Rekam jejak pemerintahan Orde Baru di bidang kehakiman terbilang cukup mengecewakan. Kooptasi kekuasaan eksekutif terhadap yudikatif yang sudah mentradisi sejak era Demokrasi Terpimpin ala Orde Lama ternyata menjadi pola yang diteruskan oleh rezim yang baru. Paling tidak, demikianlah pandangan yang terungkap dalam beberapa karya penelitian sebagaimana termuat dalam Pompe (2012: 165-251), Harman (1997: 396-447), dan Asrun (2004: 39 et seq.).
Menurut Asrun (2004: 23-24), penguasa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto memakai pola represi untuk menekan hakim-hakim agar loyal terhadap kepentingan penguasa, terutama dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana politik. Momentum pertama intervensi ini, menurut Asrun, terjadi pada pengadilan terhadap Syahrir dan Hariman Siregar yang dituduh terlibat dalam Peristiwa 15 Januari 1974.
Pengadilan ini dinilai sebagai kamuflase saja dari konflik elite politik, yakni antara Jenderal Sumitro (Kopkamtib) dan Letnan Jenderal Ali Murtopo (Asisten Pribadi Presiden Soeharto). Abdul Rahman Saleh (2012: xiii) bahkan menyebut tiga tahun pertama kekuasaan Orde Baru, yakni mulai pada tahun 1969, suasana penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia di Indonesia sudah terasa sumpek.
Suasana inilah yang kemudian mendorong kelompok-kelompok kritis mendirikan berbagai organisasi hukum di luar organ resmi negara, seperti Lembaga Bantuan Hukum, yang di kemudian hari ikut menjadi lokomotif perubahan politik di Indonesia, termasuk ikut mendorong ke arah perubahan dalam kekuasaan kehakiman dan peradilan.
166
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia
yang memosisikan hukum sebagai sarana untuk: (1) melegitimasi kekuasaan pemerintah, (2) memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, dan (3) memfasilitasi proses rekayasa sosial (Nusantara, 1988: 19). Pada masa ini, perhatian nasional memang lebih diarahkan pada upaya mengatasi kemiskinan dan problematika ekonomi daripada berkutat pada propaganda anti-neokolonialisme dan neoimperalisme (nekolim) ala Soekarno. Langgam politik Orde Baru ini dirumuskan dalam 14 butir pernyataan yang dihasilkan dalam Seminar II Angkatan Darat tahun 1966, dengan militer sebagai pemeran utamanya (Mahfud, 2009: 199-200).
Dengan dalih untuk menyukseskan pembangunan nasional, maka semua jajaran kekuasaan negara, termasuk kekuasaan kehakiman harus dapat diajak “bekerja sama” dengan penguasa negara. Namun, penguasa tahu bahwa doktrin independency of
judiciary sudah terlanjur melekat pada label negara demokratis
yang mengaku dirinya sebagai negara hukum.
Retorika yang dimaksud antara lain tampak dari sikap Pemerintahan Soeharto untuk bersikukuh mempertahankan fungsi organisatoris, administratif, dan finansial lingkungan-lingkungan peradilan (dalam hal ini terutama adalah peradilan umum dan tata usaha negara) berada di bawah Departemen Kehakiman. Sejarah kelahiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman memberi penegasan tentang sikap ini. Undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 dengan judul yang sama.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964, sebagaimana tercantum dalam Pasal 19, dinyatakan bahwa demi kepentingan revolusi, kehormatan negara atau bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan. Bunyi pasal ini dirasakan cukup mengganggu iklim yang ingin dibangun oleh Orde Baru dan menjadi salah satu pendorong ke arah tuntutan pergantian undang-undang tersebut.
Peradilan Etik Ideal dalam Konteks Indonesia
Pompe (2012: 121) mencatat momentum seputar tahun-tahun pertama kelahiran Orde Baru dengan kata-kata sebagai berikut: “Cara
Orba memperlakukan hakim tak diragukan sedikitpun merupakan isyarat paling penting tentang adanya kekuatan dan kesungguhan komitmen Orba pada hukum. Melalui pemerintahan baru yang memaklumkan komitmennya pada negara hukum, dengan segala sesuatunya telah berubah dan batas-batas kelembagaan ditentukan kembali, jelas itulah waktu bagi para hakim untuk mengerahkan segala daya”.
Organisasi yang memanfaatkan momentum ini adalah Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) yang didirikan tahun 1967 dan dipimpin pertama kali oleh Hakim Sri Widowati Soekito. Dalam catatan kaki pada tulisannya itu, Pompe (2012: 121-122) mengatakan bahwa pengorganisasian para hakim dalam Ikahi adalah semacam upaya pertobatan karena terlibat dalam kekuasaan Demokrasi Terpimpin.
Tiga hal paling utama yang diperjuangkan oleh Ikahi adalah: (1) peningkatan status melalui ketentuan gaji khusus, (2) perwujudan otonomi peradilan dari campur tangan eksekutif melalui pengalihan administrasi pengadilan dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung, dan (3) penguatan kekuasaan kehakiman dengan melembagakan hak uji konstitusional (constitutional review).
Terbukti bahwa gagasan besar Ikahi ini tidak seluruhnya berakhir menjadi cerita sukses selama kepemimpinan Orde Baru. Kenaikan gaji memang berhasil dipenuhi seiring dengan membaiknya pendapatan negara (Asrun, 2004: 98), tetapi tuntutan kedua dan ketiga terbilang gagal. Tuntutan kedua kandas karena Pasal 11 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 masih menempatkan urusan administrasi peradilan di bawah kewenangan Departemen Kehakiman.
Dengan mengutip tulisan Julie Southwood dan Patrick Flanagan (1983: 58), Asrun mensinyalir kegagalan ini berkat manuver politik yang dilakukan oleh Ali Murtopo melalui operasi
168
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia
antara lain terhadap dua hakim agung Bustanul Arifin dan Asikin Kusumah Atmadja (Asrun, 2004: 98, 300). Sebenarnya, Ikahi di mata Pompe (2012: 134) tidak cukup berperan dibandingkan dengan peran Soerjadi, Ketua Mahkamah Agung yang pada tahun 1966. Soerjadi inilah, menurut Pompe, yang menyusun daftar komprehensif pertama kali terkait tuntutan-tuntutan politik pengadilan.
Tuntutan ketiga juga tidak berhasil dilakukan, yang pada akhirnya hanya memberi kewenangan bukan pada hak uji pada undang-undang, melainkan pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Hak uji konstitusional diserahkan ke Mahkamah Konstitusi yang didirikan setelah era Orde Baru berakhir.
Dengan demikian terlihat bahwa kemandirian profesi hakim tidak terpisahkan dari kemandirian lembaga-lembaga kehakiman yang menaungi penyandang profesi ini. Para hakim diposisikan sebagai pegawai negeri yang tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian. Seleksi calon hakim juga mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1976 yang secara umum mengkategorikan seseorang yang lulus dalam seleksi administratif di tahap pertama sebagai calon pegawai negeri (ABNR & MKK Lawfirm, 2000: 133).
Pada era Orde Baru, status pegawai negeri memiliki konsekuensi bahwa penyaluran aspirasi politik mereka harus melewati Golongan Karya sebagaimana telah menjadi komitmen politik Korpri. Selain itu, ketua pengadilan negeri dan ketua pengadilan tinggi juga dimasukkan sebagai komponen Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) di tingkat kabupaten/kotamadya dan provinsi.
Menurut Asrun (2004: 100-101, 300-301), pemosisian ini membuat proses peradilan tidak independen. Sebagai indikasinya, ia menunjuk pandangan Adnan Buyung Nasution yang menyatakan terbukti hakim tidak pernah menjatuhkan hukuman denda yang tinggi terhadap polisi, ketika pengadilan negeri menyatakan suatu
Peradilan Etik Ideal dalam Konteks Indonesia
penangkapan atau penahanan tidak sah. Dalam perkara politik, hakim juga sering dihadapkan pada pilihan untuk membuat putusan yang tidak sesuai dengan hati nurani dan keyakinannya (Southwood & Flanagan, 1983: 59).
Pemasungan kemerdekaan dan imparsialitas hakim juga bisa dicermati dari forum bersama yang konon bertujuan untuk koordinasi, yang dilakukan antara Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian (Mahkejapol). Produk koordinasi ini kerap lahir dalam bentuk keputusan-keputusan bersama keempat instansi itu untuk membuat aturan main dalam peradilan pidana. Koordinasi yang eksklusif demikian jelas mendiskriminasi subjek hukum lain yang juga berkepentingan dalam proses peradilan pidana, yaitu profesi advokat. Tidak pelak lagi, Mahkejapol dicap menjadi “kartel kekuasaan” ini, menjadi sasaran kecaman dan diakhiri seiring dengan lengsernya Orde Baru.
Dengan setting politik yang melingkupi kekuasaan kehakiman seperti itu, maka dapat dipahami bahwa peradilan etik yang diadakan terhadap pelanggaran-pelanggaran etika profesi juga tunduk pada bangunan moralitas yang ambigu. Dua contoh kasus di bawah ini dapat membantu mendeskripsikan suasana tersebut.
Kasus pertama terjadi pada tahun 1982, menyangkut pelanggaran yang dituduhkan kepada empat orang hakim. Adi Andojo Soetjipto (2007: 74) menulis dalam biografinya bahwa pada saat itu ada laporan dari Wakil Ketua Opstibpus Mayjen. E.Y. Kanter dengan surat tertanggal 19 Juni 1982 No. R-35/OPSTIBPUS/ VI/1982 yang isinya menceritakan sejumlah hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersangkut tuduhan menerima suap.
Ketua Mahkamah Agung waktu itu, Mudjono mengeluarkan surat No. KMA/07/sk/VI/1982 tanggal 24 Juni 1982 yang membentuk Majelis Kehormatan Hakim. Salah satu anggota
170
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia
Soemadijono, J.Z. Loudoe, dan Hanky Ismoe Azhar, dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat dari jabatannya.
Cerita Adi Andojo di atas menjadi lebih lengkap dan menarik jika disandingkan dengan cuplikan dari biografi Karni Ilyas yang menceritakan peristiwa yang sama (Effendy, 2012). Menurut Karni Ilyas (wartawan majalah Tempo tatkala itu), skorsing dijatuhkan kepada hakim-hakim itu akibat tekanan dari Pangkopkamtib Soedomo yang konon mendapat perintah dari Soeharto. Salah satu dari hakim tersebut, yakni Loudoe tidak dapat menerima skorsing ini dan kemudian menantang di hadapan wartawan agar ia dapat ditunjukkan kesalahannya.
Menteri Kehakiman Ali Said yang mendengar tantangan ini mempersilakan Loudoe untuk datang kepadanya agar dapat ditunjukkan apa kesalahan yang telah diperbuat. Berbekal surat kabar yang memuat pernyataan Ali Said ini, Loudoe lalu menghadap Menteri Kehakiman.
Di hadapan Loudoe, Ali Said mengaku sebenarnya memang tidak ada kesalahan yang telah diperbuat dan meminta Loudoe sebaiknya diam saja. Menteri menjamin tidak akan terjadi apa-apa. Ucapan Ali Said ini dibocorkan Loedoe kepada wartawan yang kemudian dimuat di majalah Tempo. Menteri Kehakiman tersinggung. Kemudian Loedoe dihadapkan ke persidangan untuk mendekam di penjara dengan tuduhan menerima suap.
Apa yang terjadi pada tahun 1994 dalam kasus Kedung Ombo juga memperlihatkan fenomena yang kurang lebih sama, yakni begitu berkuasanya Pemerintahan Orde Baru dalam menekan kekuasaan kehakiman, yang notabene tidak mendapat reaksi dan perlawanan berarti, apalagi pembelaan dari organisasi profesi hakim. Kasus Kedung Ombo adalah salah satu dari banyak kasus menarik yang memperlihatkan wajah penegakan hukum era Orde Baru yang tidak ramah bagi masyarakat kecil.
Intervensi pemerintah terutama muncul setelah keluar putusan Mahkamah Agung Nomor 2263K/Pdt.1991 (ditetapkan pada
Peradilan Etik Ideal dalam Konteks Indonesia
tanggal 28 Juli 1993). Namun, butuh waktu setahun bagi Presiden Soeharto untuk mengetahui adanya putusan yang memenangkan gugatan 34 orang kepala keluarga warga Kedungpring atas pengambilan tanah-tanah mereka demi pembangunan Waduk Kedung Ombo yang sebagian besar dibiayai melalui pinjaman Bank Dunia. Sebastiaan Pompe (2012: 218-219) menilai putusan majelis hakim kasasi yang diketuai Zaenal Asikin Kusumah Atmadja ini di luar kebiasaan sikap penurut Mahkamah Agung dan peradilan di Indonesia pada umumnya selama dua dasawarsa sebelumnya.
Pada 30 Juli 1994, Ketua Mahkamah Agung Purwoto Gandasubrata bertemu dengan Presiden Soeharto. Dalam kesempatan itu, Soeharto meminta kepada Ketua Mahkamah Agung agar dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya dalam proses peninjauan kembali yang akan diajukan nanti oleh pihak Kejaksaan sebagai pengacara negara, dengan alasan kasus ini menyangkut kepentingan umum.
Soeharto sebelumnya juga dengan kesal pernah menyebut para petani penggugat tersebut mbalelo (membangkang) dan menuduh mereka bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebuah tuduhan yang sangat serius dalam konteks berpikir ala Orde Baru. Di hadapan pers, Ketua Mahkamah Agung Purwoto menyatakan wajar saja jika Presiden mengajaknya bertemu dan menyampaikan kegundahannya. “… yang digugat kan eksekutif. Jadi, itu kan pendapat
tergugat, yakni eksekutif. Kalau kemudian eksekutif mengajukan PK, itu kan pendapat dia. Itu haknya. Pihak lawan kan ajukan kontra, PK,” ujar
Purwoto (Nusantara & Tanuredjo, 1997: 86-87).
Patut dicatat bahwa kinerja Purwoto sebagai Ketua Mahkamah Agung dari tahun 1992 sampai 1994 dari jalur hakim karir, dinilai cukup positif oleh Pompe (2012: 207) karena ia membuat beberapa perubahan dalam operasional dan struktur internal Mahkamah Agung serta berani mempersoalkan kembali kedudukan dan peran
172
MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA
Menelusuri Perkembangan Peradilan Etik di Indonesia
Namun, ketika menghadapi tekanan kuat Soeharto, tampaknya Purwoto harus berhitung ulang. Purwoto, misalnya, memandang wajar-wajar saja jika Presiden sebagai chief executive menaruh perhatian pada kasus Kedung Ombo. “Kalau beliau nanya
kan wajar-wajar saja. Beliau kan Kepala Pemerintahan yang harus mempertanggungjawabkan, kendati Menteri PU yang digugat. Jadi, jika Presiden sebagai chief executive menaruh perhatian ya wajar karena itu menyangkut gugatan terhadap pemerintah” (Nusantara & Tanuredjo,
1997: 87).
Menarik untuk mencemati di kemudian hari, mengapa pertemuan pemerintah yang menjadi pihak dalam suatu perkara ini dapat dianggap wajar-wajar saja oleh seorang Ketua Mahkamah Agung, yang notabene kemudian menjadi ketua majelis dalam persidangan peninjauan kembali untuk kasus itu. Padahal, seandainya pertemuan demikian diadakan oleh Ketua Mahkamah Agung dengan para penggugat (warga Kedungpring), pasti akan memunculkan reaksi besar terkait dugaan kuat bahwa hal ini telah mencederai imparsialitas pengadilan.