• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Pidana Korporasi Dalam Peristiwa Lumpur Panas Di Sidoarjo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Hukum Pidana Korporasi Dalam Peristiwa Lumpur Panas Di Sidoarjo"

Copied!
236
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM PIDANA KORPORASI

DALAM PERISTIWA LUMPUR PANAS DI SIDOARJO

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh Eki Nova Lestari

050200215

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………...1

B. Perumusan Masalah ..………9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan…...………...9

D. Keaslian Penulisan…...……….10

E. Tinjauan Kepustakaan 1) Pengertian Hukum Pidana…………...………...11

2) Pengertian Tindak Pidana…………..………15

3) Pengertian Pertanggungjawaban Pidana………....18

4) Pemidanaan ………..……….35

F. Metode Penelitian ………..……….46

G. Sistematika Penulisan ………..………..….49

BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM PIDANA 1. Istilah dan pengertian korporasi ...51

2. Kejahatan korporasi ...54

3. Pertanggungjawaban pidana korporasi a. Ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi ...66

b. Korporasi sebagai subjek tindak pidana...84

BAB III ASPEK-ASPEK HUKUM PIDANA KORPORASI YANG TERKAIT DALAM PERISTIWA LUMPUR PANAS DI SIDOARJO 1. Profile Lapindo Brantas Inc. ...………... 113

2. Posisi Kasus ... 121

3. Analisa Kasus ………208

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ……….225

B. Saran ...232 DAFTAR PUSTAKA

(3)

ABSTRAK Eki Nova Lestari

Prof. DR. Alvi Syahrin, SH.MS.CD * DR. Mahmud Mulyadi,SH,M.Hum *

Perkembangan kehidupan manusia yang disertai perkembangan pranata kehidupannya, telah melahirkan dinamika kehidupan yang berdampak positif maupun negatif. Munculnya korporasi juga merupakan dampak dari dinamika ini. Korporasi yang telah merambah seluruh aspek kehidupan manusia telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan. Layaknya dua sisi mata uang, korporasi pun memiliki pengaruh yang positif dan negatif. Terbukanya lapangan kerja dan bertambahnya devisa merupakan sisi positif korporasi. Namun, disisi lain korporasi dengan segala aktivitasnya juga berpotensi menumbuhkan beragam kejahatan baru.

Skripsi ini berjudul “Aspek Hukum Pidana Korporasi dalam Peristiwa Lumpur Panas di Sidoarjo. Yang ingin dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimana konsep pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana? Apakah didalam peristiwa lumpur panas di Sidoarjo terdapat aspek hukum pidana korporasi? Permasalahan ini diharapakan dapat dijawab melalui metode pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data-data primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data ditempuh dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi lapangan ini dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada responden yang terdiri dari BLH JATIM dan BLH Kabupaten Sidoarjo, BPLS Sidoarjo, Walhi Jatim, Walhi Jakarta,dan Ahli hukum. Penggunaan metode ini diharapkan dapat mencapai tujuan penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis berkesimpulan bahwa didalam peristiwa keluarnya lumpur panas Sidoarjo terdapat indikasi aspek pidana korporasi. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa berdasarkan data-data yang penulis dapatkan setidaknya ada 2 kualifikasi perbuatan pidana yang terdapat dalam peristiwa ini, yaitu pada pasal 41 (Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup…) dan pasal 42 (Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup...).

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang tiada tara, sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam semoga tetap tertuju pada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW serta keluarga dan para sahabatnya atas perjuangan yang tinggi dan keikhlasan yang mendalam dalam memberantas kebodohan dan menegakkan kebenaran di muka bumi ini.

Skripsi yang berjudul “Aspek hukum pidana korporasi dalam peristiwa lumpur panas di Sidoarjo” ini merupakan hasil penelitian yang ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar sarjana (S1), pada Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara. Penulis sangat sadar bahwa apa yang telah diraih bukanlah suatu hal mutlak yang berdiri sendiri namun juga selain atas izin Allah, skripsi ini juga selesai dikerjakan akibat dari kepedulian, bimbingan dan dorongan serta bantuan dari berbagai pihak yang juga turut menentukan. Secara khusus skripsi ini di dorong atas rasa kepedulian terhadap ribuan saudara kita yang tertimpa masalah karena telah kehilangan hak hidup, hak ekonomi dan hak lingkungan yang baik dan sehat akibat pengeboran yang telah dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc. Di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo.

Dalam kesempatan ini tidak terlalu berlebihan bila saya menyampaikan ucapan terimakasih terutama kepada yang terhormat :

(5)

2. DR. Mahmud Mulyadi,SH. M.Hum, sebagai pembimbing ke-2 sekaligus menjadi kakak bagi penulis, yang senantiasa memberikan energi positif dan wejangan yang sangat berharga bagi penulis. Tidak hanya untuk penyelesaian skripsi ini , namun juga untuk kehidupan pribadi penulis. Jazakallah khairan jaza’ ya Pak! U’re the best Lecturer that I ever had.

3. Prof. DR. Runtung Sitepu, SH. M.Hum , Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Seluruh dosen yang telah berjasa dalam mengajar dan membimbing penulis, khusus kepada Ibu. DR.Agusmidah, SH. M.Hum selaku dosen wali penulis. Seluruh staf administrasi pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. atas segala bantuan yang diberikan. 4. Kawan-kawan Walhi Jakarta (Pak Iki), LBH Masyarakat (Bapak Taufik

Basari,SH, terima kasih atas wawancaranya, Walhi Jatim (Mas Catur, Bapak Subagyo,SH dan Mbak Tino).

5. Seluruh kawan-kawan seperjuangan di Hizbut Tahrir Indonesia Chapter USU (Susi, Silvi, Lia, Titin, Kak Wiji, Kak Dewi, Kak Alfi) dan Dida, Puji, Fitri (HTI Chapter Unair-Surabaya), Jazakumullah atas doa dan support yang kalian berikan. Keep istiqamah to rising up islam and Re-established Khilafah Rasyidah!

