High Grid & Low Group Contoh:
ahli hukum di perusahaan
High Grid & High Group Contoh:
polisi, jaksa, hakim karir Low Grid & Low Group
Contoh: --- Low Grid & High GroupContoh: notaris
Memang benar bahwa umumnya suatu profesi yang mandiri cukup menyandarkan pengawasan dan penegakan etika profesinya melalui peradilan etik yang diselenggarakan sepenuhnya oleh asosisasi profesi. Hal ini tidak dapat dilakukan karena hakim adalah profesi yang sangat khusus.
Pada hakikatnya, hakim adalah pejabat negara yang diangkat untuk menyelenggarakan salah satu fungsi negara di bidang yudikatif. Kode etik hakim, dengan demikian adalah kode etik salah satu pemegang jabatan negara. Peradilan etik untuk profesi hakim membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan peradilan etik untuk profesi pada umumnya.
Asosiasi profesi biasanya hanya dapat menjatuhkan sanksi organisatoris kepada anggotanya yang melakukan pelanggaran kode etik. Pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim memiliki konsekuensi yang sangat luas di mata publik dan membahayakan eksistensi negara hukum Indonesia, sehingga sangat tidak layak jika diganjar dengan sanksi organisatoris semata.
Intensitas hierarki dan intensitas ikatan sosial yang dimiliki profesi ini juga memiliki relevansi dengan model peradilan etik
Peradilan Etik Ideal dalam Konteks Indonesia
yang bisa ditawarkan untuk profesi hakim. Peradilan etik yang sepenuhnya berada di bawah institusi Mahkamah Agung dan telah dipraktikkan selama era Orde Baru, terbukti gagal untuk menampilkan citra profesi hakim yang luhur dan bermartabat.
Kegagalan ini sejalan dengan identifikasi yang melekat pada intensitas hierarki dan ikatan sosial profesi hakim, yakni high grid
and high group. Keterpurukan inilah yang kemudian melahirkan
gagasan pendirian Komisi Yudisial, yang sejak awal difungsikan sebagai pengawas eksternal perilaku hakim.
Peradilan etik yang ideal harus tetap menghormati kewenangan Mahkamah Agung sebagai entitas tunggal yang menangani urusan teknis yuridis dan urusan organisasi, administrasi, dan finansial para hakim. Namun, mengingat mereka yang duduk dalam organisasi Mahkamah Agung ini sendiri adalah para hakim yang memiliki intensitas hierarki dan ikatan sosial yang kuat, akan sangat mudah peradilan etik menjadi sekadar basa-basi
(peradilan formalitas) dengan hasil yang dicurigai dibangun atas
semangat esprit de corps.
Patut dicatat bahwa keluhuran, harkat, dan martabat profesi ini tidak bisa diindoktrinasi sebagai keyakinan internal para hakim. Keluhuran, harkat, dan martabat profesi hakim justru disematkan oleh masyarakat luas pencari keadilan. Di sinilah diperlukan hadirnya peradilan etik yang sejak awal pembentukannya sudah mendapat kepercayaan (trust) dari masyarakat. Rekam jejak peradilan etik Mahkamah Agung selama era Orde Baru jelas tidak mendukung ke arah penguatan kepercayaan masyarakat ini.
Sebagai komprominya, beban ini harus diserahkan ke institusi yang memang didirikan dengan visi dan misi yang kuat untuk membangun dan menjaga keluhuran, harkat, dan martabat profesi hakim itu. Komisi Yudisial memang ideal diberi kewenangan menjadi motor yang menjalankan peradilan etik ini, namun peran
180
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia
Harus ada demarkasi yang jelas, disepakati, dan dihormati oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengenai varian-varian pelanggaran yang berklasifikasi teknis yudisial dan/atau pelanggaran kode etik, sehingga dapat dipastikan apakah peradilan etik ini memiliki kompetensi untuk menanganinya. Varian-varian ini harus juga disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga mereka dapat ikut memantau dan memilah-milah pengaduan apabila menyaksikan pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Harus ada kejelasan antara pelanggaran etik yang minor (dalam arti masih menjadi batas toleransi untuk cukup diatasi sendiri oleh Mahkamah Agung sebagai pengawas internal) dan pelanggaran yang tergolong mayor (dalam arti sudah masuk dalam domain peradilan etik). Hal ini juga untuk mencegah agar Mahkamah Agung tidak berbuat mendahului melakukan penindakan dan penghukuman terhadap individu hakim yang telah melakukan pelanggaran mayor, sehingga ada alasan bagi Mahkamah Agung untuk menolak pemrosesan kasus itu di peradilan etik.
Ada aturan dan komitmen yang kuat di antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk tidak secara dini mengekspos suatu pelanggaran ke hadapan publik, yang justru berpotensi mencederai citra individu dan profesi hakim secara keseluruhan. Untuk itu, perlu ada tolok ukur kapan suatu isu baru bisa dibuka untuk menjadi konsumsi publik.
Sekalipun ada pembatasan untuk melakukan ekspose terlalu dini, tetap harus ada akses bagi publik untuk ikut memantau jalannya peradilan etik. Di sini, diberi kesempatan bagi asosiasi profesi hukum (khususnya Ikahi) dan masyarakat pemantau peradilan untuk dapat memberi evaluasi pada proses dan hasil akhir (putusan) peradilan etik.
Pada waktu yang telah ditetapkan, semua putusan peradilan etik harus disampaikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui pertimbangan dan sanksi yang diberikan oleh majelis peradilan etik, baik terhadap hakim yang dinyatakan
Peradilan Etik Ideal dalam Konteks Indonesia
terbukti bersalah secara etik maupun yang dinyatakan sebaliknya. Selama konsep satu atap Mahkamah Agung masih dipandang layak untuk dipertahankan, maka secara organisatoris, format peradilan etik yang ada sementara ini sudah cukup ideal. Peradilan etik ini berada di antara dua kaki sekaligus, yaitu di Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Akan lebih ideal apabila kolaborasi di antara kedua institusi ini sudah dimulai sejak tahap pemeriksaan fakta. Dengan demikian, pemanggilan terhadap seorang hakim untuk menghadiri pemeriksaan tidak lagi dipandang sebagai pemanggilan sepihak oleh satu lembaga saja. Artinya, perlu ada format pemeriksaan bersama (joint investigation) yang dikerjakan oleh tenaga-tenaga ahli yang ditugaskan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Dengan demikian, hakim yang dipanggil hadir tidak lagi dapat berkelit untuk absen dari pangilan hanya karena merasa belum mendapat restu terlebih dulu dari Mahkamah Agung.
Penutup
Dalam kaca mata filsafat, istilah “ideal” pada hakikatnya sudah menunjukkan sesuatu yang sudah selesai dan sempurna. Sifat ideal itu semacam Platonic World, sekalipun ia bebas untuk diasumsikan sebagai sesuatu yang nyata (bagi penganut idealisme ala Plato) atau tidak nyata (bagi penganut materialisme).
Mengingat dalam tulisan ini keberadaan peradilan etik diperlakukan sebagai sebuah konstruksi normatif, maka peradilan etik yang ideal itupun sebenarnya sebuah ide yang dibangun dalam tataran normatif pula. Artinya, ia ada selama aturan normanya membuat dia ada. Ia tentu belum termaterialisasi, tetapi sudah menjadi gagasan yang dapat dibayangkan, berangkat dari kondisi yang saat ini sudah ada.
182
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia
kerangka hukum positif yang mendudukkan pengelolaan profesionalitas profesi hakim dalam naungan satu atap di bawah Mahkamah Agung. Kondisi ini sejak lama telah diperjuangkan dan dianggap ideal.
Tatkala ide ini dijalankan dan dikukuhkan dengan undang-undang, maka konstruksi yang ideal itu ternyata kembali bergeser dan dipertanyakan. Orang akan terus mencari konstruksi baru yang lebih ideal daripada ide sebelumnya. Demikianlah proses itu berlanjut untuk seterusnya. Berangkat dari pemahaman itu, maka peradilan etik ideal bagi para penyandang profesi hakim merupakan wacana yang tidak pernah selesai, namun justru itu ia menjadi layak untuk diperbincangkan terus-menerus.
Peradilan Etik Ideal dalam Konteks Indonesia
Daftar Pustaka
ABNR & MKK Lawfirm (2000). Reformasi Hukum di Indonesia:
Hasil Studi Perkembangan Hukum-Proyek Bank Dunia. Jakarta:
Cyberconsult.
Asrun, A. Muhammad (2004). Krisis Peradilan: Mahkamah Agung
di Bawah Soeharto. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (Elsam).
Effendy, Fenty (2012). 40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk
Berita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Harman, Benny K. (1997). Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman
di Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(Elsam).
Mahfud, Moh. (2009). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Nusantara, Abdul Hakim G. (1988). Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Nusantara, Abdul Hakim G. & Budiman Tanuredjo (1997). Dua
Kado Hakim Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-Putusan Mahkamah Agung tentang Kasus Kedung Ombo. Jakarta:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
Pompe, Sebastiaan (2012). Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Terjemahan Noor Cholis. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Saleh, Abdul Rahman (2012). “Refleksi 42 Tahun LBH, Sebuah Perjuangan Lintas Batas.” dalam Yayasan Lembaga Bantuan
184
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia
Shidarta (2009). Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka
Berpikir. Bandung: Refika Aditama.
Soetjipto, Adi Andojo (2007). Menyongsong dan Tunaikan Tugas
Negara Sampai Akhir: Sebuah Memoar. Jakarta: Granit.
Southwood, Julie & Patrick Flanagan (1983). Indonesia, Law
Propaganda and Terror. London: Zed Press.
Supriono, Johannes (2005). “Paradigma Kultural Masyarakat Durkheimian.” Dalam Mudji Sutrisno & Hendar Putranto. Ed.
Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 87-112.
Wignjosoebroto, Soetandyo (2014). Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional. Jakarta: HuMa, Von Vollenhoven Institute,
Pengaturan dan Penyelesaian Pelanggaran Etika pada Masa Reformasi