• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEDAN

A. Kebijakan Penal

Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat juga disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “pena l policy”, “crimina l la w policy” atau “stra frechtspolitiek”. Pengertian kebijakan atau

politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “politik hukum” adalah:141

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicit-citakan.

Bertolak dari pengertian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa

melaksanakan “politik hukum pidana”berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik

141

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru,

hukum pidana” berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa -masa yang akan datang. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakn atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam defenisi “pena l policy” dari Marc Ancel dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan

untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the positif rules) dalam defenisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana.

Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah

“kebijakan atau politik hukum pidana”.142

Kebijakan hukum pidana dalam bahasa Hofgels disebut Criminal Policy. Kebijakan hukum pidana sering disebut dengan istilah kebijakan/politik kriminal. Prof Sudarto, S.H pernah mengemukakan tiga arti penting mengenai kebijakan kriminal, yaitu:143 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi

terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti yang paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Joseph), ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Dalam kesempatan lain, beliau mengemukakan defenisi singkat bahwa politik

criminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dari menanggulangi kejahatan”. Defenisi ini diambil dari Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the ra tiona l

142

Ibid., halaman. 23.

143

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru,

orga niza tion of the control of crime by society”. Berdasarkan dari pengertian yang

dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “crimina l policy is the ra tiona l orga niza tion of the socia l rea ction to crime”.144

Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels

mengemukakan bahwa “Crimina l Policy is the ra tiona l orga niza tion of the socia l rea ction to crime. Hal ini berarti politik kriminal dapat diartikan sebagai usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. 145 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.146

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari penegakan hukum (la w enforcement) harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau berpartisipasi yang aktif dalam penanggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat ini sangat penting karena menurut Hoegels, bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) selain merupakan usaha yang rasional dari masyarakat terhadap kejahatan, kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kejaharan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan meyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan. Kebijakan ini termasuk

144Ibid

145

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijaka n Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, halaman 13

146

bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dianggap sebagai kejahatan (crimina l policy of designa ting huma n beha vior a s crime).147

Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati.148 Jika demikian halnya, maka menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa -masa yang akan datang. Lebih lanjut, Sudarto mengatakan bahwa pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sanggat penting artinya dan mempunyai pengaruh yang sangat luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang- undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai dua fungsi:

1. Fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai;dan 2. Fungsi instrumental.

Menurut Sahetapy, peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrument) belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber dari Pancasila, maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannyya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi

147

Mahmud Mulyadi, Criiminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, halaman17

148

berfungsi dalam arti yang sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrument. Hukum dalam pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai oleh semangat idealism Pancasila.149

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern crimina l science” terdiri dari tiga komponen “Cr iminology”, “Crimina l la w”, dan “Pena l Policy”. Dikemukakan olehnya, bahwa “Pena l Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pad akhirnya

mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada Pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya dinyatakan olehnya:150

“Diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis disatu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran maju lagi sehat.”

Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. Dengan penegasan di atas berarti, masalah kebijakan pidana termasuk salah satu bidang yang seyogianya menjadi pusat perhatian

kriminologi. Terlebih memang “pidana” sebagai salah satu bentuk reaksi atau respon

149

Ibid, halaman 14

150

terhadap kejahatan, merupakan salah satu objek studi kriminologi. Dalam penataran kriminologi disajikan bahan-bahan mengenai kebijakan hukum pidana atau “Pena l Policy” yang pada dasarnya merupakan bagian dari politik kriminal.151

.

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan hukum itu termasuk dalam kebijakan sosial, yaitu suatu usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.152

Kebijakan hukum pidana sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yakni meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang dan bagaimana peerapan hukum pidana ini melalui komponen sistem peradilan pidana serta tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen mencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum sesuatu kejahatan terjadi. Berkaitan dengan hal ini, maka ada yang menjadi permasalahan krusial yaitu apakah penerapan hukum pidana dapat dijadikan instrumen prncrgahan krjahatan. Persoalan ini muncul karena selama ini banyak menganggap bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi. Upaya mencari jawaban tersebut harus diarahkan untuk mengungkap secar filosofis apa tujuan sesungguhnya pemidanaan. Alasan filosofis ini sangat penting untuk mencari kearah mana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan.pembabakan tujuan pemidanaan ini

151

Ibid., halaman. 20.

152

Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, halaman. 148

dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, detterence, treatment dan social defence. 153

Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa

pemidanaan merupakan “ mora lly justified” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asusmsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu ya ng mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar hal ini merupakan bentuk tanggung jawab moral dan kesalahan pelaku. Teori retributif ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu, pelaku kejahatn harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.154

Teori detterence menurut Zimring dan Hawkins digunkan secara lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat

seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “the detterence effect” dari anacaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancama bagi seluruh masayarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivsm) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Tujuan pemidanaan sebagai detterence effect ini dapat dibagi menjadi pencegahan umum (general detterence) dan pencegahan khusus (indivdual detterence). Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberi peringatan kepada

153

Mahmud Mulayadi, Op. Cit, halaman 67

masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa pidana yang dijatuhkan memberikan detterence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi kejahatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan masayarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.155

Teori treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sanagt pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun, pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memebrikan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan (treatment) dan perbaikan ( rehabilitation).

Sementara teori social defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah perang dunia II dengan tokoh terkenalnya adalah Flippo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandanag social defence ini pecah menjadi dia aliran, yaitu aliran radikal (ekstrim) dan aliran moderat ( reformis). Aliran yang radikal berpendapat bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan pidana yang ada sekarang ini. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Sementara pandangan moderat berpendapat bahwa tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan utnuk kehidupan bersama

masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan pemenuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.

Tujuan pemidanaan tidak boleh dilepaskan dalam kebijakan hukum pidana. Tujuan pemidanaan yang hendak dicapai dengan pemberian pidana darus diperhatikan agar penegakan hukum pidana sebagai salah satu kerangka kebijakan kriminal lebih terarah.

Kebijakan hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam sistem pemidanaan melalui kebijakan penal lebih menitik beratkan pada sifat repressive sesudah tindak pidana kecelakaan lalu lintas terjadi. Artinya setelah terjadi tindak pidana kecelakaan lalu lintas, maka pelaku diberikan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan pasal 359, 360 dan 361 KUHP atau Pasal 310,311 dan 312 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Menurut KUHP, pengaturan sanksi pidana diatur dalam pasal 10 KUHP, yang terdiri atas: a. Pidana pokok 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda b. Pidana tambahan

1. Pencabutan beberapa hak tertentu 2. Perampasan barang yang tertentu 3. Pengumuman keputusan hakim

Dalam KUHP, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas adalah berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda maupun pengumuman putusan hakim. Lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa

tergantung kepada akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Semakin berat akibat tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut, maka ancama pidanya semakin lama juga. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana

kecelakaan lalu lintas yang disebut dengan istilah “ mengakibatkan orang mati atau luka karena salahnya”. Pengaturan tersebut terdapat dalam pasal 359. 360 dan 361. Pada

pasal 359, yaitu kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya orang diancam pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Sementara dalam pasal 360 ayat (1) yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang luka berat diancam dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lmanya satu tahun. Pasal 360 ayat (2) yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan luka sederhana sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, diancam pidana penjara selama -lamanya sembilan bulan atau pidan kurungan selama--lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,-. Pasal 361 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan dalam melaksanakan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka dinacam pidana dengan ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari pekerjaannya dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini, adapun sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan maupun denda. Pemberian pidana tersebut tergantung kepada jenis kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pelaku, baik kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas sedang, maupun kecelakaan lalu lintas berat. Pasal 310 ayat (1) yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu

lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,-. Pasal 310 ayat (2) yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang, diancam pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,-. Pasal 310 ayat (3) yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan korban dengan luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau/denda paling banyak Rp. 10.000.000,- . Sementara dalam pasal 310 ayat (4) , jika tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia, diancam dengan pidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,-

Tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana yang lebih berat daripada karena kelalaian. Hal ini dapat dilihat dari pengaturannya dalam pasal 311. Dalam pasal 311 ayat (1) mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang secara sengaja dilakukan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.3.000.000,-. Sementara jika kecelakaan lalu lintas tersebut dilakukan dengan mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang, dalam ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000,- Dalam pasal 311 ayat (3), dalam hal kecelakaan lalu lintas itu mengakibatkan korban jiwa dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,-. Sementara dalam ayat (4), jika kecelakaan lalu lintas tersebut mengakibatkan korban dengan luka berat, diancam dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- dan jika mengakibatkan korban meninggal dunia, maka diancam dengan pidana paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,- sementara dalam pasal 312, bagi setiap pengemudi kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya dan tidak memberikan pertolongan aau tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada kepolisian negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,- Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.156 Pidana tambahan juga dapat dijatuhkan oleh hakim dalam putusannya mengenai perkara lalu lintas yaitu berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM) atau ganti kerugian. Pidana tambahan berupa pencabutan SIM (larangan mengemudi) adalah agar pelaku dalam hal mengemudi menjadi jera dan lebih berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya di kemudian hari. Selain itu, pidana tambahan ini juga berguna agar pelaku tidak dapat mengulangi perbuatannya sebab ia berada dalam kondisi tidak diperkenankan mengemudi hingga berakhir larangan mengemudi tersebut. Selain itu, pidana tambahan berupa ganti kerugian diputuskan hakim jika sebelumnya belum terdapat kesepakatan mengenai ganti kerugian yang harus diberika pelaku kepada korban. Jika sebelumnya telah terdapat kesepakatan mengenai ganti kerugian, maka hakim tidak perlu memutus pidana tambahan berupa ganti kerugian.

Dualisme pengaturan kecelakaan lalu lintas yang diatur dalam KUHP maupun Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebabka n dianutnya asas lex specialis derogate lex generalis. Hal ini disebutka tegas dalam pasal

156

63 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khususlah yang diterapkan. Sebagai konsekuensi dari asas tersebut, maka untuk saat ini pengaturan hukum yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas ialah Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Demikian juga mengenai aturan pidananya, maka didasarkan pada undang-undang tersebut karena telah mengatur secara khusus daripada KUHP.

Dari pengaturan tersebut di atas, terlihat jelas bahwa baik dalam setiap perkara kecelakaan lalu lintas selalu melekat ancaman pidana. Walaupun telah terdapat perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pertanggungjawaban pidana pelaku. Walaupun kedua belah pihak telah berdamai, pihak korban telah memaafkan pelaku dan adanya pembayaran ganti kerugian berupa biaya perobatan, biaya perbaikan kerusakan, biaya duka cita maupun biaya pemakaman, proses hukum harus