• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hoegeng dari Keluarga Penegak Hukum

Dalam dokumen MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA (Halaman 162-167)

Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Nama pemberian ayahnya adalah Iman Santoso. Waktu kecil ia sering dipanggil bugel (gemuk), lama kelamaan menjadi bugeng dan akhirnya berubah jadi hugeng. Setelah dewasa bahkan sampai tua, ia tetap kurus.

Tidak diketahui apakah kekurusan ini berhubungan dengan pola makan atau kebiasaan lain, misalnya kerja keras sehingga waktu tidur berkurang. Yang jelas, ia biasa bangun pagi. Waktu menjadi Kapolri, Hoegeng sudah berada di kantornya sebelum pukul 7.00 pagi, lebih awal dari kebanyakan stafnya dan pulang kantor lebih belakangan dari anak buahnya. Dalam wawancara dengan wartawati Tempo, Leila Chudori, Hoegeng mengatakan

150

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia

Ayahnya, Sukario Hatmodjo, pernah menjadi Kepala Kejaksaan di Pekalongan; bertiga dengan Ating Natadikusumah sebagai Kepala Polisi, dan Soeprapto selaku Ketua Pengadilan, mereka menjadi trio penegak hukum yang jujur dan profesional. Ketiga orang inilah yang memberikan andil bagi penumbuhan sikap menghormati hukum bagi Hoegeng kecil. Bahkan, karena kekaguman kepada Pak Ating–yang gagah, suka menolong orang dan banyak teman–, Hoegeng pun bercita-cita menjadi polisi.

Ayahnya digambarkan oleh Hoegeng sebagai seorang yang “berkepribadian tegar”, lelaki Jawa yang mandiri dan bertanggung jawab, seorang terpelajar yang menghargai pendidikan dan kesenian, seorang yang hangat dan suka bersenda gurau bahkan tertawa keras. Lepas dari itu, “ia seorang penegak hukum” (Abrar Yusra dan Ramadhan KH, 1994). Sedangkan Soeprapto yang dihormati oleh Hoegeng adalah seorang jaksa yang kemudian menjadi Jaksa Agung tahun 1950-1959. Setelah lulus PTIK tahun 1952, ia ditempatkan di Jawa Timur. Penugasannya yang kedua sebagai Kepala Reskrim di Sumatera Utara menjadi batu ujian bagi seorang polisi karena daerah ini terkenal dengan penyelundupan.

Hoegeng disambut secara unik, rumah pribadi dan mobil telah disediakan oleh beberapa cukong perjudian. Ia menolak dan lebih memilih di hotel sebelum mendapat fasilitas rumah dinas. Penyuap itu masih ngotot, rumah dinas itu kemudian juga dipenuhi dengan perabot. Karena kesal, Hoegeng mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi.

Karena tidak dipenuhi, akhirnya perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan. Maka gemparlah kota Medan karena ada seorang kepala polisi yang tidak mempan disogok. Di Medan, Hoegeng mengembangkan forum anti korupsi yang terdiri dari aparat hukum bersama tokoh sipil dan militer, yang mengadakan rapat sepekan sekali.

Selesai bertugas di Medan dengan sukses, Hoegeng kembali ke Jakarta. Untuk sementara ia dan istri menginap di garasi rumah

Penegakan Etika dan Hukum sebelum Orde Baru

mertuanya di Menteng. Kemudian ia ditugaskan sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum diangkat, ia menutup toko kembang yang dijalankan istrinya di jalan Cikini karena khawatir orang-orang yang berurusan dengan imigrasi sengaja memborong bunga di tempat usaha istrinya dengan maksud mendapatkan kemudahan tertentu.

Selepas dari sini, atas usul dari Sultan Hamengku Buwono IX, Hoegeng diangkat menjadi Menteri Iuran Negara dalam Kabinet “Seratus Menteri” pada Juni 1965. Tahun 1966, ia kembali ke kepolisian dan menjabat sebagai Deputi Operasi, dan tahun 1968 menjadi Panglima Angkatan Kepolisian. Dalam jabatan ini terjadi beberapa kasus yang menarik perhatian publik, seperti kasus Sum Kuning, penyelundupan Robby Tjahyadi, dan tewasnya Rene Coenrad.

Kasus tertembaknya mahasiswa ITB Rene Coenrad sebetulnya merupakan salah satu lembaran hitam Taruna AKABRI Kepolisian. “Kesalahan berat dalam kasus ini adalah digunakannya senjata api oleh

salah seorang Taruna Akpol…”, demikian ditulis dalam biografi

Hoegeng (Polisi Profesional dan Bermartabat).

Namun yang diajukan sebagai terdakwa adalah Brigadir Dua Djani Maman Surjaman yang dihukum 1 tahun 6 bulan. Ironisnya, sang taruna itu konon kabarnya berhasil merintis karier sampai menjadi jenderal polisi.

Juga terjadi peristiwa “Sum Kuning” yang menghebohkan dan kabarnya melibatkan putra pejabat/bangsawan Yogyakarta dan putra dari Pahlawan Revolusi yang diselesaikan dengan cara berliku-liku. Kasus itu merupakan kasus perkosaan terhadap seorang penjual telur bernama Sumariyem oleh beberapa pemuda di Yogyakarta tahun 1970. Skenario yang berkembang kemudian bertolak belakang dengan kenyataan, Sum dituding melaporkan berita bohong. Ia dipaksa mengaku dan karena menolak, lalu ia dituduh anggota Gerwani.

152

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia

meskipun akhirnya pelaku kejahatan ekonomi itu sempat dijatuhi hukuman.

Keuletan menuntaskan kasus besar itu menyebabkan Hoegeng diberhentikan oleh Presiden Soeharto. Sebelumnya Hoegeng juga merintis instruksi pemakaian helm bagi pengendara kendaraan bermotor yang ketika itu menjadi polemik. Kini terasa bahwa instruksi tersebut memang bermanfaat.

Hoegeng ditawari jabatan menjadi Duta Besar di Eropa, tetapi ia menolak. Alumnus PTIK tahun 1952 ini lebih senang menjadi orang bebas. Ia tampil dengan grup musik Hawaian Senior di TVRI, satu-satunya saluran televisi masa itu. Tetapi musik barat dengan kalungan bunga itu dianggap kurang sesuai dengan “kepribadian nasional” oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo, sehingga ia tidak boleh tampil lagi. Kemudian Hoegeng bergabung dengan rekan-rekannya yang kritis dalam Petisi 50. Ia tetap sederhana. Ketika harus menghadiri rapat kelompok ini di kediaman Ali Sadikin, tidak jarang Hoegeng datang dengan hanya naik bajaj.

Apa yang mendorong Hoegeng menjadi tokoh yang bersih dan anti korupsi? Barangkali sikap dan pendirian yang ditanamkan oleh ayahnya yang mendorongnya demikian, bahwa yang utama dalam kehidupan manusia adalah kehormatan dan jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan. Ayahnya tidak sekadar memberi nasihat tetapi bersama-sama sahabat-sahabat ayahnya memberikan teladan. Ayah yang pernah menjadi Kepala Kejaksaan Pekalongan, bersama dengan Kepala Polisi Ating Natadikusumah, dan Ketua Pengadilan (waktu itu) Soeprapto memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Di pinggir Pekalongan, mereka bertiga mendirikan Balai Cintraka Mulya yang merupakan gabungan dari panti asuhan, rumah jompo dan pelatihan berbagai keterampilan.

Relevan apa yang pernah disampaikan Teten Masduki, yang waktu itu masih aktif di Indonesian Corruptin Watch (ICW), bahwa konsep seseorang tentang harta atau kepemilikan itu memegang peran penting. Ayah Hoegeng seorang birokrat Belanda yang

Penegakan Etika Dan Hukum Sebelum Orde Baru

sampai akhir hayatnya tidak sempat memiliki tanah dan rumah pribadi. Karena tugas, mereka sekeluarga berpindah-pindah kota di Jawa. Tetapi mereka selalu mengontrak rumah. Hoegeng sendiri memiliki rumah pribadi dan mendapat pemberian mobil justru setelah pensiun bertugas di kepolisian.

Saya pernah menanyakan kepada Aditya, putra Hoegeng, apakah ayahnya mengajarkan hal seperti nilai-nilai luhur, misalnya nilai-nilai luhur dari kebudayaan Jawa. Hoegeng sendiri berasal dari ayah abangan dan ibu penganut agama yang taat. Tampaknya hal itu tidak diajarkan secara eksplisit. Namun yang jelas, Hoegeng tidak mau fasilitas jabatannya dimanfaatkan oleh putra-putrinya.

Putranya, Aditya, memiliki hobi gokart yang cukup mahal tahun 1970-an, bukan dengan uang dari orang tua melainkan karena ia bekerja di toko suku cadang milik pembalap nasional, Hengky Iriawan (almarhum). Seorang istri juga memberikan andil bagi seorang pejabat untuk terlibat korupsi atau tidak korupsi. Kesan saya, Merry Hoegeng adalah seorang istri yang mengikuti karier suami dengan lurus-lurus saja. Bahkan pernah menutup usaha kembangnya ketika Hoegeng memimpin Jawatan Imigrasi.

Hoegeng adalah pekerja keras. Dari orang tuanya ia mewarisi nilai-nilai kebajikan yang tidak mengagungkan harta atau kepemilikan. Kejujuran dan kepedulian sosial itulah yang lebih utama. Tetapi Hoegeng bukan hanya seorang yang bersih untuk dirinya sendiri. Ia juga membersihkan lingkungannya. Istrinya tidak diberi kesempatan KKN. Anak-anaknya dilarang memanfaatkan fasilitas jabatan sang ayah.

Di tempat bertugas, ia mem“bersih”kan anak buahnya. Yang tidak jujur dikeluarkan atau dikontrol sedemikian rupa, sehingga tidak tahan untuk keluar. Di antara rekan-rekan seprofesi dalam bidang penegakan hukum, Hoegeng mengupayakan forum untuk mengatasi berbagai kejahatan termasuk korupsi. Di kota Medan,

154

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia

Adalah relevan untuk merenungkan kondisi sekarang dengan pendapat Hoegeng: “Pemerintahan yang bersih harus dimulai dari atas. Seperti halnya orang mandi, guyuran air untuk membersihkan diri selalu dimulai dari kepala.” Terhadap para pemimpin yang kini saling berebut kekuasaan, tepat ujaran Hoegeng, yaitu: “It’s nice to

be important, but it’s more important to be nice.”

Ucapan yang sama sering pula dilontarkan kemudian oleh Penyiar Ebet Kadarusman. Kita tidak ingin mengkultuskan Hoegeng Iman Santoso karena sebagai manusia tentu ia memiliki kekurangan. Namun dalam masa transisi menuju tegaknya hukum di negara ini, ia adalah seorang tokoh Indonesia yang patut diteladani.

Dalam dokumen MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA (Halaman 162-167)