• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peristiwa yang sudah tegang di Aceh semakin menggelisahkan dengan dilakukannya Razia Agustus. Razia Agustus merupakan kebijakan Kabinet Sukiman dengan tujuan mencari bahan peledak dan penyimpanan barang-barang terlarang yang menghambat kelancaran ekonomi.42 Tentara yang tergabung dalam Brigade AA mengadakan

razia di seluruh Aceh untuk mencari senjata gelap yang diduga masih disimpan oleh sebagian rakyat. Sebenarnya bebarapa bulan sebelum razia ini dilaksanakan telah diperintahkan kepada koordinator kepolisian untuk menarik seluruh senjata api yang ada di tangan perorangan baik yang mendapat surat izin maupun yang tidak. Razia ang dilakukan tiba-tiba pada tanggal 29 Agustus 1951 tersebut didasari pada anggapan bahwa ada orang-orang atau organisasi yang mencoba menimbulkan kerusuhan. Menurut M. Nur El Ibrahimy alasan itu terlalu mengada-ada karena sama sekali tidak ada gejala ke arah itu.43

41 M. Isa Sulaiman, op. cit. hlm. 247- 249. 42Ibid., hlm. 260.

43 M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureu`eh dalam Pergolakan Aceh, (Jakarta:

Media Da’wah, 2001), hlm. 73.

Kabinet baru ini menyusun program sembilan pasal yang di da- lamnya mengadakan reorganisasi dan memperbaiki Pemerintahan Sipil, Tentara dan Angkatan Kepolisian, dan untuk memperbaiki keadaan sosial pegawai sipil dan militernya, maupun rakyat pada umumnya. Langkahlangkah ke arah ini telah diambil dengan pembentukan Akademi Militer di Aceh Timur dan pembangunan rumah-rumah sa-kit.58 Kabinet baru selanjutnya berjaniji dalam programnya untuk meluaskan peradilan, yang secara tegas dinyatakan dalam Piagam Batee Kureng merupakan kekuatan terpisah. Tetapi, sebagaimana halnya dengan Pemerintahan Sipil, ia mengemukakan syarat nyata dalam program itu bahwa harus disadari kenyataan, negara masih dalam perang (gerilya) harus diperhitungkan dalam pelaksanaannya.59

Kabinet tidak mempunyai menteri luar negeri, karena Piagam menyerahkan urusan luar negeri kepada Pemerintah Pusat. Sungguhpun begitu, persis seperti ia pun mempunyai politik pertahanannya, demikian pula Aceh mempunyai hubungan luar negerinya sendiri. Dalam hal ini ia jauh lebih beruntung ketimbang daerah-daerah Darul Islam yang lain. Sebagian ini adalah akibat dekatnya dengan Semenanjung Malaysia, yang memudahkan penyelundupan senjata dan barang-barang lain serta uang, maupun

direkturnya. A.G. Mutiara (juga dikenal sebagai Abdul Gani) adalah pemimpin redaksi harian

Tegas, yang terbit di Banda Aceh. Zainal Abidin Muhammad Tiro (juga dikenal sebagai Zainal Abidin) adalah bekas hakim pengadilan Sigli. Amin, Peristiwa…, hlm.6.

58 Demikianlah ada laporan-laporan dari penduduk desa dekat Kualabee, di Aceh

Barat, yang mendapat perawatan kesehatan cuma-cuma di rumah sakit Darul Islam

setempat; di sini bertugas seorang asing yang juga adalah instruktur militer. Mungkin orang asing ini ialah Dr. Schiphorst, yang hilang dari rumah sakit di Kabanjahe, Tanah Karo, bersama seorang juru rawat bernama Adne Israel, sejak Februari 1954, dan dilaporkan bekerja untuk pemberontak. C. van Dijk, op.cit., hlm. 143-144, 151. Menurut Abdul Murat Mat Jan, Darul Islam mendidik personil kesehatannya di Pulau Kampai, di Sumatera Timur, dan obat-obatan diperoleh dari kerabat mereka ini di luar Aceh dan dari para pekerja kesehatan di Aceh yang bersimpati dengan mereka. Lihat Abdul Murat Mat Jan, “Gerakan Darul Islam di Aceh1953-1959”, dalam Akademika 8, 1976 hlm. 24.

