• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persiapan-Persiapan Intelektual untuk Pemberontakan

H. Provinsi Aceh sebagai Kebanggaan

I. Persiapan-Persiapan Intelektual untuk Pemberontakan

Darul Islam, sebagaimana akan dibahas dalam bab-bab buku ini, adalah gerakan intelektual. Intelektualitas adalah bekas terbanyak yang mereka bawa, ketimbang senjata. Menurut M. Nur El Ibrahimy dengan berlandaskan pada pernyataan Tgk. M. Daud Beureu`eh yang dia peroleh dari Ayah Gani sebelum peristiwa meletus, menyatakan bahwa Peristiwa DI/TII Aceh yang meletus tanggal 21 September 1953 dilakukan dengan persiapan yang tidak matang. Ketidakmatangan ini dilihat dari aspek persenjataan, pembiayaan dan pendukung yang

68Ibid., hlm. 430-431. 69 C. van Dijk, op.cit., hlm. 78.

pemberontak” ini adalah merosotnya ekonomi daerah. Mulanya departemen yang paling banyak pengikut PUSA-nyalah yang paling banyak terkena karena pegawai-pegawainya membelot. Dalam pandangan S.M. Kartosoewirjo,

“Karena ra’jat Atjeh jang terkenal Islam-minded” di bawah pengaruh PUSA, maka “tidak mengherankan djika residen koordinator, bupati2 (Pantjasila) dan lain2), pemimpin, dan komandan di Atjeh, serentak membelok haluan, membela RIK, meninggalkan kedudukannja, dan memihak kepada N.I.I”.26

Diperkirakan dalam suatu penilaian sementara akan keadaan sekitar tujuh puluh persen pegawai Pemerintah Daerah di Jawatan Agama, Urusan Sosial, dan Penerangan telah meninggalkan pekerjaannya dan mengikuti kaum pemberontak.27 Jawatan Pendidikan menghadapi masalah yang berbeda walaupun sama gawatnya, yaitu sebagian besar para guru melarikan diri ke Medan atau mengungsi. Pada bulan-bulan pertama pemberontakan mereka menolak kembali ke Aceh dengan mengatakan, mereka lebih suka dipecat.28 Terdapat soal-soal yang sama dalam pemerintahan setempat. Seperti telah kita lihat, sejumlah bupati memihak kaum pemberontak. Keadaan pada tingkatan yang lebih rendah lebih buruk lagi. Banyak dari pejabat tingkat yang terendah, para keuchik dan

imeum mukim,29 menyeberang ke pihak pem-berontak.30 Yang paling parah terkena adalah Pidie, yang bupatinya, semua wedana, dan semua camat kecuali seorang, dan 99 dari 188 imam mukim berubah

26 S.M. Kartosoewirjo, “Statemen Pemerintah NII Tanggal 5 Oktober 1953”, dalam Al

Chaidar, Pemikiran Politik…, bagian lampiran.

27 S.M. Amin, Peristiwa…, hlm. 7. 28Ibid. hlm. 8.

29 Imeum Mukim (Bahasa Aceh), berati imam mukim, sebuah jabatan religius

terpenting di sebuah desa. Jabatan ini sangat kompatibel dengan struktur politik Darul Islam yang memang ingin menerapkan konsep-konsep politik, sosial dan pemerintahan Islam dalam kehidupan sehari-hari.

30 Keuchik adalah kepala gampong (kampung). Sejumlah kampung merupakan

mereka cukup kuat menghalau Tentara Republik —paling tidak dari sebagian besar wilayah Aceh dan memukul setiap serangan balasan. Akan tetapi ternyata ini merupakan taksiran yang terlalu tinggi tentang pasukan Darul Islam. Mereka tidak mampu menguasai terlalu lama kota-kota kecil dan kota-kota besar. Ternyata mudah saja pasukan Pemerintah Republik dalam serangan balasan menghalau pasukan

Darul Islam ke luar kota-kota ini. Beberapa kota dikuasai kembali dalam beberapa hari. Kota-kota dan daerah-daerah lain bertahan lebih lama di bawah naungan pasukan DI. Tetapi dengan jatuhnya Takengon, Tangse dan Geumpang pada akhir November 1953, para pejuang DI telah terusir dari daerah-daerah perkotaan. Mereka mengundurkan diri ke daerah pedalaman. Di sini, terutama di kabupaten-kabupaten sepanjang pantai utara, mereka melakukan perlawanan gigih dengan cara gerilya dari satu hutan ke hutan lainnya, dari gunung ke gunung.