(6)

kepada Suamiku tercinta, Bayu Prahara dan buah hatiku tersayang, Muhammad Usamah Abdurrahman, terima kasih atas cinta dan senyuman yang selalu menghiasi hari-hariku.

Serta kepada seluruh pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu dalam tulisan ini, semoga amal baiknya dibalas oleh Allah SWT, dengan cara dimudahkan segala urusannya dan dilimpahkan rizqinya, Amin.

Akhirnya, dengan kesadaran yang tinggi sebagai penulis yang terus merasa butuh belajar dan bimbingan, apa yang penulis tuangkan dalam skripsi ini jauh dari idealitas dan kesempurnaan, namun dengan lapang dada dan semangat memperbaiki, penulis menerima segala kritikan dan masukan yang konstruktif demi perbaikan skripsi ini. Dan semoga apa yang telah penulis tuangkan menjadi bagian dari kemanfaatan yang penulis harapkan khususnya dalam bidang hukum pidana dan hukum lingkungan.

Medan, 26 November 2011 Penulis,

(7)

ABSTRAK Eki Nova Lestari

Prof. DR. Alvi Syahrin, SH.MS.CD * DR. Mahmud Mulyadi,SH,M.Hum *

Perkembangan kehidupan manusia yang disertai perkembangan pranata kehidupannya, telah melahirkan dinamika kehidupan yang berdampak positif maupun negatif. Munculnya korporasi juga merupakan dampak dari dinamika ini. Korporasi yang telah merambah seluruh aspek kehidupan manusia telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan. Layaknya dua sisi mata uang, korporasi pun memiliki pengaruh yang positif dan negatif. Terbukanya lapangan kerja dan bertambahnya devisa merupakan sisi positif korporasi. Namun, disisi lain korporasi dengan segala aktivitasnya juga berpotensi menumbuhkan beragam kejahatan baru.

Skripsi ini berjudul “Aspek Hukum Pidana Korporasi dalam Peristiwa Lumpur Panas di Sidoarjo. Yang ingin dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimana konsep pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana? Apakah didalam peristiwa lumpur panas di Sidoarjo terdapat aspek hukum pidana korporasi? Permasalahan ini diharapakan dapat dijawab melalui metode pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data-data primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data ditempuh dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi lapangan ini dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada responden yang terdiri dari BLH JATIM dan BLH Kabupaten Sidoarjo, BPLS Sidoarjo, Walhi Jatim, Walhi Jakarta,dan Ahli hukum. Penggunaan metode ini diharapkan dapat mencapai tujuan penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis berkesimpulan bahwa didalam peristiwa keluarnya lumpur panas Sidoarjo terdapat indikasi aspek pidana korporasi. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa berdasarkan data-data yang penulis dapatkan setidaknya ada 2 kualifikasi perbuatan pidana yang terdapat dalam peristiwa ini, yaitu pada pasal 41 (Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup…) dan pasal 42 (Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup...).

(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Aktivitas korporasi telah merambah seluruh sektor kehidupan masyarakat. Sektor pertanian, kehutanan, pertambangan, perbankan, otomotif, elektronik, dan hiburan adalah beberapa sektor dimana korporasi banyak bergerak didalamnya. Setiap saat banyak produk-produk yang bermunculan untuk memenuhi kebutuhan serta keinginan manusia, mulai dari produk yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari hingga produk untuk kepentingan investasi yang merupakan produk dari korporasi.1

Perkembangan korporasi yang semakin pesat saat ini, telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Terlepas apakah pengaruh tersebut positif ataupun negatif, keberadaan korporasi telah berkontribusi dalam perubahan tatanan kehidupan masyarakat. Korporasi banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan suatu negara, terutama dalam bidang ekonomi, misalnya pemusknan dalam bentuk pajak maupun devisa. Pengaruh positif seperti ini tentu saja tidak perlu dipermasalahkan. 2

Realitas yang terjadi justru sebaliknya. Banyak dari pengaruh tersebut yang merugikan masyarakat secara luas maupun anggota masyarakat secara individual. Misalnya, kerugian masyarakat akibat kerusakan lingkungan yang terjadi karena perusahaan telah membuang limbah secara sembarangan; atau terjadinya pencemaran laut karena tumpahan minyak dari kapal tangki minyak;

1

Setiyono,2005 Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publshing, Malang, hal 1

2

(9)

atau tercemarnya atmosfer dan sekaligus terjadinya kematian massal akibat kebocoran pipa gas karena kelalaian petugas pengawas dari perusahaan gas yang bersangkutan; atau terjadinya kerugian masyarakat sebgai akibat mengkonsumsi obat yang dibuat oleh suatu perusahaan farmasi yang menimbulkan cacat jasmani, bahkan kematian massal bagi konsumennya.3

Ambruknya bangunan bertingkat atau jembatan sebagai akibat kesalahan perusahaan kontraktor yang membangun bangunan atau jembatan tersebut, atau terjadinya keracunan pada konsumen perusahaan air minum oleh air yang tidak bersih karena proses pembuatannya yang tidak baik; kerugian juga dapat timbul akibat kelalaian perusahaan transporasi, misalnya pabrik pesawat terbang, yang memproduksi persawat terbang yang cacat secara teknis sehingga ketika pesawat itu diterbangkan mengalami crash dan banyak penumpang yang meninggal dunia; atau perusahaan bus atau perusahaan kapal laut yang tidak secara teratur melakukan pemeriksaan kelaikan alat transportasi tersebut sehingga menyebabkan kecelakaan yang mengakibatkan ratusan bahkan ribuan penumpangnya meninggal dunia; atau pegawai perusahaan kereta api yang karena kelalaliannya telah menimbulkan tabrakan kereta api yang mengakibatkan ratusan pernumpangnya menemui ajal, dan masih banyak lagi contoh lainnya.4

Harkristuti Harkrisnowo sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Mulyadi dalam Tesisnya juga menyatakan bahwa pesatnya perkembangan dinamika kehidupan telah melahirkan perkembangan kejahatan yang terjadi didalam masyarakat. Dewasa ini pola kejahatan yang terjadi dalam masyarakat

3

Sutan Remy Sjahdeini,2007,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, hal. 1.

4

(10)

telah dibungkus oleh kemajuan teknologi, apalagi pelakunya tidak lagi dilakukan secara individual, melainkan sudah berkelompok dalam suatu organisasi (corporate) berupa badan-badan usaha dalam dunia bisnis. Kejahatan ini mempunyai dampak yang tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, namun kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi ini lebih besar dan lebih berbahaya dibandingkan dengan kejahatan individual.5

Andi Hamzah mengemukakan bahwa korporasi sebagai subyek tindak pidana masih merupakan hal yang baru . Korporasi sebagai subyek tindak pidana, terutama berkembang dengan adanya kejahatan yang menyangkut korporasi sebagai subjek tindak pidana, yang disebabkan adanya pengaruh perkembangan dunia usaha nasional yang demikian pesat. Di Indonesia dalam perundang-undangannya baru muncul dan dikenal badan hukum (korporasi ) sebagai subjek tindak pidana pada tahun 1951 yaitu dalam Undang-undang Penimbunan Barang-barang dan mulai dikenal secara luas dalam Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.

Kondisi inilah yang akhirnya melatarbelakangi terjadinya pergeseran pemahaman didalam hukum pidana, terkait dengan keberadaan korporasi sebagai subyek tindak pidana.

6

Muladi dalam makalahnya sebagaimana dimuat dalam bukunya bersama Dwija Prijatno menyatakan bahwa keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sudah bergeser.

5

Mahmud Mulyadi, 2001, Tesis : Proses Pembuktian dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Studi Kasus Pencemaran Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara), Medan, hal 1.

6

(11)

Doktrin universitas delinquere non potest atau societas delinquere non potest

(Badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana), sudah mengalami perubahan sehubungan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional (functioneel dadeschap) 7

Peristiwa bermula pada tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00 terjadi kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, lokasi Banjar Panji perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Kebocoran gas tersebut

Rolling menyatakan, sebagaimana dikutip oleh AZ.Abidin dalam bukunya Bunga Rampai Hukum Pidana, bahwa pembuat delik memasukkan korporasi ke dalam ”functional daderschap”, oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai banyak fungsi yaitu sebagai pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa dan lain-lain.

Berdasarkan realitas diatas, keberadaan korporasi yang memiliki peran sangat strategis dan berpengaruh dalam dinamika kehidupan masyarakat maka, mendudukkan korporasi sebagai subjek pembahasan dalam hukum pidana menjadi hal yang penting pula untuk dikedepankan. Peristiwa yang saat ini tengah menjadi sorotan dalam kaitannya dengan dugaan adanya tindak pidana korporasi adalah peristiwa keluarnya lumpur panas di Sidoarjo yang diduga merupakan efek dari aktivitas korporasi dibidang pertambangan yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas.

7

(12)

berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter.8

Semburan lumpur yang awalnya dianggap peristiwa biasa ini ternyata membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur , antara lain sebagai berikut :9

1) Lumpur menggenangi duabelas desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan

Markas Koramil Porong. Hingga bula

menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.

2) Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.

3) Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.

8

http://www.wikipedia.org/ terakhir kali diakses tanggal 12 Agustus 2008

9

(13)

4) Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.

5) Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon). 6) Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.

7) Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan

8) Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, General Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.

9) Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik

10) Meledaknya pipa gas mili

lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.

(14)

Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasa industri utama di Jawa Timur.

12) Tak kurang 600 hektar lahan terendam.

13) Sebuah SUTET milik P

empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan. Selain lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu. Lily Pudjiastuti, anggota tim ahli ITS yang membidangi penanganan lingkungan menyatakan bahwa lumpur panas di Sidoarjo bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Dia menjelaskan lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang, bila menumpuk di tubuh, bisa menyebabkan penyakit serius seperti kanker. Selain itu, jika masuk ke tubuh anak secara berlebihan, bisa mengurangi kecerdasan. Lily mengatakan, berdasarkan analisis sampel air di tiga lokasi berbeda, dari 10 kandungan fisika dan kimia yang dijadikan parameter, 9 di antaranya telah jauh melampaui baku mutu limbah cair sesuai dengan surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg. Padahal, baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg .10

Selain panas, dari uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Sampel lumpur yang diambil 5 Juni dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa Timur terdapat fenol. Guru Besar Kesehatan Lingkungan Fakultas

10

(15)

Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Prof Mukono menjelaskan, fenol berbahaya untuk kesehatan. Kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal. Efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan. Efek sistemik fenol, kata Mukono, bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal . 11

Ivan V. Ageung, Manajer Pengembangan Hukum dan Litigasi WALHI, menyatakan bahwa dilihat dari sudut pandang lingkungan hidup, tragedi lumpur panas PT. Lapindo Brantas dinyatakan sebagai kejahatan korporasi, dengan unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. "Pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut," tegas Ivan V Ageung. 12

Berdasarkan realitas diatas, maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai fenomena lumpur panas di Sidoarjo dalam kaitannya dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang didalamnya memuat aspek-aspek pidana korporasi. Untuk itulah dalam skripsi ini penulis akan membahas tentang ”ASPEK HUKUM PIDANA KORPORASI DALAM PERISTIWA LUMPUR PANAS DI SIDOARJO”.

11

Kompas, 19/6/06

12

(16)

B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana konsep pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana? 2. Apakah didalam peristiwa lumpur panas di Sidoarjo terdapat aspek hukum

pidana korporasi?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN 1. Tujuan Penulisan

Tujuan pembahasan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana konsep pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana.

2) Untuk mengetahui dan lebih memahami, aspek-aspek hukum pidana korporasi apa saja yang terkait dalam peristiwa lumpur panas di Sidoarjo.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah : 1) Secara Teoritis

Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan akan memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru terhadap pidana korporasi, khususnya terkait dengan pembahasan aspek hukum pidana korporasi dalam peristiwa lumpur panas di Sidoarjo.

(17)

Pembahasan terhadap masalah ini diharapkan dapat menjadi masukkan bagi pembaca, terutama dari kalangan akademisi dan lebih khusus lagi bagi korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya wajib terikat dengan aturan-aturan yang didalamnya memuat aspek hukum pidana korporasi tersebut kemudian dapat diimplementasikan dengan sebaik-baiknya sehingga membawa manfaat baik bagi kalangan akademisi, bagi korporasi, bagi pemerintah, bagi maupun bagi masyarakat secara umum.

D. Keaslian Penulisan

(18)

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Hukum Pidana

Satochid Kartanegara mengemukakan bahwa Istilah hukum pidana mengandung beberapa arti, atau lebih tepat jika dikatakan, bahwa hukum pidana itu dapat dipandang dari beberapa sudut,yaitu : 13

a) Hukum Pidana dalam arti Objektif (Ius Poenale) yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman. Ius Poenale dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil.

b) Hukum pidana dalam arti Subjektif (Ius Puniendi) yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.

Menurut Hazewinkel-Suringa yang mengutip pernyataan W.L.G. Lemaire mengenai pengertian hukum pidana yang berbunyi sebagai berikut :

Hukum pidana itu terdiri dari norma – norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) teleh dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu system norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut”.14

Rumusan mengenai hukum pidana menurut Lemaire tersebut dapat dibenarkan jika yang dimaksudkan oleh Lemaire itu adalah hukum pidana

13

Satochid K., Hukum Pidana : Kumpulan Kuliah, Balai Lektur, Hal. 1-2

14

(19)

material. Akan tetapi hukum pidana itu bukan saja terdiri dari hukum pidana material, karena disamping hukum pidana material tersebut, kita mengenal juga apa yang disebut sebagai hukum pidana formal ataupun yang sering disebut hukum acara pidana yang dinegara kita dewasa ini telah diatur dalam Undang-Undang no. 8 tahun 1981, yang dikenal sebagai Undang-Undang-Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.15

Defenisi lain dikemukakan oleh Andi Hamzah yang menyatakan bahwa hukum pidana objektif atau disebut dengan ius poenale adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan-larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidana objektif memiliki arti yang sama dengan hukum pidana materil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius poenale adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancap pidana bagi si pelanggarnya.16

Sementara itu, hukum pidana subjektif atau disebut ius puniendi sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara :17

a. Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum;

b. Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut; serta

15

Ibid.

16

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana : Bagian I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 9

17

(20)

c. Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.

W.F.C van Hattum dalam bukunya Hand-en Leerboek telah merumuskan hukum pidana positif sebagai berikut:

Suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman. 18

Hukum pidana itu sam halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata, dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang diabstrahrir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.”

Mengenai rumusan hukum pidana ini, Pompe pun memberikan rumusan yang sedikit berbeda dari rumusan yang lain. W.J.P Pompe merumuskan secara singkat mengenai hukum pidana, yaitu :

19

Defenisi lain dikemukakan Pompe dalam bukunya Handboek Nederlands Strafrecht 4e dr. 1953 sebagaimana dikutip oleh Moeljatno, ” hukum pidana adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu”.

20

Moeljatno21

18

P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal. 2 - 3

19

Ibid, hal . 3

20

Moeljatno, 2002, Asas-asas hukum pidana , Rineka Cipta , Jakarta, Hal. 7

21

Ibid, hal. 1

(21)

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan , yang dilarang , dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagai barangsiapa melanggar larangan tersebut .

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan .

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Beberapa rumusan hukum pidana dari sarjana hukum lain juga dikemukakan Moeljatno dalam bukunya Asas-asas hukum pidana . Seperti, Perkins dalam bukunya Elements of Police Science, Chicago 1942, merumuskan sebagai hukum pidana berikut : ” Criminal law oftern used to include all that is involved in the administration of criminal jugtice”. Simon dalam bukunya Leerboek Nederlands Strafrecht 1937, mendefenisikan bahwa hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut”. 22

Sedangkan van Hamel dalam bukunya Inlending Studie Ned. Strafrecht 1927 menyatakan bahwa hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum

22

(22)

(rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut. 23

2. Tindak Pidana

Tindak pidana berasal dari istilah hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah tersebut terdapat dalam WvS Belanda, namun WvS tidak ada memberikan defenisi yang jelas mengenai strafbaar feit tersebut. Para sarjana pun berusaha untuk menginterpretasikan istilah strafbaar feit tersebut, walaupun hingga kini masih belum tercapai kesepakatan yang bulat mengenai defenisi

strafbaar feit tersebut.

Moeljatno mengartikan strafbaar feit dengan istilah perbuatan pidana. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefenisikan beliau sebagai ”perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut.” 24 Moeljatno juga mengutip apa yang ada dalam

Kenny’s Outlines of Criminal Law 1952 pag. 13 tentang criminal act atau dalam bahasa Latin : actus reus ini diterangkan sebagai berikut : actus reus may be defined as such result of human conduct as the law seeks (mencoba) to prevent. It

is important to note that the actus reus , which is the result of conduct, must be

distinguished from conduct which produced the result.25

Hezewinkel-Suringa telah memberi rumusan yang bersifat umum dari

strafbaar feit sebagai suatu prilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah 23

Ibid , Hal. 8

24

Adami Chazawi, Op.Cit., Hal 71

25

(23)

ditolak didalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya”26 Sedangkan Van Hamel dalam bukunya Inleiding mendefenisikan strafbaar feit sebagai ”suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain”.27 Defenisi lain dikemukakan sebagaimana dikutip oleh S.R.Sianturi dalam bukunya Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan Penerapannya. Van Hamel mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang dirumuskan dalam undang-undang , bersifat melawan hukum , patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 28

Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum” 29

Rumusan lain diberikan oleh Vos sebagaimana dikutip oleh Martiman P, yang menyatakan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan. 30

Satochid Kartanegara merumuskan bahwa strafbaar feit adalah perbuatan dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan hukuman.31

26

Lamintang, Op.Cit., Hal 181-182

27

Ibid, hal 182

28

Chairul Huda,2006, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Kencana Prada Media, Jakarta, Hal. 25

29

Lamintang, Loc.Cit. hal. 182

30

Adami Chazawi, Op.Cit., Hal 72

31

(24)

S.R. Sianturi juga mengutip rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh Simons, yaitu kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 32

Beberapa rumusan tindak pidana yang dari sarjana-sarjana hukum yang lain, dikemukakan oleh Chairul Huda dalam bukunya Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa

Kesalahan. Beberapa diantaranya yaitu : 33

• Schaffmeister mendefenisikan tindak pidana sebagai perbuatan manusia yang

termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum , dan dapat dicela.

