• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PENCERITAAN TIGA CERPEN KARYA BUDI DARMA

2.1 Budi Darma dan Konsep Kepengarangannya

BAB II

KAJIAN PENCERITAAN TIGA CERPEN KARYA BUDI DARMA DALAM KUMPULAN CERPEN ORANG-ORANG BLOOMINGTON

Dalam Bab II ini akan dipaparkan analisis penceritaan tiga cerpen karya Budi Darma, yaitu “Lelaki Tua Tanpa Nama”, “Keluarga M”, dan “Ny. Elberhart”. Paparan tentang analisis penceritaan dilakukan menurut perspektif strukturalisme naratif A.J. Greimas. Ada dua pokok persoalan yang dikaji pada bab ini, yaitu 1) Uraian tentang penulis cerita. 2) Sekuen-sekuen tiga cerita. Uraian dalam bab ini akan dibagi ke dalam tiga sub-bab, yaitu 1) Budi Darma dan Konsep Kepengarangannya 2) Penceritaan Tiga Cerpen Karya Budi Darma dalam Kumpulan Cerpen Orang-orang Bloomington 3) Rangkuman.

Tujuan menjelaskan tentang penulis cerita adalah mengetahui latar belakang penulis sebagai pemilik cerita. Sedangkan tujuan pemaparan sekuen-sekuen cerita adalah memahami motif penceritaan untuk mengetahui aktan dan fungsi yang akan dikaji lebih dalam pada Bab III.

2.1 Budi Darma dan Konsep Kepengarangannya

Budi Darma dilahirkan pada tanggal 25 April 1937 di Rembang, Jawa Tengah. Beliau menyelesaikan studi di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada dengan menerima Bintang Bhakti Wisuda (1963) (Pinurbo, 1987: 17). Berkat beasiswa yang diterima dari East

West Centre, pada tahun 1970 sampai 1971 dirinya bersama Sapardi Djoko

Damono belajar ilmu budaya dasar di University of Hawai, Honolulu, Amerika Serikat (Suwondo, 2010: 11). Budi Darma meraih M.A. dari Univesitas

21

Indiana, Bloomington, AS (1976), dan terakhir meraih Ph. D. di universitas yang sama, dengan disertasi berjudul Character and Moral Judgment in Jane Austen’s Novel. Selain itu, pernah memangku jabatan Visiting Research

Associate di Universitas Indiana (Pinurbo, 1987: 17).

Mulai menulis sejak di Sekolah Lanjutan Atas; tulisan-tulisan Budi Darma terbit dalam majalah Budaya. Setelah menjadi mahasiswa, tulisan-tulisannya banyak dimuat di beberapa majalah budaya, antara lain Indonesia, Basis, dan Cerita. Ketika menjadi mahasiswa, ia pun aktif dalam kegiatan organisasi,

antara lain duduk sebagai pimpinan Dewan Mahasiswa UGM. Mulai serius menulis sekitar tahun 1968 setelah ia menikah dan memiliki mesin tulis sendiri (Pinurbo, 1987: 17).

Novelnya, Olenka memenangkan Hadiah Pertama Sayembara Nove Dewan Kesenian Jakarta, 1980, dan diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1983. Sebelum menulis Orang-orang Bloomington, dia telah banyak menulis cerpen absurd dan dimuat dalam majalah Horison pada periode tahub 1970-an.

Kumpulan eseinya: Solilokui (1984) dan sejumlah Sejumlah Esei Sastra (1984) (Pinurbo, 1987: 17).

Dalam kancah sastra Indonesia kiprah Budi Darma mula-mula dikenal lewat cerpen-cerpen absud-nya. Kemunculannya segera menarik perhatian pengamat sastra; bahkan ia dianggap telah membawa corak baru dalam dunia penulisan cerpen di Indonesia (Erneste,1981: 22), baik dari segi tematik maupun stalistik (Erneste, 1983: vi). Pengarang yang boleh dikatakan satu trend Budi Darma

22

adalah Danarto dan Putu Wijaya, di samping tentu saja tidak boleh dilupakan Iwan Simatupang yang muncul lebih dulu dari mereka (Pinurbo, 1987: 18).

Tentang corak baru tersebut, Ajip Rosidi menyebutkan adanya kecenderungan umum pada mereka untuk tidak terikat lagi pada cara dan bentuk konvensional seperti logika, plot, perwatakan, bakan tema; batas antara impian dan kenyataan menjadi kabur dan ceria menjadi rentetan imaji yang tempel-menempel – bukan sambung menyambung – seperti mosaik (Rosidi, 1977: 10 dalam Pinurbo, 1987: 18). Pendapat serupa dikemukakan oleh Korrie Layun Rampan. Dikatakannya bahwa kadang-kadang sebuah cerita tidak bercerita, plotnya tidak jelas, dunia yang tampil serba kacau, latarnya juga tidak jelas, tokoh-tokohnya serba aneh, dan ceritanya irasional (Rampan, 1982: 19 dalam Pinurbo, 1987: 18).

Khusus tentang Budi Darma baik Ajip maupun Korrie melontarkan nada yang kurang-lebih sama. Ajip: “Cerita pendeknya pada umumnya sangat keras dan dingin, seakan-akan tidak menghiraukan nilai moral kemasyarakatan yang ada.” (Rosidi, 1977: 387 dalam Pinurbo, 1987: 18-19). Korrie : “Pada Budi Darma manusia itu serba aneh. Manusia begitu keras dan kejam, tak berperikemanusiaan... (Rampan, 1982: 20 dalam Pinurbo, 1987: 19).

Namun yang paling tandas melukiskan dunia cerpen Budi Darma adalah Harry Aveling, seorang pengamat dan penerjemah sastra Indonesia dari Australia. Dalam sebuah eseinya terus terang dia mengakui : “Cerita-cerita Budi Darma menakutkan saya” – “Kebanyakan orang dalam cerita-cerita Budi Darma tidak saling mencintai” – “Dunia dalam cerpen-cerpen Budi Darma

23

adalah dunia yang gerai, sangat kejam, tanpa kemanusiaan... (Rampan, 1982: 209, 206, 204 dalam Pinurbo, 1987: 19).

Corak cerpen Budi Darma yang “menakutkan” tidak terlepas dari pandangan-pandangannya yang tegas dan jelas. Dalam salah satu tulisannya Budi Darma berpendapat bahwa bagaimanapun juga karya sastra lahir dari kekayaan batin dan untuk memperkaya batin, bukan untuk kepentingan sosial. Baginya, pandangan mengenai sastra untuk memperbaiki keadaan sosial adalah sia-sia belaka, sebab keadaan sosial hanya dapat diatasi dengan perencanaan dan tindakan nyata (Suwondo, 2010: 15).

Kendati berpendapat demikian, bukan berarti Budi Darma tidak peduli dengan masalah-masalah sosial. Ketika bertindak sebagai manusia biasa ia tetap komit terhadap masalah sosial, tetapi ketika bertindak sebagai pengarang ia bekerja dengan bawah sadarnya dan melupakan masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi. Karena itu, pada waktu mengarang ia memasuki jiwa manusia sebagai manusia, bukan manusia sebagai makhluk sosial (Suwondo, 2010: 15).

Budi Darma juga berpandangan bahwa “takdir” merupakan sesuatu yang berpengaruh besar dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya, dalam mengarang Budi Darma cenderung menggarap persoalan manusia berdasarkan takdirnya, bukan berdasarkan lingkungan sosialnya. Dirinya menegaskan bahwa pengarang yang baik adalah pengarang yang mampu mengebor sukma, mampu menggali hal-hal yang fundamental, hal-hal yang berkaitan dengan

24

jiwa dan batin manusia, yang semua itu ditentukan oleh takdir (Suwondo, 2010: 15-16) .

Dalam penjelasannya mengenai takdir, Budi Darma mengaitkan hal tersebut dengan dinamika kehidupan manusia.

“Sebenarnya, ketika lahir manusia sudah membawa tanggal kematiannya, hanya saja manusia tidak mengetahuinya. Manusia juga tidak dapat menentukan kapan ia harus bahagia, kapan harus sengsara, karena semua itu sudah kehendak takdir. Memang manusia oleh Tuhan dikaruniai otak, insting, persepsi, dan kekuatan-kekuatan lain sehingga ia dapat berpikir dan terlibat dalam berbagai kehidupan, tetapi semua itu takdirlah yang menentukan”. (Suwondo, 2010: 17).

Konsep di ataslah yang dipegang oleh Budi Darma sehingga tidak aneh jika dalam karya-karyanya ia menggarap persoalan-persoalan manusia sebagai individu yang senantiasa mencari identitas atau jati dirinya. Identitas serta jati diri yang dicari itu pun tidak pernah ditemukan karena semua itu adalah misteri. Dan tidak aneh pula apabila manusia-manusia yang digarap Budi Darma semuanya misterius. Barangkali memang sudah ditakdirkan demikian (Suwondo, 2010: 18).

Faktor manusia berdasarkan takdir dinilai lebih universal, lebih esensial, dan lebih human, karena faktor sosial dan sebagainya hanya bersifat semu dan sementara. Oleh karena itu, Budi Darma menganggap bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang mengungkapkan esensi kehidupan dan sukma manusia; sementara karya yang mengungkapkan persoalan masyarakat dinilai cepat lapuk dan cepat ditinggalkan orang. Persoalan esensial manusia yang memang sudah kehendak takdir itulah yang agaknya mewarnai seluruh karya kreatif Budi Darma (Suwondo, 2010: 18-19).

25

2.2 Penceritaan Tiga Cerpen Karya Budi Darma dalam Kumpulan Cerpen