Untuk menegakkan etika dan hukum di kalangan birokrasi sebelum Orde Baru pernah dibentuk beberapa lembaga, seperti ditegaskan Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1959 di depan Istana Merdeka yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”.
“Tidak boleh lagi sesuatu aparatur negara tak lancar karena memang salah organisasinya, dan tidak boleh lagi orang bekerja pada aparatur negara dengan secara lenggang-kangkung, malas-malasan, ngantuk, atau mementingkan kepentingan sendiri dengan jalan korupsi waktu atau korupsi uang,” tegas Soekarno. Untuk itu Presiden Soekarno
membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) yang sudah dilantik dua hari sebelumnya.
Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1959, tugas Bapekan adalah mengawasi, meneliti, dan mengajukan pertimbangan kepada Presiden terhadap kegiatan aparatur negara, baik sipil maupun militer tanpa terkecuali termasuk badan-badan usaha, yayasan, perusahaan, atau lembaga yang sebagian atau seluruhnya dimiliki negara.
Lembaga ini menerima dan menyelesaikan pengaduan terhadap kegiatan aparatur negara yang dinilai menyimpang.
Penegakan Etika dan Hukum sebelum Orde Baru
Pengaduan itu akan ditindaklanjuti dengan koordinasi lembaga terkait. Bila ada atau tidak ada tanggapan dari instansi yang bersangkutan, maka Bapekan akan menyampaikan pertimbangan kepada Presiden. Karena Bapekan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Soekarno mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Bapekan dengan kedudukan setingkat menteri karena dianggap figur yang cakap dan jujur. Presiden juga memilih personel lainnya yaitu Samadikoen (merangkap sebagai wakil ketua), Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol Soedirgo sebagai anggota melalui Keputusan Presiden Nomor 177 tahun 1959. Hamengkubuwono IX sendiri menunjuk Sekretaris Bapekan, Selo Soemardjan, Abdi Dalem Kraton Yogyakarta yang baru pulang ke Indonesia setelah memperoleh gelar doktor di Cornell University.
Pegawai Bapekan dilarang menerima dan memberikan sesuatu kepada siapapun. Mereka juga tak boleh menduduki jabatan di perusahaan swasta. Sebagai gantinya, mereka mendapat posisi pegawai negeri golongan F/I dengan tunjangan sebesar Rp 1.000 per bulan, uang dinas, uang harian, dan mobil beserta sopirnya seperti tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1960 Perubahan PP Nomor 47 Tahun 1959 tentang Kedudukan Keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Bapekan. Bila meninggal dunia di dalam wilayah Republik Indonesia selama memangku jabatan, biaya pemakaman jenazah mereka ditanggung oleh negara.
Kehadiran Bapekan ternyata mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Meski tak membuka kantor perwakilan di daerah, kegiatan Bapekan diketahui masyarakat melalui pemberitaan radio dan surat kabar. Bermacam surat pengaduan dari berbagai daerahpun berdatangan ke alamat kirim Bapekan di Jalan Tromol No. 8, Jakarta. Bapekan sendiri berkantor di Jalan Prapatan 42, Jakarta Pusat.
156
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia
Hendaru Tri Hanggoro dalam Majalah Historia Nomor 2 tahun 1, 2012 yang bertema “Retooling: Kenapa Pemberantasan Korupsi Selalu Gagal?” Gandasastra, seorang prajurit TNI di Batalyon 609 Kodam Kalimantan Barat, dalam suratnya tertanggal 15 Oktober 1959, mengadukan sang Komandan Batalyon yang memotong uang saku anggotanya sebesar Rp 75. Bapekan meneruskan laporan itu kepada Inspektur Djenderal Pengawasan Umum Angkatan Darat di Jakarta.
Pengaduan serupa datang dari Malang. Mat Sidik, seorang prajurit, melaporkan kekayaan tak wajar yang dimiliki beberapa anggota Batalyon 512 Malang dan komandannya. Beberapa anggota TNI menggunakan kendaraan hasil operasi mereka di Gorontalo– ketika menumpas PRRI/Permesta. “Kendaraan itu berseliweran di
Malang,” tulis Mat Sidik. Bahkan, ada anggota yang membawa
pulang ke rumahnya.
Menurutnya, penggunaan fasilitas tersebut untuk kepentingan pribadi itu dilarang. Selanjutnya Bapekan menanyakan perihal kebenaran surat tersebut kepada Inspektur Djenderal Penilikan Umum Angkatan Darat. Bagian Staf Angkatan Darat di Departemen Pertahanan dalam suratnya kepada Bapekan tertanggal 30 Desember 1959, berjanji akan menyampaikan informasi tersebut kepada Pangdam Jawa Timur dan Kalimantan Barat.
