• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majelis Penimbang dan Harta Uleebalang

Majelis Penimbang dan harta uleebalang juga mempunyai andil yang besar terhadap Peristiwa DI/TII Aceh, sebagaimana keyakinan Pemerintah seperti yang diungkapkan oleh Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo dalam Keterangan Pemerintah dalam rapat pleno DPR tanggal 2 Nopember 1953 mengenai Peristiwa Daud Beureu`eh, yaitu “Pemerintah tetap berkeyakinan bahwa soal harta benda peninggalan

uleebalang merupakan faktor terpenting dalam sebab musabab pemberontakan di Aceh sekarang ini”. Majelis Penimbang dibentuk dengan Peraturan Daerah No. 1 tahun 1946 yang ditandatangani oleh Residen Aceh T.M. Daudsyah dan disetujui oleh Wakil Ketua Badan Pekerja Dewan Perwakilan Aceh, Mr. S.M. Amin, atas anjuran Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh. Badan ini mempunyai hak dan kewajiban mengurus harta dan peninggalan uleebalang yang terlibat dalam Peristiwa Cumbok yang telah tewas.47

Ada dua hak luar biasa yang diberikan kepada Majelis Penimbang untuk dapat menyelenggarakan kewajibannya, pertama Majelis Penim- bang mempunyai hak kehakiman dan keputusannya merupakan vonis yang tidak dapat diganggu gugat; dan kedua, dalam melaksanakan kewajibannya majelis tidak semestinya menurut peraturan (susunan acara-proses) kehakiman, melainkan tergantung atas kebijaksanaan Majelis Penimbang semata-mata.48 Dari kedua kewenangan tersebut

dapat dilihat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Penimbang terhadap harta peninggalan uleebalang sangat besar dan tanpa batas.

Kekuasaan yang cukup besar tersebut telah menimbulkan

46 M. Nur El Ibrahimy, op. cit. hlm. 75.

47 Menurut M. Nur El Ibrahimy, dalam naskah aslinya dicantumkan kata pengkhianat,

bukan uleebalang. Lihat M. Nur El Ibrahimy, ibid., hlm. 173.

48Ibid. hlm. 174.

Barat serta Tapanuli Barat.

Perubahan-perubahan selanjutnya dilakukan pada Sep-tember tahun berikutnya, ketika para pemberontak melaku-kan konferensi di Batee Kureng, di Aceh Besar. Konferensi ini dihadiri sembilan puluh orang, dua orang dari mereka mewakili Sumatera Timur. Konferensi ini diselenggarakan beberapa bulan sesudah Daud Beureu`eh diangkat Karto-su-wirjo sebagai wakil presiden Negara Islam Indonesia, Januari 1955. Selain dari Daud Beureu`eh dimasukkan orang-orang Aceh lainnya dalam kabinet baru seluruh Indonesia Negara Islam Indonesia. Demikianlah Al Murthada (Amin Husin al Mudjahid) diangkat menjadi Wakil Kedua Menteri Pertahanan, Hasan Ali Menteri Urusan Luar Negeri dan Tengku Nya' Tjut (Nya' Cut) Menteri Pendidikan. Di konferensi Batee Kureng dibicarakan kedudukan Aceh dalam Negara Islam Indonesia dan struktur pemerintahan daerah. Mula-mula Daud Beureu- eh hanya bermaksud mengadakan perundingan dengan pena-sihat- penasihatnya yang terdekat, para anggota badan konsultatif Komandemen Aceh, tentang hubungan daerah de-ngan Negara Islam Indonesia dan Republik Insdonesia. Ia menganjurkan pembentukan suatu negara Aceh yang tersendiri, masih dalam kerangka Negara Islam (federal). Hadirnya benar-benar sejumlah pemimpin Darul Islam lebih banyak di Batee Kureng sehubungan dengan rencana untuk merayakan ulang tahun kedua proklamasi 1953 memaksa Daud Beureu`eh mengadakan pertemuan yang lebih besar. Pada pertemuan kedua ini para pemimpin sepakat tentang pembentukan suatu negara tersendiri, walaupun beberapa orang, seperti T.A. Hasan, enggan berbuat yang demikian. Sebagai gantinya mereka mengajukan keinginan mereka menghendaki struktur negara ini yang lebih demokratis, yang di dalamnya pemerintah sipil akan bebas lagi dari peng-awasan militer dan akan dibentuk parlemen. Konferensi mencapai puncaknya dalam Piagam Batee Kureng, dengan mengubah status Aceh dari status provinsi menjadi negara dalam Negara Islam Indonesia.

