• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Profil Subjek

4. Subjek 4 (MR)

a. Identitas

Nama : MR

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat /Tanggal Lahir : Bajawa, 15 Agustus 1991

Usia : 23 tahun

Pendidikan Terakhir : SMA

Urutan Kelahiran : Anak ke-tiga dari tiga bersaudara

Status : Mahasiswa

Hobi : Bermain sepakbola, berorganisasi

b. Hasil Wawancara 1) Deskripsi Subjek

Subjek keempat berinisial MR. MR dilahirkan dari orangtua yang berasal dari suku Bajawa Flores. Ayah MR berasal dari Flores Bajawa dan ibunya juga berasal dari Bajawa, sebuah

daerah yang berada di tengah-tengah pulau Flores. Keluarga MR beragama Katolik. Pekerjaan dari ayah adalah sebagai Pegawai Negeri Swasta yang sekarang telah pensiun di Bajawa. Sedangkan ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang sekarang telah almarhumah. Selain itu, status ekonominya termasuk dalam golongan menengah. Dalam keluarganya, MR merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayah, dan kedua saudaranya berada di Bajawa. Kedua kakaknya telah berkeluarga dan sedang berkerja di Bajawa.

MR memiliki hubungan yang cukup baik dengan keluarganya. Dalam menjalin relasi dengan keluarganya, MR

berkomunikasi lewat telephone. Saat ini ayahnya merupakan single

parent karena sang ibu telah meninggal dunia. Kedekatannya dengan saudara-saudaranya cukup dekat walaupun saat ini saudaranya telah bekerja dan berkeluarga.

2) Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Subjek 3 di Yogyakarta (AS)

Relasi MR dengan teman-teman dari budaya Flores yang tinggal di Yogyakarta cukup dekat, walaupun MR jarang berjumpa dengan mereka. Hal ini karena aktifitas MR lebih banyak melayani di komunitas San Egidio. Kalaupun berjumpa, MR tetap menyapa

dan menegur mereka. Karena mereka telah mengetahui bahwa MR dari Flores dan termasuk lama tinggal di Yogyakarta maka, kadang adik-adik mahasiswa baru datang berkunjung padanya dan menyapa terlebih dahulu. MR jarang berelasi dengan mereka juga dikarenakan, karena MR berpikir bahwa sudah saatnya adik-adik dari Flores membangun relasi tidak hanya dengan teman-teman satu suku melainkan berbaur dengan warga maupun mahasiswa- mahasiswa dari Jawa. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara lebih dekat keberagaman dimana sikap saling menghargai itu dirasakan oleh adik-adik dari Flores. Namun bukan berarti MR menutup diri terhadap adik-adik Flores. Perjumpaan dengan saudara-saudara dari Flores sebagai bentuk jalinan relasi yang mengingatkannya akan tanah kelahiran sehingga membuatnya tidak lupa dengan keluarganya di Flores.

3) Pandangan Subjek 4 Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta (M) a) Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis

Sebagai mahasiswa yang tinggal di Yogyakarta hampir sebelas tahun, membuat MR memandang bahwa Yogyakarta adalah kota yang memiliki predikat yang cukup baik dalam hal keberagaman dan Pluralitas. Dengan beraneka budaya dan suku dari para mahasiswa yang ada di Yogyakarta, membuatnya

memberikan rasa salut terhadap kota Yogya. Setiap suku, budaya dan agama ada di kota Yogyakarta dan setiap orang saling menghargai keberagaman tersebut. Namun menurut MR, memang ada beberapa kelompok yang menjadi provokator dibalik kekerasan yang terjadi. Pada tahun-tahun 2012 ke bawah, ada kasus-kasus kekerasan yang terjadi namun tidak mencuat seperti saat ini. Misalnya saja kasus di LP Cebongan

dan pembunuhan-pembunuhan yang pemberitaannya

mengangkat etnis, agama tertentu sebagai biang kerok. Tahun 2013 dan 2014 Yogyakarta tampak keluar dari simbol keberagaman karena kasus-kasus kekerasan etnis. Penerimaan masyarakat masih ada, namun mereka tidak sepenuhnya menerima.

Menurut MR, penyebab timbulnya konflik dan kekerasan adalah cukup banyaknya mahasiswa Timur yang kuliah di Yogyakarta. Bervariatifnya mahasiswa Timur, membuat sulit dilakukan kontrol terhadap mereka. Selain itu mahasiswa-mahasiswa Timur merasa memiliki kekuatan tinggal di tempat rantauaannya karena semakin banyak teman- teman satu daerah yang kuliah di Yogyakarta. Kadang pandangan negatif yang orang Jawa berikan membuat MR merasa sedih. Namun pandangan itu harus kita terima sebagai

bentuk bahan introspeksi diri untuk berubah. Orang Timur telah melewati batas-batas toleransi yang diberikan oleh orang- orang Yogya walaupun tidak semua masalah muncul dari orang Timur, ada juga dilakukan oleh orang setempat.

Secara budaya antara orang Timur dan Jawa cukup berbeda. Orang Timur tidak terlalu suka diatur dengan aturan yang ketat atau ditegur secara berulang-ulang. Misalnya ada teman dari daerah yang datang kemudian kami kumpul dan

minum-minum. Ini merupakan budaya Timur dalam

menyambut teman dengan berkumpul dan minum. Saat lingkungan warga setempat merasa terusik, mereka menegur. Kami yang memiliki teman yang berasal dari Timur merasa tidak enak bukan hanya kepada masyarakat, namun lebih kepada teman yang datang berkunjung. Hal ini mengakibatkan konflik dan perdebatan antara orang Timur dan warga setempat. Masalah yang mendasari timbulnya konflik ini karena komunikasi dimana orang Jawa tidak mengerti budaya dari Timur, dan orang Timur merasa tidak dihargai dan tidak tahu bersikap di budaya Jawa.

MR pernah menyatakan kepada teman-temannya yang berasal dari Jawa bahwa, kami memang dibentuk dari budaya yang berbeda sehingga kami minta maaf jika mengganggu

kenyamanan warga setempat. Namun bukan karena masalah perbedaan itu kami dibenci. Orang Timur sebenarnya tidak tahu bagaimana caranya bersikap di budaya Jawa yang berbeda. Karena tidak baik juga jika yang menjadi sasaran kebencian orang Jawa adalah mereka mahasiswa yang baru kuliah di Yogyakarta dan tidak tahu menahu soal kekerasan dan konflik di Yogyakarta. Mungkin kebiasaan di Timur masih melekat dalam diri mereka dan mereka tidak dapat disalahkan. Mungkin orang Timur butuh waktu dan proses untuk menyesuaikan diri di Yogyakarta.

Satu-satunya cara yang harus dilakukan oleh

mahasiswa-mahasiswa dari Timur adalah keluar dari kelompok budaya (eksklusif) dan membaur dengan masyarakat dan budaya setempat (inklusif). Tujuannya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat tanpa menghilangkan budaya yang telah dianut sejak kecil. Contohnya mahasiswa-mahasiswi asal Indonesia Timur yang dulu (kakak dan om) kuliah di Yogya membuat banyak program dari organisasinya yang melibatkan warga maupun orang Jawa setempat. Akhirnya mahasiswa Timur yang dulu dapat memahami karakter orang Jawa setempat dan budaya setempat yang dianut. Selain itu, antara senior dari beberapa budaya di Flores, saat itu memiliki

kedekatan yang erat. Saat ini, antara senior kurang memiliki kedekatan. Sehingga jika ada konflik tidak dibicarakan terlebih dahulu dan kekerasan menjadi solusi akhir. Sebagai kakak senior, MR berusaha memberitahukan kepada adik-adik dari Timur untuk membangun relasi dengan teman-teman dari budaya yang berbeda atau dengan warga masysrakat setempat.

4) Pengalaman Diskriminasi dan Kekerasan yang Dialami Subjek 4 serta Dampak Psikologis (MR)

Melihat diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di Yogyakarta membuat MR tidak sepenuhnya menyalahkan pandangan warga setempat. Yang pertama dilakukan oleh MR adalah mengoreksi diri bahwa pandangan dari warga Jawa sebenarnya menjadi bahan refleksi bagi mahasiswa Timur yang kuliah di Yogyakarta. Sebenarnya orang Timur harus berubah. Sebenarnya konflik dan kekerasan antar etnis terjadi karena orang setempat tidak dapat membendung lagi kesabaran mereka yang selama ini mereka tahan. Mereka sebenarnya telah sabar memaklumi keributan-keributan yang selama ini dilakukan oleh beberapa orang Timur. Namun orang-orang yang melakukan kekerasan merasa bahwa orang Jawa akan mengerti dan memaklumi kekerasan yang orang Timur lakukan. Sehingga orang

Timur merasa melunjak, bebas dan tidak berhenti membuat keributan di Yogyakarta. Misalnya ada beberapa kasus dimana orang Jawa setempat menjadi korban kekerasan dan mereka memakluminya. Hari berikutnya kekerasan dilakukan lagi oleh orang Timur hingga seterusnya. Sikap kesabaran yang selama ini dirasakan oleh Jawa tidak terbendung lagi dan akhirnya timbul diskriminasi dan kekerasan juga dari beberapa orang Jawa. Pandangan yang diberikan oleh orang Jawa bahwa orang Timur sebagai pembuat keributan adalah wajar.

MR memiliki beberapa pengalaman diskriminasi pasca kasus Cebongan terjadi. Pada saat itu MR hendak mencari kos. Saat menemukan kos yang kosong MR bernegosiasi dengan pemilik kos. Saat bertanya tentang kos, pemilik kos mengatakan bahwa kosnya telah penuh. MR berusaha mengklarifikasikan pemilik kos bahwa di luar terpampang pemberitahuan menerima kos putra namun kenapa dia tidak diterima. Pemilik kos mengatakan kebetulan kamar tersebut baru dipesan, dan ada keluarga yang mau tempati dengan berbagai alasan agar MR tidak menempati kamar tersebut. MR seketika menanyakan apa yang membuat saya tidak diterima di sini. Pemilik kos menjawab

“mungkin karena masalah Cebongan!”. MR ingin menjelaskan, namun pemilik kos langsung mengatakan bahwa tidak punya

waktu. MR merasa kecewa dengan sikap dari pemilik kos yang memberikan stigma dan pandangan negatif namun dia berusaha

menerima. Peran media juga terlalu membesar-besarkan

pemberitaan bahwa orang etnis atau suku tertentu dalam hal ini Papua, NTT, Ambon dan sebainya menjadi biang kerok dari masalah kekerasan etnis di Yogya. Padahal sebenarnya yang harus diangkat adalah orangnya atau individu yang melakukan kekerasan bukan budaya atau sukunya. Suku dan budaya tidak bersalah yang bersalah adalah individunya. Sehingga peran media cukup besar dalam menimbulkan konflik dan pandangan negatif dari warga Jawa terhadap masyarakat NTT secara umum.

cemas dan takut juga dirasakan oleh MR tinggal di Yogyakarta. MR merasa takut jika menjadi sasaran amarah dari masyarakat Yogyakarta. Saat berkendara motor MR takut dihakimi dan dipukul oleh warga Yogya. MR mengaku takut saat keluar malam. Apalagi para korban kekerasan Cebongan merupakan kenalan MR yang pernah berjumpa dengan MR. Perasaan cemas juga dirasakan MR kepada adik-adik mahasiswa baru yang datang di Yogyakarta dan menjadi korban kekerasan atau diskriminasi dari orang Jawa setempat. MR berpikir dia saja yang telah lama tinggal di Yogya memiliki masalah seperti ketakutan dan kecemasan tadi, apalagi adik-adik mahasiswa baru yang tidak tahu apa-apa menjadi

korban. Ada kepedualian yang dirasakan MR kepada adik-adik yang baru kuliah di Yogyakarta. Hal ini terbukti saat adik-adik kos mau mencari kos-kosan mereka mendapat kos-kosan yang kebetulan kenalan dari teman-teman mereka. Untuk memperoleh kos-kosan saja sulit bagi mahasiswa NTT.

Pada awal-awal masuk kuliah, MR pernah menjadi korban salah pembacokan oleh enam orang mahasiswa NNT. Saat itu MR ditelephone oleh teman-temannya yang sedang berselisih dengan warga NTT lain. MR yang ditelephone merasa ingin menenangkan dan membantu mereka yang ketakutan. Bukannya membantu

menenangkan teman-temannya, malah menjadi korban

pembacokan yang sebenarnya bukan ditujukan padanya. Saat itu MR mendapat dua luka bacokan di punggung dan harus dirawat dirumah sakit. Pengalaman itu membuatnya trauma dan akhirnya cuti kuliah selama tiga tahun. Sehingga saat ini baru bisa melanjutkan kuliahnya lagi. Hal ini menjadi pelajaran bagi korban untuk tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan dan juga tidak sepenuhnya member kepercayaan kepada teman-teman dari satu daerah. Karena antar daerah juga bisa terjadi konflik dan kekerasan. Selain itu, tidak semua masalah bisa dilakukan melalui kekerasan. Pada saat itu orangtua MR marah dan kecewa dengan musibah yang dialaminya. Untung sang ibu sangat memahami

kondisi yang dialami ibu. “mungkin Tuhan memberi pembelajaran dalam hidupmu, bahwa tidak selamanya hidup berjalan mulus. Setelah kejadian pembacokan, sebulan kemudian ibu MR meninggal dunia. MR merasa terpukul sekali dengan musibah beruntun yang dia alami dan membuatnya tidak bisa menerima. Pada saat itu MR tidak bebas, tidak dapat menyalurkan hobi bermain bola, atau berorganisasi yang mana hal itu sangat digemari olehnya. MR merasa stress karena tidak bebas bergerak dan beraktifitas seperti biasanya. Dampak kekerasan member dampak yang sangat berat. Semuanya akhirnya menjadi pembelajaran bagi MR untuk lebih tenang dalam menghadapi segala macam hal, dan memaafkan oranglain. Kasus ini pernah dibawa hingga ke pengadilan. Namun MR tidak melanjutkan karena dia berjanji untuk tidak membalas kejadian itu kepada pelakunya. Saat berjumpa dengan para pelaku kekerasan, MR menunjukan sikap yang ramah dengan menegur. Namun karena merasa malu kepadanya, mereka akhirnya menghindar darinya hingga saat ini. Bukan dengan kekerasan untuk membalas namun dengan kasih cara terbaik untuk membalasnya. Walaupun orang menganggap

pengalaman itu adalah pengalaman paling sial, MR

mengganggapnya sebagai pengalaman paling berharga saat berhadapan dengan kematian. Semuanya mengajarkan banyak hal

positif hingga saat ini MR menjadi sangat kuat menerima semua kondisi berat yang dialami walaupun secara manusiawi dia tetap sedih. Kadang ada rasa kangen dengan almarhum ibunya dan tidak terima dengan pengalaman tersebut. Hingga saat ini MR merasakan hal itu saat-saat sendiri.

5) Upaya Subjek 4 dalam Membentuk Pandangan Positif Warga Yogya (MR)

Upaya-upaya yang dilakukan oleh MR dalam membentuk pemikiran positif dan menjadi contoh bagi adik-adik mahasiswa baru adalah melayani di komunitas San Egidio. Pelayanan- pelayanan yang dilakukan bersama komunitas mungkin di zaman ini tidak popular di mata teman-teman mahasiswa. Namun melaui pelayanan ini sekaligus menjadi kesaksian bagi warga Jawa bahwa MR memiliki kepedulian kepada anak-anak jalanan, orang-orang yang membutuhkan bantuan, kaum marginal dan para lansia. Melalui pelayanan tersebut, MR merasa dikuatkan dengan keberadaan mereka. Sudah tidak ada perbedaan lagi diantara MR dengan mereka. Yang ada adalah perasaan sebagai satu saudara. Selain itu, pelayanan ini menjadi kesaksian bagi adik-adik mahasiswa baru untuk membangun sikap toleransi diantara siapapun baik itu dari suku, budaya, agama yang berbeda. MR

belajar bahwa orang miskin tidak hanya dilihat dari harta dan kekayaan, namun miskin bisa dalam bentuk perhatian, kasih sayang, pelukan dan sebagainya. Hal ini yang membuat MR melihat bahwa setiap orang pasti membutuhkan oranglain. Setiap individu tidak dapat hidup sendiri tanpa individu lain. Dengan kesaksian itu, orang-orang yang dilayani memberi kesan bahwa orang Timur atau Flores ternyata tidak seperti yang dipikirkan. Mereka juga memiliki hati untuk saling membantu dan menolong.

Seorang pemuda jalanan pernah menayakan “mengapa kalian mau

membantu kami?”. MR menjawab “karena saya melihat kalian

sebagai saudara”. MR sering menasehati adik-adik dari Timur bahwa tinggal di Yogya bukan sekedar untuk kuliah dan pandai secara teori, namun juga harus pandai dalam membangun relasi sosial dengan siapapun bukan hanya dari teman-teman satu budaya. Nasehat yang diberikan MR bukan sebagai suatu paksaan namun pilihan. Yang terpenting baginya adalah contoh dan teladan melalui tindakan.

Sebagai orang Timur kita juga memiliki tugas untuk menjelaskan lewat kegiatan-kegiatan positif yang sifatnya membangun kebersamaan antar budaya, misalnya melakukan bakti sosial, pentas budaya dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan positif ini sebenarnya dulu pernah dilakukan para mahasiswa dari Timur,

namun sekarang telah pudar. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun relasi yang baik antara mahasiswa Timur dengan warga setempat agar Timur rasa persaudaraan yang erat. Namun saat ini yang terjadi, suatu masalah diselesaikan dengan kekerasan bukan dengan dialog atau diskusi. Hal ini yang dirasakan hilang dari mahasiswa-mahasiswa asal Timur.

6) Harapan Subjek 4 Berkaitan dengan kekerasan Etnis di Yogyakarta (AS)

Harapan MR adalah saudara-saudara dari Timur dapat sadar bahwa kita tinggal di tanah orang harus menunjukan sikap sopan dan tahu diri ditempat rantauaan. Sikap ini ditunjukan melaui sikap positif dan baik dengan warga Yogyakarta bentuk bergaul, menjalin relasi, senyum, menyapa, menerima aturan maupun budaya setempat dan berbaur dengan warga Jawa. Jika sikap positif kita bangun, orang warga Yogyakarta akan bersikap positif dengan kita. Selain itu prestasi dalam kuliah dan talenta yang dimiliki harus harus tampak dalam diri mahasiswa-mahasiswa Timur khususnya NTT. Tujuannya agar kita dapat dihargai oleh orang Jawa setempat bukan dengan kekerasan namun lewat kualitas hidup. Sehingga kekeluargaan antara mahasiswa NTT dan warga Yogyakarta dapat erat.

c. Hasil Observasi

MR merupakan seorang remaja Putra asal Flores yang senang berbicara, perawakan tegas, namun cukup hangat, dengan kulit berwarna gelap, rambut keriting. MR memiliki postur tubuh yang sedang, dan sangat kurus. Pada saat dijumpai di rumah komunitas San Egidio, MR memiliki penampilan yang santai dengan mengenakan celana panjang jeans dan kaos oblong berwarna hitam. Wawancara dengan MR dilakukan setelah peneliti melakukan wawancara dengan subjek ketiga AS. Setelah melakukan wawancara dengan subjek ketiga, peneliti menunggu menunggu MR yang saat itu masih di tempat kosnya. Kira-kira setengah jam kemudian, Mario datang diboncengi teman kosnya.

Wawancara dilakukan di rumah komunitas San Egidio. Wawancara dilakukan selama dua kali yaitu tanggal 13 Juli 2014 pada pukul 19.30 hingga 20.15 WIB dan wawancara kedua dilakukan pada tanggal 19 Juli pada pukul 19.00 WIB hingga 19.30 WIB. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali karena peneliti merasa masih ada data- data yang kurang.

Saat kedua wawancara berlangsung, MR dan peneliti duduk di taman. Pada saat itu wawancara berlangsung di malam hari dengan kondisi taman cukup terang dengan adanya lampu taman. MR dan peneliti duduk berhadapan tanpa ada meja. Hal ini karena wawancara

dilakukan di taman. Peneliti memegang alat perekam di tangan kiri sambil memangku buku dan tangan kanan memegang pulpen untuk menulis. Pada awalnya peneliti cukup berhati-hati dalam memberi pertanyaan, karena belum mengenal subjek sebelumnya. Namun setelah menjalin komunikasi, tampak subjek ramah.

Selama proses wawancara, MR tampak cukup antusias. Hal ini tampak dari jawaban-jawaban MR yang lancar dan bervariatif. Namun kadang ketika diberikan pertanyaan-pertanyaan wawancara, MR menjawabnya dengan bertele-tele dan sesekali mengulang jawaban yang sama. Selama proses wawancara MR tampak menyimak dengan seksama. Kadang tampak dahinya di kerutkan, matanya semakin fokus menyimak, dan tangannya diayun-ayunkan. Selama proses wawancara MR menjawab dengan cepat, dikarenakan gaya berbicaranya yang cepat. MR menjawab semua pertanyaan peneliti dengan sangat seksama walaupun ada yang diulang-ulang. Selain itu, jawaban yang diberikan MR tampak serius dan sungguh-sungguh sehingga tidak tampak kesan asal-asalan dalam menjawab. Sesekali dalam menjawab MR tampak tersenyum atau ketawa. Secara keseluruhan proses wawancara, MR menjalaninya dengan lancar tanpa hambatan.

Dokumen terkait