Selain penyelewengan di instansi militer, Bapekan menerima pengaduan korupsi di instansi pajak. Penyair Lekra, AS Dharta, penduduk Cibeber, Cianjur, mengirim surat tertanggal 11 Juli 1960 mengenai dugaan korupsi dua pegawai Jawatan Pajak Jakarta. Dugaan itu muncul karena dua pegawai itu kerap pulang kampung dengan bergelimang harta. Padahal penduduk tahu gaji mereka sebagai pegawai pajak tak besar.
Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut pernah dilaporkan warganya menyelewengkan kekuasaan melalui surat tertanggal 28 Juni 1961. Namun ketika Bapekan menanyakan detil tuduhannya, warga itu tidak menjawab. Soewondo Ranoewidjojo, yang menjabat
Penegakan Etika dan Hukum sebelum Orde Baru
Gubernur Jawa Timur sejak 1959, banyak membantu Bapekan menangani korupsi pada jajaran aparatur negara hingga tingkat kecamatan. Koordinasi keduanya berhasil mengungkap praktik-praktik penyelewengan uang tunjangan, gula, beras dan kain. Sampai akhir Juli 1960, Bapekan menerima 912 pengaduan dari masyarakat. Dari jumlah itu, Bapekan menyelesaikan 402 pengaduan. Surat pengaduan paling banyak datang dari Jawa Timur.
Bapekan menyelidiki korupsi yang terjadi dalam proyek Stadion Olahraga yang dibangun menjelang Asian Games 1962 di Jakarta. Memang Presiden Soekarno sama sekali tidak memperoleh persentase proyek dari Uni Soviet yang memberi pinjaman kepada Indonesia. Namun pada tingkat bawah tetap saja ada peluang penyelewengan dalam hal material bangunan. Setiap hari, truk-truk pengangkut bahan material memasuki lokasi proyek di Senayan. Petugas pintu selalu melakukan pencatatan. Namun alih-alih menurunkan bahan material, beberapa truk keluar dengan bak tetap terisi penuh. Petugas pintu tak tahu-menahu karena hanya mencatat truk masuk, bukan diturunkan atau tidaknya bahan material.
Penggelapan uang negara itu bervariasi besarnya. Dari korupsi di Jawatan Bea Cukai Jakarta senilai hampir 44 juta sejak 1950-1960, korupsi uang Koperasi Bank Pegawai Negeri oleh pejabat pemerintahan di Karo sejumlah 274.135,49, hingga penjualan tidak sah dua rim kertas oleh seorang pegawai Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK) Kalimantan Selatan, yang mengakibatkan tersangkanya ditahan oleh pihak kepolisian.
Pada berbagai perusahaan asing yang dinasionalisasi dan kemudian dipimpin oleh beberapa perwira terjadi pula penyelewengan. Itulah yang mendorong Jenderal AH Nasution membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pada tahun 1960 dan mendapat persetujuan Presiden. Terjadi kemudian semacam dualisme karena kemiripan tugas dan kewenangan
158
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia
Sultan Hamengkubuwono IX dan Nasution melakukan pertemuan tanggal 28 November 1960 dan menghasilkan rumusan pembagian tugas antara Bapekan dan Paran. Fokus Bapekan adalah mengawasi dan meneliti, sedangkan Paran meretul aparatur yang tak berdaya guna. Dalam pertemuan, Nasution juga mengatakan tidak ada maksud meretul Bapekan, termasuk mengubah susunan personelnya. Namun tanggal 5 Mei 1962 keluar Peraturan Presiden No 3 tahun 1962 tentang Pembubaran Bapekan. Dasar pertimbangannya, dengan adanya Keputusan Presiden No. 94 tahun 1962 tentang Regrouping Kabinet Kerja, Bapekan dianggap tidak diperlukan lagi.
Paran sendiri tidak efektif, karena kewenangannya tidak jelas. Mereka meminta para pejabat mengisi daftar kekayaan. Tetapi sebagian memilih menyerahkan langsung kepada Presiden bukan kepada pimpinan Paran.