bersangkutan— yang semuanya termasuk dalam staf komandemen dan tunduk kepada komandan pertamanya—dan paling-paling tiga orang luar, biasanya pemimpin-pemimpin agama.53

Untuk menghasilkan perubahan-perubahan, struktur Tentara Islam Aceh juga harus diubah. Mula-mula Divisi Tengku Chik Ditiro terdiri dari lima resimen, masing-masing terbagi dalam sejumlah batalyon. Sejak akhir 1953 resimen-resimen ini disebut "pangkalan", dan dianggap dalam teori setidak-tidaknya terdiri dari pasukan mobil dan teritorial,54 yang belakangan ini terdiri sebagian besar dari rakyat setem-pat yang bersenjatakan parang, pisau, dan sebagainya. Kini, Juni 1954, divisi ini dibagi lagi dalam enam resimen, satu resimen untuk tiap kabupaten. Kemudian resimen yag ke-tujuh, Resimen Tharmihim terbentuk, untuk melakukan operasi-operasi gerilya di Sumatera bagian timur.55

Para bupati ketika itu ialah: Pidie: T.A. Hasan. Aceh Utara: Tengku Sjeh Abdul Hamid (Ajah Hamid) (Ayah Hamid). Aceh Timur: Saleh Adri. Aceh Selatan: Tengku Zakaria Junus (Zakaria Yunus). Aceh Besar: Ishak Amin (bupati pertama di sini, Sulaiman Daud, bekas residen- koordinator Aceh, ditangkap pada Mei 1954). Komandan Resimen ketika itu: Resimen I (Pidie): Ibrahim Saleh, abang Hasan Saleh. Resimen II (Aceh Utara): H. Ibrahim. Resimen III (Aceh Timur): A.R. Hanafiah. Resimen IV (Aceh Selatan): Saleh Kafa. Resimen V (Aceh Tengah): Iljas Lebai (Ilyas Lebai). Resimen VI (Aceh Besar): Abdullah Wahab. Resimen VII (Sumatera Timur): Haji Hasanuddin (pasukan Aceh Barat, yang dipimpin T.R. Idris, merupakan bagian Resimen Aceh Selatan). Angkatan Polisi Darul Islam dipimpin A.R. Hasjim (A.R. Hasyim). Selanjutnya terdapat tiga wakil gubernur, yaitu: Hasan Aly untuk Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Tengah. Hasan Saleh untuk Aceh Utara, dan Timur dan Langkat-Tanah Karo. A.G. Mutiara untuk Aceh Selatan dan

53 Gelanggang, op.cit., hlm. 63-71; Amin, Peristiwa…., hlm. 72. 54 Gelanggang, Ibid., hlm. 56.

55 BJ. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff

Verhandelingen KITLV, 1971), hlm. 88.

persoalan yang cukup ruwet dalam penyelesaian harta uleebalang. Sampai tahun 1950 Majelis Penimbang masih tetap melakukan fungsinya. Pada tanggal 17 Mei 1950 Majelis Penimbang Pidie secara terbuka mengumumkan pelelangan kilang padi milik almarhum Toke Wahab Meureudu dan T. Laksamana Umar.

Sukar sekali diketahui secara persis jumlah harta uleebalang yang masih menjadi sengketa. Mr. S.M. Amin pada pertengahan tahun 1956 memperkirakan diperlukan dana sebanyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk keperluan ganti rugi, sedangkan Tgk. Hitam Peureulak memperkirakan bahwa Majelis Penimbang Pidie telah menjual 145 gunca dan 9 naleh bibit sawah, 60 petak kebun, 13 buah rumah, 26 kedai, 4 los pasar, 1 pabrik padi Toke Wahab Meureudu di Langsa dan 2/5 bagian pabrik padi T. Laksamana Umar di Sigli. Dari kedua data tersebut tidak mencantumkan perhiasan, kenderaan, dan ternak.

Memang benar Majelis Penimbang telah memproses perkara harta

uleebalang yang berada di tangan mereka, namun bila dilihat jumlah yang diproses, seperti yang diaporkan oleh Tgk. A. Wahab Seulimeum tanggal 6 Nopember 1951 ternyata perkara yang banyak dilayani ma- jelis tersebut lebih banyak menyangkut dengan perkara ganti rugi rumah penduduk yang terbakar akibat perang (terutama di Ilot dan Meutareum), perkara tuduhan bahwa uleebalang mengambil paksa harta penduduk sewaktu mereka masih hidup, dan perkara harta baital mal.

