• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Deskripsi Tema

3. Dampak Sosio-Psikologis dari diskriminasi dan Kekerasan

diskriminasi dan Kekerasan Etnis di Yogyakarta

3.1. Harga Diri Rendah

3.2. Kecemasan 3.3. Depresi 3.4. Stress Pasca Trauma 3.5. Rasa malu 3.6. Tertekan

3.1.1. Perasaan sedih, terpukul dan tidakberdaya dianggap sebagai individu yang harus dikucilkan. 3.2.1. Perasaan cemas menjadi korban

kekerasan oleh warga Yogyakarta.

3.2.2. Perasaan cemas terhadap adik- adik mahasiswa baru asalTimur yang kuliah di Yogyakarta. 3.3.1. Depresi karena menjadi korban

kekerasan dan tertimpa pengalaman lain yang menyakitkan.

3.4.1. Kekerasan mengakibatkan timbulnya stress pada mahasiswa misalnya tidak berkonsentrasi dalam kuliah, perasaan tidak aman tinggal di Yogya, takut menjadi korban kekerasan, dan tidak dapat beraktifitas dengan baik. 3.5.1. Perasaan malu dirasakan karena

masih ada mahasiswa asal Indonesia Timur yang membawa kebiasaan buruk seperti mabuk dan membuat keributan di yogya

3.6.1. Diskriminasi dan kekerasan etnis mengakibatkan perasaan dihantui ketakutan menjadi korban kekerasan warga serta tidak nyaman menjalani kuliah di Yogyakarta. 4. Upaya untuk mengurangi Kekerasan Etnis di Yogyakarta 4.1. Upaya yang dibangun dari dalam diri 4.2. Upaya yang dilakukan bersama komunitas

4.1.1. Sikap ramah, menghormati aturan, mau menyesuaikan diri dengan warga Yogya.

4.2.1. Memberi pemahaman dalam meyesuaikan diri di Yogyakarta pada mahasiswa asal baru asal Indonesia Timur

D. Deskripsi Tema

Berdasarkan data hasil penelitian yang telah didapatkan dari keempat mahasiswa asal Indonesia Timur yaitu dua mahasiswa berasal dari Papua dan dua berasal dari Nusa Tenggara Timur, didapatkan rumusan tema mengenai dinamika kekerasan etnis dan dampak sosio-psikologis dari kekerasan etnis di Yogya. Dinamika kekerasan etnis tersebut meliputi faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan etnis, dampak sosio-psikologis yang ditimbulkan, serta upaya yang dilakukan para mahasiswa dalam mengurangi tingkat kekerasan di Yogyakarta yang menyangkut pautkan mahasiswa asal Indonesia Timur. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail dinamika kekerasan etnis di Yogyakarta, dampak sosio psikologis yang dialami para mahasiswa tersebut, dan upaya yang dilakukan untuk mengurangi konflik dan kekerasan tersebut. 1. Faktor-Faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Kekerasan Etnis di

Yogyakarta

Hasil analisis yang didapatkan dari keempat subjek, didapatkan data mengenai faktor-faktor yang menimbulkan kekerasan etnis di Yogya. Faktor-faktor tersebut adalah: perbedaan antar individu, perbedaan budaya, bentrokan kepentingan, dan persaingan. Berikut ini adalah penjelasan dari faktor-faktor tersebut:

a. Perbedaan Antar Individu

Berdasarkan data hasil analisis dari keempat subjek didapatkan bahwa kekerasan etnis di Yogyakarta antara mahasiswa asal Indonesia

Timur dan warga Yogyakarta terjadi karena faktor perbedaan individu. Perbedaan antar individu dilihat dari segi fisik misalnya warna kulit para mahasiswa asal Indonesia Timur berwarna hitam, rambut keriting, tampang yang tegas menimbulkan prasangka yang keliru mengenai watak mahasiswa asal Indonesia Timur. Dengan perbedaan fisik dan tampang yang kelihatan tegas, membuat warga Yogyakarta menilai bahwa watak mahasiswa asal Indonesia Timur yang menjalani kuliah di Yogyakarta keras dan jahat. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara subjek berikut ini:

(Subjek II, YD)

“…Mungkin yang membedakan antara orang Jawa dan orang Timur adalah warna kulit dan rambut tapi kita semua kan tetap sama. Padahal saya rasa kita semua satu”. (II.no.257-262)

(Subjek III, AS)

“…orang-orang Jawa melihat sifat orang Timur karena fisik dan perawakannya. Kulit hitam, rambut keriting, dan perawakan yang tegas, membuat orang Jawa berpikir bahwa orang Timur adalah orang jahat dan keras”. (III.no.126-135)

Selain itu, kurang pemahaman akan perbedaan antar individu menjadi faktor yang dapat menimbulkan terjadinya konflik dan kekerasan. Akhirnya terbentuk prasangka keliru yang digeneralisasikan oleh warga Yogyakarta bagi semua mahasiswa asal Indonesia Timur yang menjalani kuliah di Yogyakarta. Berikut ini adalah kutipan pernyataan subjek:

(Subjek I, AT)

“…misalnya anggapan orang Jawa bahwa orang Timur

memiliki karakter keras tapi pada kenyataannya tidak semua orang Timur keras.” (I.no.45-49)

Perasaan frustasi karena dianggap berwatak keras, pembuat keributan serta sikap diskriminatif warga Yogyakarta mengakibatkan terjadinya kekerasan. Para mahasiswa yang menjadi korban pengucilan sosial yang tidak terima dianggap pembuat keributan merasa frustasi. Akibatnya frustasi mengarahkan pada kebiasaan mabuk, sehingga tidak jarang terjadi kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa yang berasal dari Indonesia Timur. Berikut adalah kutipan dari pernyataan subjek ketika:

(Subjek III, AS)

“…orang Timur merasa tidak terima dipandang berwatak keras dan pembuat keributan. Akhirnya mereka frustasi dan kebiasaan mabuk dibawa ke Yogyakarta.” (III.no.153-158)

Perasaan frustasi juga diarasakan oleh warga Yogyakarta. Atas tindakan mabuk dan keributan yang selama ini dilakukan oleh orang- orang Timur. Karena tidak dapat menahan rasa sabar dari dalam diri maka warga Yogyakarta melakukan tindakan diskriminasi hingga dalam bentuk kekerasan. Berikut adalah pernyataan subjek ketiga berkaitan dengan perasaan frustasi warga Yogyakarta:

(subjek III, AS)

“Sikap kesabaran yang selama ini dirasakan oleh Jawa tidak terbendung lagi dan akhirnya timbul diskriminasi dan kekerasan juga dari beberapa orang Jawa.” (III.no.46-52)

b. Perbedaan Budaya

Perbedaan budaya menjadi salah satu faktor yang

mengakibatkan terjadinya kekerasan etnis di Yogyakarta. Berdasarkan data yang didapatkan dari subjek kedua (YD), perbedaan pada kebiasaan berbicara misalnya orang Timur berbicara dengan nada yang tinggi dan keras sementara pada orang Jawa memiliki nada berbicara yang halus dan sopan. Perbedaan pada gaya berbicara antara dua budaya ini dapat menimbulkan konflik. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:

(Subjek II, YD)

“…nada berbicara orang papua tinggi dan kasar sedangkan orang jawa halus. Teman-teman saya kadang kaget jika ada

anak papua yang berbicara.” (II.no.52-57)

Selain kebiasaan pada nada dan gaya berbicara, konflik dan kekerasan dapat terjadi karena kebiasaan saat berkumpul dengan kerabat atau teman-teman. Saat berkumpul dengan teman-teman asal satu daerah, mahasiswa asal Indonesia Timur yang berada di Yogyakarta juga mengkonsumsi minuman beralkohol hingga akhirnya menimbulkan kondisi mabuk. Dalam kondisi mabuk, suasana menjadi

ramai dan tidak jarang menimbulkan keributan. Hal ini sesuai dengan kutipan pernyataan dari subjek ketiga (AS):

(Subjek III, AS)

“...konflik dan kekerasan di Yogya itu dikarenakan orang Jawa dan orang Timur belum saling kenal. Orang Timur kalau berkumpul atau menyambut teman yang datang dengan cara minum-minuman beralkohol.” (III.no.218-225)

faktor lain yang mengakibatkan konflik dan kekerasan etnis di Yogyakarta adalah kebiasaan mahasiswa asal Indonesia Timur yang tidak terlalu memperhatikan peraturan dalam berlalu lintas. Kebiasaan tidak mengenakan helm atau melengkapi atribut kendaraan seperti kaca spion da sebagainya masih dibawa di kota Yogyakarta. Akibatnya mahasiswa yang tidak menaati peraturan lalu lintas akan mendapatkan pengucilan dari lingkungan masyarakat Yogyakarta. Berikut ini adalah pernyataan dari subjek pertama mengenai faktor ketidaktaatan mahasiswa Timur dalam berlalu lintas yang dapat memicu terjadinya pengucilan:

(Subjek I, AT)

“...Menurut saya karena hal-hal kecil seperti orang Papua sering tidak menaati lalu lintas. Akhirnya pandangan orang setempat menganggap rata-rata orang Timur negatif.” (I.no.81-86)

c. Bentrokan Kepentingan

Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kekerasan etnis adalah bentrokan kepentingan. Bentrokan kepentingan dialami oleh

subjek kedua kedua, saat dosen di kampus mengeluarkan pernyataan yang bertujuan memotivasi para mahasiswa lain namun dengan kalimat remehan bagi mahasiswa asal Indonesia Timur. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan wawancara subjek kedua di bawah ini:

(Subjek II, YD)

“...dosen pembimbing saat itu melihat nilai saya memuaskan dan dosen tersebut menyatakan bahwa, “masa anak Papua lebih bisa dalam belajar dari anak Jawa!” (II.no.138-144)

Selain itu, biaya hidup yang lebih murah dari biaya hidup di daerah Indonesia Timur mengakibatkan mahasiswa asal Indonesia Timur menggunakan uang pegangan untuk bersenang-senang dan membeli minuman beralkohol. Berikut ini adalah kutipan dari subjek kedua:

(Subjek II, YD)

“...Di papua biaya hidup mahal, namun di Yogya biaya hidup murah. Kebanyakan anak-anak Timur kaget dengan uang banyak yang dikirim dari orangtua dan menggunakan uangnya untuk mabuk-mabukan di Yogyakarta.” (II.no.38- 46)

Peran media massa dalam meinformasikan berita juga mengakibatkan terjadinya konflik dan kekerasan di Yogyakarta. Informasi dari media massa biasanya memberi penekanan pada budaya dari individu yang melakukan kekerasan. Informasi menjadi melenceng dan warga Yogya pada akhirnya menyalahkan kelompok budaya dari Indonesia Timur bukan pada individunya. Berikut ini

kutipan mengenai peran media yang mengakibatkan terjadinya konflik pada subjek kedua dan keempat:

(Subjek II, YD)

“...di media memberitakan bahwa ada mahasiswa asal Indonesia Timur yang mabuk dan buat keributan. Orang yang mabuk dan membuat keributan itu yang harus diadili, bukan mahasiswa Indonesia Timur yang lainnya yang tidak tahu menau tentang keributan yang mereka lakukan. Jadi

media juga harus bersikap adil.” (II.no.280-292)

(Subjek IV, MR)

“...Peran media juga terlalu membesar-besarkan

pemberitaan bahwa orang etnis atau suku tertentu dalam hal ini Papua, NTT, Ambon dan sebagainya menjadi biang kerok dari masalah kekerasan etnis di Yogya. Padahal sebenarnya yang harus diangkat adalah orangnya atau individu yang melakukan kekerasan bukan budaya atau

sukunya.” (IV.no.108-123)

d. Persaingan

Berdasarkan data yang didapatkan, faktor persaingan juga menjadi salah satu faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik dan kekerasan etnis di Yogyakarta. Persaingan ini meliputi persaingan budaya dan persaingan ras. Berikut merupakan pernyataan dari subjek ketiga mengenai persaingan yang terjadi:

(Subjek III, AS)

“...perasaan bangga sebagai tuan rumah sangat besar, sehingga yang dilihat adalah perbedaan bukan persamaan.

