DINAMIKA KEKERASAN ETNIS DI YOGYAKARTA DAN DAMPAK SOSIO-PSIKOLOGISNYA PADA
MAHASISWA-MAHASIWA YANG BERASAL DARI INDONESIA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Gregorius Septian Agung Renggi 109114142
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
MOTTO
“Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan Jalanmu.” (Amsal 3:6)
Dari malam yang menyelimutiku, sehitam lubang yang dalam,
Aku berterimakasih kepada Tuhan di manapun ia berada Atas jiwaku yang tak terkalahkan.
Di dalam keadaan yang menimpaku. Aku tak mengeluh ataupun menangis.
Di Bawah tempaan Takdir. Jiwaku berdarah namun tak terpatahkan. Di balik tempat amarah dan air mata ini.
Hanya mengintip horor kematian. Namun ancaman bertahun-tahun akan menemukanku tanpa rasa takut.
Seberapapun kuatnya gerbang. Seberapapun beratnya hukuman.
Aku adalah Penguasa takdirku Aku adalah kapten Jiwaku.
"Kemuliaan terbesar dalam hidup adalah bukan karena tidak
pernah jatuh, tetapi bangkit setiap kali kita jatuh"
v
P
ersembahanku
K
epada
:
Allah Tritunggal Maha Kudus Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Bunda Maria dan Santo Yosef.
Terimakasih untuk Segala Kebaikan, Kasih Setia, & Penyertaan-Mu dalam Hidupku yang Luar Biasa Indahnya.
Dan Kepada Keluarga Tercinta
Papa (Zakarias Renggi), Mama (Marthina Renggi) Adik-adikku tercinta (Fulgensius Chalpin Stilman Renggi), dan
(Fenensius Elmar Fermin Renggi)
yang Selalu Mendoakan, Mendukung, serta Memberi Semangat.
vii
DINAMIKA KEKERASAN ETNIS DI YOGYAKARTA DAN DAMPAK SOSIO-PSIKOLOGISNYA PADA MAHASISWA-MAHASIWA YANG
BERASAL DARI INDONESIA TIMUR
Gregorius Septian Agung Renggi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika dari kekerasan etnis di Yogyakarta dan dampak sosio-psikologisnya pada mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari Indonesia timur. Penelitian ini berfokus pada empat hal yaitu faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya kekerasan antara penduduk Yogyakarta dan orang-orang dari Indonesia timur, prasangka dan diskriminasi sebagai akibat dari kekerasan, dampak sosio-psikologis yang dialami para mahasiswa yang berasal dari Indonesia Timur, dan upaya penyesuian diri agar tidak terjadi lagi kekerasan etnis di Yogyakarta. Pendekatan kualitatif deskriptif digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian ini melibatkan 4 mahasiswa yaitu dua mahasiswa asal NTT dan dua mahasiswa asal Papua yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dan tidak melakukan kekerasan etnis di Yogyakarta. Subjek dipilih menggunakan criterion
sampling yaitu dengan kriteria mahasiswa usia antara 18-23 tahun, pernah mengalami kekerasan
ataupun diskriminasi dari warga Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada empat faktor yang mengakibatkan terjadinya kekerasan etnis seperti, perbedaan antar individu, perbedaan budaya, bentrokan kepentingan, dan persaingan. Terdapat tiga bentuk pengucilan masyarakat seperti tidak diterima tinggal di kos-kosan, ditolak teman kelas, dan diremehkan masyarakat. Dampak sosio-psikologis terdiri dari enam bentuk seperti, harga diri rendah, kecemasan, depresi, stress pasca trauma, perasaan malu, dan tertekan. Selain itu didapatkan data berkaitan dengan upaya-upaya positif seperti membangun sikap ramah, mau menyesuaikan diri, menaati peraturan lalu lintas dan upaya bersama komunitas melalui pelayanan masyarakat serta sangsi tegas kepada mahasiswa yang membuat keributan di Yogyakarta.
viii
DYNAMICS OF ETHNIC VIOLENCE IN YOGYAKARTA AND IMPACT ON SOCIO-PSYCHOLOGICALLY THOSE STUDENTS EAST FROM
INDONESIA
Gregorius Septian Agung Renggi
ABSTRACT
This study aims to describe the dynamics of ethnic violence in Yogyakarta and socio-psychological impact on students who come from eastern Indonesia. This research focuses on four issues of the factors that can lead to violence between residents of Yogyakarta and the people from eastern Indonesia, prejudice and discrimination as a result of violence, socio-psychological impact experienced by students from eastern Indonesia, and efforts adjusting themselves to prevent further ethnic violence in Yogyakarta. Qualitative descriptive approach used to answer the research questions. The study involved four students: two students from NTT and two students from Papua who get discriminated against and do not do ethnic violence in Yogyakarta. Subjects selected using criterion sampling that the criteria students aged between 18-23 years, had experienced violence or discrimination of people of Yogyakarta. These results indicate that there are four factors that have led to violence such as ethnic, inter-individual differences, cultural differences, clashes of interests, and competition. There are three forms of exclusion such communities are not welcome to stay in the boarding house, rejected classmates, and underestimated the public. Socio-psychological impact consists of six forms such as, low self esteem, anxiety, depression, post traumatic stress, shame, and distress. In addition, the data obtained with regard to positive efforts such as building a friendly attitude, willing to conform, obey traffic laws and efforts with the community through community service and firm sanctions to students who make a scene in Yogyakarta.
x
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria dan Santo Yosep
atas rahmat dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam skripsi ini.
Walaupun demikian, penulis bersyukur karena banyak pihak turut berperan serta
dalam mendukung dan membantu penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu dari
lubuk hati terdalam dan dengan segala kerendahan hati, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ratri Sunar A., M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
3. Drs. H. Wahyudi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang
bersedia meluangkan banyak waktu dan penuh kesabaran telah
membimbing penulis selama penyusunan skripsi serta memberikan
inspirasi atas skripsi ini.
4. P. Henrietta PDADS., M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing selama penulis menempuh studi di Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
5. Monica Eviandaru M., M. App. Psych yang telah memberi masukan
dan informasi kepada penulis berkaitan dengan penelitian kualitatif
xi
6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Psikologi Universitas Sanata
Dharma yang telah membimbing dan menambah wawasan bagi penulis
di bidang psikologi.
7. Semua Karyawan di Psikologi Universitas Sanata Dharma, khususnya
Mas Gandung, ibu Nanik, Mas Mudji, Mas Doni, dan Pak Gie yang
telah memberikan pelayanan selama penulis menempuh studi dan tidak
lupa Karyawan Perpustakaan USD yang telah memberikan fasilitas
serta kemudahan kepada penulis dalam memperoleh informasi yang
dibutuhkan.
8. Papa Zakarias Renggi dan Mama Marthina Fernatyanan yang penulis
Cintai. Terimakasih atas doa, semangat serta dukungan secara moril
maupun materil.
9. Adik-adikku yang terkasih dan kubanggakan Fulgensius Chalpin
Stilman Renggi dan Fenensius Elmar Fermin Renggi. Terimakasih
sudah mendoakan, dan mendukung kakakmu ini.
10. Mama Habeldina (almarhumah), Tete (almarhum) dan Nene
Fernatyanan (almarhumah), Tete (almarhum) dan Nene Pati, Muda
Berhmans (almarhum) dan semua nenek moyang yang sudah doakan
dari surga.
11. Keluarga besar di Jayapura, Ende-Flores, Kupang, Jakarta yang selalu
xii
12. Keempat subjek penelitian yang telah bersedia diwawancarai selama
proses penelitian berlangsung. Terimakasih atas ketulusan kalian
teman-teman.
13. Segenap umat di Gereja Kristus Terang Dunia Waena yang telah
mendukung, mendoakan serta memotivasi penulis selama
penyelesaiaan skripsi.