• Komariah E. Sapardjaja mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu

perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.

• Indriyanto Seno Adji memberikan defenisi mengenai tindak pidana yaitu

perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

• Savitz mengemukakan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak

pidana jika memenuhi lima syarat, yaitu :

”(1) An act must take place that involves harm inflicted on someone by the actor; (2) the act must be legally prohibited in the time it is committed; (3) the perpetrator must have criminal intent (mens rea) when he engages in the act;

32

Chairul Huda,Loc.cit.

33

(25)

(4) there must be causal relationship between the voluntary misconduct and the harm that result from it; and (5) there must some be legally prescribed punishment for anyone convicted of the act.”

• Curzon menyatakan :

”A crime is any state of affairs ensuring directly from an act or omission resulting from human conduct which is considered in itself or in its outcome to be harmful and which the state wishes to prevent, which renders the person responsible liable to some kind of punishment, generally of a stigmatic nature, as the result of proceedings which are usually initiated behalf of the state and which are designed to ascertain the nature, the extent and the legal consequence of that person’s responsibility”.

• Marshall, sebagaimana dikutip Andi Hamzah dalam bukunya Asas-asas

hukum pidana mengatakan :

A crime is any act or omission prohibited by law for protection of the public, and punishable by the state in a judicial proceeding in its own name”.

3. Pertanggungjawaban Pidana

Suatu pertanggungjawaban pidana tidak terlepas dari perbuatan pidana. Seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila tidak melakukan perbuatan pidana. Unsur perbuatan pidana dan kesalahan (mampu bertanggungjawab) adalah unsur yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana ini terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum. Sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggungjawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan). 34

34

(26)

Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana, ternyata terdapat dua pandangan, yaitu pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis antara lain dikemukakan oleh Simons yang merumuskan ”strafbaar feit” sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. 35

Jonkers, yang menganut paham monisme merinci unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :36

a. Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan); c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); d. Dipertanggungjawabkan.

Sementara, Schravendijk merinci unsur-unsur tindak pidana antara lain : 37 a. Kelakuan ( orang yang);

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum; c. Diancam dengan hukuman;

d. Dilakukan oleh orang (yang dapat); e. Dipersalahkan / disalahkan

Oleh karena itu sebagaimana dinyatakan oleh A.Z.Abidin, penganut monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi : 38

35

Ibid. Hal. 50

36

Adami Chazawi, Op.cit., Hal 81

37

Ibid.

38

(27)

a. Kemampuan bertanggungjawab;

b. Kesalahan dalam arti luas; sengaja dan/atau kealpaan; c. Tidak ada alasan pemaaf

Senada dengan A.Z. Abidin, dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban pidana, Sudarto menegaskan bahwa disamping kemampuan bertanggungjawab, kesalahan (Schuld), melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, ialah pembahayaan masyarakat oleh pembuat . Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu : 39

1. Ada suatu tindak pidana yang harus dilakukan oleh pembuat; 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3. Ada pembuat yang mampu bertanggung jawab; dan 4. Tidak ada alasan pemaaf.

Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai syarat-syarat pertanggungjawaban pidana dapat dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana, yaitu:

1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-Undang

(melawan hukum formil/formelle wederrechttelijk) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil/materieel wederrechttelijk). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan

39

(28)

dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela itu tidak tertulis. Sering kali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP), adalah dilarang baik dalam UU maupun dalam masyarakat. Adalah wajar setiap perbuatan yang tercela menurut masyarakat adalah tercela pula menurut Undang-Undang, walaupun kadangkala ada perbuatan yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut Undang-Undang, misalnya perbuatan mengemis (Pasal 504 KUHP) dan bergelandang (Pasal 505 KUHP). Sebaliknya ada perbuatan yang tercela menurut masyarakat tetapi tidak menurut Undang-Undang, contohnya perbuatan bersetubuh suka sama suka antara bujang dan gadis yang saling berpacaran.40

Dari sudut Undang-Undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan.41

Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai yang dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan ataukah tidak dalam rumusan, maka dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai unsur melawan hukum. Artinya melawan hukum adalah unsur mutlak dari suatu tindak pidana. Dalam putusan Mahkamah Agung

40

Adami Chazawi, (Buku I), Op.Cit, hal.86

41

(29)

No. 30 K/Kr./1969 tanggal 6 Juni 1970 menyatakan bahwa “ dalam setiap tindakan pidana selalu ada unsur sifat melawan hukum dari perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.42

Perkataan melawan hukum dalam KUHP yang berlaku sekarang, kadang-kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana dan kadang-kadang-kadang-kadang tidak. Menurut Schaffmeister ditambahkannya kata melawan hukum sebagai salah satru unsur dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup rumusan delik yang (telah) dibuat terlalu luas. Ia menambahkan bahwa, tanpa ditambahkannya perkataan melawan hukum mungkin timbul bahaya, yaitu mereka yang menggunakan haknya akan termasuk kedalam ketentuan Undang-Undang pidana.43 Sedangkan, alasan tidak dicantumkannya dalan tiap-tiap Pasal dalam KUHP adalah bilamana dari rumusan Undang-Undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit.44

Kedudukan sifat melawan hukum sangat khas di dalam hukum pidana. Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap tindak pidana. Roeslan Saleh mengatakan “ memidana sesuatu yang tidak melawan hukum tidak ada artinya “. Sementara itu Andi A. Zainal Abidin mengatakan “salah satu unsur essensial delik ialah sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu Pasal Undang-Undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakuakan perbuatan tidak melawan hukum “.

42

Ibid

43

Chairul Huda, Op.Cit, hal.50

44

(30)

Dengan demikian untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya itu harus bersifat melawan hukum.45

Rancangan KUHP juga menentukan masalah melawan hukum tindak pidana. Mulanya dalam Pasal 15 Ayat (2) rancangan KUHP Tahun 2000, menentukan bahwa, “ untuk dipidananya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan, perbuatan tersebut harus juga bersifat melawan hukum.46

Menurut Hoffman, bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila memenuhi 4 unsur, yaitu :47

1. Harus ada yang melakukan perbuatan 2. Perbuatan itu harus melawan hukum

3. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain 4. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya.

2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum dan perbuatan dengan si pelaku. Istilah kesalahan (schuld) dalam hukum pidana adalah berhubungan dengan

45

Chairul Huda, Op. Cit, hal.49

46

Ibid

47

(31)

pertanggungjawaban pidana atau mengandung beban pertanggung jawab pidana, yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa).48

Hukum pidana mengenal adanya tiga macam kesengajaan, yaitu:49

1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoogmerk) adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan utuk mencapai suatu tujuan.

2) Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, menyadari bahwa apabila perbuatan itu dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran akan terjadi.

3) Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis.

Dalam hal ini, Fockema Andrease, sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik, menyatakan bahwa dolus eventualis dianggap ada pada suatu perbuatan pidana, bila ada gambaran (ada penglihatan atau bayangan) bahwa setelah terjadinya perbuatan itu akan terdapat suatu akibat dari perbuatannya meskipun tidak dikehendaki, tetapi tetapi bersikap ”apa boleh buat” terhadap akibat perbuatannya.50

Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak pidana, pembuatnya dan hubungan keduanya, yang dari situ dapat disimpulkan bahwa

48

Adami Chazawi, (Buku I), Op.Cit, hal 90

49

Hamzah Hatrik.,Op.Cit. Hal. 89

50

(32)

pembuatnya dapat dicela karena sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana.51

Menurut Capacity theory, kesalahan merupakan refleksi dari choice

(pilihan) atau freewill (kebebasan kehendak) pembuat tindak pidana. Kesalahan merupakan kapasitas pembuat untuk mengontrol perbuatannya. Dengan kata lain, dikatakan ada kesalahan jika pembuat melakukan tindak pidana dalam kontrolnya. Ketidakmampuan mengontrol perbuatan yang berujung pada dilakukannya tindak pidana merupakan dasar untuk mencela pembuat. Dengan demikian kesalahan merupakan konsekuensi atas pilihan sebagai anggota masyarakat yang bebas sepanjang dalam koridor hukum. Sementara pandangan lain justru melihat kesalahan bukan masalah “choice”, tetapi masalah “character”. Pembuat bersalah melakukan tindak pidana bukan sebagai konsekuensi pilihannya atau wujud dari kehendak bebasnya tetapi lebih kepada karakter (jahat) yang ada pada dirinya.52

Seperti halnya unsur melawan hukum, unsur kesalahan ini ada disebagian rumusan tindak pidana yakni kejahatan tertentu dengan dicantumkan secara tegas, (misalnya, Pasal 104, Pasal 179, Pasal 204, Pasal 205, Pasal 362, Pasal 368, Pasal 372, Pasal 378, Pasal 406 dan Pasal 480 KUHP) dan disebagian lagi tidak dicantumkan, misalnya : Pasal 162, Pasal 167, Pasal 170, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 289, Pasal 294 dan Pasal 422 KUHP.53

51

Chairul Huda, Op.Cit, hal.78

52

Ibid, hal.79-80

53

(33)

Berkaitan dengan kealpaan, maka tidak ada penjelasan secara rinci didalam KUHP. Namun, berkaitan dengan hal ini, Hamzah Hatrik mengutip penjelasan yang ada dalam MvT sebagai berikut:54

Berdasarkan rumusan diatas, Moeljatno berkesimpulan sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi dalam Tesisnya, bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan Pada umumnya bagi kejahatan, undang-undang mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kecuali itu, keadaan yang dilarang mungkin begitu besar bahayannya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi akan menimbulkan banyak kerugian, sehingga undang-undang harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati. Secara singkat; yang menimbulkan keadaan yang kealpaan. Di sini, sikap batin orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu, bukan menentang larangan tersebut. Ia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang itu. Jadi, bukanlah semata-mata menentang larangan dngan melakukan hal yang dilarang itu, tetapi ia tidak begitu mengindahkan larangan yang ternyata dari perbuatannya. Ia lalai melakukan perbuatan, sebab jika ia cukup menghindarkan adanya larangan waktu melakukan perbuatan, tentunya tidak alpa atau kurang berhati-hati agar jangan sampai mengakibatkan hal-hal yang dilarang tadi.

54

(34)

bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif, kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.55

3. Pembuat yang mampu bertanggung jawab

Berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban tindak pidana, maka tindak pidana merupakan suatu yang bersifat eksternal dari pertanggungjawabang pembuat. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal untuk adanya kesalahan, ada pula syarat internal, yaitu persyaratan yang justru terletak pada diri si pembuat. Konkritnya, kondisi si pembuatlah yang dapat dipersalahkan atas suatu tindak pidana. Syarat internal tersebut karenanya merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.56

Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain

55

Mahmud Mulyadi, Op.Cit. Hal. 61.

56

(35)

mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada di luar pengertian kesalahan.57

Mampu bertanggung jawab merupakan syarat kesalahan. Sementara itu, kesalahan adalah unsur pertanggungjawaban pidana. Mampu bertanggungjawab merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental pembuat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Allen mengatakan bahwa keadaan mental pembuat termasuk dalam masalah kemampuan bertanggung jawab. Tepatnya, keadaan mental pembuat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dalam hal ini pembuat tidak mempunyai kemampuan untuk sepenuhnya menyadari atau mengerti mengenai perbuatannya. Dengan demikian, keadaan batinnya tidak normal, karena tidak menyadari dan mengerti bahwa perbuatannya adalah sesuatu yang tidak diharapkan masyarakat. Dalam kondisi demikian, masyarakat tidak dapat mengharapkan kepadanya untuk berbuat sesuai yang ditentukan oleh hukum. Oleh karena itu, dirinya tidak patut untuk dinilai dapat dicela karena tindakan pidana yang dilakukannya. Pada dirinya tidak terdapat syarat adanya kesalahan. Dengan kata lain pembuat tidak mampu bertanggung jawab.58

Tidak mampu bertanggung jawab ditandai dari dua hal, yaitu jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Mengenai hal ini, haruslah diambil sikap, bahwa mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk menjatuhkan pidana dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Tidak mampu bertanggung jawab

57

Ibid, hal.89

58

(36)

adalah ketidak normalan keadaan bati pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggung jawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tersebut.59

Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda (sebab) seseorang tidak mampu bertanggung jawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana.60

D. Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggung jawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, orang yang memiliki pandangan normal, yang dapat menerima secara normal pandangan-pandangan yang dihadapkan, yang dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara yang normal pula.61

Moeljatno menarik kesimpulan tentang adanya kemampuan bertanggung jawab ialah pertama harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan

59

Ibid, hal.94

60

Ibid, hal.95

61

(37)

hukum; kedua harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.62

KUHP di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab, yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidak mampuan bertanggung jawab.63

4. Tidak ada alasan pemaaf

Hal ini dapat dilihat dalam rumusan KUHP Pasal 44 ayat 1 “barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.

Mengenai istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf tidak ada disebutkan dalam KUHP. Dalam teori hukum pidana, yang dimaksud dengan alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangakan alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.64

Faktor eksternal yang menyebabkan pembuat tidak dapat berbuat lain mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat terdapat alasan penghapus kesalahan. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi

62

Ibid

63

A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit, hal.260

64

(38)

dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan terhadapnya, karena pembuat tidak dapat berbuat lain selain melakukan perbuatan itu.65

Kesengajaan adalah pertanda kesalahan yang utama. Alasan penghapus kesalahan selalu tertuju pada tekanan dari luar yang ditujukan pada kehendak bebas pelaku, sehingga memaksanya melakukan tindak pidana. Tekanan dari luar diri pelaku ini lah yang dikatakan sebagai kondisi luar pelaku yang tidak normal. Kondisi tersebut menekan batin pembuat, sehingga kehendaknya tidak lagi bebas. Kehendak yang tidak bebas inilah yang kemudian berakibat pada dilakukannya tindak pidana dengan sengaja, tetapi hal itu tidak dapat dicelakan padanya.66

Tidak dapat dicelanya pembuat karena memiliki alasan pemaaf ketika melakukan tindak pidana, berkaitan dengan pengertian kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi preventif maupun represif hukum pidana. Adanya alasan pemaaf menyebabkan pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dipidana.67

Yang dipandang sebagai alasan pembenar dalam titel 3 buku I KUHP adalah Pasal 49 ayat (1) mengenai pembelaan terpaksa (noodweer), Pasal 50 mengenai melaksanakan ketentuan Undang-Undang, Pasal 51 ayat (1) tentang melaksanakan perintah dari pihak atasan. Sedangkan yang dianggap sebagai alasan pemaaf adalah Pasal 49 ayat (2) tentang pembelaan yang melampaui batas, Pasal 51 ayat (2) (alasan penghapus) penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wewenang. Sedangkan tentang Pasal 48 yang dinamakan daya paksa

65

Ibid

66

Ibid, hal.120

67

(39)

(overmacht) ada yang mengatakan, daya paksa ini sebagai alasan pembenar dan ada pula yang mengatakan bahwa ini adalah alasan pemaaf. Disamping itu, ada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa dalam Pasal 48 itu mungkin ada alasan pembenar dan mungkin pula ada alasan pemaaf.68

Menurut Herman Kontrowitcz, seorang sarjana hukum yang menganut pandangan dualisme, sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno, ”strafvoraussetzungen” (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya ”strafbare handlung” (perbuatan pidana), lalu sesudahnya itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.

Berdasarkan realitas diatas maka dapat disimpulkan, bahwa dalam perspektif monisme, terjadi penggabungan antara unsur subjektif dan unsur objektifnya. Sedangkan dalam perspektif dualisme, unsur objektif (perbuatan yang disertai sifat melawan hukum) terpisah dengan unsur subjektifnya (kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan yang berupa kealpaan dan/atau kesalahan).

69

Menurut Moeljatno yang menganut paham dualisme, unsur tindak pidana adalah :

70

1. Perbuatan;

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan);

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum . Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada

68

Moeljatno, Op.Cit, hal.138

69

Muladi & Dwija Prijatno, Op.cit., Hal. 53

70

(40)

perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana. 71

Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana mengatakan, ”orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya . Dengan demikian, tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban.72

Chairul Huda menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.

71

Ibid.

72

(41)

Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas ’kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.73

Chairul Huda juga mengutip pernyataan Roeslan Saleh mengenai rumusan pertanggungjawaban pidana. Roeslan Saleh menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada tindak pidana kepada pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan celaan yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.

74

Clarkson, sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda menyatakan bahwa

Criminal liability is imposed upon blameworthy actor whose conduct has caused

a forbidden harm. Criminal liability is imposed upon blameworthy actor whose

conduct constitutes for forbidden harm.” Dengan demikian, hakikat celaan terhadap pembuat juga dipengaruhi oleh rumusan perbuatan yang ditetapkan sebagai tindak pidana. 75

Chairul Huda juga menegaskan bahwa celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan

73

Ibid, Hal. 68

74

Ibid, Hal. 69

75

(42)

larangan atau perbuatan tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk (kesengajaan atau kealpaan) yang menentukan tingkat kesalahan pembuat,tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.76

4. Pemidanaan

Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. Andrew Ashworth, dalam bukunya Principles of Criminal Law sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda ”A criminal law without sentencing would merely be a declaratory system pronouncing people

guilty without any formal consequences following form that guilt”. Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ’dapat dicela’, maka di sini pemidanaan merupakan ’perwujudan dari celaan’ tersebut.77

Chairul Huda juga sependapat dengan pendapat John Hogarth dalam bukunya Sentencing as a Human Process, bahwa ‘Looking backward’ to the

76

Ibid.

77

(43)

offence for purposes of punishment, to ‘looking forward’ to the likely impact of

sentence on future behaviour of the offender, and some intences, on potential

offender in community at large”. Dengan demikian,cara pandang ke belakang dilakukan dengan melihat tindak pidana yang telah dilakukan pembuat, yang kemudian menentukan tujuan pemidanaan. Sementara itu, cara pandang ke depan dilakukan untuk melihat dampak dari pemidanaan bagi masa depan pembuat dan pihak-pihak lain yang mempunyai kemungkinan melakukan tindak pidana dalam masyarakat yang lebih luas. 78

Jika dikaitkan dengan konsepsi kesalahan dalam pengertian normatif. Tujuan dan dampak dari suatu pemidanaan, baik terhadap diri pembuat maupun masyarakat, dapat dipandang sebagai persoalan yang berhubungan dengan masa depan (looking forward) , dan dapat pula dipandang sebagai persoalan yang kemudian menyebabkan cara pandang ditujukan kebelakang (looking backwards), dimana keduanya sangat berpengaruh terhadap penentuan tujuan pemidanaan, apakah pembuat dapat dicela atas perbuatannya atau tidak. 79

Berbicara mengenai tujuan pemidanaan, maka ada beberapa konsepsi mengenai tujuan pemidanaan. Berikut ini akan diuraikan beberapa konsepsi/teori mengenai tujuan-tujuan dari pemidanaan, yaitu: 80

1) Teori Retributif

Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan ”morality justified” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerima balasan atas

78

Ibid, Hal. 125-126.

79

Ibid.

80

(44)

kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar. Hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.

Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila didalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan.

Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakan kunci dari konsep teori pembalasan setimpal . Ukuran yang utama dari pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.

(45)

sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan di arahkan pada masa lalu dan bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani penderitaan.

Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu ”imperatif kategoris” yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri.

Nigel walker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi 2 macam, yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Retributivist

yang murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

1. Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku;

2. Retributivist yan terdistribusi (retribution in distribution), yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah.

(46)

karena itu golongan ini disebut juga ”punisher” atau penganut teori pemidanaan. Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham retributif yang tidak murni lebih disusun berdasarkan paham yang non-retributive. Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham non-retributive yang the limiting retributivist yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut.

2) Teori Deterrence

Tujuan pemidanaan yang kedua adalah deterrence. Nigel Walker menyebut teori ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkan pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara sebagai berikut :

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offenders) yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterrence potential imitators).

Dalam hal ini pidana ditujukan untuk memerikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;

(47)

melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana;

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;

5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.

Zimring dan Hawking menyatakan bahwa ancaman pemidanaan ditujukan untuk memuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun, the net deterrence effect juga dapat menjadi sarana pencegahan bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect berakar pada aliran klasik tentang pemidanaan, yang dimotori oleh dua tokoh utama yaitu Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul de Delicti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana untuk balas dendam masyarakat.

(48)

Sedangkan prevensi secara khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak lagi menanggulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.

3) Teori Treatment

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti hukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).

(49)

Hume, teori Darwin tentang "Biological determinisme”, teori sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx.

Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan yang penting dari ilmu alam dan ilmu sosial mempengaruhi pemikiran tentang kejahatan. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul ”Course de Philosophie Positive” atau ”Course in Positive Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa ”There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist

(Scientific) approach”. Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untuk menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia.

Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul ”L’uomo Delinquente” atau ”The Criminal Man” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada kekhasan tertentu yang disebutnya

Atavistic Stigmata yang membedakan manusia kriminal dengan yang bukan kriminal yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang.

(50)

nyata dan persuasit. Tujuan pendekatan kepada pelaku ini adalah untuk mempengaruhi pelaku kejahatan secara positif sepanjang masih dapat dibina dan dperbaiki.

Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Aliran positif menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik dan menurut aliran ini masyarakat perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral dan kehendak bebas (free will) dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan ke pelakunya.

Menurut Toby, perbaikan terhadap pelaku kejahatan merupakan gelombang besar dari gerakan konformis yang dipengaruhi oleh tuntutan humanisme dan menggunak

Gambar

Tabel 5. Cadangan Bersih Sumber Daya yang Diketahui dan Prospek BlokBrantas
Gambar 8. Peta Wilayah Eksplorasi PT. Energi Mega Persada. Tbk di Jawa Timur
Gambar 1. Lokasi Sumur Banjar Panji
Gambar 3. Posisi Cashing Prognosis VS Realisasi Sumur BanjarPanji-1199
+6

Referensi

Dokumen terkait

dibebankan kepada badan hukum jika perbuatan tersebut dilakukan oleh sejumlah orang yang memenuhi unsur delik yang mana antara satu dengan yang lain saling

Sist em ini dianut oleh KUHP, karena sist em ini menganut pendirian bahw a oleh karena korporasi t idak dapat melakukan sendiri perbuat an yang merupakan t indak pidana

Ketentuan dalam Pasal 116 UU PPLH mempertegas bahwa dalam tindak pidana lingkungan dikenal dengan adanya subjek hukum orang dan korporasi dan pertanggungjawabannya pidana

31 Tahun 1999 masih terlihat keragu- raguan dari pihak pembuat undang-undang ter- sebut dalam menetapkan korporasi sebagai pihak yang dapat dipidana ketika terjadi kasus korupsi,

31 Tahun 1999 masih terlihat keragu- raguan dari pihak pembuat undang-undang ter- sebut dalam menetapkan korporasi sebagai pihak yang dapat dipidana ketika terjadi kasus korupsi,

Menurut pendekatan ini, suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama sebuah korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan

termasuk 'korporasi', sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana atau subjek tindak pidana atau yang dapat dimintakan pertanggung jawaban

13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara pidana dalam penanganan perkara