• Tidak ada hasil yang ditemukan

Doctrine of Strict Liability

KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM PIDANA

1) Doctrine of Strict Liability

Salah satu pemecahan praktis bagi masalah pembebanan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang berkerja di lingkungan suatu korporasi kepada korporasi tempat ia bekerja adalah dengan menerapkan doctrine of strict liability. Menurut doktrin atas ajaran strict liability ini, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Oleh karena menurut ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan, maka strict liability disebut juga absolute liability. Jika diistilahkan dengan istilah bahasa Indonesia disebut pertanggungjawaban mutlak.114

Hamzah Hatrik mendefenisikan bahwa strict liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang dalam hal ini si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat lebih jauh sikap batin si pembuat. 115

Siswanto Sunarso dalam bukunya Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa juga menerangkan bahwa menurut doktrin ”strict liability” (pertanggungjawaban ketat) seseorang sudah dapat

114

Sutan Remy Sjahdeini,Op.Cit. Hal. 78

115

dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea) . Secara singkat, strict liability diartikan sebagai ”liability without fault” (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).116 Pendapat senada juga diutarakan oleh Muladi sebagaimana dikutip oleh M. Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana Pencemar Lingkungan. 117

Arief memberikan defenisi mengenai strict liability, sebagaimana dikemukakan Hamzah Hatrik dalam bukunya Asas Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, yaitu bahwa strict liability

adalah adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Ini berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana, jika telah melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.118

Hukum pidana menganut asas ”actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau ”tiada pidana tanpa kesalahan”, yaitu yang dikenal sebagai doctrine of mens rea. Namun kini, dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak

116

Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 141

117

M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung, 2000, Hal. 89-90.

118

melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of absolute prohibition.119

Berkaitan dengan mens rea ini, Siswanto Sunarso mengutip pendapat Roeslan Saleh sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dalam bukunnya, bahwa kata ini diambil orang dari suatu maxim yang berbunyi: Actus non est reus nisi mens sit rea, yang maksudnya adalah suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pikirannya salah.120

Menurut LB.Curzon, sebagaimana dikutip oleh M.Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa doktrin Strict Liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:121

a) Adalah sangat esensisal untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peratuan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat.

b) Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat.

c) Tingginya tingkat ”bahaya sosial” yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.

Sutan Remy mengutip pendapat Loeby Loeqman yang menyatakan bahwa dalam praktiknya di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan antara lain untuk pelanggaran lalu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada waktu lampu lalu

119

Sutan Remy, Loc.Cit. Hal. 78

120

Siswanto Soenarso, Op.Cit. Hal, 141-142

121

lintas menunjukkan lampu yang berwarna merah menyala, akan ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan disidang dimuka pengadilan. Hakim dalam memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidaknya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas tersebut. 122

Namun, menurut common law, sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya Perbandingan Hukum Pidana, Strict Liability berlaku untuk tiga macam delik, yaitu: 123

1) Public nuisance (ganguan terhadap ketertiban umum,menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan.)

2) Criminal libel (fitnah, pencemaran nama);

3) Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan).

Ajaran strict liability ini telah diakomodir oleh RUU KUHP Tahun 2005 , dimana pada pasal 38 ayat (1) mengemukakan sebagai berikut:

Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsusr-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan

Selanjutnya, penjelasan pasal 37 ayat (2) juga dikemukakan bahwa:

Ketentuan dalam ayat ini juga merupakan suatu perkecualian seperti halnya ayat (2). Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tetentu yang ditetapkan oelh undang-undang. Untuk tindak pidana tetentu tersebut, pembuat tindak pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana

122

Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 80

123

dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas ”strict liability”

Kondisi demikian menunjukkan bahwa RUU KUHP telah menkonsepsikan bahwa apabila terhadap suatu tindak pidana perlakunya akan dipertanggungjawabkan tanpa keharusan melakukan pembuktian terhadap adanya kesalahan (mens rea) pada pihak pelaku ketika perilaku (actus reus), baik perilaku yang berupa ”melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang” (commision) maupun ”tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang” (ommision), dilakukan oleh pelaku, haruslah hal itu dengan tegas ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Apabila tidak ditentukan secara tegas di dalam undang-undang itu bahwa ”seseorang dapt dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan” (perlu diingat bahwa ”kesalahan” bukan merupakan unsur tindak pidana tetapi merupakan unsur pertanggungjawaban pidana). 124

