• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENERIMAAN SELEBRITAS HIJRAH ATAS MODEL DAKWAH

D. Model Komunikasi Pendakwah Salafi

Dakwah merupakan aktivitas komunikasi yang bercorak religius (religious communication). Layaknya bentuk komunikasi pada umumnya, dakwah mengandung unsur pesan (massage), pengirim pesan (source, sender), penerima pesan (receiver), saluran (channel), serta pengaruh (effect).66 Karenanya, tidak heran jika belakangan ada sebagian sarjana yang mengidentikkan dakwah sebagai bentuk komunikasi Islam.67 Perbedaan dengan komunikasi pada umumnya terletak pada

64 Wawancara dengan Oemar Mita, 14 Maret 2018.

65 Wawancara dengan Shireen Sungkar, 7 November 2019.

66 Andi Faisal Bakti dan Venny Eka Meidasari, “Trendsetter Komunikasi di Era Digital: Tantangan dan Peluang Pendidikan Komunikasi dan Penyiaran Islam,” Jurnal Komunikasi Islam, vol 4, no. 1, 2014.

67 Komunikasi Islam merupakan bentuk integrasi antara keilmuan dakwah dan komunikasi, atau keilmuan dakwah yang diperkuat dengan landasan teoritis-filosofis ilmu komunikasi. Hal ini lah yang membedakan antara keilmuan dakwah dan komunikasi Islam. Lihat paparan Andi Faisal Bakti, Applied Communication to Dakwah for Peace, makalah dipresentasikan pada Kuliah Umum di Pascasarjana UIN Alauddin Makasar 1 September

160

cara dan tujuan yang hendak dicapai.68 Dalam dakwah pesan yang dikirim adalah nilai-nilai Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Pengirimnya adalah individu muslim yang berupaya menyebarkan dan mengajak orang lain untuk menerima ajaran Islam. Saluran yang digunakan dapat menyesuaikan dengan perkembangan kebudayaan dan teknologi dalam suatu masyarakat. Pengaruh atau efek yang ditimbulkan adalah semakin religiusnya seseorang yang menjadi objek dakwah dengan beragam ekspresinya. Karena dakwah merupakan aktivitas komunikasi, maka ia dapat diteropong melalui model-model komunikasi yang dikenal dalam studi ilmu komunikasi. Sebagai komunikator, para pendakwah Salafi diasumsikan memiliki gaya dan metode yang unik atau berbeda dari para pendakwah komunitas Muslim lainnya.

Lalu bagaimana dengan model komunikasi para pendakwah Salafi di Indonesia? Para pendakwah Salafi menggunakan berbagai model komunikasi. Namun, belakangan mereka lebih aktif menggunakan model komunikasi massa. Perkembangan teknologi komunikasi yang melahirkan berbagai platform social media yang oleh para ahli dikelompokkan sebagai media baru (new media) membuat model komunikasi massa yang dikembangkan menjadi memiliki daya jangkau yang sangat luas dan berbiaya murah. Secara perizinan tentu tidak serumit ketika mereka mengembangkan stasiun televisi.

Penggunaan new media ini merupakan fenomena baru. Sebelumnya, para pendakwah Salafi lebih banyak yang berdakwah dengan mendirikan yayasan dan lembaga pendidikan, atau secara terbuka menerbitkan majalah dan buku, serta membuka pengajian di masjid-masjid. Dakwah model lama ini rupanya memiliki keterbatasan daya jangkau. Menurut Muhammad Ali Chozin yang meneliti sarana dakwah para pendakwah Salafi pasca reformasi, lima sarana komunikasi yang digunakan oleh para pendakwah Salafi Indonesia, meliputi: (1) Lembaga formal (yayasan, sekolah, rumah sakit, pondok pesantren, dan lembaga kursus bahasa Arab), (2) Ceramah keagamaan personal (daurah, halaqah, tausiyah, khutbah, tabligh akbar), (3) Audio-audio visual (VCD, DVD), (4) Media penyiaran (televisi, radio, internet), (5) Media cetak (buku, jurnal, Majalah).69

Penggunaan media baru (new media) merupakan kecenderungan global para pendakwah Salafi. Hal ini sebagaimana dicatat oleh Adis Duderija yang menemukan bahwa dalam konteks masyarakat Barat, Eropa, dan Amerika, selain membangun pusat-pusat pendidikan dan masjid, para pendakwah Salafi juga sangat aktif dalam penggunaan internet.70 Di Indonesia, konten-konten keislaman yang tersebar di internet kebanyakan merupakan produksi para pendakwah Salafi. Seorang pengamat menyebut bahwa sepuluh besar website keislaman di Indonesia merupakan milik Salafi. Hal inilah yang membuat wacana keagamaan kaum Salafi membentuk

2009. Sumber: https://www.academia.edu/35657730/Applied_ Communication _for_Dawa _for_Peace.pdf. (Diakses pada 28-02-2019. Jam 22.09).

68 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 39.

69 Muhammad Ali Chozin, “Strategi Dakwah Salafi di Indonesia,” Jurnal Dakwah, vol. XIV, no. 1, 2013.

70 Adis Duderija, Constructing a Religiously Ideal “Believer” and “Woman” in Islam Neo-Traditional Salafi and Progressive Muslims Methods of Interpretation, (New York: Palgrave Macmillan, 2011), h. 85-88

161

konstruksi pengetahuan baru bagi masyarakat Muslim Indonesia dan menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas keagamaan lama di Indonesia.71

Asep Muhammad Iqbal menemukan bahwa adalah benar semua kelompok pendakwah Salafi berusaha menggunakan internet, tetapi yang perlu menjadi catatan, tidak semua kelompok dakwah Salafi memiliki kemampuan akses yang sama terhadap teknologi baru ini. Hal ini terkait dengan sumber daya yang mereka miliki.72 Ketika banyak penolakan terhadap wacana keagamaan Salafi, para pendakwah Salafi terus berinovasi sehingga berhasil menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia.

Internet merupakan sarana yang paling strategis bagi dakwah Salafi. Sampai tahun 80-an ketika berkembang dakwah Islam melalui teknologi kaset atau pada 2000-an ketika bermunculan para dai-evangelis di layar televisi, kaum Salafi masih belum mendapatkan panggung di ruang publik muslim Indonesia. Tetapi, setelah infrastruktur internet berkembang luas di Indonesia, banyak sekali pendakwah Salafi yang aktif membuat konten-konten keislaman, baik bekerja bersama sebuah tim maupun bekerja secara individu. Pengajian-pengajian yang dikelola kaum Salafi benar-benar mengalami proses digitalisasi. Inilah yang membuat dalam lima tahun terakhir konten-konten dakwah kaum Salafi lebih mendominasi wacana keislaman masyarakat Indonesia dibanding misalnya konten-konten dakwah kelompok muslim lainnya. Keterbukaan pada perkembangan teknologi komunikasi membuat kaum Salafi Indonesia lebih banyak menggunakan metode komunikasi massa yang dikombinasikan dengan penggunaan media baru (new media).73 Karenanya, untuk mengidentifikasi model komunikasi dan dakwah pendakwah Salafi perlu dilihat dari perspektif model komunikasi massa terutama yang menekankan pada penggunaan sejumlah teknologi mutakhir dalam komunikasi massa.

Model komunikasi dua tahap (two step flow model) yang dikembangkan oleh Paul Lazarsfeld dan Elihu Katz sangat relevan untuk menjelaskan model komunikasi para pendakwah Salafi. Artinya, model komunikasi pendakwah Salafi sebenarnya bukan saja berkeinginan membentuk pribadi yang saleh, namun juga mendorong masyarakat yang menjadi objek dakwah (mad‘u) berperan sebagai agen-agen yang akan berperan penting dalam penyebaran paham mereka. Hal ini terkonfirmasi pada fenomena hijrah di kawasan perkotaan Indonesia yang salah satu penggeraknya adalah para pendakwah Salafi, khususnya kaum urban yang masuk dalam kategori kelas menengah muslim. Mereka yang mengikuti tren hijrah merupakan kelompok baru yang memiliki karakteristik unik dan berbeda dari muslim kebanyakan. Fenomena ini menempatkan kelas menengah muslim kota sebagai sub-kultur di tengah komunitas muslim pada umumnya. Dalam studi sosiologi budaya, sub kultur (subculture) merupakan masyarakat atau kelompok

71 Jajang Jahroni, “The Political Economy of Knowledge: Salafism in Post Soeharto Urban Indonesia,” Disertasi, Boston University, 2015, h. 295.

72 Asep Muhamad Iqbal, “Cyber-Activism and the Islamic Salafi Movement in Indonesia”, Disertasi, Murdoch University, 2017, h. 82.

162

yang selalu berusaha agar ciri khasnya dapat terlihat oleh yang lainnya. Setiap kelompok berusaha menciptakan identitas yang dapat mewakili kelompoknya.74

Para penggemar dakwah Salafi membentuk ciri, identitas, simbol, nilai-nilai, dan ritual yang membedakan mereka dari budaya komunitas muslim yang lebih dominan. Nilai-nilai yang diajarkan para pendakwah Salafi menyebar sebagai gaya hidup bagi banyak individu di kalangan kelas menengah muslim perkotaan, khususnya para selebritas. Nilai-nilai dan praktik tersebut cenderung semakin dianggap wajar, diterima, dan dalam beberapa kasus coba ditularkan kepada orang lain. Di sinilah identitas Salafi menyebar ke kalangan yang lebih luas di komunitas kelas menengah muslim di Indonesia. Tren hijrah seringkali ditandai dengan beberapa hal seperti perubahan penampilan dan busana yang dianggap lebih mencerminkan religiusitas Islam, penolakan terhadap profesi keartisan yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam, penolakan terhadap beberapa layanan ekonomi perbankan, dan terkadang disertai tumbuhnya semangat aktivisme politik. Tren semacam ini juga menjalar ke segmen masyarakat kelas menengah urban Indonesia lainnya seperti para karyawan perkantoran, pendukung industri hiburan, dan anak-anak muda kota.

Dalam konteks Indonesia kontemporer, penolakan terhadap segala institusi yang dinilai bertentangan dengan Islam ternyata lebih didominasi oleh narasi kaum Salafi. Hal ini menunjukkan kekuatan narasi kaum Salafi di satu sisi, tetapi juga tidak dapat dilepaskan dari strategi komunikasi Salafi yang berhasil memanfaatkan perkembangan teknologi informasi berbasis internet seperti website dan berbagai platform media sosial. Kaum Salafi menggunakan model komunikasi massa, khususnya two step flow model. Dalam konteks penyebaran dakwah Salafi, para pendakwah Salafi pada mulanya menyebarkan pesan-pesan keagamaan melalui new media seperti website dan media sosial yang menjangkau penonton dan pembaca dari latar belakang yang beraneka ragam. Kebutuhan terhadap pencerahan rohani merupakan faktor yang mendorong para komunikan mencari konten-konten keagamaan. Dalam dua dekade terakhir, website-website keagaman Islam lebih banyak didominasi narasi dakwah Salafi. Akibatnya, kelas menengah muslim kota lebih akrab dengan narasi-narasi keislaman kaum Salafi dibandingkan dengan narasi keislaman yang hidup di sekitar mereka.

Kelas menengah yang didominasi kaum terpelajar Muslim perkotaan juga memiliki dimensi pendidikan yang baik. Hal ini direspons oleh para pendakwah Salafi dengan menampilkan dirinya sebagai otoritas keagamaan yang memiliki kualifikasi pendidikan tinggi dengan segala atribusinya. Mereka misalnya, banyak yang menggunakan gelar akademik untuk studi keagamaan (Lc, MA, Dr.) disertai

74 Corey M. Abramson dan Darren Modzelewskimendefinisikan subculture sebagai Small social structure[s] within the larger dominant culture, [are] composed of individuals sharing similar values, behaviors, attitudes, symbols, and rituals, which set them apart from the larger culture, dominating their style of life and stabilizing over time (Struktur sosial kecil di dalam budaya dominan yang lebih besar, terdiri dari individu-individu yang berbagi nilai, perilaku, sikap, simbol, dan ritual yang serupa, yang membedakan mereka dari budaya yang lebih besar, mendominasi gaya hidup mereka dan menstabilkan dari waktu ke waktu). Corey M. Abramson dan Darren Modzelewski, “Caged Morality: Moral Worlds, Subculture, and Stratification Among Middle-Class Cage-Fighters”, Qual Sociol 34, 2011 h. 143–175.

163

dengan narasi keagamaan yang memiliki sumber yang valid secara ilmiah. Dalam model komunikasi retoris-klasik yang dikembangkan Aristoteles, para pendakwah Salafi itu membangun kekuatan narasi keagamaan melalui tiga upaya: ethos, logos dan panthos. 75 Ethos merupakan suatu unsur keterpercayaan yang terdapat dapat diri pembicara melalui pengembangan kapasitas individu dan kekuatan argumen. Selain aspek ethos, para pendakwah Salafi juga mengembangkan aspek logos, yaitu kekuatan argumen yang disampaikan dalam ceramah-ceramah keagamaan mereka melalui pendasaran kepada sumber utama Islam, al-Qur’an dan Sunnah, yang dibingkai dalam narasi “pemahaman para sahabat dan salaf”. Hal ini mengesankan bahwa narasi keagamaan mereka merupakan narasi keagamaan yang kredibel dan valid. Terakhir, para pendakwah Salafi juga mengembangkan unsur panthos, upaya memainkan emosi massa. Dalam ceramah-ceramahnya, para pendakwah Salafi sering merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah secara langsung kemudian mengkontekstualisasikannya untuk menyikapi problem kehidupan kontemporer. Pengalaman individu masyarakat diangkat, lalu dikorelasikan dengan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunnah. Di sinilah, para pendakwah Salafi mencoba membentuk otoritas keagamaan baru yang berbeda dari narasi keagamaan Muslim Indonesia pada umumnya. Tidak heran jika Muslim kelas menengah kota memandang para pendakwah Salafi memiliki kapasitas personal dan emosional yang lebih tinggi dibanding para pendakwah dari kelompok Muslim mainstream.

Di antara pendakwah Salafi yang aktif dalam kegiatan dakwah di internet adalah Khalid Basalamah. Dai yang bernama lengkap Khalid bin Zeed bin Abdullah Basalamah ini merupakan pendakwah Salafi yang video ceramahnya populer melalui jaringan tv satelit dan media sosial. Ia memiliki tim berjumlah delapan belas orang yang bekerja memproduksi dan mempublikasikan video-video pengajiannya. Tim tersebut terdiri dari orang-orang yang memiliki keahlian berbeda seperti video grafer, editing video, desainer grafis dan dua lainnya ahli di bidang media sosial. Tim yang dibentuk sejak pertengahan tahun 2016 itu, mempublikasikan setidaknya satu video panjang perhari ke media sosial. Untuk instagram, mereka mempublikasikan sekitar empat atau lima konten dalam bentuk video pendek, artikel, atau jadwal kegiatan Khalid. Khalid Basalamah tercatat mulai bergabung dengan platform youtube pada tahun 2013. Untuk memaksimalkan sebaran konten, Khalid Basalamah bekerjasama dengan perusahaan jaringan multikanal bernama Digital Rantai Maya (DRM).76

Abdullah Sya’roni merupakan pendakwah Salafi lain di Jakarta. Dia dikenal sebagai pembina website keislaman, www.tauhid-channel.com dan Radio Syiar Tauhid 675 AM. Tauhid Channel menyebut dirinya sebagai “Tim Kajian Ustaz Abdullah Sya’roni”. Tim ini bekerja memproduksi video-video ceramah Abdullah Sya’roni. Rata-rata publikasi ceramah dan tanya jawab agama yang diasuh oleh

75 Michael H. Prosser, Classical Rhetorical Theory, dalam Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss (ed.), Encyclopedia Of Communication Theory, (London: SAGE Publication, 2009), h. 696.

76 Lihat laporan Majalah Tempo, “Ustad Juga Manusia”, “Antara Tablig dan Monetisasi”, Majalah Tempo, Edisi 24 Juni 2018, 30-33.

164

Abdullah Sya’roni dimulai pada tahun 2018. Pada mulanya, Abdullah Sya’roni lebih banyak memberikan pengajian dari masjid ke masjid, baik masjid komplek maupun perkantoran. Terkadang, ia mengisi pengajian di kalangan muslim kelas menengah atas undangan seorang tuan rumah. Pada tahun 2010-an, ia mendapat undangan seseorang di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Beberapa waktu

kemudian, sekitar tahun 2013, forum pengajian rumahan rutin itu

mempertemukannya dengan selebritas Mediana Hutomo.

Mediana menyukai jenis pengajian yang diasuh Abdullah Syaroni. Menurutnya, pengajian Abdullah Sya’roni bersifat sitematis dan selalu berdasarkan kitab-kitab rujukan berbahasa Arab yang dinilai otoritatif. Model pengajian semacam ini lebih memuaskan dahaga ruhaninya karena seseorang dapat mengakses suatu ajaran dari sumbernya secara langsung. Mediana kemudian mengundang Abdullah Sya’roni ke rumahnya dan membuat forum pengajian khusus para selebritas. Sampai 2019, pengajian Salafi yang diasuh oleh Abdullah Sya’roni di rumah Mediana Hutomo sudah memasuki tahun ke-5. Melalui Mediana Hutomo, pesan-pesan keagamaan yang disebarkan oleh Abdullah Sya’roni menyebar ke sejumlah individu selebritas. Ferry Anwar dan Eva Arnas adalah di antara selebritas yang aktif mengikuti kajian di rumah Mediana Hutomo.77

Berdasarkan model komunikasi two step flow model yang dikembangkan oleh Paul Lazarsfeld dan Elihu Katz, Khalid Basalamah dan Abdullah Sya’roni menggunakan strategi komunikasi massa seperti media sosial dan forum pengajian komunitas untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Jika Khalid Basalamah menggunakan strategi media sosial, maka Abdullah Sya’roni bekerja lebih konvensional dalam bentuk forum-forum pengajian rutin di masjid-masjid dan rumah-rumah muridnya. Belakangan Abdullah Sya’roni merambah dunia media sosial untuk meluaskan sebaran dakwahnya.

