• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak pembuangan lumpur ke sungai Porong mempercepat proses sedimentasi

ASPEK HUKUM PIDANA KORPORASI DALAM PERISTIWA LUMPUR PANAS DI SIDOARJO

B. Posisi Kasus

9. Dampak pembuangan lumpur ke sungai Porong mempercepat proses sedimentasi

Sebagai salah satu pecahan dari Kali Brantas, Sungai Porong membentang sepanjang ± 50 km dari Dam Mlirip di Mojokerto dan bermuara di pesisir Timur Laut pantai Sidoarjo di Selat Madura (Delta Sidoarjo). Pecahan Kali Brantas lainnya adalah Kali Surabaya, yang melewati Kota Surabaya dan bermuara di bagian Barat Selat Madura. Sungai Porong mempunyai dua anak sungai, yaitu Sungai Kambing dan Sungai Sadar.

Fungsi dan peruntukkan Sungai Porong terlihat sebagai berikut:

a) Sungai Porong dibangun tahun 1800 oleh Pemerintah Belanda sebagai pengendali banjir untuk induk Kali Brantas, yang berada di Mojokerto. Pengendalian banjir di wilayah Kecamatan Porong, Sidoarjo dilakukan khususnya di musim penghujan atau saat debit air Kali Brantas melebihi ambang batas yang membahayakan Surabaya.

b) Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi Kab. Sidoarjo menegaskan fungsi Sungai Porong sebagai pengendali banjir dan saluran pelimpahan erupsi Gunung Kelud.

c) Sungai Porong melintasi beberapa wilayah kabupaten di Jawa Timur, sehingga peruntukkan dan pengawasannya diatur dengan peraturan tingkat propinsi. Menurut SK Gubernur Jawa Timur No. 187 Tahun 1988 tanggal 19 Mei 1988 tentang Peruntukkan Air Sungai di Jawa Timur, air Sungai Porong mulai dari Dam Lengkong sampai Desa Porong menurut peruntukkannya ditetapkan sebagai air Golongan B, yaitu air yang dapat digunakan untuk diolah menjadi

air minum dan keperluan rumah tangga lainnya. Selain itu, air Sungai Porong mulai dari Desa Porong sampai muara peruntukkannya ditetapkan sebagai air Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan pertambakan.

d) Hasil audit lingkungan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kab. Sidoarjo tahun 2003 menunjukkan fungsi Sungai Porong sebagai sumber kegiatan ekonomi mata pencaharian, irigasi pertanian. Salah satu fungsi air Sungai Porong adalah untuk pengairan pertambakan di daerah hilir atau sekitar pantai. Hasil usaha tambak tersebut pada umumnya berupa udang windu dan ikan bandeng, yang dikelola oleh kelompok usaha bersama dengan berlokasi di pesisir pantai Selat Madura dan sepanjang aliran di muara Sungai Porong. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sidoarjo, luas lahan pertambakan di Sidoarjo mencapai ±15.000 Ha202

202

Fungsi dan peruntukkan tersebut didukung dengan hasil studi rona lingkungan oleh Universitas Airlangga (Oktober 2006) yang menunjukkan bahwa Kali Porong kaya akan bentos dan nekton. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Sungai Porong adalah daerah estuarian yang sangat subur. Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup Kab. Sidoarjo menjelaskan bahwa kegiatan ekonomi yang ada di sepanjang aliran Sungai Porong, antara lain tambak ikan, penangkapan ikan dan peternak itik. Sedangkan di daerah pantai atau pesisir timur adalah petambak bandeng, udang windu, serta penangkap ikan, pengumpul kupang dan peternak itik.

Hasil penelusuran Tim BPK-RI di sepanjang Sungai Porong (dari jembatan tol setelah titik pembuangan sampai dengan perairan di muara) pada tanggal 12 dan 13 Januari 2007 menunjukkan bahwa masyarakat memanfaatkan sungai untuk penambangan pasir kali dalam skala kecil dan menengah, serta untuk penangkapan ikan. Selain itu, masyarakat mengambil limpahan air sungai, khususnya pada saat pasang naik, untuk mengairi lahan pertambakan.

