• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM PIDANA

2. Kejahatan korporasi

J.E Sahetapy dalam bukunya kejahatan korporasi menyatakan bahwa untuk memberikan suatu rumusan mengenai tindak pidana korporasi (corporate crime) sampai saat ini masih suatu dilema, sama dilemanya dengan konsep white collar crime yang diperkenalkan pertama kali oleh Edwin H. Sutherland. Setelah pidato bersejarah Sutherland pada tahun 1939 (dimuat dalam American Sociological Review, Vol.5, hal.1-12), menurut Sahetapy muncul setumpuk istilah dengan makna dalam konteks yang berbeda dan dalam ruang lingkup yang tidak sama pula. 96

Setiyono menuangkan pendapat Shutherland mengenai rumusan white collar crime sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan social yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by person of respectability and high social status in the course of their occupation). Melalui rumusan tersebut, Shutherland ingin mengunjukkan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang dapat diketemukan juga dalam kelas-kelas masyarakat yang lebih tinggi, yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara tradisional, seperti kemiskinan (poverty), atau factor-faktor patologik yang bersifat individual.97

96

Sahetapy, Kejahatan Korporasi , Eresco, Bandung, Hal. 25

97

Ada 3 hal yang menjadi tujuan pengungkapan white collar crime dalam pidato Shutherland. Pertama, ia ingin menegaskan bahwa white collar criminality

adalah kejahatan nyata. Kedua, ia mengingatkan bahwa yang melanggar hukum, melakukan kejahatan, bukan saja mereka golongan kecil yang tidak mampu, melainkan juga mereka dari kalangan atas yang terhormat dan berkedudukan social tinggi. Ketiga, ia ingin memberi dasar yang lebih kokoh bertalian dengan teori yang telah dikembangkannya, yaitu : teori asosiasi defensial (differensial association).98

Yusuf Shofie mengutip pendapat Romli Atmasasmita dalam bukunya Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, bahwa dari perkembangan teori asosiasi differesial Sutherland (1947), ia menegaskan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari. Bila semula Shutherland menggunakan istilah ”social disorganization” (1934), kemudian ia menggantikannya dengan istilah ”differential social organization” (1947). 99

Menurut Atmasasmita butir-butir terakhir pemikiran Shuterland tentang teori asosiasi differensial setidaknya ada sembilan, sebagai berikut: 100

1) Tingkah laku kriminal dipelajari;

2) Tingkah laku kriminal diperjari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi;

3) Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok intim;

98

Sahetapy,Op.Cit. Hal. 19-20

99

Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, Hal. 79

100

4) Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi / dorongan atau alasan pembenar;

5) Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan, menyukai atau tidak menyukai;

6) Seseorang menjadi ”delinquent” karena penghayatannya terhadap peraturan perundang-undangan, lebih suka melanggar daripada mentaatinya;

7) Asosiasi differensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan internsitas;

8) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti-kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar;

9) Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan perncerminan dari kehutuhan-kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena tingkah laku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.

Kembali kepembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan korporasi, Muladi berpendapat sebagaimana dikemukakan oleh Setiyono dalam bukunya kejahatan korporasi. Dalam literatur sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk white collar crime. Dalam arti yang luas, kejahatan korporasi ini sering rancu dengan tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi.101

101

Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager mendefenisikan kejahatan korporasi sebagai berikut, A corporate crime is any act commited by corporations that is punished by the state, regardless of whether it is punished under administrative, civil or criminal law. (Kejahatan korporasi adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah dibawah hukum administrasi negara, hukum perdata, maupun hukum pidana).102

Selain itu,Clinard dan Yeager yang concern melakukan studi terhadap kejahatan korporasi, sebagaimana dikutip oleh Arif Amrullah dakam bukunya kejahatan korporasi, menemukan adanya enam jenis kejahatan korporasi yang berkaitan dengan administratif, lingkungan, tenaga kerja, produk barang, dan praktek-praktek perdagangan tidak jujur.103

Berikut akan dijelaskan mengenai jenis-jenis kejahatan korporasi menurut Clinard dan Yeager, yaitu:104

1) Pelanggaran dibidang administrative meliputi tidak memenuhi persyaratan suatu badan pemerintahan atau pengadilan, seperti tidak mematuhi perintah pejabat pemerintah, sebagai contonya membangun fasilitas pengendalian lingkungan.