Pada tahap ini pesan-pesan pendakwah Salafi terdiseminasi kepada individu-individu yang sedang mengalami proses pencarian. Mereka menangkap pesan keagamaan para pendakwah Salafi, lalu memahaminya berdasar kemampuan yang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan, latar belakang profesi, pengalaman sosial, dan lain sebagainya yang sangat menentukan seberapa jauh pesan keagamaan tersebut diinterpretasikan dan dikontekstualisasi. Bagaimana pun pesan, interpretasi, dan kontekstualisasi dalam pengalaman seseorang telah mendorongnya untuk mengambil peran yang lebih penting, yaitu sebagai opinion leader. Para opinion leader ini bekerja sebagai juru bicara para pendakwah Salafi di tingkat komunitasnya.

Dalam kasus Khalid Basalamah, opinion leader dipegang secara apik oleh Teuku Wisnu. Sedangkan dalam kasus Abdullah Sya’roni, opinion leader itu adalah Mediana Hutomo. Keduanya adalah individu yang pertama kali menerima pesan dari dai-dai Salafi. Keduanya kemudian mengambil peran yang lebih signifikan, yaitu menjadi penghubung para pendakwah Salafi dengan kalangan selebritas yang ingin mendalami agama. Keduanya cukup berhasil menghimpun sejumlah selebritas dalam komunitas pengajian. Dalam perspektif komunikasi two step flow model,

77 Wawancara dengan Abdullah Sya’roni, 7 Juli 2018; Ferry Anwar via WA voice, 24 November 2019; dan Mediana Hutomo, 13 Oktober 2018.

165

keberhasilan itu tidak dapat dilepaskan dari pesan-pesan dai Salafi yang telah ditafsirkan berdasarkan pengalaman dan latar belakang Wisnu dan Mediana dalam dunia keartisan. Interpretasi pesan dakwah tersebut kemudian dikontektualisasikan dalam kehidupan pribadi mereka. Teuku Wisnu misalnya, menerapkan pesan-pesan keagamaan Salafi dalam kehidupan pribadinya seperti memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, menolak terjun dalam dunia akting dan lebih menyukai job sebagai pembawa acara (host), dan juga meninggalkan beberapa layanan perbankan yang dinilainya bertentangan dengan ajaran Islam.

Tidak berhenti pada pembentukan kesalehan individual, Wisnu mengembangkan semangat ekspansif dengan menularkan pesan-pesan Salafistik kepada teman-temannya di komunitas selebritas dan mengajak mereka mengikuti kajian. Keluarga dan orang-orang yang berada di lingkarannya menjadi penerima pesan-pesan Salafisme berikutnya. Wisnu menjadi komunikan sekaligus opinion leader, dan orang-orang di lingkarannya merupakan para komunikan atau penerima pesan. Salah satu satu keberhasilan Wisnu ditentukan oleh pengalaman personalnya yang paham betul gaya hidup orang-orang di sekitarnya tersebut. Wisnu berhasil mengajak teman-teman selebritasnya sehingga pengajian di rumahnya menjadi penuh. Minat studi agama komunitas yang diinisiasi Wisnu rupanya sangat tinggi dan terus bertambah banyak. Akhirnya, pengajian dipindah ke rumah Primus Yustisio. Primus merupakan komunikan yang kemudian menjadi opinion leader lain dalam lingkaran Khalid Basalamah. Pengajian Khalid Basalamah yang diselenggarakan di rumahnya merupakan yang paling konsisten (lihat gambar 1.1).

Gambar 1.1 Alur model komunikasi pendakwah Salafi di kalangan Selebritas

Mediana Hutomo melakukan hal yang sama. Pertemuan dengan pendakwah Salafi di rumah temannya telah mengantarkannya kepada dakwah Salafi. Mediana

Pendakwah Salafi Pesan-pesan keagamaan Salafi Media sosial dan forum pengajian

Selebritis hijrah/ opinion leader Pesan Selebritis hijrah Selebritis hijrah Selebritis hijrah Selebritis hijrah Selebritis hijrah

166

mulai menerima konsep hijab syar’i, pelarangan musik, dan beberapa layanan perbankan yang dinilai tidak islami. Mediana mengundang pendakwah Salafi mengisi pengajian di rumahnya dan mengajak keluarga/teman-teman dekat sesama selebritas untuk mengikuti kajian rutin. Bisa dikatakan, peran Mediana sangat penting dalam menghubungkan pendakwah Salafi dengan komunitas selebritas dalam lingkarannya.