Berkaitan dengan korporasi, maka korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana untuk tindak pidana yang tindak pidana yang tidak dipersyaratkan adanya mens rea bagi pertanggungjawaban tindak pidana itu berdasarkan doktrin strict liability. Ternyata tidak banyak tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya tanpa adanya unsur

mens rea. Sementari banyak sekali tindak pidana yang idlakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan korporasi yang dipimpinnya, yang

124

sangat merugikan masyarakat. Misalnya, tindak pidana yang menyangkut pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen, dan keuangan perusahaan. Oleh karena itu mulai timbul pemikiran di kalangan hukum tentang bagaimana dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas dilakukannya tindak-tindak pidana yang mensyaratkan adanya unsur

mens rea bagi pertanggungjawabannya. Ketika asas pertanggungjawaban mutlak diterapkan secara luas, yaitu bagi semua tindak pidana, ternyata banyak kritik atau tantangan yang diperoleh. Oleh karena itu, perlu ada alasan pembenar agar korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana bagi tindak pidana-tindak pidana yang mengharuskan adanya mens rea untuk pertanggungjawabannya. Alasannya, korporasi tidak mungkin memiliki mens rea karena tidak memiliki kalbu, tetapi juga korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri tindak pidana tersebut. Dengan demikian, tindak pidana pastilah hanya dapat dilakukan oleh manusia untuk dan atas nama korporasi. Sebagai suatu fuksi hukum, yaitu bahwa korporasi adalah suatu legal entity. Korporasi hanya dapat melakukan perbuatan hukum yang mengikat dirinya, apabila perbuatan hukum itu dilakukan oleh perngurusnya atau oleh pegawai yang memperoleh wewenang dari pengurus untuk melakukan perbuatan hukum itu.125

125

o Doctrine of Vicarious Liability

Vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain.126 Barda Nawawi Arief, mengistilahkan konsep pertanggungjawaban ini dengan istilah ”pertanggungjawaban pengganti”.127

Sutan Remy mengutarakan hal yang senada bahwa ajaran ”vicarious liability”, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah ”pertanggungjawaban vikarius / pertanggungjawaban pengganti”, adalah pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.”

128

Terori Atau doktrin atau ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior (Low,1990:251). Menurut asas repondeat superior, di mana ada hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per se (Jowitt dan Walsh),1977:1564). Menurut maxim tersebut seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap di sendiri yang melakukan perbuatan itu. Contohnya adalah seorang principal (pemberi kuasa) bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh agent (penerima kuasa) sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam lingkup kewenangannya

126

Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidang, Mandar Maju, Bandung, 2000, Hal. 79

127

Barda Nawawi Arief, Op.Cit. Hal. 33

128

(Jowitt dan Walsh,1977:1485). Oleh karena itu ajaran vicarious liability juga disebut sebagai ajaran respondent superior. 129

Hamzah Hatrik mengutip pendapat Black mengenai vicarious liability ini, yaitu indirect legal responsibility, for example, the liability of an employer for the acts of an employes, or principal for torts an contracts of an agent.130

Hatrik juga mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Tetapi ada yang disebut vicarious liability, maka orang yang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang bertanggung jawab sebagai pembuat.131

Pertanggungjawaban pidana yang demikian ini misalnya terjadi dalam hal perbuatan –perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu ada dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatannya. Jadi pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu, atau bawahannya. Dengan demikian dalam pengertian ”vicarious liability” ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tetap dipertanggungjawabkan.132

Sistem pertanggungjawaban seperti ini tidak dikenal dalam sistem hukum

civil law. Vicarious liability ini berlaku hanya pada jenis tindak pidana

129

Ibid.

130

Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 115.

131

Ibid. Hal. 116

132

tertentu menurut hukum pidana Inggris. Vicarious liability hanya berlaku terhadap:133

1. Delik-delik yang mensyaratkan kualitas.

2. Delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.

Apabila teori ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapa pun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Doktrin ini, yang semula dikembangkan berkaitan dengan konteks pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum (tortius liability) dalam hukum perdata, dengan ragu-ragu telah diambil kedalam hukum pidana, terutama apabila tindak pidana tersebut adalah jenis tindak pidana yang merupakan absolute liability offences / strict liability offences (Boisvert,1999), yaitu tindak pidana yang tidak mensyaratkan adanya mens rea bagi pemidanaannya.134

Doktrin pertanggungjawaban pengganti seringkali dikritik oleh mereka yang berpendirian bahwa doktrin ini bertentangan dengan ketentuan moral yang berlaku dala sistem keadilan (justice system) yang didasarkan pada pemidanaan (punishment) atas kesalahan manusia (individual fault) untuk mempertanggungjawabkan seseorang karena telah melakukan perbuatan tertentu (yang diwajibkan oleh hukum). Teori ini secara serius dianggap menyimpang dari doktrin mens rea karena teori ini berpendapat bahwa

133

Romli Atmasasmita, Ibid. Hal. 79.

134

kesalahan manusia secara otomatis begitu saja diatributkan kepada pihak lain yang tidak melakukan kesalahan apa pun (Boisvert,1999).135

Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapt dibuktikan bahwa memang terdapat hubunan subordinasi antara pemberi kerja (employer) dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Luasnya otonomi dari seorang pegawai profesional, perwakilan, atau kuasa dari korporasi tersebut, dapat menimbulkan keragu-raguan mengenai hubungan subordinasi tersebut, yaitu apakah hubungan itu merupakan hubungan yang cukup memadai untuk dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu kepada pemberi kerjanya. Lebih lanjut, harus dipastikan apakah seorang pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung jawab atas perbuatannya. Sementara itu, tidak dapat diketahui dengan jelas apakah perbuatan pelaku tindak pidana itu memang telah dilakukan dalam rangka tugasnya (Boisvert:1999).136

135

Ibid.

136

Ibid. Hal 87.

Saat ini, KUHP tidak menganut asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Akan tetapi asas ini diadopsi dan dimasukkan kedalam RUU KUHP 2005 sebagaimana ternyata dari bunyi pasal 38 ayat (2) sebagai berikut :

Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang.

Dalam penjelasannya juga dikemukakan sebagai berikut:

Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak piana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas tanggung jawab mutlak atau ”vicarious liability”.

Sebagaimana penerapan asas pertanggungjawaban mutlak (doctrine of strict liability atau absolute liability) berdasarkan ketentuan pasal 38 ayat (2) RUU KUHP 2005 yang hanya dapat dilakukan apabila secara tegas suatu undang-undang menentukan demikian, bagitu juga halnya dengan penerapan asas pertanggungjawaban pengganti, bahwa asas tersebut hanya diterapkan

apabila undang-undang yang bersangkutan menentukan demikian. Dengan kata lain, penuntut umum dan hakim tidak boleh mempertanggungjawabkan perbuatan seseorang kepada pihak lain, baik pihak lain itu adalah orang lain (misalnya pegawainya) maupun korporasi (misalnya yang dikelolanya) apabila undang-undang tidak menentukan secara tegas bahwa tindak pidana yang bersangkutan boleh dipertanggungjawabkan kepada pihak lain melalui cara penggantian.

d. Korporasi sebagai subjek tindak pidana

Konsep hukum pidana yang sangat dipengaruhi asas universitas delinquere non potest atau societas delinquere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana, kini telah mengalami pergeseran. Perkembangan tatanan kehidupan yang menunjukkan bahwa peranan korporasi saat ini semakin dominan dan berpengaruh dalam segala aspek kehidupan masyarakat, melahirkan sebuah kondisi dimana sangat dimungkinkan munculnya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan korporasi sebagai sebuah konsekuensi logis dari eksistensinya dalam kancah kehidupan. Kondisi seperti inilah yang akhirnya mendorong reformasi konsepsi dalam hukum pidana, yang awalnya tidak menerima korporasi sebagai pelaku tindak pidana, namun karena realitas menunjukkan sebaliknya, pun akhirnya menerima keberadaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana.

Rudi Prasetya mengungkapkan, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik dalam bukunya Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana

Indonesia, bahwa perkemangan mengenai konsep korporasi sebagai subjek tindak pidana, sebenarnya merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat ketika menjalankan aktivitas usaha. Masyarakat yang masih sederhana, menjalankan usahanya secara perorangan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberpa faktor pertimbangan untuk mengadakan kerjasama antara lain adalah terhimpunnya modal yang lebih banyak, tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibanding suatu usaha dijalankan seorang diri, dan mungin pula pertimbangan dapat membagi resiko kerugian.137

Hamzah Hatrik juga mengutip pendapat dari I.S Soesanto, yang mengungkapkan mengenai perbedaan dan perubahan dalam kegiatan perekonomian masyarakat tersebut dilatarbelakangi beberapa hal, yaitu: 138

1) Kebutuhan modal dalam jumlah besar, sehingga menghasilkan usaha-usaha untuk mengumpulkan dana masyarakat secara intensif;

2) Perubahan dalam pemikiran yang dapat dilihat ke dalam kekuasaan dan hak-hak yang tidak tampak seprti, deposito, saham dan surat berharga;

3) Kegiatan ekonomi yang berorientasi ke pasar internasional;

4) Terjadinya perpindahan kepemilikan, yakni dari milik pribadi ke pemilikan korporasi;

5) Korporasi semakin meluas dalam kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan.