2) Pelanggaran di bidang lingkungan hidup meliputi pencemaran udara dan air berupa penumpahan minyak dan kimia, yaitu seperti pelanggaran terhadap surat izin yang mensyaratkan kewajiban penyediaan oleh korporasi untuk

102

Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager., 1985, Corporate Ethics And Crime The Role Of Middle Management, Sage Publications. USA.

103

Arif Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Malang, 2006, Hal. 82

104

pembangunan perlengkapan pengendalian polusi, baik polusi udara maupun air.

3) Pelanggaran di bidang keuangan meliputi pembayaran secara tidak sah atau mengabaikan untuk menyingkap pelanggaran tersebut, seperti penyuapan di bidang bisnis, sumbangan politik secara tidak sah, dan pembayaran (suap) untuk pejabat-pejabat asing, pemberian persenan, dan manfaat atau keuntungan secara ilegal. Contoh pelanggaran yang berkaitan dengan surat-surat berharga yakni memberikan informasi yang salah atas wali utama, mengeluarkan pernyataan salah. Pelanggaran transaksi meliputi syarat-syarat penjualan (penjualan yang terlalu mahal terhadap langganan), penghindaran pajak, dan lain-lain.

4) Pelanggaran perburuhan dapat dibagi menjadi tipe utama, yaitu diskriminasi tenaga kerja (ras, jenis kelamin, atau agama), keselamatan pekerja, praktek perburuhan yang tidak sehat, upah dan pelanggaran jam kerja.

5) Pelanggaran ketentuan pabrik melibatkan tiga badan pemerintah, yaitu: the Consumer Product Safety Commision bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap the Poison Prevention Packaging Act, the Flamable Fabrics Act, dan the Consumer Product Safety Act; the National Highway Traffic Safety Administration mensyaratkan pembuatan kendaraan bermotor atau memberitahukan agen dan pemilik, pembeli, dan kecacatan dari pedagang sehingga mempengaruhi keselamatan kendaraan bermotor, disamping itu juga mensyaratkan pembuat (pabrik) untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Kecacatan itu meliputi mesin sebagai akibat dari kesalahan pada bagian

pemasangan, pemasangan bagian yang tidak benar, kerusakan sistem dan desain yang tidak baik. Terkait dengan hal itu , dapat dikemukakan satu contoh kasus di Indonesia, yaitu sebagaiamana yang pernah dikemukakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang ditayangkan oleh salah satu televisi swasta nasional. YLKI menyatakan bahwa ada seorang konsumen yang baru saja membeli mobil dengan merek Mercedes Benz, namun ketika dipakai oleh pemiliknya bannya pecah, padahal semuanya baru. Setelah diteliti, ternyata mobil impor tersebut bukan untuk daerah tropis; kemudian Food and Drug Administration, antara lain yang berkaitan dengan kesalahan dalam pengepakan, label, merek, dan sebagainya.

6) Praktik perdagangan yang tidak jujur meliputi macam-macam penyalahgunaan persaingan (antara lain monopolisasi, informasi yang tidak benar, diskriminasi harga), iklan yang salah dan menyesatkan merupakan hal penting dalam praktek perdagangan yang tidak jujur.

Selain Clinard dan Yeager,defenisi lain mengenai kejahatan korporasi juga dikemukakan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi dalam Tesisnya. Beliau mendefenisikan kejahatan korporasi sebagai bagian dari White collar crime (kejahtan kerah putih) yang menurut Shutherland merupakan “…is a violation of criminal law by the person of the upper socioeconomic class in the course of his occupational activities”.

yang mempunyai tingkat social ekonomi kelas atas yang berhubungan dengan jabatannya).105

Dari rumusan ini terlihat bahwa pada awalnya konsepsi white collar crime dibatasi pada perbuatan pidana (yang ada dalam hukum pidana), namun selanjutnya oleh pelaku yang mempunyai kekuatan ekonomi yang kuat dan biasanya berbentuk organisasi atau korporasi serta kejahatan sehubungan dengan kedudukannya di korporasi tersebut, baik sebagai direktur, manajer dan lain sebagainya dalam rangka mencapai keuntungan dan tujuan korporasi tersebut. 106

Mahmud Mulyadi dalam Tesisnya juga mengutip pendapat I.S. Susanto menerangkan hal ini dengan mengutip tulisan Steven Box, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hamzah Hetrik, yang menjelaskan ruang lingkup kejahatan korporasi adalah sebagai berikut: 107

1. Crimes for corporation, merupakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam usahanya mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh keuntungan (profit).

2. Criminal corporation, adalah korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan.

3. Crimes against corporations, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi, seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, yang dalam hal ini korbannya adalah korporasi.

105

Mahmud Mulyadi, Op.Cit, Hal. 69.

106

Ibid , Hal. 69-70

107

Mengenai hal ini, Setiyono dalam bukunya Kejahatan Korporasi juga memberikan penjelasan sebagai berikut: 108

a) Crimes for corporation inilah yang merupakan kejahatan korporasi (corporate crimes). Dalam hal ini dapat dikatakan, “corporate crime are clearly committed for the corporate, and not against.” Kejahatan korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi dan bukan sebaliknya.

b) Kejahatan terhadap korporasi (Crime against corporation), yang sering dinamakan dengan employee crimes, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi, misalnya penggelapan dana perusahaan oleh pejabat atau karyawan perusahaan tersebut. Pelaku kejahatan ini (crime against corporations) tidak hanya terbatas pada pejabat atau karyawan yang bersangkutan, tetapi masyarakat secara luas bisa menjadi pelaku kejahatan terhadap korporasi.

c) Criminal corporations adalah korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Kedudukan korporasi dalam criminal corporations hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan; sebagai ”topeng” untuk menyembunyikan wajah asli dari suatu kejahatan. Dikatakan masuk akal bahwa badan hukum secara sah dapat ditentukan untuk melibatkan diri dalam kriminalitas, namun hal ini memerlukan adanya penipuan secara besar-besaran

Setiyono menambahkan,bahwa hal penting untuk membedakan antara crime for corporation atau corporate crime atau kejahatan korporasi dengan

108

criminal corporations adalah berkaitan dengan pelaku dan hasil kejahatan yang diperoleh. Pelaku dalan kejahatan korporasi adalah korporasi itu sendiri. Sedang pelaku dalam criminal corporations, utamanya adalah penjahat di luar korporasi, dan korporasi hanya sebagai sarana untuk melakukan kejahatan. Hasil kejahatan yang diperoleh sesuai dengan peran dari pelakunya. Hasil kejahatan dalam kejahatan korporasi adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri. Keadaan semacam ini tidak terjadi dalam criminal corporation, karena korporasi ini hanyalah sekedar sebagai alat untuk melakukan kejahatan.109

Berkaitan dengan hal ini, Mahmud Mulyadi kembali mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro, yang mengemukakan bahwa kejahatan korporasi sebagai bagian white collar crime perlu dibedakan dengan corporate crime yang dilakukan oleh small business dan big business, karena:

Berdasarkan pemaparan diatas, maka semakin jelas bahwa dari ketiga bentuk white collar crime, maka yang dapat dikualifikasi sebagai corporate crime

(kejahatan korporasi) adalah bentuk yang yang pertama yaitu crimes for corporations. Argumentasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi crimes

for corporations sebagai kejahatan korporasi dapat dilihat dari tujuan pelaksanaan kejahatan tersebut adalah untuk kepentingan perusahaan itu sendiri.

110

1) Kejahatan korporasi jangan dikaitkan dengan small business offense, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang lingkup kegiatannya kecil;

109

Ibid. hal 21-22

110

2) Konsepsi kejahatan korporasi hanya ditujukan pada kejahatan yang dilakukan oleh bisnis yang besar (big business);

3) Kejahatan korporasi yang merupakan bagian dari WCC, harus dibedakan antara ordinary crimes committed class people dan small business offense.

