• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Pengaturan Perdamaian Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan

dalam KUHP

Dalam hukum pidana ada suatu upaya koreksi yang disebut dengan transaksi dan sepot. Transaksi adalah kemungkinan untuk mencegah adanya terjadinya tuntutan pidana oleh karena ada pelanggaran. Tersangka masih akan dibebani oleh penuntut umum dengan beberapa syarat-syarat tertentu dan jika tersangka dapat memenuhi syarat-syarat itu, maka gugurlah hak penuntut umum melakukan tuntutan pidana. Biasanya syarat-syarat ini adalah pembayaran suatu jumlah uang yang tidak lebih besar daripada maksimum denda yang diancamkan undang-undang terhadap perbuatan tersebut. Polisi juga berwenang untuk melakukan transaksi khususnya untuk pelanggaran lalu lintas.81

Spot adalah tindakan penuntut umum yang dapat meniadakan penuntutan atas dasar yang dipertimbangkan dari segi kepentingan umum. Sebenarnya tersangka telah melakukan perbuatan pidana yang dapat dituntut, namun mengingat kepentingan umum, penuntut tidak melakukan penuntutan dengan syarat. Biasanya dikaitkan dengan suatu syarat yang dikaitkan pada tindakan tidak menuntut itu, yaitu bahwa si tersangka dalam waktu yang ditentukan harus telah melakukan sesuatu pembayaran ganti kerugian

80

Ibid, catatan pasal 361 KUHP.

81

terhadap korbannya. Tindakan koreksi ini terdapat dalam pasal 82 KUHP mengenai denda damai (afkop).82

Pasal 82 KUHP berbunyi:

“ Hak menuntut hukuman karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tidak

lain dari pada denda, tidak berlaku lagi jika denda maksimum telah dibayar dengan kemauan tersendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara jika penuntutan telah dilakukan, dengan izin amtenar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam

tempo yang ditetapkannya.”83

Namun dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa denda damai yang dimaksud dalam pasal 82 KUHP ini hanya terbatas kepada tindak pidana tertentu, yakni pelanggaran. Bila ada orang yang telah berbuat pelanggaran (kejahatan tidak termasuk),yang ancaman hukumannya berupa melulu hukuman denda saja, maka orang itu dapat melepaskan diri dari tuntutan pidana dengan membayar denda maksimum hukuman denda yang diancamkan (bila sudah mulai penuntutan, juga ongkos perkaranya) itu kepada kas negara. Jika pelanggaran itu diancam pula dengan perampasan barang yang tertentu, maka barang tersebut harus diserahkan atau harga barang itu dibayar.hal ini harus ada izin dari pegawai yang ditunjuk oleh undang-undang. Menurut pasal 376 jo 325, pegawai yang ditunjuk itu adalah jaksa pada pengadilan negeri.84

Tindak pidana kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari Buku II KUHP, yaitu kejahatan. Sehingga pembayaran denda damai (afkop) tidak akan menghapus dasar penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 82 KUHP. Sering kali dalam berkas perkara pidana tentang kecelakaan lalu lintas yang membawa korban manusia, terdapat surat perjanjian antara si korban atau ahli warisnya dengan si terdakwa (perjanjian perdamaian) yang pada pokoknya berisi bahwa si korban atau ahli warisnya yang telah menerima bantuan uang (santunan) dari terdakwa menyatakan menerima 82 Ibid. 83 Ibid. 84

musibah yang menimpanya sebagai takdir dan karenanya tidak akan menuntut terdakwa, sebaliknya terdakwa dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa tanpa paksaan siapapun dan dengan rela hati menyerahkan santunan untuk meringankan penderitaan si korban atau ahli warisnya.pemberian santunan tersebut oleh si terdakwa dimaksudkan agar dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya, sedang bagi si korban atau ahli warisnya, santunan tersebut merupakan jalan pintas untuk dapat secepatnya memperoleh pergantian atas kerugian yang dideritanya sekalipun jumlah yang diterimanya berdasarkan perjanjian tersebut jauh daripada memadai.85

Dalam KUHP, perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas baik berupa maaf, pembayaran ganti kerugian, biaya perobatan, biaya pemakaman dan berbagai bentuk perdamaian lainnya yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas kepada korban tidak dapat dijadikan sebagai alasan menggugurkan tuntutan. Proses peradilan pidana harus tetap dijalani.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pengaturan kecelakaan lalu lintas dalam KUHP ini tetap wajib diproses sampai ke Pengadilan dan mendapatkan putusan Majelis Hakim. Dengan kata lain, kesepakatan damai antara para korban dengan maupun pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tidaklah serta merta dapat menghapuskan tanggungjawab pidana dari si pelaku.

a.Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas Tidak Menghapus Tuntutan Pidana

Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus penuntutan terhadap pelaku. Dalam KUHP telah diatur beberapa alasan penghapus penuntutan, yakni:

1.Pasal 76 KUHP.

85

Pasal ini mengatur Nebis In Idem sebagai alasan penghapus penuntutan. Nebis In Idem artinya seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama.

2.Pasal 77 KUHP.

Pasal ini menyatakan bahwa hak menuntut hilang karena terdakwa meninggal dunia. Menurut Vos, memang tepat isi pasal ini karena hukuman hanyya diberikan kepada pelakunya, maka apabila pelakunya meninggal dunia, maka tidak ada yang menjalani hukuman.

3.Pasal 78 KUHP.

Pasal ini mengatur tentang hak menuntut menjadi hilang karena lewat waktu (kadaluarsa).

4.Pasal 82 KUHP.

Pasal ini mengatur penyelesaian perkara di luar pengadilan atau afdoening buiten process, atau menurut Barda Nawawi Arief, sebagai Lembaga Hukum Afkoop (penebusan) atau sering disebut sebagai schikking (perdamaian).86 Menurut Satochid Kartanegara, pasal ini hanya berlaku untuk pelanggaran tertentu yang diancam dengan hukuman denda dan tidak terhadap pelanggaran yang diancam dengan hukuman alternatif, seperti pidana kurungan pengganti. Jadi lembaga ini tidak berlaku untuk kategori kejahatan, hanya untuk pelanggaran. 87

Dari pasal-pasal tersebut diatas, kesepakatan damai antara korban dengan pelaku berupa pemberian ganti kerugian, biaya perobatan, biaya pemakaman maupun hal-hal

86

Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, ( Badan Penyedia Bahan Kuliah FH Undip, Semarang, 1999, halaman 63.

87

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana (Kumpulan kuliah), bagian kedua, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 2008, halaman 224.

lainnya dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan penghapus penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

b.Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas Tidak Menghapuskan Pidana.

Demikian halnya juga dengan alasan penghapus pidana. Dalam KUHP juga telah diatur mengenai alasan-alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana terdiri atas:88

1. Alasan penghapus pidana yang berlaku umum, yaitu dasar penghapus pidana yang dapat diberlakukan kepada semua tindak pidana.

2. Alasan penghapus pidana yang berlaku khusus, yaitu dasar penghapus pidana yang hanya dapat diberlakukan pada subjek hukum tertentu.

Alasan penghapus pidana yang berlaku umum terdiri atas: 1.Pasal 44 KUHP ( Pelaku yang sakit/ terganggu jiwanya)

Dalam pasal 44 KUHP ini, pembentuk undang-undang membuat suatu peraturan khusus bagi setiap pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan olehnya. Kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya ada pada hakim ( kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa penuntut umum). Akan tetapi dalam menentukan apakah pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah akal itu, hakim harus mendapatkan keterangan dari saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan (psikiatri). Meskipun demikian, hakim dalam memberiikan putusannya tidakalah terikat dengan keputusan yang diberikan oleh psikiater, hakim dapat menerima atau menolak keterangan yang diberikan oleh psikiater tersebut. Penerimaan maupun penolakan tersebut harus diuji berdasarkan kepatutan atau kepantasan.89

2.Pasal 48 KUHP ( Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa)

88

Mety Rahmawati, Dasar-dasar penghapus penuntutan, penghapus, peringanan dan pemberat pidana dalam KUHP. Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2010, halaman. 21

89

Hamdan, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, Refika Aditama, Medan, 2012, halaman 78.

Pasal 48 KUHP ini tidak merumuskan apa yang dimaksudkan dengan “paksaan”

tersebut. Akan tetapi menurut Memorie van Toelichting, maka yang dimaksud dengan paksaan itu adalah suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan, tidak dapat ditahan. Paksaan itu dikenal dengan istilah paksaan yang absolut. Misalnya seorang yang dipaksa untuk menandatangani suatu pernyataan yang tidak benar, dalam keadaan tangannya yang dipegang oleh orang lain yang lebih kuat.90

3.Pasal 49 ayat (1) KUHP ( perbuatan yang dilakukan untuk membela diri).

Dari bunyi pasal ini, maka penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:91

a) Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela tubuh/badan, kehormatan atau harta benda diri sendiri ataupun orang lain.

b) Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain, perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan yang mengancam, bukan perbuatan yang ditujukan utnuk mempersiapkan sebelum adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah berakhir.

c) Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa atau dalam keadaan darurat; jika tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang merupakan suatu keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum tersebut.

Jadi, apabila perbuatan yang dilakukan itu memenuhi ketiga syarat tersebut, maka perbuatan orang tersebut dapat dibenarkan dan oleh karenanya sifat melawan hukum perbuatan itu dapat dihapuskan.

4.Pasal 49 KUHP ayat (2) ( pembelaan diri yang melampaui batas)92

90

Ibid, halaman 79

Pasal ini masih terkait dengan pasal 49 ayat (1) diatas, yaitu mengenai pembelaan diri. Akan tetapi pembelaan diri id sini sudah melampaui batas-batas yang wajar. Menurut pasal 49 ayat (2) ini, apa yang dilakukan tersebut sebenarnya sudah melampaui batas pembelaan diri. Akan tetapi hal ini terjadi akibat keadaan jiwa/ perasaan pelaku yang sangat tergoncang, atas terjadinya serangan yang merupakan perbuatan melawan hukum pada saat itu juga. Jadi terkait dengan ayat (1) tersebut di atas, maka pembelaan yang dilakukan dalam hal ini, tetap terhadap perbuatan yang melawan hukum. Meskipun pembelaan tersebut melampauia batas yang wajar, hal ini dapat dimaafkan karena disebabkan perasaan jiwa pelaku yang bbenar-benar tergoncang, terbawa luapan emosi karena melihat suatu peristiwa yang sedang terjadi dan hal itu merupakan/ adanya hubungan kausal/akibat langsung yang menyebabkan adanya pelampauan batas dari pembelaan tersebut.

5.Pasal 50 KUHP (melaksanakan peraturan perundang-undangan).93

Pasal ini menentukan pada prinsipnya oarng yang melakukan suatu perbuatan, meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang, maka si pelaku tidak boleh dihukum. Asalkan pernuatannya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum. Jadi, ada suatu kepentingan yang lebih besar, yang harus diutamakan oleh pelaku. Kepentingan yang lebih besar, yang lebih baik ini, merupakan alasan pembenar baginya untuk melakukan perbuatan tersebut, meskipun perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana.

6.Pasal 51 ayat (1) KUHP ( Melakukan perintah jabatan yang sah).94

Menurut pasal ini, seseorang yang melakukan perintah jabata, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dari sutu jabatan atau penguasa yang sah, meskipun perintah tersebut merupakan tindak pidana, ia tidak boleh dihukum. Yang 92 Ibid, halaman 82 93 Ibid, halaman 83 94Ibid, halaman 84

dimaksudkan perintah di sini tidak harus dalam bentuk tertulis saja, dan yang secara langsung dapat disampaikan kepadanya, akan tetapi dapat juga dalam bentuk instruksi lisan dengan menggunakan saran komunikasi. Akan tetapi, yang harus diperhatikan bahwa antara yang memerintah dengan yang diperintah harus ada hubungan jabatan dan dalam ruang lingkup kewenangan/kekuasaan menurut hukum publik (meskipun tidak harus sebagai pegawai negeri. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dalam hal ini adalah bahwa dalam hal melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus diperhatikan asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui batas keputusan dari orang yang memerintah.

7.Pasal 51 ayat (2) KUHP (Melakukan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi dilindungi)95

Pasal ini menentukan bahwa melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, tetap merupakan perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya, tidak dapat dijadikan alasan utnuk menghapuskan pidana (tidak membebaskan pelakunya dari hukuman). Akan tetapi, apabila perintah tersebut dilaksanakan oleh orang yang menerima perintah dengan itikad baik karena memandang perintah tersebut adalah perintah dari pejabat yang berwenang dan pelaksanaan tugas tersebut masuk dalam ruang linggkup tugas-tugasnya yang biasa ia lakuukan, maka ia tidak dapat di pidana. Dengan adanya alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahannya, kesalahannya dibebankan kepada orang yang memberi perintah.

Adapun alasan penghapus pidana yang berlaku khusus antara lain: 1.Psal 110 ayat (4) KUHP

Ayat (4) dalam pasal ini berhubungan dengan larangan/ancaman pidana yang ada dalam ayat (1) dan ayat (2) dari pasal 110. Ayat (1) pasal ini menyebutkan bahwa permufakatan

untuk melakukan perbuatan makar diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku kejahatan tersebut. Peraturan yang terdapat dalam ayat (1) ini berlaku khusus, karena menyimpang dari aturan umum yang ada dalam Buku I KUHP, tentang percobaan melakukan kejahatan (makar). Jadi sebenarnya belum ada perbuatan percobaan (poging), bahkan belum ada perbuatan perrispan (voorbereiding) yang biasanya belum merupakan tindak pidana. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa pidana yang sama juga berlaku bagi orang yang dengan maksud akan menyediakan atau memudahkan salah satu dari lima macam perbuatan. Kelima macam perbuatan tersebut adalah:96

a.Perbuatan mencoba membujuk orang lain supaya ia melakukan, menyuruh melakukan atau melakukan kejahatan (makar) atau supaya ia membantu melakukan kejahatan (makar) atau supaya ia memberi kesempatan, alat-alat, atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan itu;

b.Berusaha mendapatkan untuk dia sendiri atau orang lain kesempatan, alat- alat atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan (makar) itu;

c. Menyimpan atau menyediakan barang-barang yang ia ketahui ditujukan untuk melakukan kejahatan (makar) itu, barang-baran mana menurut ayat (3) pasal ini dapat dirampas.

d. Menyiapkan atau memegang rencana-rencana untuk melakukan kejahatan (makar) itu, rencana-rencana tersebut ditujukan untuk diberitahukan kepada orang lain;

e. Berusaha menccegah, menghalangi atau menggagalkan suatu daya upaya pemerintah untuk mencegah atau menumpas pelaksanaan kehendak melakukan kejahatan (makar) itu.

Pasal 110 ini mengatur mengenai pengecualian pidana yang diatur dalam ayat (4). Orang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ,karena didasarkan atas maksud tujuan yang baik untuk mengadakan perubahan ketatanegaraan dapat dimaafkan dan karena itu tidak dipidana.

2.Pasal 166 KUHP

Pasal 166 ini berkaitan dengan pasal 164 dan 165 KUHP yang memberiiikan ancaman pidana kepada seseorang yang meskipun sudah mengetahui akan terjadinya bebberapa kejahatan tertentu yang sangat berat sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang berwajib pada waktu tindak-tindak pidana itu masih dapat dihindarkan atau dicegah.

Sanksi pidana ini baru dapat dijatuhkan apabila dikemudian ternyata tindak pidana yang bersangkutan benar-benar terjadi.

3. Pasal 164 KUHP

Pasal ini adalah mengenai suatu permufakatan antara beberapa orang untuk melakukan tindak pidana dari pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 113,115,124,187, atau 187 bis KUHP yang diketahui oleh orang tersebut. Sedangkan pasal 165 adalah mengenai niat untuk melakukan tindak-tindak pidana tersebut, ditambah dengan beberapa tindak pidana lain yang juga berat sifatnya seperti, seorang prajurit yang melarikan diri dalam masa perang, penghianatan militer, pembunuhan berencana dan lain-lain. Jadi menurut pasal 166, ancaman pidana dari kedua pasal tersebut (164 dan 165) tidak berlaku. Dengan kata lain, pelakunya tidak dipidana. Hal ini disebabkan karena pelaku melakukan perbuatan itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari penuntutan pidana terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sanak saudaranya dalam keturunan lurus dan kesamping sampai derajat ketiga, atau terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang yang dalam perkaranya ia dapat dibebaskan dari kewajiban memberi kesaksian di muka sidang pengadilan. Dengan demikian, alasan penghapus pidana ini hanya berlaku secara khusus kepada orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pelaku tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 164 dan 165 KUHP, jadi tidak berlaku secara umum terhadap orang lain. Oleh karena itu, alasan penghapu s pidana ini didasarkan kepada maksud pelaku (dari dalam diri pelaku) untuk menghindarkan dirinya maka hhal ini terkait dengan alasan pemaaf.97

4.Pasal 186 ayat (1) KUHP

Perkelahian satu lawan satu atau perang tanding ini, menurut sejarahnya bukan merupakan tindak pidana. Hal ini merupakan suatu kehormatan pada dua orang yang

berteengkar dan hanya merasa puas dalam rasa kehormatannya apabila diadakan duel atau perang tanding antara dua orang tersebut. Di Indonesia, perang tanding ini diatur dalam Bab VI KUHP yaitu tentang “Perkelahian Satu Lawan Satu” yang terdapat dalam

pasal 182-186. Akan tetapi, saksi-saksi atau tim medis yang menghadiri atau yang menyaksikan perang tanding ini ( misalnya dalam olah raga tinju, karaten dan lain sebagainya), tidak boleh dihukum berdasarkan pasal 186 ayat (1) ini. Dengan adanya pasal ini, maka secara khusus perbuatan orang-orang yang memenuhi syarat ( sebagai saksi, tim medis) yang menghadiri perang tanding tersebut tidak dipidana, karena perbuatannya dapat dibenarkan.98

5.Pasal 121 ayat (2) KUHP.

Pasal ini berhubungan dengan pasal 221 ayat (1) yang menentukan dua macam tindak pidana yang bernada sama, yaitu:

a.Orang yang sengaja menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatann atau yang dituntut karena sesuatu kejahatan, atau menolong orang untuk melarikan diri daripada penyelidikan dan pemeriksaan atau tahana polisi dan/atau penegak hukum; b. Orang yang membinasakan, merusak dan sebagainya benda-benda tempat melakukan

atau yang dipakai untuk melakukan kejahatan atau membinasakan, merusak dan sebagainya bekas-bekas kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan kejahatan itu.

Kedua-duanya (perbuatan yang dilarang itu) dilakukan dengan maksud untuk menyembunyikan kejahatan itu atau untuk menghalang-halangi atau menyulitkan pemeriksaan atau penuntutan. Akan tetapi sifat menolong yang dilakukan oleh si pelaku dalam kejahatn ini, menurut ayat (2) pasal ini, tidak berlaku atau tidak diancampidana karena dengan maksud untuk melepaskan atau menghindarkan dari bahaya penuntutan

seorang keluarga sedarah atau semenda dalam keturunan lurus atau ke samping sampai derajat ketiga atau suami/istri atau jandanya yang telah melakukan kegiatan itu. Dengan kata lain, alasan penghapus pidana ini khusus berlaku bagi orang yang mempunyai hubungan keluarga yang bermaksud untuk melindungi keluarganya tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kesalahannya dimaafkan.99

6.Pasal 310 ayat (3) KUHP.

Ayat (3) pasal ini terkait dengan perbuatan penghinaan atau opencemaran nama baik seseorang, yang diancam dengan pidana berdasarkan ayat (1) (pencemaran lisan) dan ayat (2) (pencemaran dengan tulisan) dari pasal 310. Tindak pidan ini dirumuskan

dengan kata “ sengaja” menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan

menuduh dia melakukan suatu perbuatan tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud tuduhan itu tersiar ataupun diketahui oleh orang banyak. Dalam ayat (3) pasal ini menyatakan bahwa ada 2 (dua) hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan penghinaan/pencemaran nama baik ini, yang mengakibatkan si pelaku tidak dapat dipidana. Dua hal tersebut adalah apabila dilakukan untuk kepentingan umum dan/atau untuk membela diri. Jadi apabila perbuatan itu tidak dilakukan atas dasar kedua hal ini, maka alasan penghapus pidana tidak berlaku. Dengan kata lain, alasan penghapus pidana ini berlaku secara khusus atas dasar kepentingan umum dan juga untuk membela diri, tidak berlaku utnuk hal yang lainnya.100

7.Pasal 314 ayat (1) KUHP.

Pasal ini juga masih ada hubungannya dengan tindak pidana pencemaran/nama baik. Dalam hal ini ada satu hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, yaitu apabila ternyata apa yang dilakukan (yang dituduhkan/dihinakan) kepada orang itu terbukti benar, sesuai dengan keputusan hakim yang telah mempunya i

99

Ibid, halaman 91

kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, orang yang dihinakan/ dicemarkan nama baiknya itu telah dijatuhi pidana terhadap perbuatan yang dihinakan/dituduhkan kepadanya. Oleh karena itulah, sifat melawan hukum yang dilakukan oleh si penghina/pencemar nama baik tersebut dihapuskan/hilang. Dengan kata lain, sifat melawan hukumnya hilang hanya berlaku secara khusus, yaitu dalam hal yang dituduhkan itu terbukti melalui putusan hakim yang sah dan mempunyai kekuatan hukum tetap.101

8.Pasal 351 ayat (5) KUHP.

Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “ penganiayaan biasa” pasal 351, yang

pelakunya diancam dengan pidana. Akan tetapi dengan adanya ayat (5) ini, maka percobaan melakukan penganiayaan tidak dapat dipidana. Jadi merupakan alasan penghapus pidana. Seharusnya sesuai dengan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP, yaitu dalam pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan ini harus dipidana, meskipun pidananya dikurangi dengan sepertiganya. Dengan demikian, pasal 351 ayat (1) ini khusus mengatur tentang alasan penghapus pidana terhadap percobaan melakukan penganiayaan biasa. Akan tetapi sayangnya, pembuat undang-undang tidak merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana. Jika dihubungkan dengan teori percobaan dan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP, seharusnya perbuatan ini sudah dapat dipidana. Akan tetapi hal ini merupakan pengecualian, oleh karena yang dilakukan ini adalah perbuatan yang resikonya ringan. 102 9.Pasal 352 KUHP. 101 Ibid, halaman 92 102 Ibid, halaman 93

Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “ penganiayaan ringan”. Pasal 351 ayat (1),

yang pelakunya diancam pidana, akan tetapi, dengan adanya ayat (2) pasal ini, maka percobaan melakukan penganiayaan ringan tidak dapat dipidana, merupakan alasan penghapus pidana. Seharusnya sesuai dengan peraturan umum, yaitu dalam pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan penganiayaan ringan ini juga seharusnya dapat dipidana. Dengan demikian pasal 352 ayat (2) ini khusus mengatur tentang alasan penghapus pidana terhadap percobaan melakukan penganiayaan ringan. Akan tetapi sayangnya sama seperti pasal 351 ayat (5) pembuat undang-undang tidak merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana. Sama halnya dengan pasal 352 ayat (5) tersebut diatas, maka jika dihubungkan dengan