14. Kekasih hati Maria Gretty Huwae yang telah bersama menemani
dalam susah dan senang selama menjalani pendidikan di Fakultas
Psikologi Sanata Dharma. Tuhan memberkati segala kebaikan dan
masa depanmu.
15. Teman-teman kelas D angkatan 2010, dan semua teman-teman
angkatan 2010 yang telah mendukung dan menemani selama kita
menempuh matakuliah-matakuliah yang menyenangkan di Fakultas
Psikologi.
16. Sahabat-sahabat Yosi Virargo, Satya, Ryan, Damar, Leo, Dita, Rendi,
Grego, Stefanus Sampeako, Cahyo, Akbar, Yuyu, Yosep. Terima kasih
karena sudah menemani, mendukung, canda-tawa bersama, dan
menjadi tempat curahan hati penulis selama menjalani kuliah.
17. Teman-teman Psikologi baik itu kakak angkatan maupun adik
angkatan.
18. Teman-teman Vertigostic : Sandi, Vincent, Uli Silaen, Daning, Aldo,
Disty, Koko Yosua Karmali. Terimakasih telah mendukung,
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAM PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR SKEMA ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 13
xv
B AB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15
A. Tinjauan Konseptual Dampak Sosio-Psikologis ... 15
1. Memahami Pengertian Dampak Sosio-Psikologis ... 15
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Dampak Psikologis ... 17
a. Faktor Internal ... 17
b. Faktor Eksternal ... 20
3. Bentuk-bentuk Dampak Sosio-Psikologis Akibat Kekerasan ... 21
B. Tinjauan Konseptual tentang Mahasiswa-Mahasiwi Remaja Korban Kekerasan yang Berasal dari Indonesia Timur ... 28
1. Remaja ... 28
2. Korban ... 32
3. Kelompok Etnis ... 33
C. Agresi Antar Etnis ... 34
1. Faktor-faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Konflik dan Kekerasan antar Etnis di Masyarakat ... 36
2. Bentuk-bentuk Kekerasan Antar Etnis ... 43
3. Akibat Sosio-Psikologis dari Kekerasan ... 45
D. Prasangka ... 46
1. Pengucilan Sosial ... 47
xvi
E. Kerangka Penelitian: Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan
Dampak Sosio-Psikologis pada Mahasiswa-mahasiwi
asal Indonesia Timur... 49
F. Pertanyaan Penelitian ... 52
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 54
A. Jenis Penelitian ... 54
B. Fokus Penelitian ... 55
C. Definisi Operasional ... 56
D. Subjek Penelitian ... 57
E. Metode Pengumpulan Data ... 58
1. Observasi ... 58
2. Wawancara ... 60
F. Prosedur Analisis Data ... 63
G. Uji Kesahihan dan Keandalan ... 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 74
A. Proses Penelitian ... 74
1. Persiapan Penelitian ... 74
2. Pelaksanaan Penelitian ... 75
3. Proses Analisis Data ... 78
4. Jadwal Pengambilan Data ... 79
B. Profil Subjek ... 83
1. Subjek 1 (AT) ... 83
xvii
3. Subjek 3 (AS) ... 110
4. Subjek 4 (MR) ... 121
C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 137
D. Deskripsi Tema ... 139
1. Faktor-Faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Kekerasan Etnis di Yogyakarta ... 139
2. Prasangka dan Diskriminasi ... 146
3. Dampak Sosio-Psikologis dari diskriminasi dan Kekerasan Etnis di Yogyakarta ... 147
4. Upaya Para Subjek dan Komunitas untuk Mengurangi Kekerasan Etnis di Yogyakarta ... 153
E. Pembahasan ... 156
1. Temuan Tambahan ... 162
BAB V PENUTUP ... 165
A. Kesimpulan ... 165
B. Keterbatasan Penelitian ... 166
C. Saran ... 166
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 166
2. Bagi Para Mahasiswa dan Perantau yang Berasal dari Indonesia Timur ... 167
3. Bagi Warga Yogyakarta ... 167
DAFTAR PUSTAKA ... 168
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Panduan Wawancara tentang Dinamika Kekerasan Etnis dan
dampak Sosio-Psikologis yang Dialami Subjek ... 61
Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (AT) ... 80
Tabel 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (YD)... ... 81
Tabel 4. Jadwal Wawancara dengan Subjek 3 (AS) ... 81
Tabel 5. Jadwal Wawancara dengan Subjek 4 (MR) ... 82
Tabel 6. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 137
xix
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Kerangka Penelitian : Dinamika Kekerasan Etnis dan
Dampak Sosio-Psikologis Pada Mahasiswa-Mahasiswa
asal Indonesia Timur ... 51
Skema 2. Kerangka Hubungan antara Faktor-faktor, Prasangka
dan diskriminasi, Dampak Sosio-Psikologis dan Upaya
Mencegah terjadinya kekerasan etnis ... 164
Skema 3. Dinamika Kekerasan Etnis dan Dampak Sosio-Psikologis
pada Subjek 1 (AT) ... 175
Skema 4. Dinamika Kekerasan Etnis dan Dampak Sosio-Psikologis
pada Subjek 2 (TD) ... 177
Skema 5. Dinamika Kekerasan Etnis dan Dampak Sosio-Psikologis
pada Subjek 3 (AS) ... 179
Skema 6. Dinamika Kekerasan Etnis dan Dampak Sosio-Psikologis
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Dinamika Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak
Sosio-Psikologis pada Subjek 1 (AT) ... 174
Lampiran 2 Dinamika Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak
Sosio-Psikologis pada Subjek 2 (YD) ... 176
Lampiran 3 Dinamika Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak
Sosio-Psikologis pada Subjek 3 (AS)... 178
Lampiran 4 Dinamika Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak
Sosio-Psikologis pada Subjek 4 (MR) ... 180
Lampiran 5 Protokol Wawancara ... 182
Lampiran 6 Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis
Data Subjek 1 (AT) ... 184
Lampiran 7 Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis
Data Subjek 2 (YD) ... 196
Lampiran 8 Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis
Data Subjek 3 (AS)... 209
Lampiran 9 Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis
Data Subjek 4 (MR) ... 222
Lampiran 10 Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 1 (AT) .. 233
Lampiran 11 Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara
xxi
Lampiran 12 Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 2 (YD) .. 237
Lampiran 13 Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara
Subjek 2 (YD) ... 239
Lampiran 14 Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 3 (AS) ... 241
Lampiran 15 Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara
Subjek 3 (AS) ... 243
Lampiran 16 Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 4 (MR) . 245
Lampiran 17 Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada Era globalisasi dan modern ini, konflik dan kekerasan sering
sekali terjadi. Hampir setiap hari di media cetak maupun elektronik
memberitakan tentang penembakan, perampokan, pembacokan, dan
penyerangan antar geng yang menelan korban jiwa (Berkowitz, 1995).
Maraknya konflik dan kekerasan di masyarakat mengakibatkan kerugian bagi
para korbannya mulai dari melukai hingga menghilangkan nyawa manusia
(Sarwono, 2009).
Konflik dan kekerasan sebenarnya bukan baru saja ini terjadi
(Rahman, 2013). Konflik dan kekerasan etnis di Indonesia sejak lama terjadi
misalnya konflik Poso, konflik Sanggoledo, konflik Ambon, konflik Sambas
yang terjadi pada awal milenium baru (Tohari, dkk 2011). Dampak yang
dirasakan dari konflik dan kekerasan etnis pada saat itu ialah banyak korban
yang meninggal dunia serta meningkatnya jumlah pengungsi yang pergi
meninggalkan daerah konflik (Tohari, 2011).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Tohari (2008), konflik dan
kekerasan di Indonesia terbagi dalam delapan jenis. Konflik dan kekerasan
tersebut meliputi, konflik agama, konflik etnis, konflik politik, konflik sumber
penghakiman massa, pengeroyokan), konflik antar aparat negara, dan
lain-lain. Berdasarkan data presentase konflik dan kekerasan di Indonesia yang
terjadi dari tahun 2008 hingga 2010, kekerasan etnis yang terjadi sekitar 2,2 %
dari total keseluruhan. Itu berarti jumlah kekerasan etnis yang terjadi sejak
tahun 2008 hingga 2010 sebanyak 90 kali dan tiap tahunnya terjadi 30 kali
kasus konflik dan kekerasan etnis yang terjadi di Indonesia.
Konfik dan kekerasan etnis masih terjadi di kota Yogyakarta. Sebagai
kota pelajar dan kota yang menjunjung keberagaman, masih marak terjadi
konflik dan kekerasan antara mahasiswa asal Indonesia Timur dengan warga
Yogyakarta. Pada tanggal 6 Mei 2013, dua Tentara Nasional Indonesia
dikeroyok oleh 4 mahasiswa Papua yang sedang menjalani kuliah di
Yogyakarta (Hasan, 2013). Selain itu, seorang mahasiswa asal Indonesia
Timur melakukan tindakan kriminal yaitu mengamuk dan memecahkan kaca
di Mapolsek Mergangsan pada hari rabu 9 Oktober 2013 (Fernandez, 2013).
Kekerasan lain yang terjadi adalah tanggal 8 Mei 2012 terjadi pembacokan di
Babarsari Yogyakarta. Awal mula kejadian ketika mahasiswa asal Timor
Leste tidak mau membayar parkir di depan sebuah cafe. Karena emosi,
mahasiswa tersebut kembali ke asrama dan mengajak rombongan
teman-temannya sambil membawa sebilah parang. Sesampainya di cafe, mahasiswa
tersebut membacok tukang parkir yang saat itu berjaga (Surya, 2012). Pada
malam yang sama tidak jauh dari lokasi kejadian, terjadi juga pembacokan 2
berurutan, sebuah ATM di depan Sekolah Tinggi YKPN, dibobol dan
kemudian dirusak (Surya, 2012).
Selain kasus kekerasan di atas, kasus penembakan yang terjadi di
Lapas Cebongan merupakan salah satu kasus kekerasan menyangkut etnis di
Yogyakarta. Penembakan yang terjadi di Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta pada tanggal 23 Maret 2013 dilakukan oleh beberapa anggota
kopasus terhadap warga NTT karena motif balas dendam. Empat korban
penembakan merupakan pelaku pengeroyokan seorang anggota kopasus
bernama Heru Santosa yang tewas di Hugo‟s Café beberapa hari sebelumnya.
Keempat korban tersebut merupakan perantau asal Nusa Tenggara Timur
(Iwe, 2013).
Berdasarkan media elektronik dan media cetak, konflik dan kekerasan
etnis di Yogyakarta memberi dampak psikologis seperti traumatik dan
ketakutan bagi mahasiswa asal NTT lainnya yang tidak melakukan kekerasan
yang saat ini kuliah di Yogyakarta. Perasaan ketakutan dan trauma tersebut
muncul karena beredar isu melalui pesan singkat SMS dan blackberry
messenger (BBM) akan adanya sweeping terhadap masyarakat asal NTT. Dari
pemberitaan koran SINDO, salah seorang mahasiswa asal NTT yang berhasil
ditemui di RSUP Sardjito Yogyakarta, bernama Max Nani berumur 26 tahun
mengaku pasca kejadian penembakan ini, mahasiswa dan masyarakat asal
NTT yang berada di DIY merasa trauma dan ketakutan (Hanafi, 2013).
Malang, Solo, dan Surabaya. Separuh dari 10 ribu mahasiswa NTT, terutama
dari Kupang, melakukan eksodus (Maharani, 2013).
Dampak yang dirasakan di atas sesuai dengan penelitian yang
dilakukan para ahli misalnya, konflik dan kekerasan di masyarakat
menyangkut suku maupun etnis, ternyata memberi dampak sosio-psikologis
bagi kaum minoritas yang mewakili etnis tertentu (Cooley & Quille, 2001).
Selain itu, penelitian yang dilakukan Mahoney (2004) di Caribbean
mengungkapkan bahwa ada korelasi yang kuat antara maraknya kekerasan dan
gangguan stres pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder). Penelitian lain
juga melihat adanya implikasi hubungan antara kekerasan dengan masalah
sosio-psikologis seperti stress pasca trauma, depresi, penyalahgunaan Zat,
maupun agresi (Bingenheimer, Brennan, & Earls, 2005; Goldstein, Walton,
Cunningham, Trowbridge, & Maio, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Horowitz (2005), di Amerika
menunjukan bahwa, ada hubungan antara kekerasan yang terjadi di
masyarakat dengan kondisi psikologis anak-anak dan remaja. Penelitian ini
menunjukan bahwa, dampak kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat
menimbulkan masalah psikologis seperti konsentrasi buruk, dan menimbulkan
kecemasan. Kondisi kecemasan, traumatik, hingga berdampak pada masalah
sosial seperti agresi, dipicu oleh faktor-faktor seperti, kekerasan yang
korban, hingga lingkungan tempat tinggal yang berada di wilayah konflik
(Jenkins dalam Mahoney 2008).
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat dampak psikologis yang
dirasakan mahasiswa asal Indonesia Timur yang tidak melakukan kekerasan
namun menjadi korban dari maraknya konflik dan kekerasan antara
orang-orang Timur dengan warga Yogyakarta. Untuk itu peneliti melakukan
wawancara singkat terhadap dua mahasiswa asal Papua dan dua mahasiswa
asal NTT untuk melihat adanya tanda-tanda dampak psikologis dari fenomena
kekerasan yang terjadi, sekaligus membuktikan pemberitaan media di atas.
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan pada waktu dan tempat
berbeda, ditemukan bahwa keempat subjek merasa sedih, terpukul, karena
warga Yogyakarta telah memberi penilaiaan negatif terhadap semua
mahasiswa asal Indonesia Timur yang sedang menjalani kuliah di Yogyakarta.
Padahal menurut para mahasiswa tersebut, “tidak semua orang Papua atau
NTT adalah orang yang keras, mudah marah, maupun bertindak seenaknya di
tempat rantauaan. Hanya beberapa mahasiswa saja yang kebetulan berasal dari
Timur Indonesia”. Walker dan Gresham (1997) berpendapat bahwa
diskriminasi ras dan etnik terhadap individu maupun kelompok minoritas,
dapat menjadi pemicu timbulnya masalah internal seperti kecemasan, depresi,
traumatik hingga dapat memicu masalah eksternal seperti agresi, maupun
Sangat disayangkan bahwa akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh
beberapa orang yang berasal dari Indonesia Timur (Papua, NTT, Maluku),
membuat warga Yogyakarta semakin membentuk prasangka negatif bagi
semua mahasiswa asal Indonesia Timur yang tinggal di Kota Yogyakarta.
Ada pengalaman yang dialami oleh teman peneliti ketika ditolak oleh pemilik
kos walaupun masih ada kamar kosong di kos tersebut. Penolakan yang
diterimanya hanya karena dia berasal dari NTT. Waktu itu bapak pemilik kos
bertanya, “masnya berasal dari mana?” Teman saya menjawab, “Flores Pak!”.
Oh, “NTT yah”, jawab bapak pemilik kos, “aduh gimana ya mas ya, saya
kapok punya anak kos dari Timur” (Timur baginya merujuk ke Papua, NTT
dan Maluku). “Pusing saya ngurus masalah tiap hari karena mabuk lalu
berantem”. Teman saya mencoba membela diri dan menyatakan bahwa itu
hanya oknum, dan tidak semua mahasiswa asal NTT bertabiat buruk, tapi tetap
saja bapak itu menolak teman saya. Perasaan sedih dan kecewa terhadap
penilaiaan negatif tersebut membuatnya terpukul. Stereotype terhadap individu
maupun kelompok tertentu, berdampak pada pengucilan sosial dan konflik
sosial (Putra & Pitaloka, 2012). Fenomena kekerasan mengakibatkan warga
Yogyakarta membentuk stereotype dan membuat mahasiswa yang berasal dari
Indonesia Timur mengalami pengucilan dan diskriminasi.
Konflik dan kekerasan etnis juga dialami oleh mahasiswa Papua yang
menjalani pendidikan di perguruan tinggi Yogyakarta. Beberapa data yang
tahun 2002 misalnya, warga DIY secara terang-terangan menyerang asrama
mahasiswa Papua dan menghancurkan kaca-kaca asrama dan melukai seorang
mahasiswi asal Merauke. Kemudian pada tahun 2002 juga mahasiswa asal
Biak Mesak Ronsumre dibunuh di jalan Solo. Pada bulan Agustus 2004,
seorang mahasiswa Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gajah Mada,
dipukul dengan balok pada otak kecilnya oleh warga hingga dirawat di rumah
sakit selama dua minggu. Kekerasan ini mengakibatkan mahasiswa tersebut
mengalami gangguan lupa ingatan. Selain itu pada tahun 2007, seorang
mahasiswa asal pegunungan bintang diracuni sehingga meninggal dengan
mengenaskan di tengah rumah warga. Aksi ini adalah salah satu bentuk
penyerangan yang terang-terangan oleh warga (Degei, 2007).
Perbedaan antar invidu dan perbedaan budaya, menjadi salah satu
faktor yang mengakibatkan konflik dan kekerasan etnis antar kelompok, saling
men-stereotype-kan kelompok satu dengan kelompok lainnya (Soekanto
dalam Budioyono, 2009). Bahkan menjadi sangat menyedihkan jika setiap
individu yang berasal dari suku maupun etnis tertentu, diberikan label negatif.
Dalam buku berjudul Psikologi Prasangka yang ditulis oleh Eka Putra dan
Ardiningtiyas Pitaloka (2012), dikatakan bahwa prasangka terjadi dalam
hubungannya antar kelompok bukan individu. Sedangkan individu yang
menjadi sasaran dari prasangka adalah individu yang menjadi bagian
kelompok etnis tertentu. Mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia Timur
Papua dan sebagainya. Teramat disayangkan jika mahasiswa yang berasal dari
Indonesia Timur, yang tidak melakukan kekerasan mendapat perlakuan
diskriminasi oleh warga Yogyakarta.
Untuk membuktikan bahwa ada stereotype negatif terhadap para
mahasiswa asal Indonesia Timur, penulis melakukan wawancara singkat
terhadap dua orang warga asli Yogyakarta yang memiliki kos-kosan.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap mereka didapatkan jawaban bahwa,
kedua pemilik kos tersebut merasa tidak ingin menerima mahasiswa baru yang
berasal dari Indonesia Timur. Pernyataan kedua pemilik kos tersebut
dikuatkan oleh anggapan mereka bahwa mahasiswa asal Indonesia Timur baik
itu yang berasal dari Papua, NTT maupun Maluku, memiliki sikap yang
kurang baik, seperti sering mabuk-mabukan, suka mengganggu ketenangan
dengan memutar musik keras maupun berteriak-teriak, dan kalau sudah mabuk
akan meresahkan warga sekitar. Penelitian yang dilakukan Warnaen (1979)
tentang stereotype antaretnis di Indonesia, menunjukan bahwa, orang Jawa
khususnya Yogyakarta, menganggap orang Maluku, maupun yang berasal dari
Timur Indonesia sebagai orang yang periang, menyukai pesta, agresif, dan
emosional (Warnaen dalam Putra 2012).
Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari
Indonesia Timur semakin menguatkan warga Yogyakarta dalam berpandangan
negatif hingga akhirnya memberi perlakuan diskriminasi terhadap para
kaitannya dengan sejarah, emosi, pengalaman, pengetahuan yang telah
dibentuk sebelumnya, dan bentuk karakteristik masyarakat (Wagner, 1993;
Duveen, 1993; Scherer, 1992; Liu & Hilton, 2005; Moscovici, 2001 dalam
Eka Putra dkk, 2012; 86). Ibarat “bola salju” fenomena kekerasan yang terjadi
semakin membuat citra mahasiswa asal Indonesia Timur semakin buruk.
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, para mahasiswa asal Indonesia Timur
dianggap “suka membuat kericuhan”, “sangat emosional”, “sering mabuk
-mabukan” dan “bertindak seenaknya”. Akibatnya mereka mendapatkan
perlakuan diskriminasi seperti, tidak diterima tinggal di kos-kosan, dan
sebagainya. Jika stereotype dan diskriminasi terus terjadi, tentunya dapat
berdampak pada perkembangan psikologi maupun study para mahasiswa asal
Indonesia Timur yang menjalani pendidikan di Yogyakarta.
Dalam taraf perkembangannya, mahasiswa asal Indonesia Timur yang
menjalani kuliah di Yogyakarta berada dalam peralihan dari anak-anak
menuju dewasa. Menurut Hurlock (1955) remaja adalah mereka yang berada
pada usia 13-17 tahun. Monks, dkk (2003) memberi batasan usia remaja
adalah 9-17 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2007; 6) usia
remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang
diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama,
tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Dalam penelitian ini peneliti
penelitian merupakan mahasiswa asal Indonesia Timur yang menjalani kuliah
di Yogyakarta.
Masa remaja adalah masa yang ditandai oleh adanya perkembangan
yang pesat dari aspek biologis, psikologis, dan juga sosialnya (Santrock,
2007). Kondisi ini mengakibatkan terjadinya berbagai disharmonisasi yang
membutuhkan penyeimbangan sehingga remaja dapat mencapai taraf
perkembangan psikososial yang matang dan adekuat sesuai dengan tingkat
usianya. Kondisi ini sangat bervariasi antar remaja dan menunjukkan
perbedaan yang bersifat individual, sehingga setiap remaja diharapkan mampu
menyesuaikan diri mereka dengan tuntutan lingkungannya (Idai, 2013).
Schneiders (1951) menegaskan bahwa, individu yang tidak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya mengalami kondisi yang tertekan
dan tidak dapat bertindak rasional dan efektif sehingga mengakibatkan
individu tersebut dapat bertindak agresif terhadap masalah yang dihadapi.
Permasalahan emosi pada masa remaja sangat menarik, sebab emosi
merupakan suatu fenomena yang dimiliki oleh setiap manusia (Rosenthal
dalam Burdett, 2009; 99) dan pengaruhnya sangat besar terhadap aspek-aspek
kehidupan lain seperti sikap, perilaku, penyesuaian pribadi dan sosial yang
dilakukan (Hurlock, 1955). Menurut G. Stanley Hall 1904 (dalam John W.
Santrock 2003), masa remaja merupakan masa dimana terjadi pergulatan yang
ditandai dengan konflik dan perubahan suasana hati atau yang biasa disebut
satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan
dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan orang
lain diluar lingkungan keluarga. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi
dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan
tersulit adalah penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok teman sebaya agar
dapat diterima dilingkungan. Rasa aman, kepercayaan, dan memberikan
kebebasan untuk bereksplorasi serta menguasai lingkungan penting untuk
diberikan kepada remaja agar perkembangan hidupnya menjadi sehat
(Erikson, 1963 dalam Burdett, 2009).
Menurut Hurlock (1955) Untuk menjadikan remaja mampu berperan
serta dan melaksanakan tugasnya, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat tidaklah mudah, karena masa remaja merupakan masa
peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini dalam diri
remaja terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada fisik, psikis,
maupun sosial. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit
adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus
menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam berhubungan yang belum pernah
ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan
keluarga. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus
banyak penyesuaian baru. Selain itu, Hill dan Jones (1997) mengatakan
mengatasi masalah kecemasan dan membantu perkembangan diri remaja
dalam lingkungan sosialnya.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif. Pendekatan ini digunakan untuk memahami dampak
sosio-psikologis yang dialami para subjek penelitian, akibat dari kekerasan etnis
yang terjadi di kota Yogyakarta. Peneliti menilai bahwa pendekatan kualitatif
menjadi metode penelitian yang tepat untuk memperoleh gambaran
pengalaman para subjek. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif peneliti
dapat menggali secara lebih mendalam tentang dampak yang dirasakan para
mahasiswa asal Indonesia Timur (subjek penelitian) yang menjadi korban dari
fenomena kekerasan antara orang-orang Timur dengan warga Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apa dampak Sosio-Psikologis yang dialami mahasiswa
asal Indonesia Timur dari kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta dan apa
tindakan preventif yang dilakukan mahasiswa Indonesia Timur agar dapat
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menggambarkan faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya konflik dan
kekerasan etnis di Yogyakarta;
2. Menggambarkan dampak Sosio-Psikologis yang dialami mahasiswa asal
Indonesia Timur dari kekerasan yang terjadi di Yogyakarta;
3. Menggambarkan upaya yang dilakukan para mahasiswa asal Indonesia
Timur agar diterima serta dapat hidup damai bersama warga Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan
dalam bidang psikologi, khususnya psikologi sosial, mengenai pengaruh
fenomena kekerasan etnis, terbentuknya prasangka negatif, perlakuan
diskriminasi hingga dampak kekerasan pada perkembangan
sosio-psikologis mahasiswa asal Indonesia Timur yang berdomisili di
Yogyakarta. Selain itu diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran
2. Manfaat Praktis
a. Bagi para mahasiswa asal Indonesia Timur agar dapat memahami
fenomena kekerasan etnis di Yogyakarta dan dapat menyesuaikan diri
serta berperilaku baik di Yogyakarta.
b. Bagi masyarakat Yogyakarta agar dapat memahami dampak
sosio-psikologis yang dialami mahasiswa asal Indonesia Timur akibat
kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Yogyakarta. Selain itu
kiranya juga menjadi sarana informasi untuk semakin mempererat tali
persaudaraan diantara warga Yogyakarta dengan mahasiswa perantau
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauaan Konseptual Dampak Sosio-Psikologis
Pada bab ini akan dijelaskan tinjauan terkait dengan dinamika
kekerasan etnis di Yogyakarta dan dampak sosio-psikologis yang dialami
mahasiswa asal Indonesia Timur yang saat ini berada pada tahap
perkembangan remaja. Tinjauaan ini tidak digunakan sebagai landasan teori
melainkan sebagai konsep-konsep yang bertujuan mengarahkan peneliti dalam
melakukan penelitian. Selain itu memperjelas pemahaman peneliti mengenai
area konseptual yang menjadi fokus dalam penelitian ini.
1. Memahami Pengertian Dampak Sosio-Psikologis
Pada tinjauaan konseptual mengenai dampak sosio-psikologis,
akan ditinjau sejumlah definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Menurut Hartley dan Hartley (1961), psikologi sosial adalah cabang
ilmu-ilmu sosial yang berusaha untuk memahami perilaku individu dalam
konteks interaksi sosial. Berdasarkan definisi ini, Hartley dan Hartley
melihat perilaku individu dalam suatu konteks interaksi sosial (Walgito,
1978). Selain itu Sherif dan Sherif (1956) mengemukakan bahwa psikologi
sosial adalah studi ilmiah tentang pengalaman dan perilaku individu dalam
Sherif dan Sherif menjelaskan bahwa perilaku individu berkaitan dengan
situasi sosial (Walgito, 1978).
Definisi yang lebih rinci mengenai psikologi sosial dijelaskan oleh
Myers (Walgito, 1978). Menurut Myers (1983), psikologi sosial adalah
studi ilmiah tentang bagaimana orang berpikir tentang pengaruh, dan
berhubungan satu sama lain. Hubungan dengan orang lain tidak dapat
lepas dari situasi sosialnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2011) dampak
berarti, pengaruh kuat yang mendatangkan akibat baik negatif maupun
positif. Psikologis adalah bersifat kejiwaan atau ditinjau dari segi
kejiwaan. Sedangkan sosiologis adalah interaksi antara individu maupun
kelompok dalam masyarakat (Sarwono, 2009).
Menurut Sherif dan Hovland dalam teori penilaiaan sosial (dalam
Sarwono, 1995), seseorang membentuk situasi penting bagi dirinya.
Pembentukan situasi ini mencakup faktor-faktor intern berupa motif,
emosi, sikap, pengalaman masa lampau serta faktor-faktor eksternal
seperti objek, orang-orang sekitar, maupun lingkungan dimana individu
berada. Oleh karena itu faktor-faktor internal dan eksternal ini yang
menjadi landasan dari setiap perilaku yang terbentuk.
Dari beberapa pandangan tokoh di atas mengenai dampak
sosio-psikologis, dapat disimpulkan bahwa, dampak sosio-psikologis adalah
stimulus dan respon psikis yang bekerja dalam diri seseorang seperti
motif, emosi, sikap, pengalaman lampau sebagai akibat dari adanya
interaksi-interasi dengan lingkungan sekitar dimana individu itu berada.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Dampak Psikologis
pada Individu
Dampak sosio-psikologis yang dialami manusia dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal maupun eksternal yang ada dalam dirinya.
Faktor-faktor internal dan eksternal tersebut dikemukakan oleh Frizt Heider
(dalam Huffman & Vernoy, 1958). Heider (dalam Sears dkk. 1994)
mengatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal yaitu
motif, emosi, sikap, kemampuan, kesehatan, keinginan, sedangkan faktor
eksternal seperti lingkungan umum, individu yang diajak berinterksi,
tekanan sosial, dan peran yang dipaksakan. Lebih lanjut, Frizt Heider
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya dampak
sosio-psikologis sebagai berikut:
a. Faktor Internal
Menurut Heider (dalam Pujiani, 2007) faktor internal adalah
stimulus maupun respon yang berasal dari kondisi internal dalam diri
1) Konsep Diri
Menurut Hurlock (1993), konsep diri merupakan konsep
akan pengenalan diri yang dimiliki individu sebagai suatu pribadi.
Konsep diri merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki
individu tentang dirinya yang meliputi karakteristik fisik,
psikologis, dan sosial. Hurlock (1993) menambahkan bahwasanya
konsep diri individu dapat menentukan keberhasilan dan kegagalan
seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat.
Konsep diri terbagi menjadi dua bagian utama yaitu citra
diri dan harga diri (Malcolm H & Steve H). Citra diri merupakan
gambaran sederhana mengenai diri misalnya, saya adalah kakak
pertama, saya seorang mahasiswa dan sebagainya. Sedangkan
harga diri merupakan penilaiaan terhadap diri misalnya, saya
peramah, saya agak pandai dan sebagainya. Lebih lanjut Malcolm
H & Steve H (1988) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
membentuk konsep diri adalah, reaksi dari orang lain,
pembandingan dengan orang lain, peranan seseorang, identifikasi
terhadap orang lain.
2) Motivasi
Motivasi berasal dari kata motif yang artinya dorongan atau
kehendak (Dirgagunarsa, 1983). Menurut para ahli, motivasi
berpikir dan merasa seperti yang mereka lakukan (King, 2010).
Berbeda dengan emosi yang dipicu dari luar, motif bersumber dari
dalam diri individu (Atkinson dkk, 2010), misalnya motif untuk
makan, memenuhi hasrat seksual dan lain sebagainya. Pada
umumnya motif dapat dikategorisasikan menjadi kebutuhan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup, kebutuhan sosial, dan
kebutuhan untuk memuaskan keingintahuan (Atkinson dkk, 2010).
3) Emosi
Emosi berasal dari kata Emotus atau Emovere yang artinya
menggerakan yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu
(Dirgagunarsa, 1983). Selain motif, perasaan mendasar yang
dimiliki manusia ialah emosi (Atkinson dkk, 2010). Seseorang
dapat merasakan bahagia, marah, dan sebagainya karena kondisi
emosional (Atkinson dkk, 2010). Walaupun motif dan emosi
memiliki kemiripan, namun diantara keduanya memiliki perbedaan
yaitu emosi dipicu dari luar sementara motif dibangkitkan dari
dalam (Atkinson dkk, 2010). Atkinson (2010) Menyebutkan
komponen-komponen emosi adalah respon tubuh internal, terutama
yang melibatkan system saraf otonomik, keyakinan atau penilaiaan
kognitif bahwa terjadi keadaan positif atau negatif tertentu,
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari
lingkungan di luar diri yang meliputi dukungan sosial, lingkungan fisik
ataupun sosial budaya. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai
berikut:
1) Dukungan Sosial
Menurut Sarason & Pierce (dalam Baron & Byrne, 2005),
dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis
yang diberikan oleh orang lain. Sementara itu Frazier dan para
koleganya (dalam Baron & Byrne, 2005) mengemukakan bahwa,
dukungan sosial adalah hal yang bermanfaat tatkala kita
mengalami stress, dan sesuatu yang sangat efektif, terlepas dari
strategi mana yang digunakan untuk mengatasi stress. Adanya
dukungan sosial dapat membantu menghalau penyakit dan
memungkinkan seseorang untuk sembuh dari penyakitnya dengan
lebih cepat (Roy, Steptoe, & Kirschbaum dalam Baron & Byrne,
2005).
Dukungan Sosial yang didapatkan dari kerabat maupun dari
keluarga dapat berdampak positif pada aliran darah, kelenjar
endokrin, dan sistem kekebalan (Uchino, U, & Holt L dalam Baron
& Byrne, 2005). Maka dukungan sosial sangat penting bagi kondisi
2) Lingkungan
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (2011),
Lingkungan adalah daerah atau kawasan yang didalamnya semua
yang memengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Lingkungan
dapat digambarkan sebagai lingkungan dimana individu berasa
seperti lingkungan sosial, pendidikan atau budaya. Lingkungan
sosial secara fisik dapat digambarkan sebagai tempat tinggal
berupa asrama, panti asuhan, apartemen, kos-kosan atau rumah
tinggal pada umumnya. Lingkungan pendidikan berupa sekolah
atau kampus dan lain sebagainya, sedangkan lingkungan budaya
merupakan sekumpulan masyarakat yang memiliki kesamaan cara
pandang, dimana budaya itu sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah (Badudu dan
Zein, 1994 dalam Pujiani).
3. Bentuk-bentuk Dampak Sosio-Psikologis Akibat Kekerasan
Berikut ini adalah beberapa bentuk dampak psikologis akibat
kekerasan etnis di masyarakat menurut para akademisi. Kekerasan Etnis
yang terjadi di masyarakat sangat berpengaruh pada kesehatan mental
anak-anak dan remaja (Farver, Xu, Eppe, Fernandez, & Schwartz, 2005;
Finkelhor, Ormrod, Turner, & Hamby, 2005). Dampak dari kekerasan
trauma (Kliewer, Lepore, Oskin, & Johnson, 1998). Selain
dampak-dampak di atas, remaja korban kekerasan juga mengalami penyalahgunaan
zat, dan agresi (Bingenheimer, Brennan, & Earls, 2005; Goldstein,
Walton, Cunningham, Trowbridge, Maio, 2007; Rosenthal, 2000).
Menurut Coser (dalam Budiyono, 2009), dampak psikologis akibat
konflik dan kekerasan adalah perasaan tertekan sehingga menjadi siksaan
terhadap mentalnya, stress, kehilangan rasa percaya diri, rasa frustasi,
cemas, dan takut. Hal ini dapat terjadi pada pribadi-pribadi individu yang
tidak tahan menghadapi situasi konflik. Selain itu, mematikan semangat
kompetisi dalam masyarakat karena pribadi yang mendapat tekanan
psikologis akibat konflik cenderung pasrah dan putus asa. Berikut ini akan
dijelaskan secara lebih detail mengenai dampak psikologi pada korban
akibat kekerasan di masyarakat:
a. Harga Diri Rendah
Menurut Maslow (dalam Goble, 1971), setiap orang memiliki
kebutuhan akan penghargaan dari diri sendiri maupun dari orang lain.
Lebih spesifik Maslow mengemukakan bahwa harga diri meliputi
kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan,
prestasi, ketidaktergantungan dan kebebasan. Sementara penghargaan
dari orang lain meliputi, prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian,
kedudukan, nama baik serta penghargaan. Jika seseorang memiliki
akan lebih percaya diri, lebih mampu dan lebih produktif. Sebaliknya
jika kebutuhan akan harga diri kurang maka, seseorang akan diliputi
rasa rendah diri, dan perasaan tidak berdaya.
b. Kecemasan
Anxiety atau kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang
mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak
menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi (Nevid dkk, 2005). Freud (dalam Corey, 2005)
mengartikan kecemasan sebagai keadaan tegang yang memotivasi
seseorang berbuat sesuatu. Dalam hal ini fungsinya adalah
memperingatkan seseorang akan adanya bahaya. Sulaiman (1995)
berpendapat bahwa kecemasan merupakan reaksi psikologis yang
disebabkan karena adanya rasa kawatir terus-menerus yang
ditimbulkan oleh adanya inner conflik.
Kecemasan merupakan manivestasi dari berbagai proses emosi
yang bercampur baur dan terjadi ketika orang mengalami tekanan
perasaan karena adanya pertentangan (Daradjat dalam Jessica, 2007).
Sementara pendapat Kenyou (dalam Jessica, 2007), kecemasan adalah
rasa takut yang pasti terhadap sesuatu yang mengerikan akan terjadi,
namun apa yang menjadi penyebab rasa takut ini tidak diketahui.
Adapun gejala-gejala kecemasan oleh Buklew (dalam Purnamaningsih,
1) Tingkatan Fisiologis. Kecemasan ini sudah mempengaruhi atau
berwujud pada gejala fisik terutama pada fngsi syaraf diantaranya
tidak dapat tidur, perut mual, dan keringat dingin berlebihan.
2) Tingkat psikologis. Kecemasan semacam ini sudah berupa gejala
kejiwaan seperti rasa khawatir, bingung, sulit konsentrasi, tegang,
dan sebagainya.
c. Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia
yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala
penyertaannya, termasuk perubahan pada pola tidur, nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak
berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplam, 1998). Gejala yang paling
sering ditemukan pada pasien depresi adalah penurunan mood yang
berkepanjangan (Katona dkk, 2012). Katona dan koleganya lebih
lanjut menjelaskan bahwa, ICD-10 mengklasifikasikan gangguan
depresi berdasarkan tingkat keparahan dan mengidentifikasi tiga gejala
utama yaitu, mood yang buruk, anhedonia (kehilangan rasa senang
pada kegiatan yang sebelumnya terasa menyenangkan), dan penurunan
energi (peningkatan rasa mudah lelah).
Depresi Gejala ringan dapat berlaku jika dua dari tiga gejala
utama dialami oleh individu (Katona dkk, 2012). Selain itu, individu
dua gejala diantara gejala-gejala berikut seperti: penurunan konsentrasi
dan perhatian; penurunan rasa percaya diri dan harga diri; perasaan
bersalah dan tidak berharga; merasa putus asa mengenai masa depan;
pikiran untuk melukai diri sendiri, gangguan tidur, dan peningkatan
atau penurunan nafsu makan. Depresi Gejala sedang terdapat enam
gejala termasuk setidaknya dua dari gejala utama. Sedangkan depresi
berat, setidaknya memiliki delapan gejala, termasuk seluruh tiga gejala
utama yang mengakibatkan tekanan yang bermakna dan mengganggu
kehidupan sehari-hari (Katona dkk, 2012).
d. Stres Pasca Trauma
Menurut DSM-IV, gangguan stress pasca trauma merupakan
paparan terhadap kejadian traumatik dimana saat itu orang merasakan
ketakutan, ketakberdayaan, atau kengerian. Setelah itu orang merasa
mengalami kembali kejadian tersebut melalui kenangan dan mimpi
buruknya (Mark & Barlow, 2006). Dengan kata lain stress pasca
trauma, adalah gangguan emosional yang menyebabkan distress, yang
bersifat menetap, yang terjadi setelah menghadapi ancaman keadaan
yang membuat individu merasa benar-benar tidak berdaya atau
ketakutan (Mark & Barlow, 2006).
