• Tidak ada hasil yang ditemukan

Darul Islam SM Kartosoewirjo di Jawa Barat

Pada awalnya, setelah tiga tahun setengah berada dalam kekejaman kolonial Jepang, muncul banyak perlawanan Islam di Jawa Barat, selain yang terbanyak di Aceh. Di Aceh, belum ada sebuah rencana strategis untuk memproklamasikan berdirinya sebuah negara Islam. Namun di Jawa, SM kartosoewirjo sudah memulai menggarap rencana mendirikan negara Islam ini sejak lama. Setelah gagal mensosialisasikan proklamasinya yang pertama pada tanggal 14 Agustus 1945, maka baru pada tahun 1949, di Jawa Barat 7 Agustus, diproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo telah dikumandangkan di desa Malangbong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.24 Proklamasi ini selain sebagai tanggapan terhadap kecenderungan Republik Indonesia ke arah sekuler dan komunis, juga merupakan upaya mewujudkan cita-cita teologis umat Islam yang telah demikian lama tertunda. Perjuangan yang dikenal dengan nama lain Darul Islam ini berpusat di Jawa Barat dengan meluaskan pengaruhnya hingga ke Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh. Pemimpin

Darul Islam ini, S.M. Kartosoewirjo, adalah seorang pemimpin pergerakan umat Islam yang semenjak zaman Hindia Belanda telah lama (mulai 1934-1942) mencita-citakan berdirinya suatu negara Islam di Indonesia. Ia telah dari sejak awal mengumpulkan para pengikutnya untuk melawan Belanda dan berjuang secara non-cooperatif dan tidak mau melalui parlemen (volksraad) atau partai politik yang pernah dimasukinya yaitu PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia) maupun

24 Lihat C. van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (terj.), (Jakarta: Grafiti Pers,

Masjumi (Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia).

Perjuangan Darul Islam ini pada awalnya berkesempatan meng- konsolidasikan diri ketika Divisi Siliwangi TNI dipindah ke Jawa Tengah sebagai pelaksanaan Perjanjian Renville, pasukan-pasukan Lasjkar Hizbullah dan Lasjkar Sabilillah yang berada di bawah kepemimpinan Kartosoewirjo tetap tinggal di Jawa Barat karena memang tidak setuju dengan Perjanjian Renville. Pasukan Hizbullah dan Sabilillah secepatnya mengambil sikap dalam menanggapi kekosongan kekuasaan di wilayah tak bertuan Jawa Barat dengan segera menyusun struktur per-tahanan yang merupakan cikal-bakal sebuah negara. Ketika pasukan TNI Divisi Siliwangi kembali dari Jawa Tengah untuk melakukan perang gerilya, setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II, mereka menjumpai kesatuan-kesatuan Hisbullah dan Sabilillah dan kesatuan-kesatuan bersenjata lainnya yang kemudian bernama Tentara Islam Indonesia (TII). TII mencoba untuk menghalang-halangi kembalinya TNI ke Jawa Barat dan berusaha untuk menarik anggota-anggota TNI ke pihaknya.25 Pertempuran antara pasukan TII dan TNI Divisi Siliwangi pun tidak dapat dihindarkan. Pertempuran pertama terjadi pada tanggal 25 Januari 1949 di desa Antralina, Malangbong, antara Batalyon M. Rivai yang baru tiba dari Jawa Tengah dengan pasukan TII.

Jika di zaman kolonial Belanda, perjuangan Islam lebih menyangkut tarik-menarik dan perdebatan strategi perjuangan antara “per-juangan politik” dan “pembangunan moral”, maka ketika meletusnya perjuangan TII ini pembeda utamanya adalah soal keabsahan Republik Indonesia.26 Sementara partai-partai politik Islam bertolak dari sikap da-sar bahwa RI adalah negara sah, maka Darul Islam (DI) mengingkari ke-absahannya. Betapa pun masalah DI kemudian berhasil "diturunkan" menjadi masalah keamanan, tidak lagi

25 Disjarah TNI, Album Peristiwa DI-TII, (Jakarta: Dinas Sejarah TNI, 1981), hlm. 67. 26 Lihat Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang gagal,

(Jakarta: Penerbit Sinar Harapan), 1996.