Mahmud Mulyadi, dalam tesisnya juga mengutip pendapat Harkristuti Harkrisnowo dalam makalahnya yang juga disertai pendapat Hazel Croall. Didalam tesis tersebut dikemukakan bahwa kejahatan korporasi ini membawa kerugian yang luas bagi individu, masyarakat dan negara, karena adanya kesulitan dalam penegakan hukum serta sangat sulit dideteksi. 111

Secara garis besar , Kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi meliputi hal-hal berikut:112

1. Kerugian di bidang ekonomi / materi

Meski sulit untuk mengukur secara tepat jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi, terutama karena tidak adanya badan yang secara khusus bertugas mencatat kejahatan korporasi, berbeda dengan kejahatan warungan/konvensional, yaitu kepolisian. Namun berbagai peristiwa menunjukkan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan seperti perampokan, pencurian, penipuan. Misalanya perkiraan yang dilakukan oleh Subcommitee on Antitrust and Monoplay of the US Senate Judiciary Commites yang diketuai oleh Senator Philip Hart memperkirakan kerugian yang ditimbulkan

111

Ibid,Hal. 72

112

oleh kejahatan korporasi antara 174-231 miliar dollar per tahun. Ini adalah angka yang sangat jauh bila dibandingkan kejahatan warungan yang berkisar 3-4 miliar (R.C. Kramer, dalam Susanto, 1995:2)

2. Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa

Menurut Geis setiap tahunnya korporasi bertanggungjawab terhadap ribuan kematian dan cacat tubuh yang terjadi di seluruh dunia. Resiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi, sehingga yang menjadi korban kejahatan korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada korporasi. Dengan membandingkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi tersebut terhadap buruh (mereka yang bekerja pada korporasi) dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan melalui data statistik yang dibuat oleh FBI dan data dari The president’s Report On Occupational Safety and Healthy tahun 1973, Reiman menyimpulkan bahwa kematian maupun kerugian fisik yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi luarbiasa besarnya, bila dibandingkan dengan kejahatan warungan, yaitu 100.000 dibandingkan 9.235 untuk kematian dan 390.000 berbanding dengan 218.385 untuk kerugian fisik. Sementara dalam hubungannya dengan besarnya ancaman kejahatan yang dibuat oleh FBI melalui gambaran crime of clocks, terjadi pembunuhan setiap 26 menit pada tahun 1974 bila dibangingkan dengan kematian yang terjadi dibidang industri setiap 4,5 menit. Kematian atau cacat yang diakibatkan oleh industri ini bukanlah karena kecelakaan di tempat kerja semata, akan tetapi

sebagian besar disebabkan oleh penyakit yang pada umumnya karena kondisi-kondisi di luar kontrol pekerja, seperti kadar coal dust (yang menyebabkan sakit black lung) atau debu tekstil (yang menyebabkan byssinosis atau brown lung) atau serat asbestos (yang dapat menyebabkan kanker) atau ter arang (coal tars) yang menyebabkan kanker paru-paru (Reiman, dalam Susanto, 1995:22)

3. Kerugian di bidang sosial dan moral

Disamping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah kerugian di bidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis, seperti pernyataan dari The President’s Commision on Law Enforcement and Administration of Justice bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang paling penting mencemaskan bukan saja karena kerugiannya yang sangat besar, akan tetapi akibat yang merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong kepercayaan publik terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke dalam struktur bisnis yang sah (the structure of legitimate business).

Menurut Hazel Croall, sebagaimana yang dikemukakan oleh Harkrisnowo, bahwa kesulitan mendeteksi kejahatan korporasi ini karena hanya karakteristik umum yang melekat pada white collar crime , yaitu: 113

113

1) Tidak kasat mata (low visibility) 2) Sangat kompleks (complexity)

3) Ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana (diffusion of responsibility) 4) Ketidakjelasan korban (diffusion of victim)

5) Aturan hukum yang samar (ambiguous criminal law)

6) Serta sulit mendeteksi dan dilakukan penuntutan (weak detection and prosecution).