Gangguan stess pasca trauma dibagi menjadi dua yaitu, stess
pasca trauma akut dan stess pasca trauma kronis (Mark & Barlow,
sampai 3 bulan. Jika stess pasca trauma lebih lama dari 3 bulan maka
dianggap kronis. Pada kondisi kronis, individu cenderung menunjukan
gejala menghindar (Davidson, dkk dalam Mark & Barlow, 2006).
Menurut Crider dkk (1983), gejala-gejala stress antara lain :
1) Gangguan emosional : tegang, khawatir, marah, tertekan oleh
perasaan bersalah. Stress yang paling sering timbul adalah
kecemasan, biasanya dialami individu dalam mengantisipasi situasi
yang penuh stress.
2) Gangguan kognitif : berpikir irrasional, tidak logis dan tidak
fleksibel akibat kekhawatiran dan evaluasi diri yang negatif. Sering
lupa dan bingung akibat terhambatnya kemampuan memisahkan
dan menggabungkan ingatan-ingatan jangka pendek dengan
ingatan jangka panjang.
3) Gangguan fisiologis : nyeri otot, cepat lelah, dan mual
Stress akan menimbulkan berbagai reaksi dalam diri
individu yang mengalaminya, yaitu :
a) Reaksi emosional : cepat marah, perubahan nafsu
makan, perubahan berat badan, dan kecemasan yang terus
menerus.
b) Reaksi intelektual : konsentrasi menurun
c) Reaksi fisiologis : sakit kepala, gatal-gatal dan diare,
d) Reaksi sosial : tidak betah seorang diri, marah
tanpa alasan, kehilangan minat terhadap banyak hal, merasa
tidak aman, dan sulit bersantai.
e. Rasa Malu
Lewis (dikutip Tangney, 1995) mengungkapkan bahwa rasa
malu merupakan suatu reaksi emosi yang berfokus pada kekalahan
atau pelanggaran moral, membungkus kekurangan diri dan memuat
suatu kondisi pasif atau tidak berdaya. Pendapat lain datang dari
Weekes (1991), yang memandang rasa malu sebagai campuran dari
kesombongan dan ketakutan akan omongan si sekitar kita.
Hurlock (1993) mengemukakan rasa malu adalah reaksi
emosional yang tidak menyenangkan diri dari individu terhadap
penilaiaan orang lain, baik yang merupakan dugaan maupun yang
benar-benar terjadi, yang mengakibatkan individu mencela diri sendiri
berhadapan dengan kelompok. Sementara Goffman (dalam Harre &
Lamb, 1996) mengemukakan bahwa apa yang dihasilkan rasa malu
ialah pengakuan bahwa diri yang disokong dalam sebuah interaksi
sosial telah terganggu oleh sesuatu yang dilakukan atau oleh suatu
kenyataan pribadi yang terlepas. Ditambahkan pula ungkapan kekuatan
f. Tertekan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tertekan berarti,
keadaan tidak menyenangkan yang umumnya merupakan beban batin
seperti merasa rendah diri, dan tidak bebas.
g. Penyalahgunaan Zat
h. Agresi
Dari beberapa penjelasan tentang dampak sosio-psikologis di atas,
maka disimpulkan bahwa kekerasan etnis yang terjadi di masyarakat,
dapat menimbulkan dampak psikologis seperti : kecemasan, depresi, stress
pasca trauma, perasaan malu, tertekan, penyalahgunaan zat dan tindakan
agresi.
B. Tinjauan Konseptual tentang Mahasiswa-Mahasiwi Remaja Korban
Kekerasan yang Berasal dari Indonesia Timur
1. Remaja
a. Pengertian Remaja
Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara
masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan
perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2007).
Transisi antara anak-anak dan dewasa, membuat masa remaja menjadi
masa yang penuh dengan gejolak dan pergolakan. Hal ini yang
remaja merupakan masa dimana terjadi pergulatan yang ditandai
dengan konflik dan perubahan suasana hati atau yang biasa disebut
dengan istilah storm and stress. Menurut Stanley Hall (dalam
Santrock, 2007) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun.
Menurut Hurlock (1980) Untuk menjadikan remaja mampu
berperan serta dan melaksanakan tugasnya, baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat tidaklah mudah, karena masa
remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit
adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial (Hurlock, 1955) .
Remaja harus menyesuaikan diri dengan orang lain diluar lingkungan
keluarga.
Dari penjelasan di atas, maka yang dimaksud dengan remaja
adalah individu yang berusia 12 tahun sampai dengan 23 tahun
(Stanley Hall dalam Santrock, 2007), yang mengalami
perubahan-perubahan biologis, kogitif dan sosio-emosional dalam diri, dan yang
akan memulai tugas-tugasnya dalam menyesuaikan diri di masyarakat.
b. Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Hurlock (2004), menyatakan bahwa tugas perkembangan
remaja meliputi:
Dalam tugas ini, remaja belajar melihat kenyataan, bahwa
anak wanita sebagai wanita, dan anak pria sebagai pria. Selain itu,
remaja diharapkan berkembang menjadi orang dewasa di antara
orang dewasa lainnya, belajar bekerja sama dengan orang lain
untuk mencapai tujuan bersama dan, belajar memimpin orang lain
tanpa mendominasinya.
2) Mencapai Peran Sosial Sebagai Pria dan Wanita
Remaja dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai
pria atau wanita dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
3) Menerima Keadaan Fisik dan Menggunakannya Secara Efektif.
Tugas ini bertujuan agak remaja merasa bangga, atau
bersikap toleran terhadap fisiknya, menggunakan dan meemlihara
fisiknya secara efektif, dan merasa puas dengan fisiknya tersebut.
4) Mencapai Kemandirian Emosional Dari Orangtua dan Orang
Dewasa Lainnya.
membebaskan diri dari sikap dan perilaku yang
kekanak-kanakan atau bergantung pada orangtua, mengembangkan afeksi
(cinta kasih) kepada orangtua, dan mengembangkan sikap respek
5) Mencapai Jaminan Kemandirian Ekonomi.
Tujuannya agar remaja merasa mampu menciptakan suatu
kehidupan (mata pencaharian). Penting buat remaja pria dan tidak
terlalu penting buat remaja wanita.
6) Memilih dan Mempersiapkan Karier (Pekerjaan)
memilih suatu pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya, dan mempersiapkan diri memiliki pengetahuan
dan keterampilan untuk memasuki pekerjaan tersebut.
7) Mempersiapkan Pernikahan dan Hidup Berkeluarga
Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup
berkeluarga, dan memiliki anak. Memperoleh pengetahuan yaang
tepat tentang pengelolaan keluarga dan pemeliharaan anak.
8) Mengembangkan Keterampilan Intelektual dan Konsep-Konsep
yang Diperlukan Bagi Warga Negara
Mengembangkan konsep-konsep hukum, pemerintahan,
ekonomi, politik, geografi, hakikat manusia, dan lembaga-lembaga
sosial yang cocok dengan dunia modern, dan mengembangkan
keterampilan berbahasa dan kemampuan nalar (berfikir) yang
penting bagi upaya memecahkan masalah-masalah secara efektif.
Berpartisipasi sebagai orang dewasa yang bertanggung
jawab sebagai masyarakat, dan memperhitungkan nilai-nilai sosial
dalam tingkah laku dirinya.
10)Memperoleh Seperangkat Nilai dan Sistem Etika sebagai
Petunjuk/Pembimbing dalam Bertingkah Laku
Membentuk seperangkat nilai yang mungkin dapat
direalisasikan, mengembangkan kesadaran untuk merealisasikan
nilai-nilai, mengembangkan kesadaran akan hubungannya dengan
sesama manusia dan juga alam sebagai lingkungan tempat
tinggalnya, dan memahami gambaran hidup dan nilai-nilai yang
dimilikinya, sehingga dapat hidup selaras (harmoni) dengan orang
lain.
11)Beriman dan Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mencapai kematangan sikap, kebiasaan dan pengembangan
wawasan dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, baik pribadi maupun
sosial.
2. Korban
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) mendefinisikan istilah
(mati, dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan
sebagainya.
Maka, korban dapat diartikan sebagai individu yang menderita
akibat suatu kekerasan maupun tindakan jahat dan sebagainya. Dalam
penelitian ini, korban yang dimaksud adalah mahasiswa asal Indonesia
Timur yang menjalani kuliah di Yogyakarta, yang tidak melakukan
kekerasan etnis namun merasakan dampak dari konflik dan kekerasan
tersebut.
3. Kelompok Etnis
Kelompok etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan
kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah,
geografis dan hubungan kekerabatan (Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang
No. 40 tahun 2008). Etnis berbeda dengan pengertian ras. Seperti yang
diungkap oleh Coakley (2001) “...it refers to the cultural heritage of
particular group of people”. Jadi, etnis mengacu pada warisan budaya dari
kelompok orang tertentu. Maguire (2002) menjelaskan juga bahwa “the
term ethnic become a precise word to use regarding people of varying
origins”. Jadi, istilah etnis menjadi sebuah kata yang tepat untuk
memandang orang dari berbagai asal-usul. Lebih lanjut diungkapkan pula
bahwa etnis mungkin dipertimbangkan dalam istilah kelompok apapun
atau beberapa kombinasi dari kategori-kategori tersebut (Maguire, 2002).
Pengertian-pengertian etnis membentuk pengertian kelompok etnis.
Kelompok etnis merupakan sebuah kategori orang yang berbeda
secara sosial karena mereka membagi sebuah jalan kehidupan dan
komitmen pada segala sesuatu cita-cita, norma-norma, dan meteril yang
terdapat pada jalan kehidupan itu (Coakley, 2001). Greely dan McCready
dalam Maguire (2002) berpendapat bahwa, kelompok etnis adalah sebuah
kolektivitas yang didasarkan pada dugaan asal-usul yang lazim dengan
sebuah sifat menarik yang menandai mereka diluar atau yang tetap
menanamkan mereka pada keanehan dengan populasi asli dalam kampung
pedalaman.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut di atas, maka terdapat
dua istilah yaitu etnis dan kelompok etnis. Etnis mengacu pada orang yang
didasarkan pada asal-usul sebagai warisan budaya kelompok orang
tertentu. Kelompok etnis merupakan suatu kelompok manusia yang
memiliki jalan kehidupan dan memiliki sifat serta karakteritik yang
menarik. Kelompok etnis dalam penelitian ini adalah antara etnis asal
Indonesia Timur dan kelompok etnis Jawa yaitu Yogyakarta.
C. Agresi Antar Etnis
Secara umum Berkowitz (1995) mendefinisikan Agresi sebagai segala
fisik maupun mental. Lebih khusus Berkowitz menjelaskan bahwa, agresi
bukan hanya suatu usaha untuk sengaja menyakiti seseorang tetapi juga,
“dasar dari prestasi intelektual, dari tercapainya kebebasan, bahkan
kebanggaan yang bisa membuat seseorang merasa lebih dari
teman-temannya.”
Poerwandari (2004) mendefinisikan agresi sebagai suatu tindakan yang
disengaja untuk memaksa, menaklukan, mendominasi, mengendalikan,
menguasai, menghancurkan, melalui cara-cara fisik, psikologis, ataupun
gabungan-gabungannya, dan atau tindakan yang mungkin tidak disengaja,
tetapi didasari oleh ketidaktahuan, kekurang pedulian, atau alasan-alasan lain,
yang menyebabkan subjek secara langsung atau tidak lansung terlibat dalam
upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dominasi, perendahan manusia
lain.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, agresi antar
kelompok etnis adalah suatu tindakan yang disengaja untuk memaksa,
menaklukan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan,
melalui cara-cara fisik, psikologis, ataupun gabungan-gabungannya, dan
tindakan yang mungkin tidak disengaja, tetapi didasari oleh ketidaktahuan,
kekurang pedulian, atau alasan lain yang menyebabkan individu maupun
kelompok etnis tertentu tidak berdaya.
Berikut akan dijelaskan faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya
1. Faktor-faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Konflik dan
Kekerasan antar Etnis di Masyarakat
Sementara itu, Soerjono Soekanto (dalam Budioyono, 2009)
mengemukakan bahwa sebab-sebab terjadinya konflik antara lain sebagai
berikut:
a. Perbedaan pada Tiap Individu
Perbedaan pendirian dan keyakinan orang per orang yang
menyebabkan konflik antarindividu. Dalam hal ini masing-masing
pihak berusaha membinasakan lawan baik fisik maupun
pikiran-pikiran dan ide yang tidak disetujuinya. Hal ini mengingat bahwa
manusia adalah individu yang unik atau istimewa, karena tidak pernah
ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan yang lain.
Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab
terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi
sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu
yang lain.
b. Perbedaan Kebudayaan
Perbedaan kebudayaan mempengaruhi pola pemikiran dan
tingkah laku perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang
bersangkutan. Selain perbedaan dalam tataran individual, kebudayaan
dalam masing-masing kelompok juga tidak sama. Setiap individu
lingkungan kelompok masyarakat yang samapun tidak menutup
kemungkinan akan terjadi perbedaan kebudayaan, karena kebudayaan
lingkungan keluarga yang membesarkannya tidak sama. Yang jelas,
dalam tataran kebudayaan ini akan terjadi perbedaan nilai dan norma
yang ada dalam lingkungan masyarakat. Ukuran yang dipakai oleh satu
kelompok atau masyarakat tidak akan sama dengan yang dipakai oleh
kelompok atau masyarakat lain. Apabila tidak terdapat rasa saling
pengertian dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup
kemungkinan faktor ini akan menimbulkan terjadinya konflik sosial.
Contoh adalah seseorang yang berasal dari etnis A yang memiliki
kebudayaan A, pindah ke wilayah B dengan kebudayaan B. Jika orang
tersebut tetap membawa kebudayaan asal dengan konservatif, tentu
saja ia tidak akan diterima dengan baik di wilayah barunya. Dengan
kata lain meskipun orang tersebut memiliki pengaruh yang kuat,
alangkah lebih baik jika tetap melakukan penyesuaian terhadap
kebudayaan tempat tinggalnya yang baru.
c. Bentrokan Kepentingan
Bentrokan kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, sosial,
politik, dan sebagainya. Hal ini karena setiap individu memiliki
kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau
tentu juga akan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama
dengan kelompok lain.
d. Perubahan Sosial yang Terlalu Cepat di Masyarakat
Perubahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi
dan perbedaan pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang
baru. Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak
akan membuat keguncangan proses-proses sosial di dalam masyarakat,
bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk
perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan
masyarakat yang telah ada. Sebenarnya perubahan adalah sesuatu yang
wajar terjadi, namun jika terjadinya secara cepat akan menyebabkan
gejolak sosial, karena adanya ketidaksiapan dan keterkejutan
masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konflik
sosial.
Selain yang disebutkan di atas, proses sosial dalam masyarakat ada
juga yang menyebabkan atau berpeluang menimbulkan konflik adalah
persaingan dan kontravensi.
e. Persaingan (Competition)
Dalam persaingan individu atau kelompok berusaha mencari
keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa
tertentu menjadi pusat perhatian umum. Cara yang dilakukan untuk