• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak terhadap Birokrasi Pemerintahan Sipil

Perubahan administrasi ini juga berdampak cukup luas dalam birokrasi sipil di Aceh. Dalam pemerintah sipil di Aceh saat itu terjadi

29Ibid. hlm. 135-136.

mutasi secara besar-besaran. Tgk. Syekh Marhaban dan Ali Hasjmy pada pertengahan 1952 dipindahkan ke Medan, sedangkan Hasan Ali sejak permulaan tahun 1953 dipindahkan ke Kejaksaan Agung di Jakarta. Mereka yang tidak bersedia pindah menempuh berbagai cara seperti Tgk. M. Daud Beureu`eh dan Hasan Ali yang memilih untuk cuti, sementara T.M. Amin beralih profesi menjadi pedagang. Jabatan- jabatan yang kosong tersebut segere diisi oleh pejabat yang didatangkan dari Sumatera Timur dan Tapanuli.31

Dampak reorganisasi dan rasionalisasi juga menyentuh pada level negeri, mukim sampai ke desa (gampong). Pejabat pamong praja pada ketiga level paling bawah itu selama revolusi kemerdekaan telah diakui sebagai pejabat pemerintah melalui Perda Nomor 3 tanggal 10 Desember 1946, yang memperoleh gaji atau honorarium dari Pemerintah Keresidenan Aceh. Dengan diintegrasikan ke dalam Pemerintah Pusat melalui implementasi UU Nomor 22 tentang Daerah Otonom dan PGSP 1948 tentang peraturan penggajian pegawai negeri, timbulah persoalan siapa di antara pejabat tersebut yang diaggap aparatur paling bawah pamong praja, imeum mukim atau

geuchik, sehingga mengganggu proses pembayaran gaji. Keadaan ini telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat sebagaimana dapat dilihat dengan keluarnya Resolusi kepala negeri, kepala mukim se-Kabupaten Aceh Besar tang 28 Maret 1951 yang berisikan ancaman untuk tidak melaksanakan tugas jika status mereka tidak diakui oleh PGPS 1948.

Berkenaan dengan keluhan kepala negeri dan imem mukm tersebut, Kementerian Dalam Negeri hanya mengakui kepala negeri yang berjumlah 105 buah di Aceh sebagai pegawai negeri dalam kedudukan sebagai asisten wedana. Sementara itu imeum mukim yang berjumlah 552 orang dianggap sebagai perantara antara asisten wedana dengan keuchik, dan kedua mereka tidak diakui sebagai pegawai negeri. Keputusan tersebut telah membangkitkan

31 M. Isa Sulaiman, op. cit., hlm 237.

Bab VII

OPERASI MILITER:

PEMBANTAIAN RAKYAT ACEH DI

COT JEUMPA, PULOT,

GUNUNG KULU, DAN KRUENG KALA

iba-tiba, negara yang tadinya dipersepsikan sebagai “Ibu” datang ke hadapan rakyat Aceh dengan muka yang bengis. Negara Repub- lik Indonesia sudah berubah dari sebuah negara baru yang lemah- lembut, diharapkan kasih dan sayangnya oleh semua rakyat dengan perlindungan dan perjuangan suci mempertahankan kemerdekaan; secara mendadak hadir di di hadapan rakyat Aceh dengan sebuah kemarahan besar: operasi militer. Kebijakan militaire bijstand secara ketat masih tetap dipertahankan untuk pemulihan keamanan di Aceh sebelum pemberontakan reda. Tetap dipertahankannya operasi militer oleh Pemerintah setelah terjadinya Peristiwa Pulot Cot Jeumpa juga yang sangat menggemparkan Indonesia tahun 1955.1 Peristiwa Pulot

Cot Jeumpa adalah peristiwa penghadangan terhadap truk yang membawa 15 orang tentara dari Batalyon 142 yang bermarkas di Lhok Nga, Aceh Besar. Penghadangan ini bermula dari serangan kilat

1 M. Noer el-Ibrahimy, Peranan Teung Muhammad Daud Beureu`eh dalam Pergolakan

Aceh, (Jakarta: Gunung Agung, 1978), hlm. 198.

kegelisahan dikalangan imeum mukim. Merekapun memobilisasi diri untuk memprotes keputusan itu. Sepanjang tahun 1952 para imeum mukim dari Seulimeum, Kutaraja, Pidie, dan Lhokseumawe melakukan rapat-rapat untuk me-nyusun petisi yang akan disampaikan kepada Pemerintah Pusat.Petisi tersebut berisikan himbauan agar nasib mereka ditinjau kembali. Menanggapi petisi tersebut, baik Gubernur Hakim maupun Menteri Dalam Negeri tetap pada pendiriannya, sehingga para imeum mukim tersebut merupakan satu unsur kelompok yang tidak puas kepada Pemerintah Pusat hingga saat menjelang meletusnya pemberontakan.

Jabatan pamong praja lain yang dianggap kurang efisien oleh Gubernur Hakim adalah Residen. Pada tahun 1952 jabatan residen Sumatera Timur dan Tapanuli dihapus, sehingga hanya tinggal Residen Aceh. Begitu Residen R. Maryono Danubroto dipindahkan ke Palembang akhir juni 1953 Gubernur Hakim bermaksud juga menghapuskan jabatan Residen Aceh dan digantikan semacam koordinator saja. Oleh karena itu, Sulaiman Daud, bupati t/b yang bertindak selaku pemangku jabatan sepeninggalan R. Maryono Danubroto tidak diperlakukannya sebagai residen penuh. Situasi demikian rupanya juga telah membangkitkan keresahan politik di Aceh saat itu.

Badan Peradilan yang telah ada pada tingkat negeri sejak masa pendudukan Jepang (kuhoin), yang kemudian menjadi pengadilan rendah, juga tidak luput dari penataan. Pada tanggal 2 Desember 1952 Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Menteri Kehakiman No. 3/451/18 tentang Susunan Organisasi Pengadilan. Implementasi dari ketetapan tersebut mengakibatkan hakim rendah yang telah ada di tingkat negeri (kecamatan) harus dihapuskan. Tindakan tersebut men- dapat reaksi dari para hakim rendah yang secara kebetulan mantan pemimpin milisi. Ketua pengadilan rendah daerah Pidie misalnya, di bawah pimpinan H. Cut Sulaiman telah mengumpulkan rekan-rekan- nya tanggal 20 Juni 1953 untuk membicarakan nasib mereka. Perte- muan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan untuk mengirimkan

dua utusan ke Jakarta untuk membicarakan nasib mereka kepada Pemerintah Pusat.32

Instansi lain yang juga terkena reorganisasi dan rasionalisasi adalah kantor Jawatan Agama. Kantor Jawatan Agama Aceh pada masa revolusi telah memiliki birokrasi yang cukup besar melalui pembentukan sekolah-sekolah agama (SRI, SMI, dan SMIA) dan Mahkamah Syariah, sedangkan Kementerian Agama waktu itu hanya memiliki Mahkamah Syariah di Pulau Jawa dan sekolah agama berupa Pendidikan Guru Agama (PGA) atau Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) dalam jumlah yang sangat terbatas. Birokrasi Jawatan Agama Aceh yang cukup gemuk telah menimbulkan persoalan tersendiri saat ber-gabung ke dalam Kementerian Agama terutama menyangkut status sekolah dan Mahkamah Syariah serta pembiayaannya. Walaupun Pemerintah telah berupaya menyelesaikan masalah tersebut, namun suatu hal yang jelas bahwa kedudukan sekolah agama dan Mahkamah Syariah belum juga selesai menjelang meletusnya pemberontakan. Dengan demikian, sekolah agama dan Mahkamah Syariah telah muncul sebagai basis kelompok yang tidak puas terhadap penghapusan otonomi.33