59 Gelanggang, op.cit., hlm. 202-27; Amin, Sekitar peristiwa Berdarah…, hlm.72;

lagi-lagi mengemukakan pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kepala negara, wali negara, yang akan dipilih rakyat Aceh, akan menjadi kepala eksekutif. Tetapi untuk sementara Daud Beureu`eh-lah yang ditunjuk para hadirin. (pasal. 3). Dia dibantu dalam fungsinya oleh suatu kabinet yang diketuai seorang perdana menteri. Kabinet dan para menteri bertanggung jawab kepada kepala negara (pasal 4). Dalam Piagam ini Majelis Syura muncul lagi. Walaupun para anggota parlemen ini dipilih rakyat, untuk sementara waktu mereka ditunjuk Kepala Negara (pasal 5) Majelis Syura yang disetujui di Batee Kureng terdiri dari seorang ketua (Amir Husin al Mudjahid), dua wakil ketua dan enam puluh satu anggota.56 Tidak dibuat ketentuan-ketentuan khusus menge-nai masa jabatan para anggota atau kekuasaannya. Di samping Majelis Syura, dibentuk Majelis Ifta, dewan untuk memberikan fatwa yang diketuai Tengku Hasbullah Indrapuri. Tentang masalah hubungan daerah terhadap Pemerintah Pusat Negara Islam Indonesia, Piagam Batee Kureng menyatakan, Negara Aceh melaksanakan uru- sannya sendiri kecuali dalam soal-soal kebijaksanaan luar negeri, politik pertahanan, dan ekonomi (pasal 6). Bersamaan dengan itu ditekankan, selama Negara Islam Indonesia berada dalam perang dan terus ber- tempur mempertahankan Islam, satuan-satuan Tentara Islam Indonesia yang beroperasi di Aceh harus tetap merupakan alat Negara Aceh seperti juga Angkatan Kepolisian dan lasykar (pasal 8). Dalam kabinet yang baru terbentuk, yang diketuai Hasan Aly sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Husin Jusuf menduduki jabatan Menteri Keamanan, dan T.A. Hasan memegang portfolio Keuangan dan Keseha- tan, sedangkan T.M. Amin diangkat menjadi Menteri Urusan Ekonomi dan Kesejahteraan, Zainul Abidin Muhammad Tiro Menteri Kehakiman. M. Ali Kasim Menteri Pendidikan, dan Abdul Gani Mutyara Menteri Pene-rangan.57

56 Untuk susunannya lihat Dada Meuraxa, Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Medan: Pustaka

Hasmar, 1956), hlm. 54-56.

57 T.M. Amin adalah bekas bupati yang diperbantukan pada Kementerian Dalam

Negeri. Dia Direktur Manager Trade and Development (bekas Indolco) Ltd. dan anggota pengurus Aceh Mining Co., dengan Hasballah Daud, putra Daud Beureu`eh, sebagai

Razia Agustus tersebut telah dimanfaatkan oleh keluarga

uleebalang untuk menekan lawan politik mereka. Hal ini bisa terjadi karena Mayor Hasballah Haji, Komandan Resimen I, sejak awal 1951 telah dipindahkan ke Medan dan digantikan oleh Mayor M. Nazir, dan kesatuan militer yang ditempatkan di Aceh kebanyakan berasal dari pendatang. Para keluarga uleebalang, terutama di Pidie, sebagaimana diungkapkan Hasan Saleh menghasut tentara untuk menggeledah rumah-rumah bekas pejuang termasuk rumah Tgk. M. Daud Beureu`eh, Tgk. Hasballah Indrapuri dan A. Gani Mutiara dengan dalih mencari senjata. Malahan sejumlah eks pemimpin milisi seperti Tgk Tahir (Kepala Negeri Mutiara), H. Ibrahim (Jaksa Lhok Sukon), Peutua Husen, Tgk. Hitam Peureulak, Tgk. M. Aji Di Garot (Trienggadeng), Tgk. Hasan Hanafiah (Kepala Jawatan Agama Aceh Barat), dan Syekh Marhaban (Wedana Kutaraja), ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.44

Penggeledahan secara kekerasan dan penangkapan tokoh-tokoh pejuang itu segera menimbulkan reaksi dari rekan-rekan mereka. Di Aceh T.M. Amin yang waktu itu telah menjadi Presiden Direktur NV. Indolco dan Tgk. A. Wahab Seulimeum, Kapala Jawatan Agama Aceh melakukan kritik terhadap tindakan itu. Di Jakarta M. Nur El Ibrahimy dan Amelz yang waktu itu Anggota DPR pada bulan September dan Oktober mengajukan interpelasi kepada Pemerintah Pusat. Demikian juga Tgk. M. Daud Beureu`eh secara pribadi tanggal 8 Oktober 1951 mengirimkan sepucuk surat kepada Presiden Soekarno menumpahkan kejengkelannya terhadap perlakuan yang ia terima.45 Dalam suratnya ia

mengatakan bahwa dia tidak keberatan ditangkap tetapi jangan dengan alasan yang dibuat-buat dan jangan mengelabui mata rakyat. Dalam menghadapi tindakan sewenang-wenang pihak tentara, lanjutnya, rakyat akan melaui tiga tahap; tahap bersabar, tahap benci, dan tahap melawan. Sekarang sudah sampai ke tahap kedua, oleh karenanya dia mengharapkan kebijaksanaan Presiden, kiranya hal-hal

44 M. Isa Sulaiman, loc. cit. Lihat juga Hasan Saleh, op. cit. hlm. 140-146. 45 M. Isa Sulaiman, ibid. hlm. 261.

yang tidak diinginkan dapat dihindari.46