• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak terhadap Ekonomi Daerah

Pencabutan status otonomi Aceh berpengaruh cukup besar juga dlam aspek ekonomi. Kewenangan moneter bersifat lokal yang dinikmati Daerah Aceh selama masa revolusi kemerdekaan dengan keluarnya Keputusan Menteri Keuangan RIS Sjafruddin Prawiranegara Nomor 53810/UU tanggal 26 Maret 1950 tentang tata aturan nilai tukar uang RIS dengan mata uang lokal yang ada di Jawa dan Sumatera, yang efektif berlaku sejak 30 Maret 1950. Bagi Daerah Aceh yang mata uang lokal (Urips, Uripsu dan Uriba) yang beredar mencapai sekitar 8 milyar rupiah harus mengkonversi uangnya dengan uang republik

32 M. Isa Sulaiman, op. cit., hlm 237-240. 33Ibid. hlm. 241.

yang membungkuk terhadap kaum komunis—disiksa dan dibunuh Tentara dan Polisi Pemerintah Ali Sastroamidjojo yang “didominasi komunis”.66***

Tiro mengadukan Pemerintah Republik Indonesia di depan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal untuk memberitahu Dunia Islam akan kekejaman yang dila-kukan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat dan Tengah, Kalimantan dan Sulawesi dan memperjuangkan peng-akuan internasional akan dukungan moril dan materiil untuk Republik Islam Indonesia. Di samping itu ia mengumumkan, bila Pemerintah Republik tidak memenuhi tuntutan- tuntut-annya, ia akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia juga penghentian bantuan yang diberikan lewat Rencana Kolombo atau oleh Perserikatan BangsaBangsa dan Amerika Serikat.65

Pemerintah Indonesia menolak tuntutan-tuntutan Hasan Muhammad Tiro dan memberinya waktu sampai 22 September untuk kembali ke Indonesia. Bila perintah ini diabaikannya, maka paspornya ditarik. Hasan Muhammad Tiro lalu dimasukkan dalam tahanan oleh Imigrasi Amerika dan disekap di Ellis Island. Dia dibebaskan lagi sesudah membayar denda US$ 500,—Ia membalas dengan mengumumkan sepucuk surat dalam New York Times yang meminta perhatian akan kemajuan komunisme di Indonesia sejak Pemerintah Ali Sastroamidjojo berkuasa dan menyampaikan sebuah laporan tentang “Pelanggaranpelanggaran Hak Asasi Manusia oleh rezim Ali Sastroamidjojo di Indonesia”.

Pemerintah Indonesia tidak mampu membungkam Mu-hammad Hasan Tiro, atau memintanya diekstradisikan dari Amerika Serikat. Hasan Muhammad Tiro dengan demikian dapat melanjutkan kampanye propaganda anti-Indonesianya di New York. Pada awal 1955 ia mengirim surat kepada dua belas negara Islam dengan meminta kepada mereka memboikot Konferensi Asia-Afrika, kebanggaan Pemerintah Republik, yang akan diadakan di Bandung pada bulan April. Sebagai alasan mendasari permintaannya, ia mengemukakan, pemimpin-pemimpin Islam dan para pengikutnya—kecuali mereka

65 Bagian Dokumentasi, Sekitar Peristiwa Daud Beureu`eh, (Jakarta: Kronik Kementerian

Penerangan, t.t., Jilid III), hlm. 445-447.

sejak 1 Juni 1950. Dalam kesatuan moneter baru biaya operasional pemerintah baikdana rutin dan dana pembangunan disuplai oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan itu sangat berpengaruh terhadap birokrasi yang dibiayai oleh pemerintah lokal.34

Berbarengan dengan itu perkebunan dan pertambangan yang pada masa revolusi kemerdekan merupakan sumber utama pendapatan daerah dialihkan tanggung jawab pengelolaannya kepada Pemerintah Pusat. Dengan demikian, secara ekonomi Daerah Aceh semakin tergantung kepada Pemerintah Pusat, baik untuk biaya rutin maupun biaya pembangunan. Akibatnya, pembangunan sarana dan prasarana fisik yang mengalami kerurakan selama masa revolusi berjalan agak lambat. Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Pusat dalam tahun1952-1953 belum dapat memulihkan seperti situasi sebelum Perang Asia Timur Raya meletus.35