Masih ada upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Jenderal Nasution melalui Operasi Budhi pada tahun 1963. Dalam operasi itu, Mayor Jenderal Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI ke-2) termasuk yang diperiksa. Ketika itu Soeharto menjadi Pangdam Diponegoro yang akhirnya ”disekolahkan” ke Seskoad. Pada tahun 1963, perimbangan kekuatan politik terbelah antara PKI dan Angkatan Darat serta Presiden Soekarno di atasnya. Masyumi dan PSI sudah dibubarkan. Pengusutan yang dilakukan Operasi Budhi itu dianggap akan melemahkan tentara yang pada gilirannya akan menguntungkan PKI. Itu menjadi salah satu alasan Operasi Budhi dihentikan dan selanjutnya pemberantasan korupsi mengalami stagnasi.
Penutup
Presiden Soekarno tidak mewariskan harta benda berlimpah tatkala ia wafat pada tahun 1970. Ketika ia membangun Stadion Senayan, yang ia pikirkan adalah prestasi olahraga bangsa tanpa pernah mengharapkan ada persentase proyek yang mengalir ke kantongnya. Bahkan, Patung Dirgantara yang dibuat pada masa
Penegakan Etika dan Hukum Sebelum Orde Baru
peralihan kekuasaan pada tahun 1965 dibiayai sebagian dengan uang pribadi Soekarno. Tetapi tentu saja ada oknum yang memanfaatkan celah peluang seperti penyelewengan bahan material dalam proyek pembangunan stadion Senayan sebagaimana dicatat oleh Bapekan.
Majalah Time tidak pernah mengulas tentang kekayaannya dan keluarga. Ia tidak memiliki rekening “gendut” di dalam dan di luar negeri. Ketika harus meninggalkan Istana Merdeka pada Agustus 1967, ia hanya membawa pakaian seadanya dan bendera pusaka Merah Putih. Memang ada gratifikasi yang mungkin belum diatur waktu itu, seperti jam Rolex, yang ditinggalkannya begitu saja di istana.
Fase penegakan etika dan hukum semasa Orde Lama (1950-1965) dapat dibagi dua. Pertama, ketika korupsi dianggap sebagai kejahatan individual walaupun dilakukan tokoh partai.
Kedua, pemberantasan korupsi dikaitkan dengan keberadaan
kekuatan politik.
Pada era Demokrasi Liberal (1950-1959) pemerintahan silih berganti, tetapi masyarakat percaya, pengadilan memberikan keputusan hukum yang terbaik. Baru setelah SOB, keadaan darurat perang, ditetapkan oleh pihak militer pada tahun 1957, pengadilan sipil secara berangsur-angsur kehilangan otoritas. Pada saat Jaksa Agung dijabat oleh Soeprapto (1950-1959) terdapat aktor dan sistem yang independen yang tidak bisa diintervensi siapa pun bahkan oleh Presiden. Para Menteri tanpa pandang bulu diseret ke pengadilan sungguhpun kemudian mereka menerima pengurangan hukuman melalui grasi yang diberikan Presiden.
Pada era demokrasi terpimpin (1959-1965) terdapat beberapa lembaga untuk menegakkan etika dan hukum di kalangan birokrasi. Namun efektivitas lembaga ini sangat terbatas. Belum lagi persoalan dualisme antar lembaga seperti antara Bapekan dan Paran.
160
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia
tentara tidak dilanjutkan karena dikhawatirkan hanya memperkuat posisi Partai Komunis Indonesia yang ketika itu bersama dengan Angkatan Darat memegang segitiga kekuasaan semasa Presiden Sekarno berada di puncaknya.
Pengalaman sejarah Bung Karno mengajarkan bahwa pemberantasan korupsi dapat dilakukan jika pelakunya dianggap sebagai individu walaupun pemimpin partai, tetapi menjadi berbahaya apabila dikaitkan dengan eksistensi atau prestise sebuah kekuatan politik.
Penegakan Etika dan Hukum sebelum Orde Baru
Daftar Pustaka
Abrar Yusra dan Ramadhan KH, Hoegeng, Polisi Idaman dan
Kenyataan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Abrar Yusra, Komat-kamit Selo Semardjan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1995
Asvi Warman Adam, “Bung Karno menghadapi korupsi”, Kompas, 10 Februari 2015
Hendaru Tri Hanggoro, “Mengawasi Aparatur Negara”, Historia, no 2 tahun 1, 2012
Iip D Yahya, Mengadili Menteri, and Memeriksa Perwira: Jaksa Agung
Soeprapto dan Penegakan Hukum di Indonesia Periode 1950-1959,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Stanley (editor, penulis Aris Santoso dkk, kata pengantar Asvi Warman Adam), Pak Hoegeng, Polisi Profesional dan Bermartabat, Jakarta: Adrianus Noe Center dan Lembaga Penghargaan Hoegeng, tanpa tahun.
162
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia