• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KAJIAN TIGA POROS SEMANTIK TIGA CERPEN KARYA

4.1 Kajian Tiga Poros Semantik

4.1.2 Tiga Poros Semantik Cerpen “Keluarga M”

4.1.2.1 Tiga Poros Semantik Pertama Cerpen “Keluarga M”

Berdasarkan tabel nomor 4 atau skema aktansial pertama cerpen “Keluarga M”, hirarki oposisi nilai dalam gerak pencarian subjek kepada objek adalah sebagai berikut.

Tabel. 14 Four Terms Homology pertama Cerpen “Keluarga M”

benci >< cinta : tidak benci >< tidak cinta dendam >< ikhlas : tidak dendam >< tidak ikhlas nyaman >< gelisah : tidak nyaman >< tidak gelisah menderita >< bahagia : tidak menderita >< tidak bahagia

celaka >< selamat : tidak celaka >< tidak selamat damai >< konflik : tidak damai >< tidak konflik

Dari pemaparan beberapa hirarki oposisi nilai dalam cerpen, terdapat sebuah transformasi dasariah nilai yang dipertaruhkan dalam cerpen Keluarga M. Nilai tersebut adalah benci x cinta : tidak benci x tidak cinta

I. Poros Pencarian

Poros pencarian melibatkan relasi antara aktan pengirim, subjek, dan objek. Dalam cerpen “Keluarga M”, tokoh saya bertindak sebagai subjek yang didorong oleh rasa tidak nyaman (pengirim) dan rasa benci (pengirim) untuk meraih objek (mencelakai keluarga M). Pengirim menjanjikan sebuah pemenuhan rasa nyaman dan rasa puas apabila tokoh saya (subjek) berhasil mencelakai keluarga M.

113

Dalam kemunculannya, aktan pengirim adalah rasa tidak nyaman yang dirasakan tokoh saya akibat kemunculan pelaku perusakan cat mobil (orang lain). Semenjak peristiwa tersebut ia merasa harus menemukan dan mencelakai (melenyapkan) tokoh saya dari kehidupannya.

Berdasarkan potongan cerita tersebut, konsep eksistensi manusia bagi manusia lain sangat dominan. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa inti setiap relasi antar-manusia adalah konflik. Karena ciri khas kesadaran manusia adalah menindak. Dan setiap kesadaran mempertahankan subjektivitas dan dunianya sendiri. Dengan demikian setiap pertemuan antara kesadaran-kesadaran merupakan sesuatu dialektika antara subjek dan objek (Wibowo, 2003: 74-75).

Sarana yang penting dalam konflik atau situasi konflik ini adalah tatapan atau sorot mata (le regard). Tatapan atau sorot mata di sini dipahami secara luas. Singkatnya tatapan tersebut adalah kehadiran orang lain sebagai subjek yang mengobjekkan aku. Bagi dia, aku adalah orang yang termasuk dalam dunianya, objek yang mempunyai sifat-sifat yang tertentu. Dia sendiri adalah subjek. Dan sementara dia menatapku, aku menemukan diriku sendiri, aku masuk ke dalam dunianya, kebebasanku membeku. Dengan demikian ditunjukkan bahwa dalam situasi seperti itu aku menjadi objek bagi dia sebagai subjek. Namun, dalam situasi seperti itu juga dapat terjadi bahwa dia menjadi objek bagiku dan aku adalah subjek baginya. (Wibowo, dkk, 2015: 75)

114

Dalam relasi konkret dengan orang lain terdapat dua kemungkinan. Yang pertama adalah aku takluk dan tunduk saja kepadanya atau membuat diriku menjadi objek bagi dia subjek (misal: cinta dan masokhisme). Dan kedua adalah aku tidak tunduk dan takluk kepadanya (misal: sikap acuh-tak-acuh, keinginan seksual, sadisme, dan sikap benci). (Wibowo, dkk, 2015: 76)

Karena itu struktur dasar hubungan antar-manusia terdiri atas negasi batiniah timbal-balik. Artinya jika yang lain sebagai subjek menolak aku, maka aku menjadi objek, sementara aku membuat orang lain menjadi objek dengan membuat diriku menjadi subjek. (Wibowo, dkk, 2015: 76)

Dalam penjelasan lain Sartre menambahkan mengenai konsep kehadiran orang lain bagi “saya”.

“Ketika orang lain muncul dalam pandangan saya, kemunculannya akan menghancurkan relasi yang sudah saya buat dengan lingkungan dekat saya. Benda-benda mengelompok di seputar dia dan, menurut Sartre, ruang dia terdiri dari ruang saya. Orang itu telah mencuri dunia saya. Seolah-olah “dunia memiliki semacam lubang saluran air di tengah-tengah keberadaannya,” dan lubang saluran air itu adalah Orang Lain. Ada “pendarahan internal” ketika dunia saya disedot ke dalam dunia Orang Lain.” (Palmer, 2013: 91)

Berdasarkan pemahaman konsep eksistensi manusia bagi orang lain. Tokoh saya merasa relasi yang sudah ia buat dengan lingkungan sekitar hancur karena kehadiran sang perusak cat mobil. Kehadirannya adalah sebuah bentuk penindakan kepada kesadaran tokoh saya. Dunia tokoh saya terenggut oleh kemunculan sang perusak cat mobill (keluarga M). Karena tokoh saya tidak mau tunduk atau menjadi objek, ia berusaha memperoleh kembali dunianya dengan cara melenyapkan eksistensi keluarga M. Melalui cara tersebut ia dapat merasa nyaman kembali.