Setelah dihapusnya otonomi telah membangkitkan keberanian ahli waris uleebalang untuk menggugat vonis Majelis Penimbang yang dianggap mereka bertentangan dengan konstitusi. Untuk tujuan tersebut beberapa uleebalang yang berdomisili di Kabupaten Pidie pada pertengahan tahun 1951 membentuk forum koordinasi yang diberi nama Panitia Penuntut Harta Uleebalang di bawah pimpinan T. Harun. Gerakan itu mendapat simpati dari rekan-rekan mereka yang berdomisili di Kutaraja antara lain T. Ali Lam Lagang dan T. A. Rahman Muli, dan juga dukungan dari beberapa ulama berpengaruh yaitu Tgk.

A. Salam Meuraksa, Tgk. Makam Gampong Blang, dan Tgk. Hasan Krueng Kale. Dalam sebuah rapat tanggal 8 April 1951 di Lamteumen, Kutaraja, berhasil dibentuk sebuah badan yang diberi nama Badan Keinsyafan Rakyat (BKR) yang diketuai oleh T. Ali Lam Lagang dengan tujuan membantu Pemerintah. Tujuh hari kemudian BKR telah berhasil menyusun suatu resolusi yang dikirim kepada Pemerintah yang isinya mendesak Pemerintah supaya segera menertibkan 8 butir usulan untuk menegakkan wibawa Pemerintah di mata rakyat, antara lain,

retooling pegawai, memberlakukan pemerintahan militer, dan memaksa Majelis Penimbang untuk mengembalikan harta anak yatim (keluarga uleebalang) yang masih mereka kuasai. 49

Menaggapi persoalan harta uleebalang tersebut Gubernur Suma- tera Utara, A. Hakim, membentuk sebuah wadah yang bersifat integral dan dibentuk pada setiap kabupaten tanggal 2 September 1952 dengan nama Panitia Pemeriksa Harta eks Zelbestuurder. Pada bulan Januari 1953 Gubernur Hakim mengeluarkan pula sepucuk kawat kepada Residen Danubroto yang isinya antara lain, pengembalian harta uleebalang yang ada di tangan Majelis Penimbang ke tangan ahli warisnya, perkara-perkara yan ada di luar kompetensi Majelis Penimbang diserahkan kepada Jaksa di Kutaraja, dan pengiriman vonis perkara yang dijatuhkan oleh Majejis Penimbang ke tangan Gubernur.

Perubahan formal tersebut belum dapat menyelesaikan persoalan harta uleebalang secara tuntas terutama di Pidie. Persoalannya adalah personil yang duduk dalam lembaga baru tesebut umumnya bekas pemimpin milisi. Hal ini ditambah lagi dengan status harta uleebalang yang memang telah habis terpakai atau dijual oleh Majelis Penimbang kepada pihak ketiga. Uangnya sendiri telah diunakan untuk biaya ope- rasional Majelis Penimbang, berbagai keperluan daerah selama Revo- lusi Kemerdekaan, dan ganti rugi terhadap “Korban Perang” di pihak rakyat berupa santunan dan ganti rugi rumah yang dibakar. Situasi tersebut menimbulkan ketidakpuasan dikalangan ahli waris

49 M. Isa Sulaiman, op. cit. hlm. 251.

menduduki kota-kota besar dan kecil dan pasukan Darul Islam terusir ke hutan. Mereka terdo-rong kesadaran, strategi harus diubah dari strategi serangan frontal terhadap pasukan Republik Indonesia menja- di strategi perang gerilya dan kesadaran, jumlah rakyat yang dengan suatu dan cara lain membantu musuh hari demi hari bertam-bah.51

Demi perang gerilya yang lebih efektif, pemerintah militer dan sipil dijadikan dalam satu tangan dengan pembentukan komandemen- komandemen. Maka terdapat suatu koman-demen demikian untuk Aceh secara menyeluruh maupun untuk masing-masing kabupaten (yang terbagi dalam sejum-lah sub-komandemen) dan kecamatan. Komandan satuan militer yang bersangkutan menjadi komandan pertama komandemen dan kepala stafnya menjadi kepala staf koman- demen. Para kepala pemerintahan sipil, bupati atau camat (dan dalam hal sub-komandan kabupaten wedana), dijadikan komandan kedua. Ketiga fungsionaris ini—komandan pertama dari mereka ini adalah pimpinan tertinggi—dengan demikian merupakan komite pelaksana dari setiap komandemen.52

