• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kongres Alim Ulama Se-Indonesia di Medan

Sebelum meletusnya peristiwa bersejarah tanggal 21 September 1953 yang terkenal dengan nama “Peristiwa Daud Beureu`eh”, pada bulan april 1953, bertempat di Istana Maimun Al-Rasyid Medan, telah berlangsung Kongres Alim Ulama seluruh Indonesia yang dihadiri kurang lebih 540 orang ulama. Hajat besar yang diselenggarakan itu

37Ibid.

Bab VIII

KONFERENSI BATEE KURENG DAN

KONSEPSI PRINSIPIL-BIDJAKSANA

erkembangan gerakan Darul Islam sudah mencapai tahap yang menggembirakan ketika banyak rakyat yang mendukung dan hingga tahun 1955 banyak kemajuan dan kemenangan perang yang diraih, meskipun beberapa serangan TNI belum sempat dibalas. Untuk memperingati 2 tahun proklamasi NBA-NII, ketika para mujahidin Darul Islam yang pada waktu itu bergerilya di Baital Julud, memutuskan untuk ‘merayakan’ peringatan hari proklamasi ini dengan syukur berbentuk konferensi dinas. Para utusan DI Aceh Utara mengusul tempat, yaitu di Batee Kureeng, dekat Peudada, Aceh Utara, yang aman untuk berkongres. Gerakan DI ini dimulai dengan Kongres Ulama Se- Indonesia, di tengah-tengah perjalanannya juga terdapat kongres. Gerakan ‘pemberontakan’ ini, dari cara para pelakunya menjalaninya dengan berbagai kongres, adalah sebuah gerakan intelektual.

A. Konferensi Dinas NBA-NII di Batee Kureng

Pada tanggal 23 September 1955, Konferensi Batee Kureeng berlangsung, di suatu desa yang aman, yang sudah dikategorikan sebagai darul amman. Usul-usul Pemerintah Republik dibahas para pemimpin Darul Islam di Batee Kureng. Sebenarnya inilah yang menjadi penyebab langsung kehendak Daud Beureuh untuk berunding dengan penasihat-penasihatnya yang akrab. Hasil kongkret

Peserta Kongres itu ada yang datang dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Ambon bahkan dari belahan timur Indonesia, yaitu NTT turut hadir pula.

Adapun diadakannya kongres itu guna membicarakan seputar nasib umat Islam Indonesia yang baru lepas dari belenggu penjajahan belanda yang ketika itu sedang dipegang oleh Soekarno-Hatta. Para ulama merasakan kegelisahan karena mereka melihat kurang terakomodasinya peran Islam dalam mempertahankan hasil kemerdekaan. Tidak jelas mau dibawa ke mana negeri ini oleh Soekarno.

Pada saat Kongres berlangsung, Dewan formatur yang telah di- bentuk kemudian merasa kebingungan siapa yang akan dipilih untuk menjadi pimpinan karena sulitnya memilih pimpinan yang mampu serta penuh tanggung jawab. Tetapi, hasil keputusan musyawarah dewan formatur yang terdiri dari Al Ustadz Tuan Arsyad Talib Lubis (ulama besar Sumatra Utara), Kiyai Haji Zainal Arifiin Abbas, Al Ustadz Abidin Nurdin, Al Ustadz Yahya Pintor dan Al Ustadz Ghazali Hasan telah menetapkan berdasarkan penelitian satu per satu secara teliti dan cermat berdasarkan kemampuan bahwa yang pantas menjadi Ketua Kongres adalah Teungku M. Daud Beureu`eh (seorang ulama besar dari Aceh). Padahal ketika itu ulama besar Aceh lainnya hadir seperti: Teungku Hasballah Indrapuri, Teungku Haji Krung Kali.

Setelah keputusan diambil, segera mereka berlima mendatangi tempat di mana Teungku M. Daud Beureu`eh menginap. Ketua dele- gasi, Al Ustadz Arsjad Talib Lubis menyampaikan hasil keputusan itu, namun kemudian mendapat sanggahan dari Teungku M. Daud Beureu`eh dengan mengatakan: “Jangan, jangan saya yang menjadi ketua karena saya merasa sangat terbatas dalam ilmu, lebih baik Ustadz memilih orang lain yang lebih alim dan berpengaruh”. Kemudian oleh Ustdaz Talib dijawab: “Kami melihat bahwa Teungkulah yang lebih pantas menjadi ketua, karena umur dan ilmu pengetahuan telah mencukupkan kami untuk memilih Teungku. Teungku adalah ulama revolusi dan reformis”. Karena didesak terus pada akhirnya

Teungku M. Daud Beureu`eh tidak ada jalan lain untuk menolaknya. Kongres yang diadakan selama tiga hari tiga malam dengan rasa kekeluargaan itu telah mendapatkan beberapa keputusan penting yang di antaranya ialah mengajukan kepada pemerintah Republik Indonesia, Soekarno, untuk tidak perlu mengadakan pemilihan umum, sebab umat Islam Indonesia secara mayoritas sudah menang. Hendaknya pemerintah Republik Indonesia tinggal mengganti dan melaksanakannya menjadi negara Islam dan melaksanakan hukum Islam. Dan masalah biaya pemilu dapat dipergunakan ke sektor-sektor yang lain untuk kepentingan rakyat umum.

Sebelum keputusan kongres ini diambil, ketua terpilih, Tgk. M. Daud Beureu`eh, telah mengajukan beberapa pertanyaan kepada para peserta kongres di antaranya adalah: “Bagaimana seandainya resolusi ini tidak diterima oleh Pemerintah Pusat, Soekarno, apakah saudara sekalian sudah siap untuk angkat senjata?” Secara aklamasi peserta kongres menjawab: “Setuju” sambil mengumandang kalimat takbir. “Seandainya resolusi kita ditolak oleh Soekarno apakah saudara sudah siap untuk behijrah dan berjihad?” Peserta menjawab “setuju”. Apakah resolusi kita ditolak oleh Pemerintah apakah kita pantas mengatakan pemerintah ini kafir? Peserta menjawab: “pantas”. Dan yang terakhir Tgk. M. Daud Beureu`eh bertanya: “Seandainya usulan kita diterima, apakah saudara sudah siap untuk bekerja dan memimpin serta berkorban untuk Negara?” Para hadirin menjawab: “Siap”. Alham- dulillah kata Teungku M. Daud Beureu`eh mengakhiri pertanyaannya.

Secara aklamasi para peserta kongres telah bersumpah (berbai’ah) bersama-sama bila pemerintah RI tidak bersedia mengumumkan RI ini sebagai negara Islam berarti para ulama bersiap sedia mengangkat senjata. Keputusan ini ditandatangani oleh semua peserta kongres bahkan ada yang menandatanganinya dengan cap jari darah sebagai tanda bahwa mereka telah bulat dan sepakat untuk memberlakukan hukum Islam di Indonesia.

Selanjutnya hasil dari kongres itu, membentuk tim delegasi yang akan mengantarkan resolusi dan keputusan Muktamar Medan ini

Hasan Muhammad Tiro dengan demikian dapat melanjutkan kampanye propaganda anti-Indonesia-nya di New York. Pada awal 1955 ia mengirim surat kepada dua belas negara Islam dengan meminta kepada mereka memboikot Konferensi Asia-Afrika, kebanggaan Pemerintah Republik, yang akan diadakan di Bandung pada bulan April. Sebagai alasan mendasari permintaannya, ia mengemukakan, pemimpin-pemimpin Islam dan para pengikutnya— kecuali mereka yang membungkuk terhadap kaum komunis—disiksa dan dibunuh Tentara dan Polisi Pemerintah Ali Sastroamidjojo yang “didominasi komunis”.33 Komunisme adalah sumber segala masalah

bagi Indonesia yang religius dan bagi rakyat Aceh semakin memperlihatkan betapa komunis tidak memiliki hati dalam menyelesaikan kasus pemberontakan di Aceh.

Dari pihak Darul Islam Aceh sendiri, juga mengirimkan surat-surat kepada Pemerintah atau Parlemen. Surat-surat dari pusat pemberontakan di Pidie yang dikonsep oleh Hasballah Daud ini sempat menimbulkan reaksi yang keras dari partai-partai sekuler di Jakarta. Semua protes kemudian mengarah pada Pemerintah dan Parlemen di Jakarta, tetapi Pemerintah tidak memberi reaksi. Kemudian surat-menyurat antara Pemerintah dengan Darul Islam Aceh untuk sementara dihentikan, dan baru dimulai lagi sesudah Kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh, dan digantikan pemerintah baru yang dikepalai Burhanuddin Harahap dari Masjumi pada Agustus 1955.34 Jelas sekali,

bahwa haluan politik suatu negara atau pemerintahan akan sangat menentukan bagaimana proses penyelesaian kasus pemberontakan atau protes daerah. Jika komunis yang berkuasa di Indonesia, maka selamanya kasus daru Islam Aceh akan tak pernah selesai. Dari sini pula dapat diambil satu kesimpulan sementara bahwa rakyat Aceh sesungguhnya tidak melawan terhadap pemerintahan Republik, melainkan melawan kuasa rezim komunis fasis yang otoriter. ***

33Ibid., hlm. 443-488.

Aceh, Jawa Barat dan Tengah, Kalimantan dan Sulawesi dan memperjuangkan pengakuan internasional akan dukungan moril dan materiil untuk Republik Islam Indonesia. Di samping itu ia mengumumkan, bila Pemerintah Republik tidak memenuhi tuntutan- tuntutannya, ia akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia juga penghentian bantuan yang diberikan lewat Rencana Kolombo atau oleh Perserikatan BangsaBangsa dan Amerika Serikat.32 Sebuah

ultimatum jihad yang sangat berani yang tak terpikirkan oleh banyak pejuang dan mujahidin Darul Islam yang hidup dan berjuang di tengah-tengah keguyuban alam pedesaan dan lebatnya hutan belantara.

Pemerintah Indonesia menolak tuntutan-tuntutan Hasan Muhammad Tiro dan memberinya waktu sampai 22 September untuk kembali ke Indonesia. Bila perintah ini diabaikannya, maka paspornya ditarik. Ia sama sekali tak bergeming dengan ancaman ini, malah ia mengambil jalan dengan konsekuensi yang berani: Hasan Muhammad Tiro lalu dimasukkan dalam tahanan oleh Imigrasi Amerika dan disekap di Ellis Island. Dia dibebaskan lagi sesudah membayar denda US$ 500,—Ia membalas dengan mengumumkan sepucuk surat dalam New York Times yang meminta perhatian akan kemajuan komunisme di Indonesia sejak Pemerintah Ali Sastroamidjojo berkuasa dan menyampaikan sebuah laporan tentang “Pelanggaranpelanggaran Hak Asasi Manusia oleh rezim Sastroamidjojo di Indonesia”. Reaksi Hasan di Tiro ini sesungguhnya adalah sebuah ekspresi kemarahan intelektual, dengan sangat etis ia mengirimkan surat “kepada Jang Terhormat” Pemerintahan yang komunis di Indonesia. Seandainya Indonesia tidak ada partai komunis waktu itu, maka ia akan bersikap dengan nada yang lebih rendah.

Pemerintah Indonesia tidak mampu membungkam Muhammad Hasan Tiro, atau memintanya diekstradisikan dari Amerika Serikat.

32 Bagian Dokumentasi, Sekitar Peristiwa Daud Beureu`eh, (Jakarta: Kronik Kementerian

Penerangan, t.t., Jilid III), hlm. 445-447.

kepada Soekarno baik lisan maupun tulisan yang menyatakan bahwa hasil kongres ulama di Medan berjalan dengan lancar serta mem- berikan salam dari ketua, Teungku M. Daud Beureu`eh, untuk Soekar- no. Setelah mendengarkan laporan yang disampaikan oleh tim dele- gasi itu, Soekarno dapat memahami dan memaklumi serta meminta kembali kepada para delegasi untuk kembali ke tempatnya masing- masing. Lebih lanjut Soekarno mengatakan: “Saya akan mengutus utusan resmi untuk menjumpai kakanda Teungku M. Daud Beureu`eh”.

Dua minggu kemudian, diutuslah Mohammad Hatta bersama rombongan menjumpai Teungku M. Daud Beureu`eh di Aceh. Moham- mad Hatta secara diplomatis menyampaikan kepada Teungku M. Daud Beureu`eh apa yang dihasilkan dari kongres ulama di Medan telah dipahami oleh Soekarno dan memohon kepada kakanda untuk me- nunda dulu maksudnya, karena menunggu hasil pemilu nanti. Men- dengar ucapan Hatta itu, Teungku. M. Daud Beureu`eh menjawab: “Bung Hatta, kami para ulama pantang menjilat kembali air ludah yang telah kami keluarkan, bila keinginan dan hasil kongres di Medan ditolak oleh pemerintah RI, kami telah siap untuk angkat senjata ber-jihad fisabilillah. Bung Hatta, silahkan malam ini juga tinggalkan Kutaraja, karena saya tidak dapat menjamin keamanan saudara”. Pada malam itu juga setelah berpamitan dengan Teungku M. Daud Beureu`eh, Mohammad Haat bersama rombongan terpaksa berangkat meninggal- kan Kutaraja tanpa hasil.

Dua minggu kemudian Teungku M. Daud Beureu`eh melalui pidato di radio di Kutaraja, menyerukan kepada seluruh para ulama yang ikut bermusyawarah di Medan agar bersiap-siap untuk mengangkat senjata dan berjihad bila tuntutan ditolak oleh Soekarno. Pada tanggal 21 September 1953, Teungku M. Daud Beureu`eh memproklamasikan Darul Islam Aceh dan bergabung dengan Darul Islam NII Jawa Barat di bawah pimpinan Imam Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo. Adapun ulama-ulama hasil kongres di Medan yang turut dengan Teungku M. Daud Beureu`eh hijrah ke hutan hanya sedikit, diantara mereka itu adalah Teungku Haji Hasballah Indra Puri, Teungku

Sulaiman Daud dan Teungku Syech Abdul Hamid Samalanga. Yang lainnya satupun tidak ikut sampai Teungku M. Daud Beureu`eh kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.