Beralihnya tanggung jawab keuangan dari daerah ke pusat berdampak pula terhadap perusahaan-perusahaan di daerah, seperti yang dialami oleh NV. Indolco, NV. Permai dan NV. Sakti, yang pada masa revolusi kemerdekaan merupakan rekanan dan sekaligus suplier Pemerintah Aceh. Masalahnya pengusaha-pengusaha tersebut masih mempunyai tagihan kepada Pemerintah Daerah baik berupa harga barang pasokan ataupun jatah hasil kebun yang dijanjikan. Dengan reorganisasi administrasi pemerintahan tersebut mereka harus mengurus piutangnya melalui jalur yang baru dengan birokrasi yang semakin panjang.36 Konsekuensi dari kebijakan tersebut banyak klaim

pengusaha Aceh yang pada masa revolusi telah menantang maut dari blokade Angkatan Laut Belanda banyak yang ditolak Pemerintah sebagimana diungkapkan oleh S.M. Amin “Sangat disayangkan, mereka yang sangat berjasa ini, kecuali Muhammad Saman dari PT. Puspa, setelah revolusi kemerdekaan berakhir tidak memperoleh

34Ibid. hlm. 242. 35Ibid. hlm. 243. 36Ibid.

perlakuan yang wajar. Malahan, hutang getah yang masih harus diperoleh dari Pemerintah atas perjanjian jual-beli, ditolak pembayarannya”.37

Kesukaran yang dialami pengusha Aceh waktu itu adalah penataan tata niaga. Pada tahun 1952 Pemerintah menggantikan perniagaan barter dengan deviezen rezim atau letter of credit, larangan ekspor kopra dan peraturan yang mengharuskan ekspor sapi/kerbau melaui pelabuhan Belawan. Bagi masyarakat Aceh yang sudah terbiasa dengan perdagangan tersebut dirasakan suatu pukulan yang sangat keras. Demikian pula dengan keharusan mengekspor melelui pelabuhan Belawan telah berdampak pada biaya yang mereka keluarkan semakin membengkak. Kebijakan ini, ditambah lagi dengan dihapuskan Provinsi Aceh yang digabung ke dalam Provinsi Sumatera Utara telah membuat masyarakat Aceh meresa dikhianati oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, pedagang-pedagang Aceh melalui Gasida melakukan protes kepada Pemerintah Provinsi.38

Kekecewaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Pusat bertambah pada tahun 1952 dengan pengumuman Menteri Keuangan tentang pembayaran kembali obligasi tahun 1946 yang hanya dibayar 5 % menurut kurs uang pada saat pengumuman dikeluarkan. Padahal keresidenan Aceh merupakan salah satu keresidenan yang paling sukses dalam pengumpulan dana melalui obligasi. Pemimpin milisi yang berkuasa saat itu telah melakukan berbagai cara agar rakyat mau membeli obligasi. Kebijakan Menteri keuangan tersebut mendapat reaksi luas dari masyarakat. Amelz, mantan ketua Panitia Obligasi Keresidenan Aceh yang waktu itu telah menjadi anggota DPR, terpaksa turun tangan untuk mempersoalkan beleid Menteri Keuangan tersebut. Tanggal 3 Mei 1952 ia mengirim nota menegenai persoalan obligasi tersebut kepada Menteri Keuangan. Akan tetapi, apa pun yang dilakukan, persoalan obligasi telah membangkitkan kekecewaan rakyat

37 S. M. Amin, op. cit. hlm. 103.

38 M. Isa Sulaiman, op. cit. hlm. 244. Lihat juga Nazaruddin Syamsuddin, Pemberonta-

kan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh. (Jakarta: Pustaka utama Grafiti, 1990), hlm. 77.

