• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa Depan Hubungan Hukum dan Moral

Dalam dokumen MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA (Halaman 93-100)

Saya beberapa saat terpana menonton televisi yang memberitakan bahwa Robot Humanoid Asimo didesain seperti layaknya manusia. Robot yang dibuat perusahaan raksasa motor asal Jepang Honda tersebut mempunyai kecerdasan otak dengan prosesor canggih. Fisiknya tidak perlu diragukan, tentu lebih kuat dibanding manusia. Dijamin tidak masuk angin.

Tetapi, sama halnya dengan mesin lain yang telah dibuat oleh manusia, robot mempunyai satu hal yang tidak terdapat pada manusia, yaitu hati nurani. Peneliti pun terus berusaha mengembangkan “perasaan” pada robot, seperti yang dilakukan oleh perusahaan berbasis internet asal Jepang, Softbank.

Saya membayangkan robot humanoid ini kelak bisa menggantikan peran dan tugas aparat penegak hukum di Indonesia. Robot tidak mempunyai nafsu dan keinginan untuk menggendutkan rekeningnya. Namun sayangnya, proyek robot itu tidak sepenuhnya berhasil mengembangkan perasaan, apalagi

Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum

hati nurani. Robot humanoid itu hanya mampu merespon perasaan manusia dengan alat-alat pendeteksi seperti kamera, alat perekam suara, dan sensor. Rupanya, hati nurani adalah barang mewah yang hingga sekarang belum bisa tergantikan oleh mesin.

Saya tidak meremehkan imajinasi. Imajinasilah yang memungkinkan manusia mendarat di bulan. Imajinasi memperpendek jarak manusia sedunia dengan pesawat, satelit, telepon genggam, i-pod,i-pad, i-phone, skype, facebook dan google. Semua berawal dari imajinasi. Tinggal satu tahap proyek robot humanoid nyaris mendekati ciri-ciri “manusia”, yakni mempunyai hati nurani.

Namun imajinasi yang memproyeksikan robot humanoid sebagai aparat penegak hukum masa depan “untuk sementara” terlalu mengada-ada. Robot adalah dunia mesin, sedangkan dunia hukum bukan ranah eksakta dan tidak linier sebagaimana dalam hukum alam. Ketidakmungkinan robot menggantikan aparat penegak hukum karena yang ditegakkan adalah “norma hukum” bukan “hukum alam”.

Pertama, meski norma hukum mempunyai kekuatan

memaksa, ia masih memungkinkan penyimpangan. Misalnya, apakah masih memungkinkan orang untuk menyimpang aturan UU Tindak Pidana Korupsi? Tentu, ada yang mematuhi norma hukum. Tetapi ada pula yang melanggarnya meski norma itu disertai sanksi. Artinya, apa yang disebut hukum masih memungkinkan penyimpangan. Hukum berbeda dengan hukum alam. Kalau buku ini saya jatuhkan, kira-kira ia akan ke mana? Jatuh ke bawah. Kalau buku bisa ngomong, “saya sebenarnya ingin jatuh ke atas”, tapi tidak kuasa menyimpangi hukum alam (hukum gravitasi).26

26 Selama beberapa dasawarsa pertama Abad ke-19 banyak ilmuwan yang beranggapan bahwa alam semesta berjalan seperti mesin: bahwa bagian-bagiannya terdiri dari gugus-gugus materi bergerak yang tak berwarna,

82

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Pergulatan Pemikiran Tentang Budaya Hukum, Etik, Moral, dan Peradilan

Benda27 tidak bisa bertindak bebas, ia terikat hukum sebab-akibat. Kualitas manusia yang membedakan dengan benda dan mesin, manusia adalah mahluk normatif sekaligus dalam beberapa hal tunduk pada hukum alam (tetapi, dalam beberapa hal juga bisa menyimpangi hukum alam).

Kedua, hukum menuntut kesadaran. Pertanggungjawaban terkait kesadaran. Itulah mengapa orang gila tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum. Sedangkan hukum alam tidak membutuhkan kesadaran, sadar atau tidak sadar usia kita bertambah tua. Dalam hukum alam, tanpa disadari rambut beruban dan kulit semakin keriput tanpa kita dapat menolaknya.28 Hukum yang menuntut kesadaran secara kualitas posisinya lebih tinggi dibanding hukum alam yang tidak menuntut kesadaran. Karena

menghitung dan meramalkan semua keadaan “mesin” itu kemudian hari dan segala peristiwa mendatang.Lihat, Pierre Simon Laplace, A Philosophical

Essay on Probabilities, diterjemahkan oleh Frederick Wilson Truscott dan

Frederick Lincoln Emory, New York: Dover Publications, 1951. Akan tetapi dalam perkembangannya, hukum alam (fisika) masih memungkinkan penyimpangan meski tingkat probabilitasnya sangat kecil. Pada abad ke-21 para ahli Matematika dan Fisika mulai mengakui bahwa mereka hanya sanggup merumuskan beberapa segi saja dari alam semesta dengan memakai rumus-rumus matematika. Werner Heisenberg beserta rekan-rekannya ahli fisika kuantum menemukan bahwa di dunia atom sebab dan akibat tidak terpaut secara mekanis, bahwa satu sebab dapat mempunyai akibat lebih dari satu, yang masing-masing ditentukan oleh “kemungkinan”: bahwa tak seorang pun mampu meramalkan akan terjadinya suatu rangkaian peristiwa sesudah suatu peristiwa yang lain, kecuali sebagai kemungkinan yang dapat dihitung-hitung.Pemikiran Werner Heisenberg tentang Ketidakpastian dalam Fisika bisa ditemukan dalamhttp://www.thebigview.com/spacetime/ uncertainty.html; http://www.spaceandmotion.com/physics-quantum-mechanics-werner-heisenberg.htm.

27 Tentang “benda”, Immanuel Kant menjelaskan:”A thing is what is incapable of

being the subject of imputation. Every object of the free activity of the will, which is itself void of freedom, is there called a thing (res corporealis). Lihat, Immanuel

Kant, Op.Cit., hal. 32.

28 Diskusi dengan Dosen Universitas Bina Nusantara, Shidarta, dalam perjalanan dari kampus Unram ke Bandara Internasional Lombok, sekitar bulan desember tahun 2014.

Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum

hukum berhubungan dengan kesadaran sehingga tidak mungkin diberlakukan pada benda atau binatang.

Di Pulau Sumbawa, larangan kambing agar tidak masuk ladang tidak mungkin diatur dengan norma “kambing dilarang masuk”. Kambing agar tidak masuk ladang harus diikat secara fisik. Manusia tidak perlu diikat lehernya secara fisik, melainkan dimintai pertanggungjawaban terkait perbuatan dan kesadarannya. Kesadaran sebenarnya lebih dekat dengan moral dibanding hukum, karena kesadaran sesungguhnya bermukim di ranah batiniah dibanding lahiriah.

Jika sifat hukum yang normatif masih memberikan celah penyimpangan, maka ia membutuhkan moral sebagai katup pengaman. Mesin memang bisa membantu hukum, misalnya Alat Rekam Audio Visual (ARAV) untuk memantau persidangan, tetapi tidak menjawab akar persoalan. Mesin hanya bisa memantau permukaan.

Persoalan hukum di Indonesia akarnya dalam, yakni integritas moral. Pada masyarakat pasca modern, hukum tak bisa menjawab dan menjangkau semua persoalan. Kita sering tertegun, semakin banyak kebutuhan, dan semakin banyak jenis masalah hukum yang harus dihadapi masyarakat. Hukum kadang tidak mampu melingkupi, mengatasi, dan mengatisipasi berbagai permasalahan di masyarakat. Rule of law bukan lagi satu-satunya resep mujarab

(panacea) atas segala persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia

sekarang dan yang akan datang.

Ketika hukum tersesat dan semakin jauh dari tujuannya, ia harus kembali kepangkalannya, yakni moral dan etika. Hukum bisa terus-menerus berubah melalui proses legislasi atau amandemen. Tetapi moral menjadi sesuatu yang mendasar dan pada prinsip-prinsip moral tertentu cenderung bersifat universal. Seperti prinsip-prinsip kejujuran hingga kini berlaku universal, tidak pernah lapuk

84

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Pergulatan Pemikiran Tentang Budaya Hukum, Etik, Moral, dan Peradilan

Hukum yang dibutuhkan di masa kini dan mendatang adalah hukum yang bisa dipertanggungjawabkan secara etis. Hukum tidak lagi memonopoli kebenaran. Di samping kebenaran hukum yang tertulis, ada kebenaran nurani yang sulit disangkal.

Jika hukum mempunyai pertanggungjawaban etis, maka hakim seharusnya tidak hanya membaca hukum sebagai teks hitam putih yang bertitik koma (black letter law), tetapi juga membaca dan menafsirkan dari pandangan etis.

Tetapi tulisan ini bukan bermaksud hendak mengusulkan rule

of law diganti dengan moral dan etika. Rule of law tetap diperlukan

sebagai elemen utama negara hukum. Sementara moral dan etika diperlukan sebagai basis yang memperadabkan rule of law.

Penguapan awan-awan korupsi dan penyimpangan sosial lainnya, hanya dapat dilakukan jika ada perubahan kolektif yang signifikan. Hal itu bisa dimulai dengan moral dan etika yang mengoreksi penyimpangan oleh pejabat publik atau penyelenggara negara sejak dini sehingga tidak semua persoalan harus membesar dan bermuara pada ranah hukum. Jika moral dan etika berfungsi dan bekerja, kualitas kesadaran masyarakat semakin matang, tentu akan mengurangi beban hukum, bahkan hukum akan lebih banyak “beristirahat” dan “menganggur”.

Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum

Daftar Pustaka

Buku:

Al Ghazali, Tahafut al Falasifah (diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Inggris oleh Sabih Ahmad Kamali), Lahore:Pakistan Philosophical Congress, 1963.

Arendt, Hannah, Eichmann in Jerusalem, New York:Macmillan Company, 1963.

Averroes’, Tahafut Al-Tahafut (The Incoherence of The Incoherence, diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh Simon Van Den Bergh (Volume I dan II), Penerbit EJW Gibb Memorial Trust 1954.

Baudrillard, Jean, Simulacra and Simulation (diterjemahkan oleh Sheila Faria Glaser), University of Michigan Press, 2006. Bertens, K., Etika, Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Brian Tamanaha, General Jurisprudence of Law and Society, Oxford

University Press, 2006.

Sumaryono, E. , Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat

Thomas Aquinas, Yogyakarta:Penerbit Kanisius.

Friedmann, Wolfgang.,Legal Theory, Steven & Son Limited, 1953. Hampstead, Lloyd and Freeman, Llyod’s Introduction to

Jurisprudence, London: Steven&Sons, Fifth Edition, 1985.

Huijbers, Theo,Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kanisius, 2008.

86

MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA

Pergulatan Pemikiran Tentang Budaya Hukum, Etik, Moral, dan Peradilan

Laplace,Pierre Simon, A Philosophical Essay on Probabilities, diterjemahkan oleh Frederick Wilson Truscott dan Frederick Lincoln Emory, New York: Dover Publications, 1951.

Thomas Aquinas, Summa Theologiae (diterjemahkan R.J. Henle), University of Notre Dame Press, 1985.

Jurnal:

Waldron, Jeremy,Kant’s Legal Positivism, Harvard Law Review, 1996, Vol. 109.

Internet:

http://www.thebigview.com/spacetime/uncertainty.html;

http://www.spaceandmotion.com/physics-quantum-mechanics-werner-heisenberg.htm.

Dalam dokumen MENGGAGAS PERADILAN ETIK DI INDONESIA (Halaman 93-100)