• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak semburan lumpur akan menimbulkan penurunan permukaan tanah

ASPEK HUKUM PIDANA KORPORASI DALAM PERISTIWA LUMPUR PANAS DI SIDOARJO

B. Posisi Kasus

12. Dampak semburan lumpur akan menimbulkan penurunan permukaan tanah

Penanganan luapan lumpur di Sidoarjo dikoordinasikan oleh Tim Terpadu dan Timnas PSLS. Secara garis besar langkah penanganan yang telah dilaksanakan adalah penutupan semburan, perlindungan kawasan pemukiman dan masyarakat, perlindungan infrastruktur, pengendalian lingkungan, penanganan sosial, dan pemanfaatan lumpur. Strategi penutupan semburan yang telah dikerahkan hingga penutupan sumber melalui pembuatan sumur baru (relief wells) gagal menghentikan sumber lumpur. Dengan demikian, dengan kenyataan bahwa

relief well merupakan strategi bawah permukaan yang terkini dan terampuh, maka kegagalan strategi ini merupakan “akhir” dari upaya penghentian sumber semburan dari bawah permukaan. Selain itu, menurut para ahli geologi masih

terdapat potensi dampak semburan lanjutan sebagai akibat dari terciptanya “ruang kosong” di perut bumi yang ditinggalkan oleh lumpur tersebut, serta dari dinamika lapisan bumi.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, mulai tanggal 7 Juli 2006 Tim Subsurface dari ITB telah melakukan pencarian pola retakan tanah di bawah permukaan lahan yang tergenang lumpur dan survei geofisika di daerah Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo. Sebelumnya, kegiatan ini dilakukan di daratan bersama dengan ITS, yang dilaksanakan sejak 8- 15 Juni 2006.

Selain itu, Tim Subsurface (bawah permukaan) Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya telah melakukan pemetaan untuk mengetahui pola retakan yang terjadi di bawah permukaan tanah di lahan kering. Pemetaan dilakukan agar penanganan luapan lumpur dengan menggunakan skenario relief well dapat bekerja efektif. Tim bertugas untuk mencari pola retakan bawah permukaan di zona-zona lemah yang diperkirakan ada di sekitar Siring, Jatirejo,

Balongkenongo, Kedungbendo, Renokenongo, Watukosek, dan Gempolsari. Tim Sub Surface ITS menemukan adanya pola pelurusan retakan dari selatan ke utara atau sejauh 5 sampai 7 km dari pusat semburan lumpur di sumur BJP-1, dan dua garis rekahan utama yang melintang di jalur tol Gempol-Surabaya di Desa Kedungbendo. Arah kedua garis rekahan itu berada ditimur laut dan barat daya.

Berdasarkan hasil survei gravity yang dilakukan di kawasan luapan lumpur, yang juga oleh para ahli geologi, disimpulkan adanya kemungkinan permukaan amblas di sebelah barat daya pusat semburan di areal Sumur Banjarpanji (BJP)-1 di Desa Renokenongo. Menurut Wakil Kepala BP Migas (Ketua Tim 1), yang menangani luapan lumpur panas di permukaan, kawasan seluas 49 ha di Kelurahan Jatirejo berpotensi amblas. Menurut Dr, Rudi Rubiandini, Koordinator Tim Independen dari ITB, permukaan yang amblas itu disebabkan adanya lapisan di perut bumi yang berongga, lantaran isinya menyembur ke permukaan.

Geohazard adalah bahaya yang ditimbulkan oleh proses geologi. Tanah longsor, erupsi gunung api, gempa bumi, erosi, salinasi dan kekeringan adalah contoh dari proses geologi yang berdampak pada aktivitas manusia219

Menurut Bambang Istadi (2006), potensi resiko geohazard di lokasi luapan lumpur adalah:220

a. Peningkatan jumlah lumpur yang keluar dan belum terdapat indikasi akan berakhir dalam waktu dekat.

b. Potensi subsidence dalam bentuk penurunan tanah sebagai akibat dari: 219

Djauhari Noor; Geologi Lingkungan; Penerbit Graha Ilmu, 2005

220

1) Beban lumpur yang sangat besar di permukaan 2) Belum keluarnya seluruh overpressured shale

3) Kehadiran patahan terkait dengan reaktivasi faults lama atau faults baru yang sedang terbentuk.

c. Kondisi tanggul yang tidak stabil dan kritis karena dibangun dalam situasi darurat, serta berbahan tanah dan sirtu.

Hasil penelitian dan pengamatan berbagai pihak berikut menunjukkan eksistensi subsidence di sekitar semburan lumpur, antara lain:

• Hasil pemantauan Timnas PSLS dengan GPS di beberapa titik menunjukkan adanya horizontal displacement berupa pergeseran tanah dan vertical displacement berupa penurunan tanah (subsidence). Salah satu pola pergerakan terlihat berikut:

Dari pengukuran GPS tersebut terlihat adanya pergerakkan ke 15 titik menuju titik semburan dalam bentuk konsentrik.

• Fenomena melengkungnya rel kereta api pada tanggal 27 Septembe r2006 dan 15 Oktober 2006 yang membuktikan masih aktifnya gerak tektonik.

• Kepala jembatan tol Porong (flyover Porong) Sidoarjo yang menuju ke arah Gempol-Pasuruan pelan-pelan mengalami kemiringinan hingga mencapai 6 cm. Kemiringan jembatan ini kemungkinan diperkirakan oleh adanya pergerakan dan turunnya permukaan tanah oleh dampak semburan lumpur panas Lapindo. Sejak dilakukan penelitian awal pada 28 September 2006 sudah mulai miring sekitar 3 cm, pada 6 Oktober 2006 kemiringan bertambah menjadi 5 cm dan pada 10 Oktober 2006 kembali bertambah menjadi 6 cm. Selain mengalami kemiringan, tanah di bawah jembatan tol Porong juga mengalami retak selebar 4 cm dengan kedalaman diperkirakan mencapai 10 meter serta ada lima batang penyangga jembatan yang selimutnya pecah-pecah dan retak-retak.

• Hasil pengukuran periodik dengan GPS di kedua lokasi relief well dengan titik referensi statik Kantor Lapindo di Gedangan, Sidoarjo mencatat adanya penurunan dan pergeseran tanah, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Penurunan tanah (subsidence) terjadi di kedua lokasi dengan besaran yang fluktuatif dengan titik terbesar (5,5 cm di RW-1 dan 10,5 cm di RW-2) pada tanggal 15 November 2006. Konsistensi pergeseran horizontal lokasi RW-1 ke arah North-East dan lokasi RW-2 ke arah North-West. Kedua lokasi tersebut bergeser mengarah ke pusat semburan.

• Retakan di rumah-rumah warga di sekitar lokasi semburan. Kondisi tersebut dikonfirmasikan pula oleh perwakilan LKM Jatirejo dan Renokenongo saat pertemuan dengan Tim BPK-RI tanggal 14 Desember 2006.

Menanggapi kondisi tersebut Timnas PSLS melakukan investigasi pada tanggal 17 s.d. 18 Oktober 2006 dengan mengambil sampel dari dua lokasi yang berjarak 1,5 Km dari tanggul, yakni di Perumahan TAS (7 rumah) dan Desa Renokenongo (12 rumah). Pengamatan langsung ini bertujuan mengamati keretakan pada dinding rumah dan potret dari gambar rumah. Indikasi deformasi diketahui dengan adanya keretakan dinding rumah, drainase, halaman rumah yang mengalami retak-retak. Dalam investigasi juga terdengar suara ledakan yang berasal dari pecahnya ubin karena tekanan, sedangkan di Desa Renokenongo terlihat lantai yang menggelembung, yang artinya sedang terjadi pergerakan.221

221

Media Center Lusi edisi VI November 2006, hal 10

Penelitian dari ITB dengan menggunakan GPS type Geodetik dual

frekuensi membuktikan bahwa subsidence sudah berlangsung, seperti penurunan lokasi pengeboran di Porong yang telah terdeteksi pada tanggal 20 September 2006.

• Fenomena geohazard yang mengakibatkan ledakan pipa gas Pertamina pada tanggal 22 November 2006 disebabkan adanya pergeseran lapisan bumi, yang dikenal sebagai lateral movement disepanjang zona patahan (sesar Watukosek) mengakibatkan shear stress (tegangan sesar geser). (Koran Jawa Pos).

• Akibat amblesnya permukaan tanah di Jalan Raya Porong tanggal 24 November 2006 pipa air milik PDAM Surabaya patah. (Jawa Pos).

• Laporan Universitas Brawijaya menyebutkan pola/potensi subsidence pada daerah sekitar semburan lumpur Sidoarjo. Kalau ditelaah ke belakang, pada daerah Porong 1 (Paleo Porong), setelah dahulunya terjadi semburan lumpur, maka selanjutnya diikuti adanya penampakan lapisan yang ambles, seperti terlihat berikut:

Sehingga, memang sangat dimungkinkan akan terjadinya subsidence di daerah sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo. Kalau biasanya jarak antar

geophone dalam seismic akuisisi adalah 30 meter, maka diperkirakan radius daerah yang ambles (terjadi subsidence) adalah 1km. Dengan demikian, daerah hunian ataupun infrastruktur umum harus keluar dari daerah dengan radius minimal 1 km dari pusat semburan. Lebih jauh akan lebih aman. Demikian juga daerah hunian, harusnya dipindahkan ke radius di luar 1 km minimal.

• Fenomena tanggul amblas ancam Rel KA dan Jalan Raya Porong terjadi pukul 15.15 Senin 29 Januari 2007 tanggul sepanjang 125 meter.222

• Laporan Universitas Brawijaya mengutip penelitian berikut menyebutkan dampak terhadap tanah sekitar pusat semburan. Kepala Microwave Remote Sensing Laboratory (MRSL) Universitas Chiba, Jepang mengkorfirmasikan kepada Kompas 6 Januari 2007, bahwa peneliti Center for Environmental Remote Sensing Universitas Chiba telah berhasil menganalisis distribusi penurunan permukaan tanah wilayah semburan lumpur, melalui citra satelit

Advanced Land Observing Satellite (ALOS) yang diluncurkan pemerintah Jepang, Januari 2006. Dilaporkan, tanah di sekitar lokasi semburan lumpur di Porong turun hingga 2,4 meter dari ketinggian semula.

Dari citra yang dipetakan 5 Januari 2007 terlihat distribusi penurunantanah di lokasi semburan. lumpur. Berdasarkan analisis, maka setiap desa di sekeliling wilayah bencana mengalami penurunan permukaan tanah. Khususnya wilayah Desa Siring mengalami penurunan permukaan tanah

222

terdalam yaitu 2,4 meter. Penurunan tanah ini diperkirakan akibat beban lumpur yang ditampung dalam tanggul selama ini.

Tim Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) ITB, pada tanggal 24 September 2006 telah melaporkan penurunan tanah di beberapa titik sekeliling wilayah semburan lumpur ini, khususnya di Desa Kedungbendo (0,50 m), Jatirejo (0,23 m), Siring (0,88 m). Jadi, dalam waktu hanya 3 bulan telah terjadi penurunan tanah hingga 1,5 meter lebih.

Kejadian dan hasil pengukuran tersebut mengarah pada eksistensi

subsidence, sehingga potensi geohazard terbukti bukan hanya bersifat konseptual.