• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MEDAN

C. Dapat Menghapuskan Pidana

Perdamaian sebagai hal yang dapat menghapuskan pidana tidak terdapat dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan dalam perkara kecelakaan lalu lintas. Hal ini disebabkan karena dalam KUHP telah disebutkan secara limitatif hal-hal yang dapat menghapuskan pidana. Walaupun dalam surat pernyataan tersebut menyatakan para pihak tidak akan meneruskan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut secara pidana dan tidak akan menuntut pelaku, dan dibuat secara tertulis di atas materai, surat perdamaian tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan oleh hakim sebagai alasan untuk menghapus pidana bagi pelaku. Bahkan, walaupun ada kalanya pihak korban maupun keluarga korban memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, permohonan korban tersebut tidak dapat diterima secara utuh dalam putusan untuk sama sekali tidak menjatuhkan pidana.126

Menurut penulis, Hakim Pengadilan Negeri Medan masih menganut pandangan yang hanya bersumber kepada undang-undang saja (legalistik). Menurut Montesquie, sumber hukum bukan hanya undang-undang. Sumber hukum itu terdiri dari sumber hukum formil dan materil. Sumber hukum dalam arti formal yaitu tertulis dan tidak tertulis, yang tertulis adalah undang-undang, sedangkan yang tidak tertulis adalah hukum kebiasaan, hukum adat, traktat, doktrin, perjanjian, asas-asas hukum internasional dan lain-lain. Sedangkan dalam arti materil adalah Pancasila. Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia harusalah merupakan nilai yang dapat memelihara dan

125

Ibid

126

Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014

mempertahankan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antar kepentingan individu satu pihak dan kepentingan masyarakat di lain pihak.127

Tetapi karena pendidkan hukum aparatur penegak hukum masih rendah, maka sulit baginya berpikir berdasarkan sumber-sumber hukum tersebut di atas untuk mengaplikasikannya ke dalam masalah hukum yang sedang di proses di dalam praktek. Misalnya, dalam kasus pembunuhan antara suku adat di Jambi, yang kemudian diakhiri dengan perdamaian secara adat, sehingga selesailah masalahnya. Tetapi oleh kepolisian, kasus yang sudah selesai dengan perdamaian tersebut diproses lagi dengan alasan adanya perdamaian tidak menghapus delik. Inilah yang menjadi dasar proses tersebut diteruskan dan ini secara juridis bertentangan dengan hukum adat yang masih diakui di Indonesia. Sebenarnya, jika ketentuan adat tersebut ingin diakui kepastian hukumnya di Indonesia, maka perdamaian tersebut tidak diajukan ke pengadilan. Maka untuk dijadikan sebagai legalitas, tidak perlu diproses lebih lanjut lagi. Demikian juga dengan perkara kecelakaan lalu lintas, adanya perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas secara ikhlas dan suka rela merupakan wujud konsesualitas yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Sebagai pengejawantahan sila keempat Pancasila, nilai musyawarah ini seharusnya lebih dihormati dan dihargai sebagai kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Seharusnya perdamaian yang telah dilakukan tersebut, dijadikan sebagai akhir penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas karena memang itu yang dikehendaki oleh pelaku dan juga korban. Hal ini sejalan dengan teori Hukum Pidana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister dan N. Keijzer, seorang ahli hukum Belanda, yang menyatakan bahwa unsur perbuatan pidana itu adalah jika seseorang terbukti melakukan bahwa perbuatannya itu sifatnya tercela atau dilakukan dengan kesalahan atau merugikan

127

Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Genta Publishing, Medan, 2014, halaman 11

orang lain. Seseorang bisa dipidana jika perumusan deliknya terpenuhi, baik formal maupun materil dan sifat perbuatan melawan hukum terpenuhi baik formal maupun materil serta perbuatan itu tercela. Akan tetapi, jika perbuatan itu tidak lagi tercela dan tidak ada yang dirugikan, maka seseorang itu tidak dapat dipidana. 128

Demikian juga dengan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas tersebut, dengan adanya pemaafan, ganti kerugian, biaya perawatan maupun biaya pemakaman yang diberikan oleh pelaku terhadap pihak korban dan pihak korban menerimanya dengan ikhlas dan memaafkan pelaku, maka sebenarnya tidak ada lagi pihak yang dirugikan serta sifat tercela dari perbuatan pelaku tersebut menjadi hilang karena adanya itikad baik dari pelaku untuk meminta maaf dan bertanggungjawab terhadap perbuatannya.

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, perdamaian yang dilakukan dalam menyelesaikan perselisihan mendukung atau sejalan dengan tujuan pemidanaan, khususnya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Perdamaian yang dilakukan oleh korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai arti yang penting dalam mengaspirasikan dua kepentingan yaitu kepentingan si korban dan juga kepentingan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas mengingat struktur hukum pidana Indonesia saat ini, secara khusus yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas belum mengakomodasikan kepentingan korban dimana hanya ditempatkan sebagai saksi korban yang hanya bergantung nasibnya pada jaksa yang mewakili kepentingannya.

Keseimbangan perlindungan berbagai kepentingan merupakan hal yang perlu diperhatikan sebagaiamana yang telah dinyatakan oleh Muladi bahwa dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan mengatur berbagai kepentingan masyarakat serta

sarana perlindungan hak-hak warga negara dibutuhkan adanya keterpaduan sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system), yaitu suatu sistem yang berusaha menjaga keseimbangan perlindungan kepentiingan, baik kepentingan negara, masyarakat individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Perdamaian sekaligus dapat dijadikan alternatif pidana yatitu sebagai tindakan non penal dalam menyelesaikan permasalahan mengingat bahwa upaya penal merupakan ultimum remedium apabila upaya lain tidak mampu mengatasi.

Perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai peranan yang penting sebagai sarana pembaharuan hukum pidana yang bermakna upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofik, dan sosio kultural masyarakat Inonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia,129 yang dalam hal ini khususnya nilai-nilai positif yang terkandung dalam perdamaian dan merupakan nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dapat menjadi sumbangan dalam rangka pembaharuan hukum pidana tersebut.

Selain hal-hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi urgensi perlunya perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas menjadi alasan yang dapat menghapus pidana:

a. Perdamaian dilihat dari tujuan pemidanaan.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan rasional dalam menetapkan suatu jenis pidana mengandung arti bahwa pidana yang dipilih itu harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang rasional yang sesuai dengan tujuan yang dikehendaki yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Tujuan pemidanaan wajib dipertimbangkan oleh hakim sebab persepsi hakim tentang fiilsafat pemidanaan dan tujuan pemidanaan memegang peranan penting di dalam penjatuhan pidana . Molly

129

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebija kan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bandung, 1996, halaman 30-31.

Cheang sebagaimana di sitir Muladi, pernah menyebut tujuan pemidanaan sebagai kesulitan utama seorang hakim yang mungkin berpikir bahwa tujuan berupa pencegahan hanya bisa dicapai dengan pidana penjara, namun di lain pihak dengan tujuan yang sama, hakim yang lain akan berpendapat bahwa pengenaan pidana denda akan lebih efektif. Seorang hakim yang memandang aliran klasik lebih baik daripada aliran modern akan memidana lebih berat sebab pandangannya adalah pidana harus cocok dengan perbuatannya dan sebaliknya yang berpandangan modern akan member pidana yang lebih ringan, sebab ia berpendapat bahwa pidana harus cocok dengan orangnya. Apalagi dari segi teoritis, mengenai tujuan pemidanaan ini belum pernah tercapai suatu kesepakatan di antara para sarjana.130

Perumusan tujuan pemidanaan telah dicantumkan dalam RUU KUHP 2013 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51

(1) Pemidanaan bertujuan untuk:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan

d. Membebaskan rasa bersalah terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Menurut Djoko Prakoso, tujuan pidana dan pemidanaan menurut konsep RUU KUHP bertolak dari suatu pandangan filosofis tertentu, yakni filsafat pembinaan. Perdamaian yang terjadi antara korban dengan pelaku tindak pidana pada dasarnya bertujuan untuk menyelesaikan suatu konflik yang terjadi antara mereka dengan cara

130

kekeluargaan . ini berarti perdamaian telah mendukung tujuan pemidanaan seperti yang tercantum dalam konsep KUHP tersebut.131

Perdamaian tersebut sesungguhnya sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam hukum adat. Perwujudan perdamaian berupa permintaan maaf, rasa penyesalan, pemberian ganti kerugian baik berupa biaya pemakaman, biaya perobatan, maupun biaya perbaikan merupakan pengembalian ke keadaan yang seimbang atas kegoncangan yang terjadi. Bila dikaitkan dengan ajaran/ postulat Krannenburg, yang mengatakan bahwa sifat tata susuna masyarakat tradisional sudah mencerminkan asas yang universal dalam ilmu hukum pidana modern, yaitu melalui pengembalian keseimbangan dalam masyarakat yang disebabkan oleh tindakan salah seorang warganya yang mengakibatkan kerugian materil/ psikologik warga masyarakat lain. Perwujudan kea rah pemulihan keseimbangan dalam tata hidup masyarakat demikian itu mengandung aspek edukatif yang tidak hanya berlaku bagi si pelaku tindak pidana tetapi juga kepada anggota masyarakat lainnya.132

b. Perdamaian mengandung wujud tanggung jawab pelaku terhadap korban.

Perdamaian merupakan salah satu cara yang digunakan oleh masyarakat dalam menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik melalui perdamaian ini tampaknya banyak dilakukan pada masyarakat Batak, Jawa dan Bali yang memandang bahwa penyelesaian dengan jalan damai merupakan nilai terpuji dan dijunjung tinggi sehingga mendapat dukungan yang kuat.

Hukum adat Indonesia memandang bahwa setiap penyimpangan terhadap aturan-aturan adat akan menimbulkan kegoncangan/ ketidakseimbangan , sehingga terhadap

131

Ibid

132

Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra AdityaBakti, Bandung, 1995, halaman 117

orang yang melanggr aturan tersebut dikenakan sanksi/ reaksi adat. Sanksi/ reaksi adat yang dijatuhkan merupakan bentuk tindaklan ataupun usaha untuk mengembalikan ketidakseimbangan, termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magisakibat adanya gangguan yang berupa pelanggaran adat.pemberian sanksi adat tersebut berfungsi sebagai stabilitator untuk mengembalikan keseimbangan adat dunia lahir dan dunia ghaib, bukan penderitaan. Soepomo menyebutkan ada beberapa bentuk sanksi adat, yaitu:

a. Penggantian kerugian (immaterial) dalam berbagai rupa seperti paksaan menikah gadis yang telah dicemarkan.

b. Pembayaran uang adat kepada orang yang terkena yang berupa benda sakti sebagai pengganti kerugian rohani.

c. Selematan (korban) sebagai upaya untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran ghaib.

d. Penutup malu, permintaan maaf.

e. Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati.

f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.

Hukum kebiasaan itu biasanya yang lebih menyesuaikan konflik -konflik sosial disbanding hukum positif yang ada, sebab dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia ini tidak mustahil di samping tunduk kepada hukum positif masih mengikuti hukum kebiasaannya sendiri, termasuk sistem mediator seperti yang terdapat di Kalimantan, Irian Jaya dan sebagainya.133

Nilai-nilai yang menjelma dalam perdammaian tersebut merupakan hukum yang hidup (the living law) sebab ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat. Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, hukum yang hidup dalam suatu

133

masyarakat merupakan suatu sistem hukum hukum dalam arti yang sebenarnya, yaitu hukum sebagia suatu proses nyata dan aktual. Hukum yang hidup ini harus digali melalui suatu penemuan hukum (rechtsvinding) para hakim yang dasar kekuatan hukumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 25 ayat (1) dan 28 ayat (1) dan (2).134 Pasal 25 ayat (1) menyatakan sebagai berikut:

“ segala putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan

tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa hakim harus menentukan hal-hal yang harus duipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana. Pasal 28 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut:

(1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahta dari terdakwa.

Ketentuan tersebut mengharuskan hakim dalam menjatuhkan pidana selalu mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat bahkan sifat baik dan juga sifat jahat terdakwa. Adanya sifat baik dari terdakwa untuk berdamain dalam bentuk permohonan maaf, pemberian ganti kerugian, pembayaran biaya perobatan dan biaya pemakaman atas kecelakaan lalu lintas yang terjadi seharusnya dipertimbangkan juga oleh hakim dalam putusannya.

c. Perdamaian dilihat dari perspektif kemanfaatan bagi korban dan pelaku tindak pidana lalu lintas.

134

Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal yang berupa penjatuhan pidana (pemidanaan) mengandung arti telah terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku dan pemindahan /pengasingan pelaku dari masyarakat lingkungannya. Tidak hanya pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terkena stigma/cap jahat, tetapi juga keluarganya menanggung beban malu dan direndahkan martabatnya sehingga kedudukan mereka dalam masyarakat menjadi sangat marginal. Narapidana dianggap orang yang berbahaya dan masyarakat akan menerima bekas narapidana masih ragu-ragu dan khawatir terhadap kelakuan baik narapidana tersebut, sehingga sulit untuk bersosialisasi kembali dengan masyarakat termasuk sulit untuk mencari nafkah/ mendapatkan pekerjaan.

Berbagai kritik pidana dijatuhkan terhadap efek negative pidana perampasan kemerdekaan. Usaha-usaha untuk mencari alternatif pidana banyak dilakukan. Melihat kenyataan tersebut, perdamaian dapat menjadi alternatif pidana perampasan kemerdekaan. Manfaatnya, terpidana akan terhindar dari stigmaisasi jahat dari masyarakat dan terhindar dari pengaruh negative subkultur pidana penjara, anak istri dan sanak saudara tidak menanggung beban malu. Terpida juga tetap dapat menghidupi keluarga. Hal ini seharusnya perlu dipertimbangkan bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas karena pelaku telah meminta maaf, menyampaikan rasa penyesalan dan memberikan sejumlah ganti kerugian dan korban telah memaafkan pelaku.

Dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan tidak pernah didikutsertakan sehingga pada gilirannya, mereka tidak dapat ikut menentukan tujuan akhir dari pidana yang telah diterimanya. Bahkan para korban kejahatan juga tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sehingga belum tentu pihak korban merasa puas dengan hasil akhir dari putusan hakim. Penderitaan/ kerugian korban diwakilkan kepada jaksa penuntut umum dan kerban tersebut sebenarnya tidak sepakat jika perkara

tersebut diproses dengan hukum melalui perdamaian yang telah disepakati dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sehingga pada esensinya, perwakilan tersebut dipandang mencuri kesempatan dari konflik antara para pihak dan diwujudkan dalam dua pihak, pertama negara dan dilain pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Melalui perdamaian, hak tersebut dapat dikembalikan kepada pihak korban. Pemberian ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban dapat mengurangi beban penderitaan yang berwujud material, terutama bagi korban yang ekonominya tidak mampu. Ganti rugi yang diberikan oleh pelaku dapat digunakan untuk biaya perawatan/pengobatan, pemakaman apabila korban meninggal dunia meskipun sebenarnya penderitaan moril korban/keluarga korban tidak dapat dihilangkan sama sekali. Bahkan apabila terdakwa kebetulan mampu dan mempunyai kedudukan yang terpandang dapat membantu dengan berbagai cara sehingga terjalin hubungan baik antara pelaku tindak pidana dengan korban/keluarga korban. Hal tersebut merupakan pengejawantahan penyesalan dan tanggung jawab terhadap korban dn dapat juga mengembalikan hubungan baik antara pembuat dengan korban/keluarga korban.

d. Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dilihat dari persepektif keadilan restoratif Pasca perkembangan orientasi pemidanaan yang mendudukkan korban sebagai bagian penting dari tujuan pemidanaan. Perkembangan pemikiran tentang pemidanaan selanjutnya bergerak ke ranah orientasi baru di mana penyelesaian perkara pidana merupakan suatu hal yang seharusnya menguntungkan para pihak. Keadilan restoratif ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang dapat menjawab tuntutan tersebut.135

Duff sebagaimana yang dikutip oleh Lode Walgrave menyatakan bahwa restorative justice are not “alternative to punishment but alternative punishment”.

Sementara Stephen VP. Grey menyatakan keadilan restorative sebagai a way of

135

Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Pardigma Pemidanaan, CV Lubuk Agung. Bandung, 2011, halaman. 63.

responding to crime. PBB melalui Basic Principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan keadilan restorative merupakan pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G.P. Hoefnagels yang mengatakan bahwa politik criminal harus rasional (a rational total of the responses to crime). Pendekatan restoratif merupakan suatu paradigm yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. 136

Penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya terfokus kepada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya perbaikan. Termasuk dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Hal ini diimplementasikan dengan adanya perbuatan yang merupakan gambaran dari perubahan sikap para pihak yang sering diistilahkan dengan stakeholder yang merupakan pihak-pihak yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana yang terjadi. Stakeholder utama dalam hal ini adalah pelaku (yang menyebabkan terjadinya tindak pidana), korban (sebagai pihak yang dirugikan dan masyarakat dimana peristiwa tersebut terjadi. Program dari keadilan restorative adalah adanya kesepakatan para pihak yang terlibat. Kesepakatan di sini adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada adanya pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat di atas kerugian yang timbul dari tindak pidana yang terjadi. Kesepakatan berupa perdamaian dalam hal ini bisa diartikan sebagai suatu upaya memicu proses reintegrasi antara korban dan pelaku, oleh karenanya kesepakatan tersebut dapat berbentuk pemberian biaya perobataan, biaya pemakaman ataupun ganti kerugian atas tindak pidana yang terjadi. Dalam konsep restoratif ini pentingnya dibuka suatu akses korban untuk menjadi salah satu pihak yang menentukan

penyelesaian akhir tindak pidana karena korban adalah pihak yang paling dirugikan dan paling menderita. Selain itu, melalui pendekatan restorative ini, terdapatnya suatu kerelaan pelaku untuk bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Makna kerelaan dalam hal ini harus diartikan sebagai adanya introspeksi diri dari pelaku sehingga muncul kesadaran untuk menilai perbuatannya dengan pandangan yang benar.137

Demikian pula dalam perkara kecelakaan lalu lintas ini, maka pendekatan keadilan restorative merupakan hal yang akan menempatkan pelaku ikut serta dalam menentukan keputusan, tidak menggantungkan keinginannya melalui jaksa penuntut umum. Pada sistem pemidanaan selama ini, korban bukanlah pihak yang ikut menentukan hasil dari putusan. Korban hanya ditempatkan sebagai pelengkap penderita yaitu salah satu alat bukti yang dipakai untuk menggiring pelaku ke arah pertanggung jawaban pidana berupa penjatuhan sanksi yang telah ditentukan oleh undang-undang. Apakah sanksi yang dijatuhkan memberikan keuntungan kepada korban atau tidak, hal demikian bukanlah merupakan bagian penting yang harus dipertimbangkan oleh hakim. Hal inilah yang sering menimbulkan kegamangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap perkara yang sudah mengandung perdamaian.138 Sehingga penyelesaian yang diperoleh melalui pendekatan restoratif ini adalah sesuai dengan kehendak korban dan juga pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sehingga hukum yang diterapkan menuju kepada hukum yang hidup (living la w) dan berjiwa progresif.

Jika dilihat dalam RUU KUHP 2013, sebagai ius constituendum bangsa Indonesia, perdamaian dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapuskan pidana. Hal ini dapat dilihat dengan diaturnya pedoman pemidanaan yang harus diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana. Salah satu pedoman pemidanaan bagi hakim yang

137

Ibid, halaman 76

diatur dalam RUU KUHP 2013 mengenai hal-hal yang perlu dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Disebutkan dalam pasal 55 ayat (1) bahwa dalam pemidanaan, hakim wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a.Kesalahan pembuat tindak pidana;

b.Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c.Sikap batin pembuat tindak pidana;

d.Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan; e.Cara melakukan tindak pidana;

f. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana;

g.Riwayat hidup, keadaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana; h.Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat pidana;

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban; dan/atau: k.Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Ketentuan dalam ayat tersebut memberikan pedoman pemidanaan yang sangat membantu hakim dalam memberikan takaran atau berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dengan mempertimbangkan butir-butir pemidanaan tersebut, diharapkan pidana yang akan dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat dipahami baik masyarakat maupun terpidana.

Dikaitkan dengan konsep perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, maka berdasarkan penelitian ini, bentuk perdamaian yang antara lain terdiri atas permintaan maaf, pernyataan rasa penyesalan, pemberian ganti rugi, baik pemberian biaya perawatan, biaya perbaikan maupun biaya pemakaman,merupakan wujud tanggung jawab pelaku kepada korban atas perbuatan yang telah dilakukan. Hal