137

Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 27-28.

138

Paradigma mengenai peranan korporasi yang semakin penting, turut dibahas pada Kongres PBB VII dalam tahun 1985 dengan tema ”Dimensi Baru Kejahatan dalam Konteks Pembangunan”. Pertemuan tesebut menyoroti gejala kriminalitas sebagai kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya, seperti terjadinya manipulasi pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan ansuransi, dan sebagainya yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Karena menimbulkan efek negatif, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari subjek hukum biasa menjadi subjek hukum pidana.139

Berkaitan dengan pembahasan mengenai perkembangan konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana, Rudy Prasetya sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi dalam Tesisnya, mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum adalah sekedar konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi (badan hukum) merupakan ciptaan hukum, yaitu pemberian status sebagai subjek hukum kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melukan suatu tindakan hukum.140

Rudy Prasetya menambahkan, sebagaimana yang dimuat Mahmud Mulyadi dalam tesisnya, bahwa dalam pemberian status hukum khusus yang berupa badan tersebut, dalam perkembangannya dapat terjadi karena macam alasan dan/atau motivasi. Salah satu alasannya adalah untuk memudahkan

139

Muladi & Dwija Prijatno, Op.Cit, Hal. 27.

140

menentukan siapa yang harus bertanggungjawab di antara mereka yang terhimpun dalam badan hukum tersebut, yakni secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek yang bertanggungjawab.141 Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan eksistensi korporasi sebagai subjek hukum, diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata, misalnya hukum pajak dan hukum administrasi negara serta hukum pidana.142

Pengakuan hukum pajak terhadap korporasi tercantum dalam Undang-Undang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang-Undang-Undang No. 6 Tahun 1983). Pada Bab I ketentuan Umum, Pasal 1 butir (a) menyebutkan bahwa wajib pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.143

Hamzah Hatrik memuat pendapat Rudy Prasetya yang mengatakan bahwa korporasi dalam hukum administrasi negara, tampak dalam pemberian izin usaha, yang dalam beberapa hal mensyaratkan bahwa izin usahanya hanya dapat diberikan jika pemohon izin mengambil bentuk badan hukum atau Perseoran Terbatas. Ketentuan demikian, tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi berlaku universal di berbagai negara. Sedangkan, ketentuan yang mensyaratkan bentuk badan hukum didasarkan atas berbagai pertimbangan, yang paling dominan ialah atas dasar alasan agar lebih mudah menunjuk siapa penanggungjawabnya dan atau terjaminnya kontinuitasnya.144

141

Ibid.

142

Hamzah Hatrik, Op.Cit. Hal. 29

143

Ibid.

144

Senada dengan hukum pajak dan hukum administrasi negara, hukum pidana pun mengakui keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat pula dimintai pertanggungjawabannya. Walaupun KUHP masih menganut konsepsi bahwa yang dapat menjadi pelaku tindak pidana hanya manusia alamiah (Pasal 59 KUHP), namun dalam rumusan RUU KUHP Tahun 2004 pasal 44 dinyatakan bahwa ”Korporasi merupakan subjek tindak pidana”. Dalam pasal 165 RUU tersebut juga dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan ”setiap orang” adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.145

Berkaitan dengan keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana, masih ditemui adanya pro dan kontra mengenai konsepsi ini. Berkaitan dengan hal ini, A.Z. Abidin, yang mendukung korporasi sebagai subjek tindak pidana menyatakan bahwa:146

Pihak yang pro menjadikan korporasi sebagai subjek tindak pidana beralasan sebagai berikut:

Pembuat delik yang merupakan korporasi itu oleh Rolling dimasukkan kedalam fuctioneel daderschaap (pelaku fungsional), oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai banyak fungsi, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa dan lain-lain.

147

• Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dipidananya pengurus tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau 145

Sutan Remy, Op.Cit. Hal. 39-40

146

Muladi & Dwija Prijatno, Op.Cit. Hal. 29

147

dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan mempidana korporasi, korporasi dan perngurus atau pengurus saja.

• Roeslan Saleh juga mengingatkan bahwa dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi semakin memainkan peranan yang penting. Sehingga menjadi hal yang penting pula untuk memasukkan korporasi kedalam subjek hukum pidana untuk mengantisipasi access negatif yang mungkin muncul.

• Schaffmeister menuturkan bahwa hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan