Media baru seperti televisi, radio, dan internet, telah memperluas ruang publik Islam sebagai tempat ide, identitas, dan wacana. Kehadiran media baru ini, terutama internet, memungkinkan umat Islam dari berbagai latar belakang untuk secara bebas menyebarkan ide-ide mereka, tanpa melewati proses editorial dan sensor yang ketat.105

Penulis membagi model pengajian umum di kalangan kelas menengah muslim ini berdasarkan media yang digunakan atau yang mempopulerkan mereka: pertama, pendakwah televisi, maksudnya adalah pendakwah yang dipopulerkan oleh media televisi; dan kedua, pendakwah media sosial, yaitu pendakwah yang dipopulerkan media sosial. Berdasarkan pengaruh media ini, kedua tipe pendakwah ini mendapatkan banyak jamaah, sehingga kajian yang mereka adakan diikuti oleh banyak orang.

a. Pengajian Pendakwah Televisi

Seiring berjalannya waktu, program keislaman yang disiarkan televisi semakin banyak dinikmati dan disukai. Tingginya minat masyarakat terhadap Islam membuat pihak yang terlibat dalam industri televisi menyajikan program-program baru yang bernuansa religi. Sebagai misal pasca reformasi mulai muncul sinetron religi, seperti Pintu Hidayah, Rahasia Ilahi, Kiamat Sudah Dekat, dan lain-lain.106 Tumbuhnya kelas menengah muslim dan tingginya minat terhadap program keagamaan ini juga memicu produser musik dan sutradara film untuk membuat karya yang bernuansa Islam. Kemunculan album religi band Gigi dan film layar lebar Ayat-ayat Cinta merupakan awal dari popularitas musik religi dan film bertema Islam.107 Setelah Ayat-Ayat Cinta laris dan laku di pasar, bahkan sampai saat ini masih menjadi film terbanyak penontonnya, mendorong dapur film lainnya untuk membuat film sejenis.

Besarnya apresiasi masyarakat terhadap program keislaman tersebut berdampak langsung terhadap kemunculan “ustaz-ustaz seleb/celebrity preachers”. Jika pada era sebelumnya ceramah agama diisi oleh dosen atau intelektual yang mendalami keislaman secara mendalam seperti Nurcholish Madjid, Quraish Shihab, dan lain-lain, pada era kebangkitan industri Islam ini, televisi tidak lagi selektif dalam memilih narasumber dan kualifikasinya tidak terlalu tinggi, sehingga muncullah pendakwah-pendakwah baru yang tidak terlalu mendalami agama, bahkan bukan berlatarbelakang pendidikan agama, tapi mereka bisa menghibur audiens.108 Para pendakwah baru ini memiliki pendekatan yang tidak umum digunakan pada masa sebelumnya. Andi Faisal Bakti menyebut pendekatan yang digunakan pendakwah perkotaan ini sebagai pendekatan baru (new approach) dalam

105 Hei Wai Weng, “The Art of Dakwah: Social Media, Visual Persuasion, and the Islamist Propagation of Felix Siauw,” Indonesia and the Malay World, vol. 46, no. 134, 2018, h. 62.

106 Lihat Inaya Rakhmani, “The Commercialization of Da’wah: Understanding Indonesia Sinetron and their portrayal of Islam,” the International Communication Gazette, vol. 76, no. 4-5, 2014, h. 340-359.

107 Ariel Heriyanto, Identitas dan Kenikmatan..., h. 75

108

dakwah. Meskipun mereka tidak mendalami keilmuan Islam, tapi semua itu bisa ditutupi dengan metode dakwah baru yang mereka gunakan.109

Abdullah Gymnastiar dan Arifin Ilham termasuk pendakwah yang popularitasnya melejit setelah diundang ceramah di berbagai stasiun televisi. Keduanya tidak mendalami keislaman sebagaimana intelektual muslim pada umumnya. Kelemahan mereka itu ditutupi dengan retorika dan suara menawan. Tidak jarang orang yang mendengar ceramah keduanya meneteskan air mata dan mengintrospeksi diri atas dosa yang pernah dilakukan. Apa yang dilakukan Abdullah Gymnastiar dan Arifin Ilham ini sebenarnya sudah lama dilakukan pendakwah Kristen yang tampil di televisi. Sebagian pendakwah Kristen yang tampil di televisi bukan orang yang mendalami teologi Kristen secara mendalam, tapi orang-orang yang memiliki retorika bagus, menghibur, dan dapat menarik perhatian audiens. Sebab itu, tidak mengherankan bila penasihat awal pemasaran Aa Gym adalah putra dari penceramah Kristen di televisi yang sukses di Amerika Serikat.110

Selain berpenampilan menarik, retorika menawan, dan suara bagus, pendakwah baru ini menurut Julia Day Howell mengeksplorasi pengalaman-pengalaman personal mereka agar menarik perhatian masyarakat. Misalnya, Aa Gym pernah menceritakan mimpi tentang Nabi Muhammad yang mencari-carinya. Dalam mimpi tersebut, Nabi Muhammad memintanya bergabung untuk doa bersama dengan sahabat lainnya.111 Begitu pula dengan Arifin Ilham yang dengan zikir yang dibacanya bisa bertahan hidup dan sembuh dari sengatan ular yang menggigitnya.112 Jefri al-Buchori dan Yusuf Mansur juga melakukan hal yang sama, keduanya kerapkali menceritakan kegagalan masa lalu dan bagaimana mereka bisa keluar dari kegagalan tersebut. Singkatnya, pendakwah baru atau ustaz seleb lebih sering merujuk pengalaman personal mereka, ketimbang argumentasi ilmiah.

Pendakwah televisi ini memiliki identitas dan ciri khas dalam berdakwah yang membuat mereka berbeda dengan pendakwah lain. Arifin Ilham menekankan pada pendekatan dzikir, jamaah diminta untuk berdzikir kepada Allah, mengingat dosa yang pernah dilakukan, dan meminta ampun kepada Allah. Abdullah Gymnastir populer dengan pendekatan hati atau manajemen qalbu.113 Sementara Yusuf Mansur populer dengan konsep sedekah sehingga setiap pengajian ia selalu meminta jamaah untuk menyedekahkan apapun yang dimilikinya.

Kehadiran pendakwah baru ini menarik perhatian banyak orang, khususnya kelas menengah muslim. Sebagai misal Aa Gym yang pertama kali muncul di televisi pada tahun 2000 dengan sebuah program bernama Indahnya Kebersamaan yang disiarkan setiap bulan oleh televisi swasta (SCTV) dari Masjid Istiqlal Jakarta.

109 Andi Faisal Bakti, “Majelis Azzikra: New Approach to Dakwah for Civil Society in Indonesia,” Mimbar: Jurnal Agama dan Budaya, vol. 23, no. 1, 2006, h. 14-24; Andi Faisal Bakti, “Daarut Tauhiid: New Approach to Dakwah for Peace in Indonesia,” Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Komunikasi, vol. VIII, no. 1, 2006, h. 1-29.

110 Greg Fealy, “Mengonsumsi Islam...,” h. 36

111 Julia Day Howell, “Variasi-variasi Kesalehan Aktif...,” h. 50.

112 Julia Day Howell, “Variasi-variasi Kesalehan Aktif...,” h. 50.

113 Andi Faisal Bakti, “Majelis Azzikra: New Approach...,” h. 14; Andi Faisal Bakti, “Daarut Tauhiid: New Approach...,” h. 1.

109

Jumlah jamaah yang hadir mengikuti pengajian Aa Gym ketika itu ribuan dan jumlah penonton program ini mencapai jutaan orang. Hal yang sama juga terjadi pada Arifin Ilham. Pengajian pertamanya digelar di Masjid At-Tin Jakarta, jumlah jamaah yang hadir diperkiran sampai 7000 orang, dan jumlah penonton pengajian Arifin Ilham yang ditayangkan televisi juga mencapai jutaan orang.114

Popularitas pendakwah baru ini sangat ditentukan dan dipengaruhi televisi. Sebagai pihak yang sudah lama bergelut dalam dunia hiburan, pembuat program televisi sangat mengerti bagaimana cara mengemas tema pengajian, membuat tata panggung menarik, dan mengubah penampilan seorang pendakwah agar lebih diterima masyarakat. Kehadiran pendakwah baru ini memperluas otoritas keagamaan yang sebelumnya hanya diperankan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan keislaman mendalam seperti kiai, santri, sarjana Islam, guru besar Islam, dan lain-lain.115

Dengan hadirnya televisi, rujukan keislaman masyarakat tidak hanya pesantren dan perguruan tinggi Islam, tapi juga pendakwah baru yang sering tampil di televisi.

Sebab itu, pilihan belajar kelas menegah muslim setelah kebangkitan program-program keislaman televisi ini tidak hanya kursus singkat ala perguruan tinggi yang diadakan di Paramadina, Tazkiya, dan lain-lain, tapi juga pengajian umum yang disampaikan pendakwah televisi ini. Pengajian umum seperti ini biasanya diadakan di masjid-masjid besar: Istiqlal, At-Tin, Masjid az-Zikra, dan masjid di mall-mall. Dilihat materi yang disampaikan tentu tidak sedalam materi yang diadakan dalam kursus singkat Paramadina.116 Meskipun demikian, paling tidak kehadiran pendakwah baru ini bisa menjadi jembatan bagi orang yang tidak punya waktu luang untuk belajar Islam. Mereka bisa menyimak pengajian pendakwah baru di televisi atau hadir langsung di lokasi kegiatan. Meskipun tidak terlalu mendalam dan tidak merujuk pada teks tertentu, orientasi keislaman pendakwah baru ini sejalan dengan semangat moderatisme Islam dan tidak mengusung radikalisme.117

b. Pengajian Pendakwah Media Sosial

Seperti disebutkan di awal, kehadiran internet dan media sosial membuat ruang publik Islam semakin luas dan lebar. Siapa saja bisa berdakwah tanpa mengikuti proses seleksi, editorial, dan sensor ketat. Felix Siauw mengatakan, “Sekarang setiap orang dapat berdakwah semudah memberi jempol (memberi tanda like di media sosial).”118 Seperti halnya televisi dan radio, media sosial memberi

114 Julia Day Howell, “Variasi-variasi Kesalehan Aktif...,” h. 50.

115 Eva F. Nisa, “Creative and Lucrative Da’wa: The Visual Culture of Instagram Amongst Female Muslim Youth in Indonesia,” Asiascape: Digital Asia, vol. 5, no. 1-2, h. 68-99.

116 Greg Fealy, “Mengonsumsi Islam...,” h. 35.

117 Andi Faisal Bakti dalam tulisannya tentang Arifin Ilham dan Aa Gym menunjukan bahwa pendakwah yang muncul di perkotaan ini sejalan dengan prinsip moderatisme Islam dan tidak mengiring pada pemahaman radikal dan intoleran. Lihat Andi Faisal Bakti, “Majelis Azzikra: New Approach...,” h. 14-24; Andi Faisal Bakti, “Daarut Tauhid: New Approach...,” h. 1-29.

110

peluang kepada siapapun untuk menjadi populer, bahkan kesempatannya lebih luas dibanding media televisi. Selain itu, media sosial memungkin orang untuk membicarakan persoalan kontroversial yang mungkin tidak diizinkan di televisi yang terikat dengan lembaga sensor atau aturan penyiaran di Indonesia. Internet dalam pandangan Martin Van Bruinessen dan Eva F. Nisa berperan penting dalam memproduksi penafsir baru tentang Islam (new interpreters of Islam) dan meruntuhkan monopoli otoritas keagamaan lama..119 Dalam bidang dakwah Islam, internet melahirkan pendakwah-pendakwah baru yang pendekatan dan materi dakwahnya berbeda dengan pendakwah televisi.

Di antara pendakwah populer dan mendapatkan keberkahan dari internet adalah Khalid Basalamah, Syafiq Reza Basalamah, Abdul Shomad, Adi Hidayat, Gus Baha, Hanan Attaki, Felix Siauw, Hanny Bondy, dan Evie Effendi. Tidak semua pendakwah yang populer di media sosial memiliki latar belakang pendidikan keislaman, tiga nama terakhir yang disebut misalnya, bukanlah pendakwah yang memiliki latar belakang pendidikan agama, akan tetapi mereka bisa populer karena keterampilan komunikasi yang baik, menggunakan bahasa yang populer di kalangan generasi milenial, dan aktif berdakwah di media sosial. Target dakwah mereka adalah generasi milenial yang belum banyak dijadikan sasaran dakwah oleh pendakwah lainnya. Karenanya, gaya pakaian Felix Siauw, Hanny Bondy, Evie Effendy, Hanan Attaki mengikuti model pakaian yang lagi tren di kalangan anak muda. Mereka tidak menggunakan peci/sorban, baju koko, sarung dalam berdakwah. Mereka memakai kaos, celana jeans, sweater, dan sneakers. Tema dakwahnya pun berkaitan dengan tema-tema yang populer di kalangan anak muda, seperti pacaran, cinta, jodoh, kebangkitan Islam, pahlawan-pahlawan dalam Islam, dan lain-lain.

Sementara Khalid Basalamah, Syafiq Basalamah, Abdul Shomad, Adi Hidayat, Gus Baha, dan Hanan Attaki merupakan pendakwah yang memiliki latar belakang pendidikan keislaman. Selain Gus Baha, nama-nama yang disebutkan di atas adalah alumni perguruan tinggi di Timur Tengah. Semula mereka merupakan pendakwah konvensional yang berdakwah di masjid dan mushalla, kemudian ada yang mendokumentasikan dan menyebarkan di media sosial hingga akhirnya menjadi viral dan tersebar luas. Karena sudah memiliki popularitas dan sadar dengan media sosial, sebagian pendakwah yang disebutkan sudah memiliki tim khusus yang ditugaskan untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan materi pengajian di media sosial.120

Pendakwah media sosial merupakan rujukan utama bagi kelas menengah muslim, terutama yang berusia 35 tahun ke bawah (generasi milenial). Mereka sangat akrab dengan internet, bahkan lebih memilih internet ketimbang televisi, sehingga referensi keagamaannya pun mengikuti pendakwah mana yang sedang trending dan populer di media sosial. Pendekatan dan materi keagamaan yang disampaikan pendakwah media sosial berbeda antara satu sama lainnya. Meskipun

119 Eva F. Nisa, “Creative and Lucrative...,” h. 73.

120 Majalah Tempo pernah menulis liputan khusus soal ustaz yang populer di media sosial. Dalam majalah tersebut dibahas sejarah kemunculan, proses pembuatan, dan jumlah uang yang diperoleh dari video yang tersebar di internet. Lihat Tempo, “Go Pendakwah” (18-4 Juni 2018), h. 30-33.

111

berbeda, mereka memiliki irisan yang sama, yaitu menggunakan pendekatan dialogis dan tanya jawab. Pengajian dibuat interaktif dan tidak monoton. Ini sesuai dengan karakter generasi milenial yang lebih menerima informasi interaktif ketimbang searah. Khalid Basalamah, Syafiq Basalamah, Abdul Shomad, Adi Hidayat, Gus Baha, Hanan Attaki, dan lain-lain menyediakan kesempatan dialog dengan jamaah dalam setiap kajian.

Sebagian besar pendakwah media sosial yang disebut namanya di atas, khususnya yang memiliki latar belakang pendidikan keislaman, membahas ibadah-ibadah praktis secara sistematis. Khalid Basalamah, misalnya, menggunakan kitab-kitab tertentu seperti Minhāj al-Muslim dan Bulūgh al-Marām, di manapun dia mengisi kajian. Pembahasan dalam kitab tersebut dibahas secara berurutan sampai selesai. Tujuannya agar orang-orang bisa merasakan belajar agama seperti halnya belajar di pesantren atau perguruan tinggi. Gus Baha juga menggunakan kitab pada saat mengisi kajian, biasanya kitab tafsir. Adi Hidayat dan Abdul Shomad meskipun tidak selalu menggunakan kitab, tetapi dalam setiap pengajiannya selalu fokus kepada pembahasan ibadah praktis dengan menjelaskan argumentasi al-Quran dan hadis. Keduanya seringkali menjelaskan landasan al-Quran dan hadis dari setiap persoalan, bagaimana pemahaman ulama terhadap masalah itu, kemudian mana pendapat yang lebih kuat di antara perbedaan ulama dalam menghukumi suatu permasalahan. Al-Quran dan hadis perlu dikutip dan dijelaskan kepada masyarakat untuk membuktikan kepada jamaah bahwa apa yang disampaikan sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah, apalagi belakangan marak istilah pengajian sunnah. Selain itu, ini juga sesuai dengan logika beragama kelas menengah muslim yang diistilahkan Yudi Latif dengan bibliolatri, artinya mereka lebih percaya pada teks dibanding ulama.121

Pendakwah yang menggunakan landasan al-Qur’an dan hadis lebih mudah diterima di kalangan kelas menengah muslim saat ini sehingga kajian Khalid Basalamah, Adi Hidayat, Syafiq Basalamah, dan pendakwah sunnah lainnya ramai didatangi jamaah, termasuk dari kalangan selebritas. Teuku Wisnu, Indadari, dan beberapa selebritas lainnya sering hadir mengikuti kajian Khalid Basalamah dan Adi Hidayat.122 Khalid Basalamah mengisi kajian rutin di Masjid Nurul Iman Blok M dan Adi Hidayat di Masjid al-Ihsan Bekasi. Jadwal pengajian mereka sudah disusun secara rapi dan disebarluaskan di media sosial sehingga memudahkan orang untuk mengikuti pengajiannya. Belakangan karena para selebritas ini sudah membuat komunitas kajian sendiri, pendakwah media sosial di atas diundang untuk mengisi kajian rutin di rumah dan di komunitas mereka. Khalid Basalamah, misalnya, mengisi kajian rutin di rumah Primus Yustisio; Adi Hidayat dan Abdul Shomad juga sering diundang ke kajian komunitas selebritas seperti kajian Musawarah.