Analoginya seperti “saya orang Jogja misalnya memecahkan

kaca milik saya tidak menjadi masalah, namun jika kamu sebagai pendatang memecahkan kaca milik saya adalah suatu

masalah besar”. Itu karena milik atau kepunyaan. (III.no.274-287)

2. Prasangka dan Diskriminasi

Fenomena kekerasan yang sering dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari Indonesia Timur, mengakibatkan timbulnya prasangka yang digeneralisasikan kepada semua mahasiswa asal Indonesia Timur di Yogyakarta. Prasangka tersebut akhirnya berakibat pada tindakan pengucilan dan konflik sosial. Berdasarkan hasil data wawancara, didapatkan bahwa keempat subjek penelitian mengalami pengalaman pengucilan sosial seperti tidak diterima tinggal kos-kosan, tidak diterima oleh teman kelompok belajar di kelas, dan mendapatkan pernyataan yang menyepelehkan. Berikut merupakan kutipan pernyataan dari keempat subjek berkaitan dengan pengalaman pengucilan sosial:

(Subjek I, AT)

“…Saya punya pengalaman di tolak saat saya mencari kos. Saat saya tidak diterima oleh pemilik kos saya merasa sedih. Pernah juga saya punya pengalaman emosi saat di Jawa Timur dimana pernah ada warga yang mengatakan “ah wong

Papua saja”. Sebagai orang Papua saya merasa sangat emosional namun saya berusaha sabar.” (I.no.101-113)

(Subjek II, YD)

“…Jadinya sekarang kami merasa sulit untuk mencari kos- kosan. Misalnya sebuah kos-kosan yang menerima mahasiswa baru, akan berat menerima hingga menolak mahasiswa asal Indonesia Timur. Mereka seperti kaget ketika yang mencari kos adalah mahasiswa asal Indonesia Timur. Padahal sudah sangat jelas bahwa sedang ada kamar kosong di kos tersebut.” (II.no.232-245)

(Subjek III, AS)

“…ketika saya mulai kos sendiri, saya merasakan bahwa ada ketidakterimaan warga setempat terhadap saya.” (III.no.98- 102)

(Subjek IV, MR)

“…saat itu saya hendak mencari kos. Saat menemukan kos yang kosong kemudian bernegosiasi dengan pemilik kos. Saat bertanya tentang kos, pemilik kos mengatakan bahwa kosnya telah penuh. saya berusaha mengklarifikasikan pemilik kos bahwa di luar terpampang pemberitahuan menerima kos putra namun kenapa saya tidak diterima. Pemilik kos mengatakan kebetulan kamar tersebut baru dipesan, dan ada keluarga yang mau tempati dengan berbagai alasan agar saya tidak menempati kamar tersebut. Saya seketika menanyakan apa yang membuat saya tidak diterima

di sini. Pemilik kos menjawab “mungkin karena masalah

Cebongan!”.” (IV.no.63-88)

3. Dampak Sosio-Psikologis dari diskriminasi dan Kekerasan Etnis di Yogyakarta

Kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta antara mahasiswa asal Indonesia Timur dengan warga setempat, berakibat pada kondisi psikologis para mahasiswa Timur yang tidak melakukan kekerasan. Dampak Psikologis yang dialami ialah semakin rendahnya harga diri, timbulnya perasaan cemas, depresi, stress pasca trauma, malu, dan rasa tertekan. Berikut akan dijabarkan dampak-dampak psikologis yang dialami para subjek:

a. Harga Diri Rendah

Perasaan harga diri rendah menjadi salah satu dampak yang diakibatkan dari kekerasan etnis di Yogyakarta. Perasaan tidak berdaya, terpukul, sedih akibat kekerasan etnis dirasakan oleh keempat subjek. Berikut adalah kutipan pernyataan dari keempat subjek berkaitan dengan perasaan rendah diri akibat fenomena kekerasan di Yogya:

(Subjek I, AT)

“…Kalaupun ada kekerasan yang dilakukan oleh orang

Timur, menurut saya kekerasan itu hanya dilakukan oleh beberapa mahasiswa Timur saja. Tidak semua orang Timur membuat keributan di sini. Namun warga Yogya setempat menganggap bahwa semua orang Papua pembuat onar.” (I.no.65-75)

“…Saya sebagai orang Papua merasa terpukul, sedih,

karena dianggap sepele dengan kalimat “ah orang Papua

saja.” (I.no.92-96)

“…Perasaan-perasaan sedih, terpukul, dan dianggap sepele masih dirasakan sekarang.” (I.no.324-327)

(Subjek II, YD)

“…Perasaan saya sedih karena melalui kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang Timur, akhirnya kami semua dipersalahkan. Padahal yang .bersalah itu hanya orang- orang tertentu.” (II.no.221-227)

(Subjek III, AS)

“…Saya mau bagaimana lagi mengubah pandangan warga Yogya, sudah sangat susah.” (III.no.389-391)

(Subjek IV, MR)

“…Saya merasa kecewa dengan sikap dari pemilik kos yang memberikan stigma dan pandangan negatif namun saya berusaha menerima.” (IV.no.97-101)

b. Kecemasan

Dampak lain yang dirasakan oleh para subjek akibat kekerasan yang terjadi di Yogyakarta adalah kecemasan. Dari hasil wawancara, keempat subjek merasa cemas pasca terjadi kekerasan antar mahasiswa asal Indonesia Timur dengan warga Yogyakarta. Kecemasan tersebut berupa kecemasan menjadi sasaran amukan warga, berpergian di malam hari, hingga melaksanakan kegiatan lain di luar ruangan. Berikut kutipan para subjek berkaitan dengan perasaan cemas yang mereka rasakan:

(Subjek I, AT)

“…Yang membuat saya takut adalah ketika kami anak-anak Papua lagi kumpul-kumpul atau bercerita-cerita di tempat umum, takutnya ada orang yang mencelakai kami dari belakang. Selain di tempat-tempat ramai saya juga takut jika di tempat-tempat sepi. Lalu yang sering saya takutkan jika mengendarai sepeda motor ada yang mecoba melukai saya. Jadi selama ini saya sangat berhati-hati sekali saat mengendarai sepeda motor. Setelah banyak kasus terjadi, saya menjadi takut saat mengendarai sepeda gayung, karena sepeda gayung itu lambat dan saya takutnya ada yang melukai saya dari belakang saat mengendarai sepeda gayung.” (I.no.188-212)

(Subjek II, YD)

“…Dari pengalaman-pengalaman tersebut, saya mulai merasa trauma. Makanya saya menyarankan kepada adik- adik saya untuk tidak usah melanjutkan kuliahnya di Yogya.

Masalahnya mau keluar malam saya juga trauma dan takut. Kami ini manusia bukan binatang. Jadi merasa kecewa dan sedih.” (II.no.410-421)

(Subjek III, AS)

“…Saya jadi takut harus keluar, lewat jalan yang mana, padahal bukan saya pelakunya bentrokan. Intinya saya tidak mau mencari masalah.” (III.no.376-381)

c. Depresi

Dampak lain yang dirasakan subjek adalah perasaan depresi. Depresi dirasakan oleh subjek akibat pengalaman menjadi korban langsung kekerasan. Pengalaman depresi yang dirasakan membuat subjek dirundung perasaan sedih yang sangat besar, hingga putus asa. Berikut adalah kutipan hasil wawancara dari subjek keempat:

(Subjek IV, MR)

“…Saat itu saya mendapat dua luka bacokan di punggung dan harus dirawat dirumah sakit. Pengalaman itu membuat saya trauma dan akhirnya cuti kuliah selama tiga tahun. Sehingga saat ini baru bisa melanjutkan kuliah lagi.” (IV.no.156-164)

d. Stress Pasca Trauma

Kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta, mengakibatkan perasaan timbulnya stress pasca trauma yang dirasakan oleh subjek. Stress pasca trauma yang dirasakan oleh para subjek mempengaruhi kehidupan harian para subjek. para subjek merasa tidak aman dan nyaman tinggal di Yogyakarta, kuliah menjadi terganggu dan beberapa

hobi tidak dapat tersalurkan dengan baik. Berikut ini adalah kutipan tentang dampak stress pasca trauma yang dirasakan para subjek:

(Subjek I, AT)

“…Tentunya karena ada masalah-masalah ini, saya menjadi tidak aman dalam belajar dan harus mengurus tempat tinggal yang nyaman. Belum lagi susah mencari tempat tinggal di Yogyakarta.” (I.no.261-268)

(Subjek II, YD)

“…Saya tinggal di Yogya ini seperti ada sesuatu yang menggangu seperti tertekan, ada beban juga. Tinggal di kos juga membuat saya merasa takut dengan kejadian-kejadian seperti itu.” (II.no.421-428)

(Subjek III, AS)

“…Dampak yang saya rasakan dalam studi akibat kekerasan di Yogyakarta adalah membuat saya lama kuliah. Saya merasa tidak begitu nyaman kuliah di Yogyakarta.” (III.no.420-426)

(Subjek IV, MR)

“…Pada saat itu saya tidak bebas, tidak dapat menyalurkan hobi bermain bola, atau berorganisasi yang mana sangat saya gemari olehnya. Saya merasa stress karena tidak bebas bergerak dan beraktifitas seperti biasanya. Dampak kekerasan memberi dampak yang sangat berat.” (IV.no.206- 216)

e. Rasa malu

Sebagai mahasiswa asal Indonesia Timur, keempat subjek merasakan perasaan malu karena kekerasan etnis di Yogyakarta juga terjadi karena ulah orang-orang yang berasal dari Indonesia Timur.

Berikut adalah kutipan yang didapatkan dari keempat subjek mengenai perasaan malu berkaitan dengan kekerasan etnis di Yogyakarta:

(Subjek II, YD)

“…Saya kan merasa malu karena teman saya sendiri yang melakukan keributan.(II.no.331-333)

(Subjek III, AS)

“…Saya malu karena ada teman-teman dari Timur yang melakukan kekerasan, mabuk. Perasaan malu itu sangat besar. Cuma saya prinsip bahwa dari diri saya tidak mau menambah malu atau adik-adik saya ikut membuat malu wajah orang Timur.” (III.no.406-415)

f. Tertekan

Fenomena kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta mengakibatkan para subjek merasakan perasaan tertekan. Perasaan tertekan dirasakan karena mahasiswa asal Indonesia Timur masih

dianggap sebagai kaum “nomordua”, pengalaman diskrimininasi dan

prasangka dari warga membuat para subjek merasa tidak bebas. Berikut adalah kutipan dari subjek berkaitan dengan perasaan tertekan yang dialami:

(Subjek II, YD)

“…Saat itu saya merasa jengkel dan marah, mengapa sih orang Papua dianggap tidak mampu dan harus dianggap jadi nomor dua.” (II.no.164-169)

“…Saya tinggal di Yogya ini seperti ada sesuatu yang menggangu seperti tertekan, ada beban juga.” (II.no.421- 425)

“…Mahasiswa juga mau menghadirkan Sultan untuk menghimbau solidaritas antar etnis. Kami juga datang ke

yogya untuk menempuh pendidikan dan studi.” (II.no.437- 443)

(Subjek III, AS)

“…. Kadang saya punya perasaan sakit karena sebagai mahasiswa Timur masih ada diskriminasi terhadap kami.” (III.no.327-331)

“…Seperti disini ketika kasus dan pandangan orang Jawa terhadap orang Timur buruk, saya sangat sakit dan terpukul,

namun saya tidak boleh terlena dengan perasaan sakit itu.”

(III.no.351-358)

4. Upaya Para Subjek dan Komunitas untuk Mengurangi Kekerasan Etnis di

Dokumen terkait