Perubahan-perubahan ini selanjutnya memperkukuh ke-dudukan Daud Beureu`eh, karena kini dia mengepalai baik pemerintahan sipil maupun militer. Bagi Komando Aceh se-cara menyeluruh ini berarti, dia adalah hampir seluruh komi-te pelaksana. Di samping itu, Dewan Syura, Majelis Syura dan Dewan Militer dinyatakan "pasif", sedangkan komandemen di-beri kekuasaan legislatif. Sebagai imbalan, diumum- kan bersa-maan waktunya bahwa semua keputusan yang bersifat legis-latif harus dibicarakan dengan suatu badan konsultatif yang baru dibentuk. Tetapi badan ini terdiri dari pelaksana koman-demen dileng- kapi

dengan kepala-kepala perwakilan pemerintah dari daerah yang

51 Penjelasan Komando Tentara Islam Indonesia Terr.V Divisi Tengku Chik Ditiro 5-4-

1954, lihat dalam JarahDam-I, Dua Windhu KodamI/Iskandar Muda, (Banda Aceh: Sejarah Daerah Militer KODAM Iskandar Muda, 1972).

52 Untuk para komandan resimen dan batalyon-batalyonnya lihat Amin, Peristiwa…,

Belanda Desember 1948.49

Ketika mengajukan alasan yang terakhir, para pemimpin pemberontak mengalami sedikit kesulitan dalam menjelaskan mengapa mereka baru sekarang masuk Negara Islam Indonesia dan tidak sejak lahirnya pada 1949. Karena itu tekanan pada penangguhan pemilihan umum dan pada peru-bahan dalam pemerintah. Walaupun rakyat Aceh terus mene-rus telah mengharapkan dan dengan sabar menantikan per-mohonan mereka dikabulkan Jakarta, dua peristiwa ini merupakan bahan yang terakhir.

Pada mulanya Aceh dibayangkan sebagai suatu provinsi Negara Islam Indonesia dengan otonomi yang luas. Kepala provinsi ini adalah Daud Beureu`eh, yang seperti semasa perjuangan kemerdekaan menduduki jabatan gubernur sipil dan militer dan dalam kedudukan ini juga menjadi panglima Divisi Territorium V Tentara Islam Indonesia, Divisi Tengku Chik Ditiro, dan wakil Pemerintah Pusat Negara Islam Indo-nesia. Dalam urusan sipil ia dibantu suatu dewan peme-rintahan, yang disebut Dewan Syura. Juga diumumkan terbentuknya suatu parlemen, Majelis Syura.50 Dalam urusan militer ia dibantu Dewan Militer, yang terdiri dari tiga orang: Daud Beureu`eh sendiri, Amir Husin al Mudjahid, sebagai wakil ketua Dewan Syura, dan Husin Jusuf, sebagai Kepala Staf Divisi Tengku Chik Ditiro. Pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, tingkat kabupaten dan kecamatan, urusan militer dan sipil untuk sementara tetap terpisah, setidak-tidaknya dalam prinsip. Para komandan satuan tentara setempat tidak perlu menjadi kepala pemerintahan sipil, dan sebaliknya.

Dalam dua tahun berikutnya struktur pemerintahan dua kali beru- bah. Penyesuaian-penyesuaian yang pertama dilaku-kan setelah kaum pemberontak pulih dari kejutan yang dide-rita akibat gagalnya rencana

49 Amin, Sekitar…., hlm. 87-94; Gelanggang, op.cit., hlm.33-34.

50 Dewan Syura terdiri dari seorang ketua (Daud Beureu`eh), seorang wakil ketua (Amir

Husin al Mudjahid), dan lima anggota. Majelis Syura juga terdiri dari seorang ketua (Daud Beureu`eh) dan seorang wakil ketua, sedangkan susunan yang sebenarnya maupun jumlah

anggotanya masih akan ditentukan. Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum

Republik, Kasus Darul islam Aceh, (terj.), (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 134.

uleebalang. Akibatnya persoalan harta uleebalang tidak kunjung selesai menjelang meletusnya DI/TII.50