Bab XIII

MUSYAWARAH KERUKUNAN

RAKYAT ACEH DI BLANGPADANG:

REINTEGRASI DAN REKONSIALIASI

PASCA KONFLIK

emberontakan ini diakhiri dengan sebuah musyawarah besar, sebuah perhelatan diskursus keacehan dalam keindonesiaan. Jika pada awalnya pemberontakan dimulai dengan Kongres Ulama di Medan, maka kisahnya ini pun diakhiri dengan sebuah kongres dalam bentuknya yang lain, yaitu: MKRA (Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh). Ini berarti akhir yang sesungguhnya dari jihad suci menegakkan

Darul Islam Negara Islam, termasuk jihad menegakkan Negara Islam di Aceh, meskipun tertunda namun sudah mendapatkan akomodasi politik yang sangat besar, sebuah pengakuan akan jati-diri Aceh dan peneguhan sikap dan keinginan menjalankan syariat Islam. Di sini pada bulan-bulan sebelumnya banyak orang-orang DI yang telah “melaporkan diri” atau “turun gunung” atau menyerah. Kondisi ini memberikan peluang bagi Pemerintah Daerah Provinsi Aceh untuk mengadakan perhelatan musyawarah: sebuah upaya untuk mengkonvergensi Aceh dari energi pemberontakan ke energi pembangunan. Keamanan sepenuhnya pulih di Aceh, pada 8 Mei 1962,

mendapat perlakuan yang sedikit banyaknya sama.13 Usaha yang

menyatakan bahwa di mana mungkin mereka akan diintegrasikan ke dalam Pemerintahan Republik dikukuhkan para penguasa militer pusat pada akhir Oktober. Ini berarti memberikan kuasa kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk mengangkat bekas pemberontak yang telah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonsia pada jabatanjabatan dalam pemerintahan sipil.14

Persetujuan Mei secara resmi diterima para pendukung Dewan Revolusi pada suatu konferensi besar yang diadakan dalam minggu pertama November. Pada akhir bulan itu Nasution bertolak ke Pidie. Di sini ia menerima pemberian hormat lima ribu pendukung Dewan Revolusi.15 Suasana ini benar-benar memperlihatkan betapa sebuah

sistem pemerintahan yang baik (good governance) mestilah akomodatif terhadap semua tuntutan rakyat. Karena rakyatlah pemilik saham terbesar negara ini. ***

13 B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff,

1971), hlm. 90-100.

14 Ini berdasarkan Keputusan Penguasa Perang Pusat No. 010541959 31 Oktober 1959.

Indonesia berada dalam keadaan perang dari Maret 1957 sampai Maret 1962. Selama masa ini terdapat Penguasa Perang Pusat (Peperpups dan di provinsi-provinsi Penguasa Perang Daerah (Peperda). Di Aceh yang menjadi ketua Peperda adalah panglima militer, Sjammaun Gaharu, dan wakil ketua gubernur Ali Hasjmy. Lihat Hardi, Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta: Cita Panca Serangkai, 1993), hlm. 149-172.

15 Abdul Murat Mat Jan, “Gerakan Darul Islam di Aceh1953-1959”, dalam Akademika 8,

1976 hlm. 43.

soal ideologis, corak pendekatan yang diajukannya di samping bisa menunjukkan lubang-lubang dalam argumen politik Islam, juga memberi kesempatan kepada faktor luar untuk mengambil inisiatif politik yang pasti, tanpa ambivalensi moral. Sementara itu faktor luar telah makin mendesak dan masalah konstitusional pun makin mengabur, maka terjadilah kegagalan Kon-stituante, PRRI/Permesta meletus yang melibatkan orang-orang Mas-jumi dan PSI dan Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno pun makin kuat.

Perbedaan yang paling mendasar antara Masjumi dengan Darul Islam yaitu bahwa Masjumi menyetujui rumusan-rumusan Pancasila sekaligus berbicara tentang suatu “masyarakat yang Islami”, tetapi tidak berbicara tentang "Negara Islam" sebagaimana Darul Islam. Perkembangan perjuangan Islam selanjutnya pasca-Darul Islam hingga masa Orde Baru adalah gerakan yang terpecah dalam dua arus aktivisme sosial yaitu tradisionalis dan modernis. Yang Tradisionalis adalah gerakan-gerakan yang diwakili oleh NU (Nahdlatul Ulama) dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), sementara yang modernis adalah yang diwakili oleh Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), Al-Irsjad dan lain-lain. Aktivisme dan idealisme politik tidak lagi berani mengemuka setelah kegagalan politik ini. Semenjak itu Islam terus menjadi sasaran kecurigaan Negara, seberapa pun positifnya sumbangan Islam yang bisa diberikan kepada negara. Sejak itu, posisi politik Islam pun mengalami kelumpuhan total.

Kelumpuhan politik ini selanjutnya diperparah oleh perpecahan politik umat Islam masa kemerdekaan yang dimulai dari terpecahnya kekuatan politik Islam Masjumi yang selama tujuh tahun menjadi wakil tunggal politik Islam. Tidak lagi bergabungnya PSII dan NU dalam Masjumi tampaknya memang harus dijelaskan melalui pendekatan sebagaimana telah disebutkan tadi, terutama yang menyangkut persoalan alokasi peran politik antar berbagai faksi kekuatan yang terfusikan dalam Masjumi. Untuk kasus PSII, Soemarso Soemarsono melihat bahwa hal itu disebabkan oleh tak kunjung datangnya kesempatan bagi PSII untuk duduk dalam kabinet. Namun demikian,

persoalan ini tidak begitu mempengaruhi perjalanan Masjumi, karena kecilnya kekuatan PSII itu sendiri. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini merupakan awal melemahnya kekuatan Islam dalam diri partai Masjumi.

Melemahnya Masjumi sebagai kekuatan politik Islam lebih terasakan lagi setelah NU mengikrarkan diri keluar dari partai tersebut. Hal ini disebabkan NU mempunyai massa sangat besar, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sejak itu (1952) NU mengubah dirinya dari jam'iyyah, organisasi sosial keagamaan, menjadi partai politik (hizbul siyasi). Kebesaran massa NU ini dibuktikan pada Pemilu 1955, di mana NU muncul sebagai partai terbesar nomor tiga sesudah PNI dan Masjumi dengan meraih 18,4 persen suara dari seluruh jumlah peserta Pemilu. Karena itu, NU mendapatkan 45 kursi dalam Parlemen. Orang boleh melihat bahwa keluarnya NU dari Masjumi sebagai tindakan oportunistik. Tetapi, bagi NU sendiri hal itu merupakan cara terbaik untuk membebaskan diri dan jamaahnya dari rasa tidak puas, baik politik maupun religius, dalam tubuh Masjumi.27

Perpecahan-perpecahan politik Islam, tetap tidak mengubah orientasi perjuangan sebagian umat Islam untuk terus memperjuangkan gagasan negara Islam. Di dalam berbagai sidang Dewan Konstituante, khususnya Masjumi, tetap menyuarakan ide-ide negara Islam. Sementara itu masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi Konstitusional yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet- kabinet, baik oleh alasan-alasan politis-sekuler maupun politis keagamaan, telah mendorong Presiden Soekarno untuk membubarkan Konstituante. Sejak Soekarno memberlakukan sistem Demokrasi Terpimpin (1957-1965), Indonesia memasuki masa di mana peranan demokrasi telah termanipulasikan oleh prinsip-prinsip kediktatoran, merupakan sebentuk pemerintahan otokratis yang menumpas tanpa setiap oposisi atau pandangan yang tidak menyetujuinya. Soekarno

27 Tentang NU, lihat M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan

Fikih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1994).

atau tidak, merupakan persoalan yang akan diputuskan Konstituante, yang ketika itu sedang membicarakan kembalinya ke Undang-Undang Dasar 1945. Ia menghubungkan hal ini dengan Piagam Jakarta, yang kini kembali menjadi masalah yang hangat diperdebatkan dalam Konstituante di Jakarta. Seperti ternyata, kaum politisi Islam tidak cukup kuat untuk meluluskannya kali ini. Satu-satunya hasil yang mereka peroleh ialah diakuinya oleh Soekarno dalam Dekrit yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Piagam Jakarta telah mengilhami Undang-Undang Dasar ini dan merupakan kesatuan dengannya.12

Kekaburan kompromi ini menimbulkan beberapa masalah pada 1962. Pada akhir tahun itu tersiar berita, Angkatan Darat Pusat menentang (diberlakukannya hukum Islam di Aceh. Berita ini dibantah juru bicara Tentara. Ia membacakan sebuah pernyataan yang pokoknya berisi (1) hukum Islam tidaklah a priori ditolak, karena itu juga tidak di Aceh; (2) dapat dibuat hukum bagi masyarakat Islam yang mungkin disesuaikan dengan hukum Islam; dan (3) Pemerintah Daerah Aceh, sesuai dengan keterangan Misi Hardi, boleh mengeluarkan peraturan-peraturan daerah yang sesuai dengan hukum Islam, asal saja ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum kebijaksanaan negara, kepentingan umum, atau peraturan hukum tingkat yang lebih tinggi. Dalam pembicaraan tentang kompromi politik ini, turut serta Menteri Agama, yang menyatakan dirinya yakin Angkatan Darat Pusat mengakui dan karena itu tidak menolak prinsip hukum Islam di Aceh.

Selanjutnya disetujui secara prinsip, sebagian prajurit Tentara Islam, setelah melalui screening wajib, akan dijadikan wajib militer darurat. Kemudian, pada 1 Oktober disetujui akan dibentuk Divisi Tengku Chik di Tiro sebagai bagian khusus dari Divisi Tentara di Aceh. Pegawai-pegawai negeri Darul Islam yang mengikuti Dewan Revolusi

12 C. van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (terj.), (Jakarta: Grafiti Pers, 1993),

14. K.H. Mustaim: Kementerian Agama

15. Ruhadji Wirjohardjo: Kementerian Dalam Negeri 16. Sukiat: Kementerian Dalam Negeri

17. Sukedjo: Kementerian Pertanian 18. R Sudjati: Kementerian Keuangan 19. M. Selamet: Kementerian Keuangan

20. Tatang Asmawinata: Kementerian Pelayaran 21. M. Sarewo: Kementerian Pelayaran

22. Sutingkir: Kementerian PP&K 23. Zulkifli: Kementerian P.U. & Tenaga 24. Ir. Urip: Kementerian P.U. & Tenaga 25. M. Sudji: Kementerian Perhubungan 26. Sumekto: Kementerian Perhubungan / Penerbangan Sipil

27. M. Nahar: P.I.A. 28. Waluyo: Antara

29. Rusli Jacob: Perusahaan Film Negara 30. Hasan Gayo: Wartawan “Sulindo”

Usaha pemerintah daerah di Aceh mengalami jalan buntu. Dua hari kemudian, 26 Mei 1959, sesudah kebuntuan ini mencapai klimaksnya, Ali Hasjmy dan Letnan Kolonel T. Hamzah dengan sangat cerdik mengambil inisiatif yang akhirnya sampai pada sebuah persetujuan sementara dengan pemimpin-pemimpin Dewan Revolusi NBA-NII yang menerima usul-usul Pemerintah Pusat. Secara tertulis mereka sendiri berjanji kembali ke haribaan Republik dan mengucapkan sumpah setia kepada Undang-Undang Dasar 1945.

Realisasi dan aplikasi dari kompromi ini sesungguhnya masih samar-samar. Seperti telah ditetapkan PM Djuanda sebelumnya, oto- nomi janganlah ditafsirkan sedemikian rupa hingga setiap ketentuan baru yang diadakan akan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Hardi menambahkan di Banda Aceh, masalah apakah masyarakat Islam di Aceh dapat dipaksakan melaksanakan syariat Islam

diangkat menjadi presiden seumur hidup (1962) pada periode Demokrasi Terpimpin ini. Ironisnya, dukungan besar untuk itu justru diberikan oleh kaum nasionalis dari kalangan NU. Posisi Presiden pada masa ini sangat dominan dalam hampir semua bidang kehidupan dan diharapkan sebagai pemeberi kata putus terhadap segala persoalan. Masa ini juga ditandai oleh keengganan kelompok militer karena keberhasilan PKI (Partai Komunis Indonesia) mendekati Soekarno. Meski pernah digunting tahun 1948 oleh pemberontakan Komunis di Madiun, Presiden Soekarno justru memberikan keleluasan lebih besar kepada PKI untuk bergerak dan menguasai panggung politik nasional. Hal ini mendatangkan implikasi cukup serius terhadap seluruh aspek kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai relevansi dengan kehidupan keagamaan umat Islam. Kebijaksanaan Soekarno itu, menurut W.F. Wertheim,28 telah "menjinakkan” kekuatan Islam.

Kebijaksanaan lain Soekarno yang dinilai sangat merugikan Islam adalah keputusannya untuk membubarkan Masjumi yang pernah bekerjasama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) untuk membuat demokrasi tandingan yang diberi nama Liga Demokrasi, karena keterlibatan sebagian pemimpin dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Dengan dibubarkannya Masjumi pada bulan Agustus 1960 itu, NU yang telah menjadi partai politik dan keluar dari keanggotaannya sebagai salah satu partai pendukung Masjumi, tampil sebagai wakil politik Islam. Namun juga memperbesar potensi PKI untuk menguasai massa. PKI tidak hanya berhasil dalam meningkatkan peranannya dalam pemerintahan dan masyarakat, juga lambat laut bekerja sama dengan Presiden lebih erat apalagi karena Presiden tambah lama tambah bergantung pada negara-negara komunis, terutama Cina. Hubungan dengan Cina semakin membuat ekonomi Indonesia terwarnai oleh sistem negara tersebut dan pengaruh orang-

28 Lihat W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition, (The Hague: W. van Hoeve,

orang Cina yang menguasai perekonomian Indonesia.29

Data perjuangan umat Islam yang terentang di atas ini sesungguhnya menggambarkan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik umat Islam. pada periode itu, terutama periode menjelang kemerdekaan dan pada masa Demokrasi Liberal, perhatian sebagian besar pemimpin Islam terpusatkan pada persoalan-persoalan Islam dalam hubungannya dengan pembangunan politik-ideologi. Yang berkembang ketika itu, misalnya, konsepsi bahwa Islam itu adalah dinun wa daulah (agama sekaligus terlibat dalam persoalan- persoalan kenegaraan); Islam itu meliputi kehidupan dunya wa al- akhirah (dunia dan akhirat) dan lain sebagainya.

Apa yang dimaksud sebagai perjuangan politik-ideologi itu adalah Islam sebagai dasar dan ideologi Negara, yang pada awalnya diper- juangkan oleh para pemimpin Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH A. Sanusi, KH Mas Mansyur, Abdul Khahar Muzakir, KH A. Wahid Hasyim, KH Masykur, Sukiman Wirjosandjojo, Abikusno Tjokrosujoso, Agus Salim dan lain sebagainya. Di dalam periode Konstituante (1956- 1959), perjuangan itu dilanjutkan oleh Mohammad Natsir, Masykur, Hamka, Isa Anshary, dan Osman Raliby. Tentang Islam sebagai dasar negara, misalnya, Mohammad Natsir menegaskan pendiriannya bahwa Islam harus dijadikan sebagai dasar negara Indonesia, mengingat ma- yoritas penduduknya beragama Islam. Menurutnya, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (la-dieniyah) atau paham keagamaan (dien). Dan menurut pendapatnya, Pancasila bercorak la- dieniyah, karena itu ia sekuler, sebab tidak mengakui wahyu sebagai sumbernya. Artinya, Pancasila hanyalah semacam produk non-Tuhan, atau produk setan. Adapun sepanjang menyangkut persoalan pemberian gelar Kepala Negara, Natsir tidak mengikuti tradisi pemberian gelar sebagaimana diwajibkan oleh teori politik Islam klasik, yaitu Khalifah. Baginya, sebutan apa saja boleh. Yang penting, seorang

29 Lihat lebih lanjut tentang hal ini dalam Dewi Fortuna Anwar, "Indonesia's Relations

with China and Japan: Images, Perceptions, and Realities," dalam Contemporary Southeast Asia (Singapore), 12, No. 3, December 1990, hal 225-246.

rumah kediaman untuk Tgk. M. Daud Beureu`eh di Kutaraja. Akan tetapi Tgk. M. Daud Beureu`eh menolaknya dengan alasan lebih suka berbaur kembali dengan rakyat di Beureuneun, Pidie untuk mengha- biskan masa tuanya.10 Dengan turunnya Tgk. Daud Beureu`eh dan pe-

ngikutnya maka tuntaslah persoalan keamanan di Aceh berkaitan de- ngan Pemberontakan DI/TII.

Pada waktu yang sama Pemerintah Pusat mengirimkan sebuah misi ke Aceh untuk berunding dengan Dewan Revolusi NBA-NII. Misi ini dipimpin Wakil Perdana Menteri Pertama Hardi, yang di dalamnya termasuk juga Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Gatot Subroto dan Menteri Kestabilan Ekonomi tanpa Portofolio, Kolonel Suprajogi.

Susunan Missi Pemerintah RI

Untuk Penyelesaian Pemberontakan DI/TII A ceh Tanggal 23-26 Mei 195911

1. Mr. Hardi: Wakil Perdana Menteri I

2. Mr. Sugianto: Pembantu Wakil Pedana Menteri I

3. Kol. Suprajogi: Menteri Negara Urusan Stabilitas Ekonomi 4. Jend. Mayor Gatot Subroto: Wakil KASAD

5. Ahmad: Biro Keamanan

6. Mayor Kaswadi: Pembantu (MBAD)

7. Kapten Suhut Alimuddin: Pembantu (Musek) 8. Sutedjo: Pengawal

9. Mayor Arjono: Geni Angkatan Darat 10. S.K. Bonar: Kementerian Penerangan 11. Overste Wilujo: MBAD

12. Lts. P.M. Sudibjo: Pembantu Pribadi Wakil KASAD 13. Abubakar Adami: Kementerlan Agama

10 M. Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 440-456.

11 Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latarbelakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta:

Gubernur Ali Hasjmy dan Pangdam M. Yasin, yang menggantikan Syamaun Gaharu, juga melanjutkan pendekatan-pendekatan untuk membujuk mereka supaya turun. Usaha mereka memperoleh hasil dengan kembalinya satu per satu pimpinan pemberontak ke pangkuan Ibu Pertiwi. Pada tanggal 27 Maret 1961 pimpinan pemberontak di Aceh Besar, A. Wahab Ibrahim dan Sulaiman Ahmad menyerahkan naskah penyerahan diri mereka melalui Bupati Aceh Besar Zaini Bakri. Di Aceh Barat pimpinan pemberontak, M. Yunus Ali, Tgk. Main Idris dan Tgk. Hasan Hanafiah secara berturut-turut pada bulan Maret, Juni dan Juli 1961 dengan para pengikutnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Di Aceh Utara M. Thaher Mahmud, Komandan Resimen II Samudra beserta Kepala Stafnya dan 2.477 personelnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi tanggal 9 Mei 1961. Demikian juga pimpinan pemberontak Aceh Timur seperti Gazali Idris dan O. K. Husen tanpa menunggu persetujuan Wali Negara telah melapor untuk menyerahkan diri. Hal serupa juga diikuti nantinya oleh PM Hasan Ali dan Sulaiman Daud beserta seluruh pengikutnya juga menyerahkan diri.

Setelah para pengikutnya beramai-ramai menyerahkan diri maka posisi Tgk. Daud Beureu`eh semakin terpojok. Surat menyurat maupun negosiasi melalui utusan antara Kolonel M. Yasin – Ali Hasjmy dengan Tgk. Daud Beureu`eh terus dilakukan untuk membujuk Tgk. Daud Beureu`eh turun. Proses yang cukup panjang ini akhirnya berhasil setelah Tgk. M. Daud Beureu`eh yang akhirnya bersedia turun. Proses penjemputan Tgk. Daud Beureu`eh dilakukan tanggal 9 Mei 1962 yang dipimpin oleh Kepala Staf Kodam Iskandar Muda Letkol Nyak Adam Kamil. Turut meyerahkan diri bersama Tgk. Daud Beureu`eh adalah pengikut setianya Ilyas Leube dan Hasballah Daud beserta sekelompok kecil pengiktnya. Rombongan Tgk. Daud Beureu`eh memasuki Kutaraja persis pada Hari Raya Idul Adha di Mesjid Raya Kutaraja. Pada tanggal 21 Mei 1962 diselenggarakan sebuah upacara selamatan di pendopo gubernuran untuk memperingati secara khidmad berakhirnya pemberontakan yang sudah berlangsung hampir sembilan tahun itu.

Sebagai penghormatan terhadap dirinya, Pemerintah menyedikan

ke-pala negara memiliki sifat, hak dan kewajiban yang sesuai dengan ajar-an agama Islam, di antaranya adalah dengan memberlakukan prinsip-prinsip syura (musyawarah) yang dikembangkan dan disesuaikan menurut hasil ijtihad umat. Demikian, corak pemikiran politik Islam Indonesia yang tidak terikat oleh tradisi politik Islam klasik, melainkan bersiteguh pada esensi ajaran Islam yang menyangkut masalah kene-garaan dan kepemerintahan.

Tidak satu pun keinginan para pemimpin Islam, dalam hal ini Islam sebagai dasar dan ideologi negara, terwujud. Kendatipun demikian, hal ini tidak menjadikan proses Islamisasi terhenti sama sekali. Pada masa Soekarno, kendatipun banyak menggariskan kebijaksanaan politik yang kurang menguntungkan perkembangan politik Islam, sebagian langkahnya cukup berarti untuk dinilai sebagai gerak Islamisasi birokrasi. Gagasan-gagasannya untuk menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Israj Mi'raj, Nuzul Qur'an dan lain sebagainya di lingkungan Istana Merdeka, serta upaya membangun mesjid Istana Baiturrahim dan Masjid Istiqlal yang megah itu, merupakan kegiatan yang secara tidak langsung mengarah pada adanya proses 'ofisialisasi Islam'. Jika boleh disimpulkan, sementara pemimimpin Islam berusaha keras agar gagasan tentang Islam sebagai dasar dan ideologi negara diterima, Soekarno, untuk maksud perimbangan kekuasaan, melakukan gerak ofisialisasi Islam. Karenanya, da-pat dikatakan bahwa perkembangan Islam pada masa Soekarno hanya menampilkan dimensi eksoterismenya saja.

Yang menarik dari penjelasan tentang pola-pola pemikiran politik umat Islam pasca kemerdekaan ini adalah munculnya beberapa asumsi tentang persatuan dan perpecahan umat Islam dalam hubungannya dengan persoalan politik-pemerintahan, kekuasaan, dan pemahaman