Para pejabat pemerintah sendiri menyatakan sangat gembira akan hasil yang cepat dari aksi-aksi militer pertama. Demikianlah S.M. Amin, yang segera sesudah itu diangkat menjadi gubernur Sumatera Utara, mengemukakan, dari segi pandangan militer “pemberontakan telah berakhir” dan apa yang masih perlu harus dilancarkan Pemerintah adalah gerakan pengamanan.24 Namun, tentulah jelas waktu itu juga— mengingat keadaan di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan — pengamanan bukanlah masalah yang rnudah. Pasti ini disadari panglima Divisi Sumatera Utara Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon, yang sejak semula mengemukakan pendapat, keadaan sangat gawat dan terus demikian, sehingga para pemberontak tidak mungkin ditaklukkan dengan cara militer saja.25

“Pemberontakan” DI telah membuat pemerintahan daerah ini jadi sangat sulit. Bagi Pemerintah Republik dan sangat mengganggu fungsi administrasi pemerintahan; kop surat dan stempel Republik menjadi tak berlaku. Yang lebih memprihatinkan dari setiap aksi “kaum

24 S.M. Amin, Peristiwa Teungku Daud Beureu`eh, (Medan: 1953), Laporan, hlm. 4. 25 Gelanggang, Op. cit., hlm. 66.

menjadi sumber bantuan biaya dan senjata selanjutnya, serta gerakan yang dilakukan secara tidak serempak.70 Untuk melihat kebenaran

pendapat terebut selanjutnya akan dipaparkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelompok DI/TII menjelang terjadinya peristiwa.

Sebenarnya, kegiatan-kegiatan untuk menggalang solidaritas dan kekutan antar anggota mantan pejuang (milisi) telah dilakukan sejak tahun 1953. Hal ini didasari pada kejadian-kejadian terakhir yang me- nimpa kelompok mereka. Tidak lama setelah kena razia, tanggal 1 Maret 1952 Tgk. M. Daud Beureu`eh yang tidak melaksanakan tugas kepegawaian setelah masa cuti 6 bulan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri melalui siaran RRI. Walaupun 14 bulan kemudian status tersebut dipulihkan, tindakan tersebut sangat melukai perasaan pendukung otonomi. Hal itu ditambah lagi tindakan Gubernur Hakim yang memerintahkan bawahannya Bupati Pidie T.A. Hasan untuk mengambil mobil dinas buick merah dari Tgk. Daud Beureu`eh agar diwaba ke Medan. Sebaliknya, pemerintah memberi kemudahan kepada lawan politik mereka uleebalang, misalnya T. Chik M. Johan Alamsyah dan T. Amat Aree71 memperoleh tunjangan pensiun dari

Kementerian Dalam Negeri. Demikian juga ketujuh orang pemuka Gerakan Said Ali yang diusir ke luar Aceh, sejak 1952 dicabut hukuman bersyarat dan boleh kembali ke Aceh.72

Kejadian-kejadian tersebut bagi pendukung otonomi dianggap sebagai tindakan yang diskriminatif dan tidak dihargai jasa perjuangan yang telah mereka lakukan untuk Republik.73 Kegiatan penggalangan

solidaritas, kekuatan dan menyusun strategi perjuangan dilakukan me- lalui organisasi Pusa dan Pemuda Pusa yang merupakan wadah tradi- sional perjuangan mereka. Sebulan setelah seluruh pemimpin mereka diepas dari tahanan, Pusa dan Pemuda Pusa Pidie menyelenggarakan

70 M. Nur El Ibrahimy, op.cit., hlm. 27. 71 Keduanya mantan Zelbestuurder. 72 M. Isa Sulaiman, op. cit. hlm. 269-270. 73 Hasan Saleh, op. cit., hlm. 147-148.

sebuah Konferensi di gedung SMI Sigli tanggal 2 April 1952, yang di- hadiri juga oleh Tgk. M. Daud Beureu`eh, T.A. Hasan, dan A. Gani Usman. Selanjutnya, para pemimpin Pusa memutuskan akan perlunya kepanduan dengan nama Pandu Islam yang berfungsi sebagai sayap perjuangan bersenjata tanggal 2 Maret 1952. Oleh karena Kepanduan ini mendapat sambutan antusias dari masyarakat, maka dibuka cabang-cabangnya di kabupaten-kabupaten. Menjelang pemberontakan diperkirakan Pandu Islam telah memiliki sekitar 4.000 anggota. Mereka menurut T. A. Hasan mendapat latihan tentara mengenai cara menyerbu dan cara bertahan siang dan malam, oleh mantan tentara. Komi-sariat keresidenan berada di bawah M. Ali Piyeung (mantan Letnan CPM), A. Gani Mutiara (mantan Kapten TRI), dan A. Gani Usman (Kepala SMI).74

Sambil menempa Pandu Islam para pemimpin PUSA mencurahkan perhatian mereka kepada Pemberontakan DI/TII Kartosoewirjo yang meletus di Jawa Barat 7 Agustus 1947. Kontak dengan Kartosoewirjo terbukti dengan kedatangan seorang kurir Darul Islam Mustafa alias A. Fatah ke Aceh bertepatan saat Konferensi PUSA dan Pemuda PUSA di Langsa tanggal 25-29 April 1953. Konferensi yang dihadiri tokoh-tokoh PUSA yang sangat berpengaruh, antara lain oleh Tgk. M. Daud Beureu`eh, Tgk. Amir Hoesin Al-Mudjahid, T.M. Amin, dan A. Gani Usman, juga dihadiri oleh 300 utusan dan sekitar 3.000 hadirin. Di samping kritikan, agitasi dan provokasi terhadap Pemerintah, konferensi tersebut juga membicarakan pembentukan Biro Perjuangan Aceh (BPA) dan korespondensi dengan Imam Kartosoewirjo. BPA yang dipimpin oleh Husin Yusuf dan dibantu oleh Tgk. M. Daud Beureu`eh, Tgk. Amir Hoesin Al-Mudjahid, dan Ali Hasjmy, merupakan organisasi yang memayungi rekan seperjuangan mereka yang telah berjuang pada masa Revolusi Kemerdekaan. Berkenaan korespondensi dengan Imam Kartosoewirjo mereka menunjuk Ilyas Leube mendampingi Mustafa membawa surat Tgk. M. Daud Beureu`eh.75

74 M. Isa Sulaiman, op. cit. hlm. 271. 75Ibid. hlm. 273.

walaupun pada satu saat keadaan menjadi begitu gawat hingga dipertimbangkan untuk mengungsikan penduduk. Sebuah kota lain di Aceh Utara, Bireuen, mereka duduki sebentar. Demikian pula Seulimeum di Aceh Besar, yang direbut pada 21 September. Ketika tentara DI menyerangnya, garnisun Polisi Republik tidak memberikan perlawanan. Dalam pantauan SM Kartosoewirjo, “beberapa markas polisi RIK dan markas TRIK diserang, disapu bersih dan dirampas sendjatanja, sepandjang pantai Timur hingga bagian Barat dan Utara. Beratus2 putjuk sendjata musuh djatuh ditangan A.P.N.I.I. Alhamdu lillah! Muddah2an selandjutnja”, demikian harapannya.22

Di Pidie, tentara Darul Islam gagal merebut Sigli. Mereka lebih berhasil di Tangse, Geumpang, dan Meureudu, tetapi kota yang terakhir ini sempat banyak menyulitkan mereka. Di samping itu, baru direbut sesudah serangan dilakukan oleh "pasukan kawakan Darul Islam Aceh" dan sesudah pembela-pembelanya kehabisan peluru. Pasukan yang menduduki Meureudu terdiri dari satuan prajurit Angkatan Darat yang berasal dari Aceh, dipimpin Hasan Saleh, yang ketika pemberontakan meletus melakukan desersi dan bergerak dari Sidikalang di Tapanuli, tempat mereka bertugas kembali ke Aceh Utara. Hasan Saleh sendiri sudah diberi cuti panjang sebelum meletus pemberontakan.