Kali Porong digolongkan stabil dan emphemeral karena debitnya selalu ada sepanjang tahun.203

203

Unair; Studi Rona Lingkungan Awal; 2006

Debit air Sungai Porong mencapai tingkat tertinggi sebesar 2.000 m3/detik dan minimum sebesar 0-10 m3/detik yang biasanya terjadi pada saat musim kemarau, dengan rata-rata sebesar 1.500–1.600 m3/detik. Di sepanjang aliran sungai terdapat irigasi teknis dengan sistem jaringan saluran pembawa dan pembuangan (avfour).

Pada saat musim kemarau saluran pembuang difungsikan juga sebagai saluran pembawa untuk mensuplai air irigasi dengan membuat bendungbendung dalam saluran pembawa. Hal ini menunjukkan karakteristik Sungai Porong sebagai lingkungan buatan (man-made environment) yang eksistensi alirannya bergantung pada curah hujan dan air pasang laut.

Pada tanggal 15 September 2006, Bupati Sidoarjo mengambil keputusan untuk membuang lumpur ke Sungai Porong setelah melakukan pembahasan dengan Muspida dan perwakilan warga. Seperti diketahui, pembuangan lumpur tersebut dilakukan tanpa melalui pengolahan (treatment) sebagaimana mestinya.

Berbagai kalangan telah menentang pembuangan lumpur ke Sungai Porong atau laut Selat Madura dengan berbagai alasan sejak kali pertama dicetuskan pada bulan Juni 2006.

Berbagai pendapat tersebut mengindikasikan adanya potential problem

sebagai dampak pembuangan lumpur ke badan sungai atau laut. Potensi ini terkait dengan karakteristik fisik lumpur dan tingkat keasinan. Potensi dampak negatif tersebut didukung pula berdasarkan kesimpulan hasil simposium di ITS tanggal 7 September 2006 yang diselenggarakan KLH bersama dengan UNDP dan Adnan Awad (Konsultan Marine Affair dari Afrika Selatan) yang menunjukkan bahwa kandungan bahan beracun dan tingkat keasinan lumpur Porong tidak membahayakan bagi ekositem lingkungan laut. Namun, potensi bahaya terbesar berasal dari sedimentasi yang akan terjadi di Sungai Porong dan peningkatan turbiditas (tingkat kekentalan) air yang akan mengancam ekosistem laut. Sumber daya alam yang terancam meliputi industri perikanan (tambak udang) di

sepanjang Sungai Porong dan Selat Madura, sektor pariwisata di kawasan perlindungan dan terumbu karang, serta fungsi keanekaragaman hayati dan ekologi di sepanjang pesisir pantai Selat Madura.204

Selanjutnya UNDP memperkirakan dampak pembuangan lumpur ke badan sungai dan laut melalui model berikut:

Skema UNDP tersebut menunjukkan bahwa selain peningkatan sedimentasi dampak pembuangan lumpur adalah perubahan hidrodinamika, peningkatan turbiditas dan lepasnya kontaminan. Keempat dampak tersebut mengkontribusi pada perubahan habitat, kerusakan biota, perubahan tingkat keasinan, dan akibat psikologis atau sikap masyarakat. Dampak akhir diperkirakan berupa perubahan populasi benthos dan ikan, serta perubahan sosial ekonomi masyarakat. Skema tersebut menunjukkan pula adanya keterkaitan antar unsur yang mengkontribusi dampak terhadap lingkungan. Selain itu, dampak

204

Adnan Awad (UNDP) and KLH, “Overview of Risk Factors Associated with Disposal of Sidoarjo Mud at Sea”, Sept 8, 2006

akhir tidak hanya merugikan flora dan fauna, melainkan manusia sebagai salah satu komponen dalam lingkungan hidup.

Lebih lanjut menurut UNDAC (2006) lumpur Porong bercirikan tingginya tingkat salinitas (dibandingkan air sungai) dan tingkat kekentalan (turbiditas/sedimen) dengan kandungan >90% dari clay, serta dapat menciptakan kondisi anaerob (tanpa oksigen). Dampak pembuangan secara tiba-tiba (sudden release) ke dalam lingkungan air (sungai atau laut) akan “membunuh” ekosistem dengan dampak yang serius bagi mereka yang bergantung kepada ekosistem.205

Menurut Universitas Brawijaya (2007) rencana pembuangan lumpur dengan cara mengalirkan ke laut melalui Sungai Porong dapat berdampak makin meluas ke sebagian tambak di sepanjang pesisir Sidoarjo (1.600 ha) dan daerah kabupaten lain di sekitarnya, karena lumpur yang sampai ke pantai akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang pantai. Dampak lumpur potensial meningkatkan kerusakan ekosistem Sungai porong. Ketika masuk ke laut, lumpur dapat mencemari Selat Madura dan sekitarnya.

