• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Kajian Hukum Mengenai Perdamaian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas

Perdamaian berasal dari kata “ damai” atau concilia tion dalam bahasa Inggris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perdamaian didefenisikan sebagai penghentian permusuhan (perselisihan).19 Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary:20

Concilia tion is the a djustment a nd settlement of a dispute in friendly una nta gonistic ma nner used in courts before tria l with a few towa rds a voiding tria l a nd in la bour dispute before a rbitra tion.

Sementara menurut Hans Kelsen, perdamaian merupakan suatu kondisi yang disitu tidak terdapat paksaan. Menurut pengertian ini, hukum hanya memberikan perdamaian relatif, bukan absolut. Karena hukum mencabut hak para individu utuk menggunakan paksaan tetapi menyerahkannya kepada masyarakat. Dengan kata lain, ketiadaan hukum, menurut pengertian yang ada di sini pada hakikatnya merupakan keadaan perdamaian.21

Dari kedua pengertian di atas tentang rumusan pengertian perdamaian, pada intinya, perdamaian adalah satu sarana untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan tanpa kekerasan. Perdamaian ini dapat dilakukan baik sebelum perkara di ajukan ke pengadilan (sebelum sidang) maupun saat perkara di pengadilan (selama persidangan). Dalam perdamaian lebih mengutamakan suasana kekeluargaan di antara para pihak yang bersengketa sebab dalam perdamaian tidak ditonjolkan pihak yang bersalah atau yang benar namun akan dibahas duduk persoalan yang sebenarnya dan para pihak akan mengambil keputusan berdasarkan kesepakatan.

Penyelesaian sengketa dengan perdamaian lazimnya ditempuh dalam lapangan Hukum Perdata dan Hukum Adat ( Hukum Pidana Adat).

a. Perdamaian dalam Hukum Perdata

19

Departement Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta , 1994, halaman 207.

20

Black Law’s Dictionary, dalam Alef Musyahadah R. 2005, “Kedudukan Perdamaian Antara

Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang.

21

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dari General Theory of Law and State ( New York, Russel and Russel, 1971), Nusa media, Bandung, 2011. halaman 27.

Dalam Hukum Perdata, itikad perdamaian tidak hanya datang dari para pihak yang bersengketa, namun hakim wajib mengupayakan perdamaian terhadap penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 130 ayat (1) HIR yang berbunyi : jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.

Ketentuan mengenai perdamaian dalam hukum perdata dapat dilihat dalam pasal 1851 sampai dengan pasal 1864 KUHPerdata. Dalam pasal 1851, diatur tentang pengertian perdamaian ( dading) yaitu :

Suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah melainkan jika dibuat secara tertulis.

Dari rumusan pasal tersebut diatas, terlihat beberapa syarat formal dari putusan perdamaian, yaitu :22

1. Persetujuan dari kedua belah pihak. 2. Mengakhiri suatu sengketa

3. Perdamaian atas sengketa yang telah ada 4. Berbentuk tertulis

Inisiatif untuk melakukan perdamaian harus datang dari inisiatif murni datang dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan atas kehendak sepihak ataupun atas kehendak hakim. Adapun sengketa yang dapat dituangkan dalam persetujuan perdamaian yakni:

a. Sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan

22

Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.halaman 6.

b. Sudah nyata berwujud sengketa perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian hanya dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di sidang pengadilan

Suatu persetujuan perdamaian sah apabila dibuat secara tertulis. Syarat ini sifatnya imperatif. Berdasarkan tingkat cara pembuatan persetujuan perdamaian itu sendiri dibedakan:23

a. Putusan perdamaian

Apabila kedua belah pihak berdamai, kemudian meminta ke pihak pengadilan agar perdamaian itu dijadikan sebagai putusan pengadilan, maka bentu k persetujuan perdamaian ini disebut putusan perdamaian.

b. Akta Perdamaian.

Yakni suatu persetujuan perdamaian yang dibuat para pihak dan terdapat dalam persetujuan itu. Para pihak tidak meminta pengukuhan dari pengadilan.

Dalam perkara perdata sudah ditentukan perkara/objek yang dapat ataupun tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian. Perkara yang dapat diselesaikan secara damai seperti kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan pelanggaran (pasal 1953). Perkara yang dilarang diselesaikan melalui perdamaian seperti dading tentang sah tidaknya suatu perkawinan, pengesahan anak, sahnya suatu pengakuan anak, hak untuk memilih atau dipilih menjadi anggota badan-badan perwakilan, boedel warisan (pasal 1334 ayat (2)), barang-barang yang berada di luar perdagangan (buiten handel) (pasal 1332). 24 Kekuatan hukum perjanjian perdamaian sama dengan suatu hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) artinya suatu perdamaian di muka sidang pengadilan negeri mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan

23

Ibid

hakim pada tingkat akhir (pasal 1858). 25 Meskipun demikian, perjanjian perdamaian dapat dibatalkan dalam hal: 26

a. Terjadi kekhilafan mengenai orangnya dan mengenai pokok yang diperselisihkan ( pasal 1859).

b. Melanggar asas umum dalam perjanjian seperti penipuan, atau paksaan (pasal 1320). c. Tentang surat palsu ( pasal 1861)

d. Tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu pihak, padahal sudah diakhiri dengan putusan hakim ( pasal 1862).

b. Perdamaian dalam Hukum Adat

Konsep penyelesaian perkara secara damai sudah lama dikenal dalam hukum adat Indonesia. Dalam hukum adat, termasuk didalamnya hukum pidana adat, penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang sering ditempuh tidak dapat dipisahkan dari konsepsi masyarakat Indonesia yang memandang penyesalan dan reputasi buruk sebagai unsur esensial dalam pelanggaran adat. Dalam alam pikiran masyarakat tradisional Indonesia, yang bersifat kosmis, yang penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan (evenwicht) antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggun perimbangan tersebut, merupakan pelangaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan- tindakan yang perlu guna menimbulkan kembali perimbangan hukum.27

Penyelesaian perkara secara musyawarah antara para pihak telah lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem litigasi diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Penyelesaian perkara secara adat melalui lembaga musyawarah lebih diarahkan kepada pemulihan dan keseimbangan tatanan yang terganggu karena adanya sengketa tersebut dan tidak bersifat penghukuman. Ketua adat dalam menyelesaikan

25 Ibid halaman 12. 26 Ibid halaman 14. 27

sengketa tidak untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan lebih mengacu pada musyawarah mufakat dan damai.

Sanksi adat/ reaksi adat yang dijatuhkan merupakan bentuk tindakan ataupun usaha-usaha untuk mmengembalikan ketidakseimbangan termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat. Jadi sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilitator untuk mengembalikan keseimbangan adat dunia lahir dengan dunia ghaib untuk merehabilitasi, bukan penciptaan derita.28

Schepper memberikan ilustrasi reaksi adat dalam “ Indisch Tijdschriftva n het Recht” No. T.129, muka 334, sebagai berikut: penyesalan, kerendahan hati,

penghapusan fitnah , meminta maaf dengan pemberian sirih, perbaikan kerusakan disebabkan oleh seseorang yang dengan tangannya sendiri atau atas namanya , kompensasi dalam arti luas, pembayaran yang melebihi uang ganti kerugian (denda menurut hukum pidana), mengurus kuburan orang terhormat yang terbunuh, tawaran berdamai sebagai suatu perbuatan pembersihan, berbagai macam hukuman yang bersifat mencemoohkan, pengusiran dan sebagainya.29

Penyelesaian perkara secara damai sudah dikenal pada zaman Mataram II. Pada saat sultan Agung berkuasa, urusan peradilan dilaksanakan oleh penghulu agama atas nama raja yang didampingi oleh beberapa ulama sebagai majelis peradilan yang disebut dengan peradilan serambi. Peradilan ini dilaksanakan dengan dasar musyawarah dan mufakat (collegiale rechtspraak). Hasil putusan musyawarah menjadi putusan terakhir oleh raja. 30

28

I Made Widnyana Suarda, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung, 1993, halaman. 8

29

Oemar Seno Aji, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, halaman. 66

30

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, halaman.61

Pada zaman tersebut, disamping adanya peradilan serambi, di daerah-daerah juga

berlaku peradilan “pa du”, yaitu penyelesaian perselisihan antara perorangan

olehperadilan keluarga (peradilan desa) secara damai, dan apabila tidak dapat diatasi secara kekeluargaan, maka diselesaikan oleh peradilan padu secara damai di bawah pimpinan sseorang pejabat kerajaan yang disebut jaksa.31

Kemudian pola-pola penyelesaian perkara tersebut tetap dikenal dalam hukum adat pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman ini, dikenal Hakim perdamaian desa. Lembaga hakim perdamaian desa mendapat pengakuan secara hukum berdasarkan pasal 3a RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO) (Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijakan Pengadilan), yaitu yang antara lain menyatakan bahwa hakim-hakim adat tidak boleh menjatuhkan hukuman (ayat 3). Oleh karena itu tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman, ditempuhlah suatu usaha

“perdamaian”. 32

dalam menegakkan hukum adat, lembaga perdamaian desa ini menjalankan peranan mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam pasal 3a Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIB).

Kekuasaan hakim perdamaian desa itu tidak terbatas pada perdamaian saja, tetapi meliputi kekuasaan memutus semua sengketa dalam semua bidang hukum, tanpa membedakan antara pengertian pidana, perdata, publik maupun sipil. Kedudukan bidang kehakiman atau peradilan itu barulah memperoleh perubahan jika masyarakat hukum adat menundukkan dirinya kepada kekuasaan yang lebih tinggi yang membatasi mengenai hak-hak kehakiman itu.33

Hazairin menulis tentang kedudukan hakim desa sekarang dan kemudian hari. Dalam Undang-Undang Darurat No. 1 PS/ 51, LN 9/ 1951 pasal 1 ayat (3), tetap

31Ibid

32

Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1 (Juli 1997), halaman 6

33

mengakui kekuasaan dorps justitie/hakim-hakim peradilan dalam masyarakat hukum adat sebagai yang dimaksud dalam RO pasal 3. Hakim-hakim tersebut disamakan dengan hakim perdamaian desa, ialah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam masyarakat hukum adat merupakan suatu condition sine qua non sebagai alat pelengkap kekuasaan desa selama itu mampu mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat keistimewaannya sebagai kesatuan politik, sosial, ekonomi yang dapat berdiri sendiri. 34

Namun dewasa ini, hakim perdamaian desa mengalami banyak hambatan dalam menegakkan hukum dan mendamaikan para pihak sehingga timbul kesan seolah-olah tidak berdaya menghadapi situasi konflik di pedesaan saat ini. Di beberapa tempat, perdamaian desa tidakk berfungsi lagi, namun di beberapa tempat lainnya masih berfungsi seperti biasanya. Pola-pola penyelesaian sengketa secara musyawarah dan damai tetap bertahan di dalam masyarakat hukum adat Indonesia saat ini. Dalam masyarakat Batak, misalnya, masih mengandalkan forum runggun adat yang pada intinya adalah penyelesaian perkara secara musyawarah (perdamaian) dan kekeluargaan. Dalam masyarakat Minang Kabau juga, dikenal adanya lembaga hakim perdamaian Minang Kabau, yang secara umum bertindak sebagai mediator dan konsiliator.35

c. Perdamaian Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, mempunyai arti kemalangan atau kesusahan. Sedangkan kata lalu lintas mempunyai arti yang sangat luas, di mana di dalamnya meliputi pengertian lalu lintas jalan; di udara, di air yang terdiri lagi di laut, pantai, sungai; serta lalu lintas di atas rel. 36 Namun kecelakaan lalu lintas yang dimaksud dalam penelitian ini hany terbatas pada lalu lintas yang terjadi di jalan.

34

Ibid.

35

Nirnianingsih Amriani, Mediasi Alternatiff Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Rajawali Press, Jakart, 2012, halaman 115

36

Marianna Sutadi, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung RI, 1992, halaman. 1

Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak

diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.37

Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas :38

1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan

Kecelakaan Lalu Lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang

2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang;

Kecelakaan Lalu lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

3. Kecelakaan Lalu Lintas berat;

Kecelakaan lalu lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

Pendapat lain mengatakan bahwa kategori kecelakaan lalu lintas dibedakan berdasarkan jenisnya, tingkat parah korban, faktor penyebab yang berkontribusi, keadaan lingkungan dan waktu.39

Konsep perdamaian sudah sering dilaksanakan dalam hukum perdata dan juga hukum adat. Dalam hukum pidana, konsep perdamaian belum dikenal. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengikutsertakan negara dalam setiap penyelesaian perkara pidana.

37

Pasal 1 angka 24 , Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

38

Pasal 229 Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

39

Leksmono Suryo Putranto, Rekayasa Lalu Lintas. Cetakan Pertama, PT Mancanan Jaya Cemerlang: Jakarta, 2008, halaman 135

Demikian juga dengan penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas sebagai bagian dari hukum pidana tidak mengenai perdamaian sebagai jalan terakhir dalam menyelesaikan perkara tersebut. Kecelakaan ringan,sedang maupun berat tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian saja. Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas tidak dikenal dalam hukum pidana. Walaupun perdamaian dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas belum diakomodir dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pidana, namun perdamaian tersebut sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Bentuk perdamaian tersebut umumnya dilakukan dengan adanya penggantian ganti kerugian, biaya perobatan/perawatan, biaya duka cita maupun biaya pemakaman yang diberikan oleh pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas kepada pihak korban. Perdamaian tersebut biasanya dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan pihak korban. Setelah tercapai kesepakatan, pihak korban biasanya memberikan pemaafan dan dengan tulus ikhlas menerima ganti kerugian yang telah disepakati tersebut.