Di Aceh Tengah pasukan Darul Islam menduduki Takengon. Seperti juga di Meureudu, mereka baru dapat memasuki kota sesudah pasukan Republik kehabisan amunisi. Kota lain yang jatuh adalah Tapak Tuan di Aceh Selatan.23 Pemerintah Provinsi Sumatera Utara di Medan berkabung dengan berpindahnya sebagain besar kota-kota penting Keresidenan Aceh “ke tangan para pemberontak”.

Tidak banyak yang dicapai pasukan DI dengan menduduki kota- kota ini. Mungkin pemimpin-pemimpin mereka mengharapkan,

22 S.M. Kartosoewirjo, “Statement Pemerintah NII Tanggal 5 Oktober 1953”, dalam Al

Chaidar, op.cit.

seolah-olah mungkin pula Langsa mereka rebut tanpa melepaskan sekali tembakan pun. Karena penduduk kota ini, dengan tidak adanya bupati Aceh Timur (yang bagaimana pun memihak kaum pemberontak) dan kepala Polisi, yang kedua-duanya masih berada di Medan, sangat ingin menyerah. Karena itu dikirimkanlah utusan ke Peureulak dan Bayeuen untuk menyampaikan kepada kaum pemberontak maksud keinginan mereka dan membicarakan syarat- syarat penyerahan dengan mereka. Mereka ini kembali dengan pesan, pasukan Darul Islam bagaimana pun akan menuju Langsa untuk mengumpulkan senjata Tentara dan Polisi yang ditempatkan di sana. Rencana menyerah ini dihalangi kepala Polisi ketika kembali dari Medan yang sebaliknya menyodorkan ultimatum kepada kaum pemberontak untuk menyerahkan senjata mereka. Pasukan Darul Islam

mendekati Langsa dari barat dan utara serta melancarkan serangan bersama terhadap asrama Polisi Militer dan Mobile Brigade21 pada 21 September. Tentara Republik yang telah mendapat bala bantuan baru dari Medan dapat memukul serangan ini. Kekalahan kaum pemberontak di Langsa merupakan titik balik dalam pertempuran di Aceh Timur. Pada 23 September 1953 pasukan Republik merebut kembali Bayeuen, dan dalam dua hari berikutnya Idi dan Peureulak.

Di Aceh Utara ibukota daerah Lhokseumawe sering diserang dengan hebat, tetapi selalu gagal, pertama kali pada pagi hari 21 September 1953, ketika para pejuang Darul Islam mengundurkan diri sesudah bertempur kira-kira empat jam. Serangan Tentara Islam Indonesia di Aceh ini penuh dengan improvisasi, penuh dengan trial and error; kaum TII memperbaharui taktik dan strategi beberapa kali seminggu. Dalam hari-hari berikutnya tetapi lagi-lagi tanpa hasil,

21 Mobile Brigade, adalah unit pasukan pengamanan khusus kepolisian, disingkat

Mobrig. Mobrig ini adalah pasukan yang sangat menyeramkan dalam ingatan historis orang-orang Aceh. Mobrig memiliki pos-pos penjagaan di sepanjang jalan di seluruh Aceh yang disebut BOP (Brigade Operation Post). BOP inilah menjadi semacam “pangkalan kematian” dalam persepsi orang-orang kampung dikarenakan operasi mereka yang melampaui batas. Wawancara dengan Saudah Hasan, Geudong, 15 Juni 2006.

Keberangkatan Ilyas Leube dengan Mustafa tidak berhasil karena setibanya di Jakarta tanggal 7 Mei 1953 Mustafa ditangkap aparat keamanan sedangkan Ilyas Leube berhasil meloloskan diri. Penangkapan Mustafa tersebut menurut M. Nur El. Ibrahimy mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap meletusnya Peristiwa DI/TII Aceh. Tertangkapnya Mustafa menyebabkan kegelisahan yang sangat besar pemimpin dan rakyat Aceh karena dia telah membuka perhubungan Tgk. Daud Beureu`eh dengan Kartosoewirjo dan telah menyerahkan kepada Kejaksaan di Jakarta “surat pengangkatan” Tgk. M. Daud Beureu`eh oleh Kartosoewirjo sebagai Gubernur Militer Darul Islam di Aceh.76 Meskipun demikian,

setelah kegagalan itu kontak dilanjutkan oleh M. Yahya Sulaiman dan Tgk. Sulaiman Mahmud, dan juga dengan memakai jasa perantau Aceh sebagai kurir seperti Amin Basyah Kembang Tanjong dan Ismail. Amin Basyah Kembang Tanjong menurut Hasan Aly malah berhasil melakukan kontak dengan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.77

Untuk mematangkan persiapan pemberontakan, Tgk. M. Daud Beureu`eh, Hasan Aly, Zaini Bakri, Sulaiman Daud dan Tgk. Abdul Wahab Seulimum sejak Maret 1953 berkali-kali melakukan pertemuan di Kutaraja, Lameulo, dan Langsa. Dalam kaitannya dengan itu, Zainal Abidin Tiro dan Tgk. Sulaiman Mahmud pada pertengahan 1953 telah melakukan dialog serius dengan tiga perwira Aceh terkemuka, yaitu: (1) Mayor Hasballah Haji, Komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan, (2) Kapten Hasan Saleh dan, (3) Komisaris Polisi M. Insya di rumah Mayor Hasballah Haji tentang rencana gerakan mereka. Rumah Syekh Marhaban juga didatangi oleh pemimpin PUSA untuk mengajak bergabung. Tgk. Amir Husin Al Mudjahid berkunjung ke Medan guna mengadakan kontak dengan pemuda Aceh di sana.

Kontak-kontak tersebut membuahkan hasil, Hasan Aly misalnya malah telah bertindak lebih jauh untuk mengumpulkan rekan-rekan-

76 M. Nur El Ibrahimy, op. cit. hlm. 22. 77Ibid.

nya di Sumatera Timur guna memperoleh persetujuan akhir. Dengan ditemani A.R. Hanafi, pegawai Kantor Agama Aceh Timur menghimpun rekan-rekannya di rumah A. R. Hajad, Bupati Langkat yang berasal dari Blang Keujeuren, di Binjai. Tidak kurang dari 20 orang pemuka Aceh baik sipil maupun militer yang hadir dalam pertemuan tersebut, seperti Syekh Marhaban, Letnan Usman Nyak Gade, Mayor Hasballah Haji, dan Kapten Hasan Saleh. Pertemuan tersebut bertujuan mendapakan kete- gasan dari yang hadir karena hari H pemberontakan yang direncana- kan tanggal 1 Muharam atau 8 September sudah cukup dekat. Dalam kesempatan itu pula Hasan Aly mengajak dua perwira senior Mayor Hasballah Haji dan Kapten Hasan Saleh berbicara secara rahasia di kamar tidur A. R. Hajad. Persoalan yang dibicarakan adalah tata cara melakukan desersi dan sekaligus menetapkan hari dimulainya pemberontakan. Agar desersi mereka berjalan mulus, mereka sepakat pem-berontakan dimulai tanggal 21 September 1953 bertepatan dengan pembukaan PON III di kota Medan.78

Dalam usaha mendapatkan dukungan dari rakyat luas dan me- mompa semangat pengikut para pemimpin pendukung otonomi me- lakukan kritikan-kritikan kepada Pemerintah melalui pidato-pidato dalam rapat-rapat umum yang sengaja diadakan. Menurut A. H. Geulanggang79 pidato-pidato tersebut berisikan agitasi terhadap

dekadensi moral yang dibiarkan oleh Pemerintah Pancasila yang mengakibatkan agama Islam terabaikan. Akibatnya tiap selesai mengi- kuti rapat umum tersebut terbayang dalam pikiran hadirin bahwa Negara Islam yang dicita-citakan telah berdiri. Selanjutnya mereka me- lakukan bai’at (sumpah) terhadap hadirin agar seiya-sekata dalam me- wujudkan Negara Islam.80

Di tengah propaganda-propaganda kepada rakyat untuk

78 M. Isa Sulaiman, op. cit. hlm. 177-178.

79 A.H. Geulanggang adalah nama samaran T.A. Hasan, mantan Bupati Pidie yang pada

tahun 1956 diangkat menjadi Menteri Keuangan dan Kesehatan NII, Negara Bahagian Aceh.