Dalam paruh kedua tahun 1954 dia menimbulkan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik. Dengan menamakan dirinya “Menteri Berkuasa Penuh” dan “Dutabesar pada Perserikatan BangsaBangsa dan Amerika Serikat” Republik Islam Indonesia, demikian disebutnya Negara Islam ini, ia mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri Ali Sastro-amidjojo pada awal September tahun itu. Dalam ultimatum ini ia menuduh pemerintah “fasis-komunis” membawa bangsa Indonesia hampir ke dalam kehancuran ekonomi dan politik, kemiskinan, percekcokan, dan perang saudara, serta melaku-kan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan Kalimantan, dan selanjut-nya menjalankan politik divide et impera dan kolonialisme, dan mengadu domba berbagai suku bangsa dan agama satu sama lain. Ia bertanya kepada Ali Sastroamidjojo apakah barangkali telah tiba abad baru kolonialisme yang di dalamnya hanyalah kaum komunis yang memungut hasil buah kemerdekaan, sedangkan yang lain dibunuh habis begitu saja. Lalu ia menuntut agar Ali Sastroamidjojo meng- hentikan politik agresifnya, membebaskan tahanan-tahanan politik, dan mulai berunding dengan pemberontak Darul Islam. Bila tidak, maka ia pribadi akan mengambil sejumlah langkah. Umpamanya, ia akan membuka kedutaan-kedutaan di selu-ruh dunia —di Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan semua nega-ra Islam, demikian pula di Perserikatan Bangsa-Bangsa— dan menelanjangi kebuasan Pemerintah Republik dan kekejaman serta pelanggarannya terhadap Hak Asasi Manusia di Aceh di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan me-minta Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan Komisi Pe-nyelidikan ke Aceh. Biarlah forum internasional mengeta-huinya, katanya, tentang tindakan-tindakan kekejaman yang paling keji yang dilakukan di dunia sejak zaman Jenghis Khan dan Hulagu.64

Langkah-langkah lain yang dipertimbangkan Hasan Mu-hammad

64 Hulagu adalah cucu Jenghis Khan yang terkenal bengis dan kejam dalam sejarah

hubungan yang akrab dengan para wakil dan simpatisan di pantai yang berseberangan. Sesewaktu beredar desas-desus, Daud Beureu`eh telah menyeberangi Selat untuk memperoleh dukungan di Malaysia. Di samping itu, Said Abubakar sering disebut berada di Penang atau Singapura untuk mengum-pulkan bantuan keuangan atau bahkan mengadakan hubung-an dengan pemberontak-pemberontak komunis di Malaysia.60 Paling aktif dalam mendapatkan dukungan luar negeri untuk Negara Islam Indonesia, dan kemudian untuk Republik Indo- nesia Serikat kiranya adalah Hasan Muhammad Tiro, abang kandung Menteri Kehakiman DI, Zainal Abidin Tiro.61

Hasan Muhammad Tiro, yang dilukiskan seorang war-tawan Amerika sebagai "inteligen, berpendidikan baik, dan diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat: pesona dan keteguhan hati", lahir di Desa Tiro, dekat Lammeulo di Pidie.62 Dalam zaman Belanda dia adalah salah seorang murid Daud Beureu`eh di Madrasah Blang Paseh di Sigli, sedangkan dalam masa pendudukan Jepang dia belajar di Perguruan Normal Islam Institute; tempat ia menjadi “anak emas” Said Abubakar. Sesudah proklamasi kemerdekaan ia berangkat ke Yogyakarta untuk belajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Dia kembali ke Aceh sebentar untuk bekerja pada Pemerintah Darurat Sjafruddin Prawiranegara. Kembali ke Yogyakarta, dia menjadi salah seorang dari dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia yang pada tahun 1950 menerima beasiswa untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas Columbia. Di Ame-rika Serikat Hasan Mohammad Tiro bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bang-sa sebentar.63

60 Di samping Singapura, Penang, dan New York, Tokyo disebut sebagai salah satu

tempat para simpatisan Negara Islam Aceh berusaha mengumpulkan sokongan keuangan dan moril. Di samping itu di Singapura gerakan ini diwakili "pejabat hubungan masyarakat Irlandia yang giat" (Mossman 1961:44).

61 Gelanggang, op.cit., hlm. 127-128. 62 Gelanggang, Ibid., hlm. 124. 63Ibid., hlm. 54.

yang semakin luas dan mendalam terhadap Pemerintah Pusat.39