115

Persitiwa kecelakaan menjadi tanda bahwa tokoh saya berhasil mendapatkan objek (mencelakai keluarga M). Namun sosok tokoh saya mengalami konflik batin setelah mendengar kabar keluarga M cacat akibat kecelakaan. Tokoh saya tidak merasa puas dan nyaman. Ia justru merasa bersalah dan kasihan melihat keluarga M yang cacat.

II. Poros Komunikasi

Poros komunikasi melibatkan relasi antara aktan pengirim, aktan objek, dan aktan penerima. Dalam cerpen “Keluarga M”, rasa tidak nyaman dan rasa benci adalah pelaku aktan pengirim yang berharap dapat mencelakai keluarga M (objek). Apabila tokoh saya berhasil mencelakai keluarga M, maka pengirim akan menghadiahkan rasa kepuasan dan kenyamanan kepada tokoh saya (subjek) dan kemudian menjadikannya pelaku aktan penerima.

Rusaknya cat mobil tokoh saya oleh beret paku merupakan awal bagaimana konflik cerita bermula. Hal tersebut adalah sebuah bencana yang mengganggu kehidupan tokoh saya yang damai. Tokoh saya merasa terganggu dan menginginkan kenyamanan dalam hidupnya kembali. Ia berusaha mencari pelaku yang ternyata merupakan anggota keluarga M lalu mencoba untuk menindaknya. Penindakan yang tidak terlaksana mendorong pengirim menuntut tokoh saya untuk bertindak lebih tegas dengan melenyapkan eksistensi mereka. Dengan jalan tersebut pengirim berharap dapat mewujudkan kembali kehidupan tokoh saya yang nyaman.

116

Poros kekuatan melibatkan relasi sintaksis antara aktan penolong, aktan subjek, dan aktan penghalang. Aktan penolong berfungsi untuk memudahkan subjek mendapatkan objek. Aktan penghalang berfungsi untuk menghalangi, menentang, dan mengganggu usaha subjek memiliki objek. Dalam cerpen “Keluarga M”, manajer gedung, RA, Jerry, keluarga M, dua perempuan pencabut mesin coca cola, rasa penyesalaan tokoh saya, keadaan ramai di parkiran, rasa bersalah mengisi aktan penghalang. Sedangkan aktan penolong diisi oleh peristiwa kecelakaan.

Usaha tokoh saya (subjek) dalam mendapatkan objek menemui berbagai macam kemudahan dan kesulitan. Kesulitan dialami tokoh saya ketika berusaha menindak dan mencelakai keluarga M. Tokoh saya berusaha menindak Martin dan Mark sebagai pelaku perusakan. Namun halangan muncul dari sang ayah, Melvin Meek tidak terima anaknya dituduh dengan tuduhan yang tidak mendasar. Ia melakukan pembelaan demi nama baik keluarganya.

Semenjak saat itu konflik antara keluarga M dan tokoh saya bermula. Berawal dari ketidaknyamanan tokoh saya karena merasa dunianya tersedot oleh pelaku perusakan cat mobil, tokoh saya berusaha menindak sang pelaku. Penindakan tersebut merupakan upaya untuk merebut kebebasannya setelah dirinya merasa diobjekkan. Rasa benci merupakan tanda bahwa ia tidak tunduk. Namun di sisi lain, keluarga M bersikap mempertahankan eksistensinya, acuh kepada tokoh saya. Setiap gerak yang menindak dari tokoh saya selalu ia (keluarga M) hadapi dengan sikap acuh. Pun begitu dengan para pelaku aktan penentang yang lain, setiap tokoh saya berusaha

117

menindak mereka, mereka tanggapi dengan sikap yang acuh. Perwujudan sikap mereka tanpa sadar adalah bentuk mempertahankan eksistensi keluarga M dalam dunia kesadaran tokoh saya.

Sedangkan kemudahan didapatkan dari peristiwa kecelakaan yang menimpa keluarga M. Dalam Suwondo (2010: 13), Budi Darma menjelaskan konsep takdir dalam kehidupan. Ia menyatakan bahwa “manusia tidak dapat menentukan kapan ia harus bahagia, kapan harus sengsara, karena semua itu sudah kehendak takdir”. Takdir adalah sebuah kekuatan yang membantu tokoh saya meraih objek. Walaupun para pelaku aktan penentang berusaha mempertahankan eksistensi keluarga M dalam dunia kesadaran tokoh saya, kemunculan peristiwa kecelakaan menghancurkan itu semua.

Dan rasa bersalah serta rasa kasihan muncul sesaat setelah tokoh saya berhasil mencelakai keluarga M (objek). Rasa bersalah dan kasihan memunculkan sikap tokoh saya sebagai makhluk sosial. Ia merasa tidak berhak untuk bahagia, puas, nyaman di atas penderitaan manusia lain. Oleh karena itu, tokoh saya sebagai subjek gagal mendapatkan hadiah dari pengirim atau gagal menjadi penerima.