80 A.H. Geulanggang, Rahasia Pemberontakan di Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. S.M.

Amin, (Tanpa tempat penerbit: Pustaka Murnihati, 1956), hlm. 9.

Seruan perang telah berkumandang, panggilan jihad telah me- manggil para pemuda dan orang-tua untuk berangkat ke front, men- jalankan wajib suci menegakkan li Ila’i Kalimatillah. Maka, sebuah pos kecil miliki Mobrig (Polisi) di Peureulak, yang anggotanya kira-kira sepuluh petugas, termasuk yang pertama diserang. Baik pos polisi maupun Kota Peureulak diduduki pasukan pemberontak yang dipimpin Ghazali Idris tanpa suatu perlawanan pun dalam waktu dua jam. Pada tempat-tempat yang strategis diadakan penjagaan dan ben- dera Darul Islam pun dikibarkan dari gedung-gedung penting di kota itu.19 Sesudah itu dan beberapa hari berikutnya kota-kota yang berdekalan, Idi dan Bayeuen, ptn direbut lagi-lagi tanpa perlawanan sedikit pun. Pendudukan semua kota ini banyak dipermudah dukungan yang diperolehnya para pejuang DI dari sejumlah pegawai negeri setempat. Di Peureulak asisten wedana A.R. Hasan, dan di Idi inspektur polisi Aminuddin Ali yang membantu barisan perjuangan DI.20 Para pejabat lokal, sipil dan militer ini, kemudian oleh Pemerintah Pusat dicabut jabatannya dan diberi sanksi yang berat. Tapi, apa pun risikonya, bagi orang-orang Aceh tidak menjadi masalah. Yang penting adalah berjuang. Komunalitas dalam pemberontakan adalah tradisi politik Aceh yang tak pernah hilang.

Sesudah merebut Idi, Bayeuen, dan Peureulak dan menghentikan semua lalu lintas kereta api, pasukan pemberontak bergabung menuju Langsa, ibukota Aceh Timur. Untuk tujuan ini semua bus dan mobil pribadi disita untuk mengangkut pasukan. Sampai pada saat itu kaum pemberontak hanya sedikit mendapat perlawanan, dan Polisi mereka lucuti tanpa mengalami kesulitan sama sekali. Sejenak tampaknya

19 Gerakan Darul Islam Aceh mempunyai empat bendera: sebuah bendera merah

dengan bintang dan bulan sabit putih, sebuah bendera hijau dengan bintang dan bulan sabit putih, sebuah bendera merah dengan bulan sabit putih dan empat bintang, dan sebuah bendera putih dan merah dengan bulan sabit pada jalur merah dan bintang di jalur putih. Pikiran Rakyat, tanggal 4-11-1953.

20 Laporan SM Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soeroengan, 1956),

hlm. 60-61, mengukuhkan, Asisten Wedana Peureulak, A.R. Hasan memihak pemberontak. Yang belakangan ini mengetahui sebuah rapat pada 21 dan 22 September. Di sini nasib pemberontakan ini dibicarakan dan didirikan cabang Tentara Islam Indonesia.

