• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Ideal Peradilan Etik

Dalam dokumen MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA (Halaman 185-191)

Dari contoh beberapa kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa peradilan etik yang berjalan selama era Orde Baru sangat ditentukan oleh itikad dan penilaian subjektif Mahkamah Agung atau pihak-pihak lain pemegang kekuasaan yang memintanya. Jika dikehendaki oleh penguasa, seperti kasus Loudoe cs., Majelis Kehormatan Hakim ini dapat saja dibentuk; dan apabila tidak dikehendaki, maka majelis demikian tidak perlu ada.

Akan jauh lebih kompleks permasalahannya jika pelaku dugaan pelanggaran etik ini justru muncul dari kalangan hakim agung yang diberi kewenangan pengawasan terhadap hakim-hakim di tingkat bawahannya, seperti terjadi pada kasus Kedung Ombo. Masyarakat pun tidak memiliki akses untuk memantau seberapa transparan dan akuntabel pelaksanaan sidang majelis kehormatan

Peradilan Etik Ideal dalam Konteks Indonesia

tersebut. Hal-hal demikianlah yang ikut memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap kiprah penyandang profesi hakim selama kekuasaan Orde Baru.

Seseorang yang diklaim oleh Soetandyo Wignjosoebroto (2014: 211) sebagai teknorat [hukum] Presiden Soeharto, yaitu Mochtar Kusumaatmadja mengidentifikasi sejumlah faktor kelemahan profesi hakim dan peradilan di Indonesia yang berujung pada ketidakpuasan masyarakat itu, yaitu: (1) hakim lambat dalam menyelesaikan perkara, (2) hakim kurang berusaha memutuskan perkara dengan sungguh-sungguh atas dasar pengetahuan hukum, hukum positif, dan keyakinannya, (3) hakim masih marak terlibat kasus penyuapan atau percobaan penyuapan, namun sulit untuk dibuktikan, dan (4) hakim kerap menghadapi kompleksitas perkara yang kerap berada di luar pengetahuannya (Cf. Asrun, 2004: 24-25). Faktor-faktor ini menuntut adanya pengawasan atas perilaku hakim yang boleh jadi tidak seluruhnya tepat didudukkan menjadi pelanggaran hukum positif, tetapi pasti sudah masuk ke dalam pelanggaran etik.

Memang harus diakui bahwa penempatan peradilan etik dalam suatu ranah kekuasaan kehakiman, bukanlah perkara mudah. Pada era Orde Baru, pengawasan etik tidak pernah benar-benar jelas diposisikan secara objektif dan transparan. Dasar pengawasan ini tercantum dalam Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang kemudian diatur sedikit lebih rinci dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.

Benar bahwa dalam pasal yang disebutkan di atas terdapat ayat yang menyatakan pengawasan oleh Mahkamah Agung tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, namun dalam praktik, ayat ini lebih terkesan retoris. Tindak lanjut atas pelanggaran etik terbilang jarang dilakukan, paling tidak demikianlah yang sampai ke telinga masyarakat.

174

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia

tim yang dipimpin oleh ketua pengadilan tinggi, dengan anggota tim terdiri dari asisten hakim agung atau direktur di Mahkamah Agung yang berhubung dengan jenis perkara tersebut. Tim inilah yang disebut oleh Adi Andojo Soetjipto dalam kasus Loudoe di atas sebagai Majelis Kehormatan Hakim.

Keberadaan Majelis Kehormatan Hakim ini sesungguhnya pernah ingin dikukuhkan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, namun tim yang semula diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) tersebut ternyata tidak jadi dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.

Dalam rancangan undang-undang ini, keanggotaan MPPH semula direncanakan akan diketuai oleh Ketua Mahkamah Agung, dengan anggota-anggota Menteri Kehakiman, disertai seorang hakim agung senior, seorang wakil dari organisasi profesi hakim (tampaknya yang dimaksud adalah Ikahi), dan seorang wakil dari organisasi pengacara (tampaknya yang dimaksud adalah Peradin). Menurut Pompe (2012: 387-389), dalam realitasnya Mahkamah Agung cenderung meningkatkan kontrolnya atas para hakim dengan melakukan pengawasan terhadap berbagai jenis tindakan yudisial dan dengan mengganti kriteria objektif dan netral bagi kinerja profesional dan kemajuan karir, dengan kriteria yang lebih cair dan subjektif. Kedua metode ini sulit ditentukan dengan tepat. Hasilnya adalah para hakim di pengadilan bawah menjadi semakin resah dan bergantung pada selera pembuat keputusan Mahkamah Agung.

Pada tahun 1980, mantan Ketua Mahkamah Agung R. Subekti pernah mengatakan bahwa perilaku hakim seperti berjudi, berutang dalam jumlah besar, berselingkuh, tidak termasuk dalam cakupan pengawasan Mahkamah Agung, sejauh perbuatan-perbuatan itu tidak memengaruhi kinerja yudisialnya. Namun, ia mengatakan perbuatan-perbuatan demikian dapat merugikan promosi seorang hakim.

Peradilan Etik Ideal dalam Konteks Indonesia

Salah satu indikator kemandirian suatu profesi adalah keberadaan peradilan etik yang ditangani secara mandiri oleh asosiasi profesi tersebut. Pemerintah dan pihak-pihak di luar profesi tidak direkomendasikan untuk ikut campur tangan dalam peradilan etik ini, mengingat norma yang dilanggar bukan norma hukum positif, melainkan norma di dalam kode etik profesi. Pelanggaran etik tidak selayaknya diadili menjadi peradilan hukum. Kondisi seperti yang disebutkan di atas tentu saja wajar berlaku bagi profesi pada umumnya, namun untuk profesi hakim harus diberikan catatan-catatan tersendiri.

Hakim adalah profesi luhur yang termasuk dalam kategori profesi luhur (officium nobile), mengingat nuansa layanan profesionalitasnya yang sangat menonjol bagi kepentingan publik. Keberadaan profesi ini demikian esensial dalam sebuah negara hukum modern, khususnya tatkala otoritas yang sah ditentukan melalui alasan-alasan rasional, bukan lagi alasan-alasan tradisional dan kharismatik sebagaimana pernah didiferensiasikan oleh Max Weber.

Sekalipun demikian, karakter profesi hakim terbilang unik. Profesi ini menjalankan pengembanan hukum praktis

(praktische rechtsbeofening). Pengembanan (dari kata dasar ‘emban’)

ini mempersoalkan tentang ada dan berlakunya hukum dalam masyarakat, yang dikaitkan dengan kondisi in concreto atas kasus-kasus yang ditanganinya. Artinya, hakim wajib mencermati problematika dari tiap perkara yang dihadapi sebagai sebuah fenomena unik yang tidak mungkin persis sama dengan kasus-kasus lainnya.

Pada saat bersamaan, sebagai seorang pengemban hukum, hakim itu wajib menjaga berjalannya sistem hukum yang direduksi menjadi struktur norma untuk membingkai struktur kasus tersebut. Setiap kasus hukum harus dipastikan berjalan menurut dan sesuai dengan tuntutan hukum sebagai sistem. Pendekatan inilah

176

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia

Jadi, dalam pendekatan sistematika hukum, seorang hakim akan bekerja untuk menetapkan struktur norma yang dipersiapkan bagi kasus yang ditanganinya. Melalui pendekatan problematika hukum, hakim akan menyiapkan struktur kasus sebagaimana dikemukakan oleh para pihak yang berperkara. Dengan dua pola pendekatan yang berjalan praktis simultan seperti dikemukakan di atas, tidak mudah bagi pihak lain di luar diri si hakim untuk mengaitkan kualitas pekerjaannya sebagai seorang pengemban profesi hakim dengan perilaku etik yang menyertainya.

Pada saat hakim menetapkan struktur norma, ia diberi keleluasaan untuk memberi makna atas teks-teks hukum yang otoritatif dan tersaji dalam khazanah hukum positif. Di sini terbuka peluang bagi hakim untuk “bermain mata” dengan dalih suatu penemuan hukum.

Di sisi lain, pada saat hakim mengkonstatasi fakta, struktur kasus yang dibangunnya itu juga terbuka peluang untuk dimodifikasi di sana sini, disesuaikan dengan skenario awal guna menguntungkan atau merugikan salah satu pihak yang tengah berperkara. Hasil dari silogisme antara struktur norma dan struktur kasus itu dituangkan oleh hakim dalam putusannya dan diberi label yang sangat kuat: res judicata pro veritate habetur.

Karakter profesi ini juga memiliki keunikan jika dilihat dari aspek intensitas hierarki dan ikatan sosial yang melingkupinya. Mary Douglas membuat suatu tabel sebagaimana dapat dilihat di bawah ini. Model yang dikemukakan Douglas berangkat dari dua pola intensitas, yaitu intensitas hierarki (grid) dan intensitas ikatan sosial (group).

Masing-masing intensitas itu diberi tingkatan: tinggi dan rendah. Sebagai contoh, pada birokrasi pemerintahan muncul model yang tingkatan intensitas hierarkisnya tinggi namun intensitas ikatan sosialnya rendah (high grid; low group). Lain halnya dengan militer yang termasuk kategori high grid and high group. Para pengunjung pasar adalah contoh untuk kategori low grid and low group. Contoh

Peradilan Etik Ideal dalam Konteks Indonesia

yang masuk kategori low grid and high group adalah pengikut sekte agama (Supriono, 2005: 87-112, juga Shidarta, 2009: 111-112, 128).

Lalu, bagaimana dengan profesi hakim? Belajar dari pengalaman selama kurun waktu kekuasaan Orde Baru, intensitas hierarki pada profesi ini sungguh sangat tinggi. Intensitas ini seharusnya bisa cukup mereda setelah kekuasaan kehakiman dijalankan di bawah satu atap Mahkamah Agung. Ditambah lagi dengan hadirnya Komisi Yudisial sebagai kekuatan penyeimbang, yang dulu dijalankan secara single fighter oleh Ikahi.

Berdasarkan pengamatan, intensitas hierarki tadi masih tetap memusat di Mahkamah Agung. Hakim-hakim bahkan menjadikan Mahkamah Agung sebagai referensi tunggal karena masa depan karir mereka ada di tangan pejabat-pejabat di institusi ini.

Intensitas ikatan sosial dari profesi ini juga terbilang cukup tinggi. Dikotomi antara hakim karir dan non-karir yang terkesan ditutup-tutupi, dalam praktik di lapangan kerap mencuat menjadi isu tersendiri. Akibatnya, tak bisa dihindari perasaan in-group dan

out-group ikut terpolakan. Ikatan in-group di kalangan hakim karir

terbilang tinggi.

Intensitas ikatan sosial inilah yang sebenarnya ingin diemban oleh Ikahi sebagai asosiasi tunggal profesi hakim di Tanah Air. Namun, kiprah Ikahi sering tersandera oleh tarik-menarik kepentingan kekuasaan karena pengurus terasnya tidak lain adalah pejabat-pejabat penting di Mahkamah Agung.

Tentu saja ilustrasi di atas tidak dapat selalu berkonotasi negatif. Kondisi ini bisa menjadi negatif apabila intensitas hierarkis tidak dibangun di atas fondasi objektivitas yang terukur pada saat Mahkamah Agung menjalankan fungsi rekrutmen, mutasi, promosi/demosi, dan pengawasan.

Gejala nepotisme yang kerap dialamatkan di jajaran kekuasaan kehakiman kita harus benar-benar diakhiri apabila fondasi yang

178

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Pergulatan Pemikiran Tentang Budaya Hukum, Etik, Moral, dan Peradilan

Yudisial dan asosiasi profesi Ikahi sebenarnya dapat diberi peran untuk memastikan fondasi ini telah disemai dan diberi tolok ukur yang jelas.

Tabel Intensitas Hierarki dan Intensitas Ikatan

Dalam dokumen MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA (Halaman 185-191)