• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peradilan Etik dan Etika Konstitusi

Dalam dokumen MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA (Halaman 46-56)

Menuju Terbentuknya Peradilan Etika ModernE

2. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi

Jika perilaku etik dikaitkan dengan para pemangku jabatan-jabatan publik dan profesional yang sangat mengandalkan kepercayaan publik (public trust), maka harus pula disadari bahwa pendekatan hukum seringkali terbukti kontra-produktif dalam menjaga kepercayaan publik itu. Cara bekerjanya sistem penegakan hukum yang ribet dan bertele-tele seringkali berdampak buruk kepada citra dan kepercayaan publik itu.

Sebelum suatu tuduhan pelanggaran hukum dapat dibuktikan secara tuntas di pengadilan, citra institusi publik tempat yang bersangkutan bekejra sudah hancur lebih dulu di mata publik. Karena itu, pembinaan dan pengendalian perilaku ideal terhadap orang-orang yang duduk dalam jabatan-jabatan publik dipandang lebih baik dilakukan melalui sistem etika terlebih dahulu, baru

34

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Semangat inilah yang melandasi dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Desember 1996 tentang “Action Against Corruption” dengan lampiran naskah “International

Code of Conduct for Public Officials”.10 PBB merekomendasikan agar semua negara anggota PBB membangun infra-struktur etika di lingkungan jabatan-jabatan publik (ethics infra-structure for public

offices).

Hal ini pula yang mendorong makin berkembangnya praktik pembangunan infrastruktur kode etik disertai pembentukan institusi-institusi penegak kode etik itu secara konkret di seluruh dunia, dan di semua bidang dan sektor kehidupan profesional dan keorganisasian serta lingkungan jabatan-jabatan organisasi kenegaraan.

Selain di lingkungan lembaga pemerintahan di tingkat federal, di lingkungan organisasi profesi dan dunia usaha, 50 negara bagian Amerika Serikat telah membentuk sistem kode etik bagi para pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun di lingkungan cabang yudikatif negara bagian masing-masing.

Dari 50 negara bagian itu, di 42 negara di antaranya telah terbentuk “Ethics Commission” yang bekerja secara independen dan efektif dalam mengawal dan menegakkan kode etik bagi para pejabat publik masing-masing. Fenomena yang sama juga terjadi di negara-negara lain di Eropa, Australia, Kanada, dan Amerika Latin, dan bahkan di Afrika dan Asia

Perkembangan-perkembangan baru inilah yang saya namakan sebagai tahap perkembangan etika fungsional (functional

ethics), dimana sistem etika yang sejak awal abad ke-20 mulai

dipositivisasikan atau dikodifikasikan dalam bentuk kode etik.

10 Lihat Resolusi UN-General Assembly, A/RES/51/59, 28 January 1997. Pada tanggal 12 Desember 1996, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan Sidang Umum ke-82 dan mengesahkan Resolusi PBB tentang “Action Against

Corruption” dengan naskah “International Code of Conduct for Public Officials”

Pendahuluan

Namun, cara kerja lembaga-lembaga penegak kode etik ini masih bersifat tertutup dengan kewenangan yang terbatas.

Lembaga-lembaga penegak kode etik ini ada yang masih bersifat ad hoc dan bekerja secara internal di lingkungan organisasi yang bersangkutan. Sebagian disebut sebagai ‘Committee’ atau komite yang berarti panitia, ada pula yang bersifat permanen disebut komisi atau ‘Commission’. Bahkan di Indonesia biasa pula disebut dengan istilah ‘Majelis Kehormatan’ atau ‘Dewan Kehormatan’. Ada majelis kehormatan yang bersifat adhoc, seperti Majelis Kehormatan Komisi Pemerantasan Korupsi, Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Agung, dan sebagainya, tetapi ada pula yang bersifat permanen, seperti Majelis Kehormatan PERADI, Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia, dan lain-lain.

Dewan Kehormatan, juga ada yang bersifat ad hoc dan permanen. Sebagai contoh, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat permanen untuk masa kerja 5 tahun. Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU, 2010-2011) bersifat

adhoc tetapi untuk masa kerja 1 tahun.

Ada pula yang disebut sebagai badan, misalnya Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK-DPR) yang terlembagakan secara tetap atau permanen dalam struktur Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan sekarang, berdasarkan UU MD3 yang baru, Badan Kehormatan (BK-DPR) ini telah berganti nama menjadi Mahkamah Kehormatan (MKD). Dengan penyebutan istilah Mahkamah ini berarti telah resmilah konsep di penegakan kode etik dikonstruksikan sebagai proses peradilan.

Semua lembaga-lembaga penegak kode etik pada umumnya memang masih bekerja secara konvensional dan belum dikonstruksikan sebagai lembaga peradilan sebagaimana dipahami di dunia hukum. Keadilan dan peradilan seakan-akan hanya terkait dengan dunia hukum, bukan etika, sehingga tidak terbayangkan

36

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Di samping itu, pengaitan ide positivisasi dan fungsionalisasi etika dengan fungsi peradilan juga terkait dengan kesetaraan dan kemitraan antara kedua sistem norma hukum dan etika. Dalam sistem hukum dikenal adanya prinsip ‘rule of law’ yang terdiri atas perangkat ‘code of law’ (kitab undang-undang) dan ‘court of law’ (pengadilan hukum). Karena itu, dalam sistem etika juga perlu kita perkenalkan adanya pengertian tentang ‘rule of ethics’ yang terdiri atas perangkat ‘code of ethics’ (kode etik) dan ‘court of ethics’ (pengadilan etik).

Dalam bernegara, kita mengkonstruksikan adanya undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis yang dipandang sebagai naskah hukum tertinggi di tiap-tiap negara. Di dalam naskah-naskah konstitusi itu, kita dapat menemukan sistem nilai dan norma yang tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga etika.

Kita juga harus mengembangkan perspektif baru dalam studi hukum tata negara dan khusus studi konstitusi, yaitu di samping hukum konstitusi (constitutional law), ada pula etika konstitusi (constitutional ethics) dengan kedudukan yang setara. Inilah perkembangan paling baru dari tahap perkembangan etika fungsional (functional ethics) yang sudah digambarkan di atas.

Hukum dan etika harus sama-sama dikembangkan secara paralel, simultan, komplementer, dan terpadu, serta dilengkapi dengan sistem infra-struktur kelembagaan penegakannya dalam bentuk lembaga peradilan etik yang terbuka dan menerapkan semua prinsip-prinsip universal sistem peradilan modern.

Karena itu, jika perkembangan di semua negara dewasa ini sudah sampai kepada tahap perkembangan etika fungsional, fungsionalisasi etik yang dimaksud masih bersifat tertutup, tidak terbuka, maka kita harus mempelopori suatu era masa depan. Sistem penegakan kode etik itu dilakukan secara terbuka melalui proses peradilan etik, seperti yang dipraktikkan di dunia peradilan hukum. Inilah yang dipraktikkan oleh DK-KPU 2010-2011 dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP-RI

Pendahuluan

2012-2017) yang bekerja secara permanen untuk waktu lima tahun, mengadili dan menegakkan kode etik.

Cara kerja dewan ini persis seperti biasanya lembaga peradilan yang dikenal di dunia hukum, mulai dari proses penerimaan pengaduan sampai ke pembacaan putusan dan eksekusi putusan berdasarkan standar-standar yang bersifat universal. Karena itu, dikatakan bahwa DK-KPU sebagai cikal bakal awalnya, dan DKPP merupakan lembaga peradilan etika pertama di Indonesia, dan juga di dunia.

Semoga ini dapat menjadi sumbangan bangsa Indonesia bagi perkembangan teori dan praktik di bidang hukum dan etika di Indonesia dan di dunia yang terus bergerak, berubah, dan berkembang pesat tiada hentinya, di masa-masa kini dan masa datang.

Tulisan yang memuat ide mengenai pentingnya negara kita membangun infrastruktur etika tidak hanya berhenti pada tataran teori dan konsep tetapi sekaligus pada tahap praktik nyata dalam upaya kita membenahi sistem etika kehidupan berbangsa berdasarkan amanat TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Kita tentu menaruh perhatian khusus kepada pemerintah dan DPR periode 2014-2019 untuk melanjutkan visi mulia ini dalam wujud yang lebih kongkret. Saya sebagai Ketua DKPP berharap kepada perguruan tinggi dan kaum intelektual agar bisa turut berpartisipasi dalam pengembangan studi dan praktik lebih lanjut di dunia hukum dan etika.

38

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Daftar Pustaka

Amstutz, Mark R. International ethics, Cncepts, theories and cases in global politics, Lanham, MD: Rowman, Littlefield Publishers, 1999.

Asshiddiqie, Jimly, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi:Pespektif Baru

tentang ‘Rule Of Law And Rule Of Ethics’ & Constitutional Law And Constitutional Ethics’, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

---, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945, Jakarta: Rajagrafindo, 2009.

---, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konpress, 2012.

---, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

---, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara

Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI, 2006.

Bashir Ahmed Zikria, Ringkasan “Adab al-Tabib” dari Transactions, American Philosophical Society, Vol 57, Part 3, 1967.

Bertens, Kees, Etika, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Bowie, Norman E., and Patricia Hogue Werhane. Management Ethics. Malden, MA: Blackwell Publishing, 2005. Galvin Library. Creating a Workable Company Code of Ethics. Washington D.C.:

Ethics Resource Center, 1990. (Second edition, 2003).

Davis, Michael, “Eighteen Rules for Writing a Code of Ethics.” Science and Engineering Ethics, Vol 13, No. 2, June 2007. Hal. 171-189.

Pendahuluan

Gorlin, Rena A. ed. Codes of Professional Responsibility. Bureau of National Affairs: Washington, D.C., 1986.

Keith E. Whittington, “On the Need for a Theory of Constitutional Ethics”, dalam Constitutional Corner, Volume 9, Number 3, hal. 60-66.

Schwartz, M.S. “The Nature of the Relationship Between Corporate Codes of Ethics and Behavior”, Journal of Business Ethics. 32: (2001) 247-262.

Williams, Oliver F. (ed.) Global Codes of Conduct: An Idea Whose Time

Has Come. Notre Dame, IN: Notre Dame University Press,

42

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Dalam dokumen MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA (Halaman 46-56)