A. Gerilya: Dari Desa Menyerang Kota

Pasukan TII (Tentara Islam Indonesia) Darul Islam Aceh, selama dua minggu pertama pemberontakan menyerang berbagai kota kecil dan kota besar, termasuk Banda Aceh. Aceh hampir sepenuhnya dikuasai oleh Darul Islam. Rencana menyerang kota yang belakangan ini baru diketahui Polisi sehari sebelum malam pemberontakan dimulai, yaitu 19 September 1953.14 Di pantai timur serangan dipusatkan pada kota- kota yang sepanjang jalur kereta api mulai dari Banda Aceh, lewat Seulimeum di Aceh Besar, Sigli dan Meureudu di Pidie, Bireuen dan Lhokseumawe di Aceh Utara, dan Idi, Peureulak dan Langsa di Aceh Timur, hingga ke Medan. Tanpa kata-kata, tanpa riuh-riuh, genderang “perang sabil” sudah ditabuh oleh para pejuang Darul Islam Aceh. Hampir semua rakyat Aceh menjadi mujahidin DI. Semua pejuang sejati hanya butuh satu tempat: front pertempuran. Di sinilah nyawa dan semangat dipertaruhkan, hidup atau mati, membunuh atau terbunuh, menjadi syuhada atau cuak,15 menjadi pahlawan atau pengecut, yang kesemuanya bermuara hanya pada dua pilihan: mati syahid atau menang.16 Jihad waktu itu benar-benar karena Allah.17 Bukan karena ingin memperkaya diri dengan mengutip infaq, shaqaqah atau zakat

atau pajak nanggroe (pajak negara), melainkan karena memang para pejuang DI Aceh adalah “Islam minded”.18

14 A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. SM Amin,

(Banda Aceh: Pustaka Murni Hati, 1956), hlm. 71.

15Cuak, (Bahasa Aceh) berarti pengkhianat, mata-mata. Di beberapa daerah lainnya,

para pengkhianat ini disebut dengan istilah lhoh yang juga bermakna sama.

16 Moto hidup hampir semua pejuang DI di Aceh adalah “Ist kariman aumut syahidan

(hidup mulia atau mati syahid). Moto ini sangat sesuai dengan prinsip moral dan mentalitas rakyat Aceh yang sarat dengan ekstrimitas.

17 Wawancara dengan Teungku Ibrahim A. Rahman, Banda Aceh, 28 Juni 2006. 18 S.M. Kartosewirjo, “Statement Pemerintah NII, Tanggal 5 Oktober 1953”, dalam Al

Chaidar, Pemikiran Proklamator Negara Islam Indonesia, SM Kartosoewirjo, (Jakarta: darul Falah, 1999), bagian lampiran.

mendukung rencana mereka yang dilakukan oleh penuntut otonomi dengan melakukan agitasi kepada Pemerintah yang menurut mereka tidak sesuai dengan Islam dan cenderung kepada komunis, terjadi dua peris-tiwa yang menurut M. Nur El Ibrahimy, di samping kasus tetangkapnya Mustafa, merupakan faktor yang semakin mempercepat meletusnya Peristiwa DI/TII Aceh, yaitu latihan besar-besaran Mobrig di Aceh dan bocornya rahasia “les hitam” di Medan. Latihan Mobrig besar-besaran yang dilakukan di Aceh saat keadaan semakin tegang dianggap oleh para pemimpin Aceh sebagai suatu pameran kekuatan dan juga seba-gai suatu tantangan terhadap tuntutan-tuntutan rakyat Aceh. Latihan Mobrig yang demonstratif itu sangat berlawanan dengan laporan para pejabat Aceh yang mengatakan bahwa situasi daerah mereka aman. Suasana semakin tegang dengan adanya latihan yang dilakukan oleh Pandu Islam yang berjumlah sekitar 4.000 personil di seluruh Aceh yang menurut M. Nur El Ibrahimy mungkin sebagai jawaban terhadap tantangan manuver Mobrig tersebut.81

Adapun “les hitam” menurut M. Nur El Ibrahimy merupakan daftar yang dibawa oleh Jaksa Tinggi Sunarjo dari Jakarta. Di dalamnya disebutkan nama-nama lebih dari 300 orang pemimpin Aceh yang akan ditangkap. Menurutnya nama-nama tersebut didasarkan pada keterangan yang diberikan oleh Mustafa, yang ditangkap sebelumnya. Dia menambahkan bahwa “les hitam’ tersebut sengaja dibocorkan oleh pihak tertentu dan sengaja pula disampaikan kepada Tgk. M.