206

Dampak terhadap lingkungan Selat Madura dipengaruhi pula oleh karakteristik aliran air di Selat Madura yang pada umumnya bersifat “bolak-balik saja”.207

205

UN Disaster Assessment and Coordination, “Environmental Assessment: Hot Mud Flow, East Java-Indonesia”, July 2006

206

Universitas Brawijaya, 2007

207

DKP, Oktober 2006 dan KLH, November 2006

Argumen ini diperkuat pula oleh kondisi Selat Madura yang memang telah mengalami sedimentasi alami dari endapan Sungai Bengawan Solo, Sungai Surabaya dan Sungai Porong.

Citra satelit Landsat tahun 2004 berikut menggambarkan beban sedimentasi yang terjadi di Selat Madura. Walaupun sedimentasi lebih banyak terjadi pada wilayah muara Sungai Bengawan Solo dibandingkan pada muara Sungai Porong, setiap tahun pantai Sidoarjo mengalami reklamasi sejauh ± 9 meter sebagai akibat dari proses sedimentasi alami sebanyak 40 juta m3/tahun. Sedimentasi alami tersebut telah mengakibatkan pendangkalan di sekitar Selat Madura.208

Hasil konfirmasi dengan instansi terkait diketahui bahwa pembuangan lumpur ke laut melalui Sungai Porong akan melewati areal pertambakan udang milik rakyat seluas 15.000 ha. Dinas Perikanan dan Kelautan Sidoarjo menyatakan bahwa pertambakan udang di muara Kali Porong merupakan salah satu area yang berpotensi terkena dampak pembuangan lumpur ke sungai dan laut. Lebih lanjut, Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi Kab. Sidoarjo

208

menerangkan bahwa sedimentasi akan mempengaruhi pula kualitas dan daya serap air terhadap oksigen yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas pengairan khususnya bagi tambak-tambak di hilir dan delta Sungai Porong.

Mengacu pada pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa salah satu potensi dampak pembuangan lumpur adalah sedimentasi sungai, yang pada akhirnya akan menambah beban sedimentasi di muara sungai. Sedimentasi ini akan menghalangi aliran sungai, sehingga akan mempengaruhi ekosistem.

Sedimentasi

Sedimentasi atau pengendapan diartikan sebagai: “Proses pembentukan atau akumulasi sedimen dalam lapisan-lapisan, yang mencakup berbagai proses seperti pemisahan aneka partikel batuan dari bahan sedimen berasal, transportasi berbagai partikel itu ke tempat pengendapan, pengendapan partikel-partikel tersebut, perubahan kimia dan lainnya yang terjadi dalam sedimen, dan pemadatan sedimen itu menjadi batuan keras.”209

• Hasil simposium di ITS tanggal 7 September 2006 menunjukkan bahwa kawasan pantai Sidoarjo mengalami reklamasi secara alamiah yang disebabkan proses sedimentasi dan dinamika perairan Selat Madura. Dengan demikian upaya membentuk lahan basah selaras dengan proses alamiah reklamasi pantai. Mengumpulkan lumpur panas untuk menjadi lahan basah

Namun di lain pihak, menurut beberapa pendapat, pembuangan lumpur ke laut relatif tidak menimbulkan dampak yang negatif terhadap lingkungan, antara lain:

209

untuk ditanami mangrove tidak mengancam kehidupan nelayan tambak dan kehidupan nelayan ikan. Pantai rawa baru menjadi lahan reklamasi kemudian dikembangkan menjadi hutan bakau yang bermanfaat bagi pemijahan ikan, daerah penyangga untuk tambak udang sekaligus sebagai kawasan lindung.210

• Menurut Puslitbang Geologi Kelautan erupsi lumpur Porong merupakan gejala yang sangat lazim terjadi di bumi dan secara alamiah lambat-laun lumpur akan mengalir ke sungai dan berakhir di dasar laut.211

• Menurut Surbaktian Lubis (2006) aliran gravitasi lumpur Porong secara alami akan mengalir ke Kali Porong dan Selat Madura karena bentuk geomorfologi Kali Porong merupakan satu-satunya drainage alamiah yang dapat mengalirkan air lumpur sampai ke laut Selat Madura.

Timnas PSLS mencantumkan pendapat ini dalam Rencana Kerjanya per tanggal 18 September 2006.

212

Menurut Surbaktian Lubis (2006) karakter fisik lumpur Porong secara megaskopis mirip dengan endapan dasar laut Selat Madura. Dengan berat jenis yang relatif lebih tinggi, lumpur Porong akan menyusup di bawah lumpur Selat Madura. Selain itu karakteristik lumpur Porong mirip dengan lumpur yang umum dijumpai di muara-pantai atau rawa-rawa. Lumpur jenis ini sebenarnya sudah akrab dengan kehidupan manusia terutama nelayan

210

Hasil simposium 7 September 2006 sebagaimana dikutip dari “Buku Putih Penanganan Lumpur Sidoarjo”, KLH, Oktober 2006

211

Rencana Kerja Timnas Penanggulangan Luapan Lumpur di Sidoarjo, 18 September 2006

212

Surbaktian Lubis (Puslitbang Geologi Kelautan), “Mengalirkan air lumpur Porong: Sudah siapkah Kali Porong dan Selat Madura menerima dampak multiefeknya?”, 5 Oktober 2006, Web Puslitbang Ekologi Kesehatan

pantai, bahkan dimanfaatkan sebagai dasar kolam pengendapan kristal garam.213

• Menurut KLH, saat entry meeting dengan BPK-RI tanggal 17 November 2006, karakteristik fisik lumpur Porong terdiri dari air (15%), koloid atau air terikat (55%), dan lumpur (30%). Koloid terdiri dari bagian yang bersifat low density dan medium density. Low density koloid dengan skala kepekatan sebesar 1,2 cenderung mengalir dengan mobilitas yang tinggi dan memiliki kandungan padat sebesar <20%. Medium density koloid memiliki skala kepekatan sebesar 1,33 dan mengendap di bawah low density koloid. Lumpur (berupa clay) yang berada pada posisi terendah berjenis high density mud yang mengendap dekat semburan karena memiliki mobilitas rendah dan kandungan padat lebih dari 50%.

• Menurut Surbaktian Lubis (2006) densitas lumpur Porong berkisar antara 1,3– 1,9 gr/cc, sehingga padatan lumpur yang terbawa sampai ke sungai tidak akan sempat mengendap, karena settling velocity (kecepatan pengendapan) lumpur pada air tawar sekitar 20 cm/jam., sedangkan pada air laut 90 cm/jam. Bila dibandingkan dengan kecepatan arus Kali Porong (rata-rata 740 m/jam atau 0,4 knot), maka lumpur akan terbawa terus ke muara. Di muara, lumpur ini akan mengalami hambatan aliran karena efek pendangkalan dan kemungkinan mengendap sebagai endapan muara atau membentuk pulau-pulau lumpur baru. Karena sifat berat jenisnya yang lebih besar dari air laut, maka sebagian

213

Surbaktian Lubis, “Tinjauan Aspek Geologi Kelautan: Tempat Pantas bagi Lumpur Porong?”, 2 November 2006

lumpur akan mengendap di perairan dangkal. Selanjutnya, jika akumulasi lumpur di peraian dangkal ini cukup tebal, maka akan mengalir sebagai rayapan ke perairan yang lebih dalam oleh efek gaya beratnya sendiri.214

Oleh sebab itu, menurut Delyuzar Ilahude (2006) diperkirakan sebagian aliran sedimen lumpur bergerak menyusuri pesisir pantai Sidoarjo setelah terjadi percampuran (mixing) di muara sungai (estuari) akibat adanya turbulen oleh aktifitas gelombang dan arus di muara Kali Porong. Energi turbulen mempunyai (1) daya campur yang tinggi; (2) dapat menetralisir kotoran dan lumpur yang dialirkan ke laut: serta (3) dapat menetralisir kepekatan lumpur secara alami dari muara. Dengan demikian, pada musim Timur, pergerakan lumpur cenderung akan diendapkan ke arah Utara oleh dinamika arus dari arah Tenggara Kali Porong (Pasuruan) pada musim Timur. Sedangkan, pada musim Barat, perairan ini relatif tenang (P3GL 1999) sehingga diperkirakan sebagian sedimen lumpur tersebut cenderung akan diendapkan di daerah estuari dan sekitarnya.

Faktor ini yang menjadi kendala bila terjadi pendangkalan di mulut muara Kali Porong yang akan memperlambat laju aliran lumpur ke arah laut, sehingga pada musim hujan dikhawatirkan akan memicu meluapnya air di bagian hilir Kali Porong. Di lain pihak jika aliran lumpur secara terus menerus terakumulasi di muara Kali Porong, maka lambat laun endapan lumpur ini membentuk delta dan menjadi zona pecahnya gelombang secara alamiah. Dengan adanya hutan mangrove yang berfungsi sebagai perangkap sedimen di pesisir pantai Sidoarjo

214

Subaktian Lubis; “Mengalirkan air lumpur Porong: sudah siapkah Kali Porong dan Selat Madura menerima dampak multiefeknya?”; dikutip dari website Institut Geologi Kelautan; 2006

maka akumulasi sedimen lumpur yang tertahan oleh tumbuhan mangrove disekitar muara Kali Porong dan pesisir pantai Sidoarjo tersebut akan menjadi barier dari energi gelombang yang mengerosi lahan tambak di sepanjang pesisir pantai.215

215

Delyuzar Ilahude; “Dinamika arus pesisir pantai Pasuruan mendorong aliran lumpur Sidoarjo ke arah Utara Kali Porong”; dikutip dari website Institut Geologi Kelautan

Dengan demikian berdasarkan karakteristiknya, lumpur Porong akan terus terbawa di sepanjang aliran sungai sampai ke muara, dan kemudian terendap (atau terhambat sedimentasi alami). Dalam jangka pendek, endapan tersebut akan memicu banjir di daerah hilir sungai. Dalam jangka panjang, tergantung dari musimnya, akumulasi endapan akan terbawa arus laut dan mengendap di daerah Utara (Surabaya) atau di muara Sungai Porong.

Namun demikian, sungai memerlukan daya dorong arus yang sangat besar untuk membawa muatan lumpur yang digelontorkan dalam volume yang cukup besar untuk sampai ke muara. Kondisi ini hanya dapat ditemui pada saat musin penghujan, sebagaimana terlihat dari pengamatan Tim BPK-RI (November 2006– Januari 2007). Pengamatan pada awal November 2006 (musim kemarau) dan Desember 2006 (akhir musim kemarau) menunjukkan dominansi endapan lumpur di sekitar lokasi pembuangan. Namun pada saat musim hujan (akhir Januari 2007), debit arus sungai mampu membawa padatan lumpur ke arah hilir.

Lebih lanjut, hasil penelitian atas dokumen presentasi Timnas mengenai “Konsep Pengaliran Lumpur di Porong” diketahui peta profil dasar Sungai Porong (sumber dari Proyek Brantas) sebagai berikut:

Peta tersebut menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur fisik di sekitar Kecamatan Porong, dalam periode waktu 14 tahun terakhir (1989-2004), telah mengakibatkan penurunan kedalaman (degradasi) Sungai Porong sampai di bawah permukaan air laut. Sebagai contoh elevasi Sungai Porong berada ± 4 m di bawah permukaan laut sebagai dampak pembangunan jembatan Jalan Porong. Penurunan tertinggi sampai lebih dari 10 m di bawah permukaan air laut terjadi setelah pembangunan Jembatan Tol Porong. Demikian pula kemiringan sungai yang semula dirancang sebagai sub sistem drainage pengendali banjir dan irigasi tambak setiap tahunnya mengalami pengurangan.

Selain pembangunan fisik, Unibraw (2007) menilai kegiatan penambangan pasir di sepanjang sungai meningkatkan resiko terhadap kekuatan tanggul sungai

karena pola penambangan konvensional yang terus menerus menggerus lapisan di pinggir tanggul.216 Pengendapan lumpur di badan sungai akan meningkatkan dasar sungai sehingga sungai akan semakin dangkal, sehingga kapasitas atau daya tampung airnya akan berkurang. Kondisi ini akan mengurangi kemampuan fungsi sungai sebagai drainase pengendali banjir. Grafik berikut menggambarkan respon morfologi Sungai Porong apabila digunakan sebagai emergency release channel

untuk pembuangan lumpur ke laut.

Grafik tersebut menjelaskan dampak penambahan endapan di sepanjang sungai yang akan mengurangi kemiringan sungai, sehingga fungsinya sebagai saluran air akan berkurang. Dengan demikian aliran air dari Sungai Brantas, yang memiliki sudut kemiringan 30°-40° dan panjang hampir 80 km, akan

216

“membahayakan” wilayah di sekitar Sungai Porong yang telah berkurang kemampuannya. Selanjutnya menurut Delyuzar Ilahude (2006), mengutip hasil penelitian

Puslitbang Geologi Kelautan (1989), bahwa kondisi air pasang maksimum akan menghambat aliran air sungai ke muara sehingga biasanya pada kondisi ini, air sungai meluap dan banjir sering melanda daerah Sidoarjo, Lamongan, Gresik dan Surabaya pada tahun-tahun yang lalu.217

Hasil konfirmasi lisan dengan anggota Tim Pakar Timnas PSLS, M.Soffian Hadi pada tanggal 29 Januari 2006, diketahui bahwa komposisi lumpur yang keluar pada saat ini telah mengalami perubahan menjadi air (30%) dan lumpur berupa gravel atau kerikil (70%). Temuan tersebut didukung hasil penelitian Unibraw (2007) yang menunjukkan bahwa komposisi dan karakteristik lumpur Porong telah mengalami perubahan yang signifikan. Kajian menunjukkan bahwa komposisi lumpur saat ini (Januari 2007) adalah partikel 75 mm (>90%) dan pasir (<10%), dengan karakteristik dominan gravel (kerikil) berdiameter rata-rata 4 cm. Sifat komposisi tersebut mudah sekali menggumpal keras menyerupai

Dapat disimpulkan bahwa dalam keadaan normal topografi Sidoarjo rentan (vulnerable) oleh ancaman banjir yang berasal dari daya dorong air pasang laut ke Sungai Porong. Proses sedimentasi sebagai “konsekuensi tambahan” pembuangan lumpur akan memperparah kondisi fisik Sungai Porong, sehingga akan mengurangi kemampuan atau daya tampung air, serta menambah resiko terjadinya luapan atau banjir di Sidoarjo.

217

kerikil pada saat mencapai permukaan. Perubahan pola dasar lumpur ini tentunya akan membawa konsekuensi tersendiri, sehingga perlu penelitian lebih lanjut.

Hasil pengujian dan pengamatan fisik ke lapangan (sepanjang sungai Porong) dan analisa atas hasil penelitian para ahli diatas yang dilakukan oleh Tim BPK-RI diketahui bahwa padatan lumpur, khususnya yang memiliki tingkat kepekatan medium dan berat menghambat aliran air ke hilir serta cenderung tidak bergerak.

Pengamatan yang dilakukan oleh Tim pada tanggal 16 November 2006 dan 18 November 2006 di lokasi pembuangan (spillway) menunjukkan bahwa terdapat penumpukkan lumpur di lokasi spillway dan wilayah Kali Porong dekat

spillway. Kondisi ini disebabkan pula oleh debit air Sungai Porong yang hampir mendekati nol (tidak mengalir).

Hasil pengamatan lanjutan pada tanggal 12 dan 13 Januari 2007 menunjukkan bahwa debit air Sungai Porong sebelum titik pembungan masih relatif kecil, sehingga tidak dapat mendorong sedimen lumpur yang telah dibuang.

Hasil pengamatan lanjutan pada tanggal 23 Januari 2007, saat debit air sungai cukup tinggi dan mengalir dengan kecepatan deras, tidak terlihat pengendapan lumpur di lokasi pembuangan. Tetapi bila sungai dalam keadaan debit normal (musim kemarau maka akan tampak penumpukan lumpur seperti gambar di atas).

Pengamatan tersebut menunjukkan bahwa alam (sungai) membutuhkan air dengan volume yang sangat besar untuk dapat membawa lumpur ke arah hilir. Kondisi ini hanya dapat dijumpai pada musim penghujan. Mengingat saat ini asumsi telah berganti menjadi semburan abadi maka perlu dipikirkan langkah untuk mengalirkan lumpur, tidak hanya di musim penghujan namun juga saat musim kemarau dalam kondisi minim air sungai.

Tim dari Puslitbang Geologi Kelautan (2006) menemukan bahwa aliran lumpur tidak bergerak ke arah muara Kali Porong. Penyebabnya adalah sifat fisik dari lumpur yang cenderung lebih cepat mengendap ketimbang laju dari aliran arus menuju muara selama perubahan siklus pasang menuju surutnya laut.218