• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR PELAKSANAAN PANCA BALI KRAMA

Dalam dokumen 349204647 Buku Panca Balikrama pdf (Halaman 189-200)

BAB IV DESA BESAKIH

DASAR PELAKSANAAN PANCA BALI KRAMA

Panca Balikrama yang dilaksanakan di Bancingah Agung Pura Besakih pada tanggal 25 Maret 2009 ádalah merupakan siklus dari karya yang dilaksanakan di Pura Besakih pada tahun 1933, tahun 1960, tahun 1978, tahun 1989 dan tahun 1999. Karya Agung Panca Balikrama ini dilaksanakan dalam jenjang waktu setiap sepuluh tahun sekali pada tiap pergantian tahun saka berakhir dengan 0 (nol) disebut dengan rah windu. Hal yang dijadikan dasar tonggak pelaksanaan Karya Agung Panca Balikrama di Pura Besakih, ádalah Panca Balikrama tahun 1978 dirangkaikan Eka Dasarudra Tahun 1979 setiap sepuluh tahun berikutnya secara berkesinambungan. Tentu hal ini mengandung makna penting, apa sesungguhnya menjadi dasar pelaksanaan karya seperti itu.

Karya Agung Panca Balikrama dilaksanakan di Bancingah Agung Pura Besakih secara berkesinambungan memiliki dasar filosofis, historis,teologis, psikologis dan dasar sosiologis. Dasar Pelaksanaan Karya Agung Panca Balikrama tersebut diuraikan dan disajikan dan diuraikan dibawah ini.

7.1. Dasar Filosofis

Pelaksanaan Karya Agung Panca Balikrama di Bancingah Agung Pura Besakih memiliki dasar secara filosofis. Filosofis berati secara filsafat (kb) berati pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat yang ada , sebab, asal dan hukumnya. Hakikat berarti iti sari atau dasar ; kenyataan yang sebenarnya; sungguh-sungguh (Yuniar : 195, 229). Panca Balikrama secara filosofis akan dikaji dari hakikatnya, sebab dan asal hukumnya , mengunakan sumber dari ajaran agama Hindu.

Dalam ajaran agama Hindu sebagaimana yang telah dimaklumi memiliki “ Lima Keyakinan Dasar” atau Panca Srada yang didalam pengamalannya diwujudkan dalam Tiga Kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa ( Filsafat Agama), dan Upakara Yadnya ( Upacara-upacara Keagamaan ) dan Sesana (Kesusilaan Agama). Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-

pisahkan antara satu dengan yang lain, saling mengisi saling melengkapi. ( Tim, 1978)

Dalam kaitan dengan upakara dan upacara yadnya terbagi kedalam lima yang disebut dengan Panca Yadnya yaitu, Pertama Dewa Yadnya, Kedua Pitra Yadnya, Ketiga Rsi Yadnya, Keempat Manusa Yadnya dan Kelima Bhuta Yadnya.

Pada hakikatnya Panca Balikrama sesungguhnya adalah sebuah yadnya yaitu sebagai suatu persembahan atau kurban yang tergolong kedalam bhuta yadnya. Bhuta yadnya adalah suatu korban suci untuk bhuta , merupakan suatu kewajiban untuk dilaksanakan oleh umat. Butha yadnya pada hakekatnya adalah yadnya untuk alam semesta (bhuwana Agung ) dengan unsur unsurnya yang disebut dengan Panca Mahabhuta terdiri dari Pretiwi, Apah, Teja, Bayu, Akasa. Unsur ini yang membentuk Bhuwana agung ( Alam Semesta ) dan Bhuwana alit (alam didalam diri Manusia) diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kedua alam ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan , dimana jika kondisi bhuwana agung tidak harmonis berpengaruh pada kehidupan manusia . Demikian juga jika perilaku manusia tidak sesuai dengan kodratnya maka akan berpengaruh pada keberadaan alam berserta unsur unsurnya. Berdasarkan atas ajaran Agama Hindu tersebut, maka umat Hindu punya kewajiban untuk menjaga keberadaan bhuwana agung , dengan menyelenggarakan upacara dan upakara kepada bhuta, disamping upacara yadnya lainnya.

Dalam ajaran agama Hindu dinyatakan bahwa, semua mahluk dan isi alam ini pada hakikatnya ikut serta menentukan kehidupan manusia, dan berada dalam satu sumber yakni sama sama bersumber pada Paramatma (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) (Tim, 1978:6). Demikian juga semua makluk dan isi alam ini dengan unsur pokoknya bersumber dari Panca Mahabhuta. Ketika unsur unsur Panca Mahabhuta tidak harmonis, maka akan berpengaruh pada kehidupan manusia dan alam beserta isinya. Ketidak harmonisan unsur tersebut disebabkan oleh ulah manusia dan mahluk –mahluk yang menyebabkan kesucian alam ternodai., sehingga tidak dapat memberi faeadah yang baik bagi kehidupan manusia, dan hal ini justru dapat membahayakan. Akibat yang dapat dirasakan adalah kedudukan unsur unsur itu tidak sebagaimana mestinya, seperti panas , dingin, perubahan

cuaca dan lainya tidak pada kondisi semestinya. Kondisi ini tercermin adanya kejadian- kajadian alam muncul berbagai bencana alam seperti gempa, sunami, wabah penyakit, kemeranan (wabah penyakit pada hewan dan tumbuh tumbuhan ), huru hara, yang dapat mengganggu ketentraman umat . Jika semua itu terjadi maka tidak ada rasa kedamaian, tidak ada keharmonisan, semua bertentangan, berlawanan, dan bermusuhan. Alam diganggu manusia, manusia diganggu oleh alam dengan isinya.

Untuk menanggulangi hal tersebut , dilakukan pemulihan kembali kondisi keseimbangan alam dengan unsur- unsur Panca Mahabhuta , melalui penyuciaan alam ( bhuwana agung) dan bhuwana alit berupa dengan melakukan upacara tawur.

Agama Hindu mengajarkan agar diselengarakan Sangaskara atau upacara upacara yadnya dalam bentuk tawur secara berkala yaitu :

Pertama, Tawur Kesanga setiap tahun sekali pada tilem Cetra Kedua, Tawur Panca Balikrama setiap sepuluh tahun sekali Ketiga Tawur Eka Dasarudra setiap seratus tahun sekali

Keempat Penyejeg Jagat atau Merebu Bumi setiap seribu tahun sekali. Untuk umat Hindu di Bali , upacara tawur, pertama dilaksanakan disetiap Desa diseluruh Bali, sedangkan kedua hingga keempat dilaksanakan di Pura Besakih. Berdasarkan atas rujukan tersebut, pada hakikatnya pelaksanaan Panca Balikrama dimaknai sebagai penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit, ketika terjadi ketidak harmonisan alam ini, melalui pelaksanaan upacara Huti (caru), dengan tingkatan yang besar disebut dengan Tawur. Sebagai upacara kurban, Panca Balikrama memiliki hakikat sebagai persembahan, penyucian makrokosmos dan mikrokosmos dengan membangun hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi melalui upacara, dengan perantara para pendeta melalui persembahan kurban binatang, tumbuh-tumbuhan hasil bumi, sehingga para dewa memberi kemurahan hati, tidak mengutuk, sehingga keteraturan terjamin. Hal ini dapat diungkap dari beberapa upacara kurban menurut Hinduisme seperti dikatakan dibawah ini.

Dalam upacara kurban dalam Hinduisme, seperti disampaikan Mariasusai Dhavamony (1973) dalam bukunya Phenomenology of Religion (Terjemahan

Kelompok studi agama Driyarkara,1995 ) bahwa tindakan religius pada hakikatnya adalah pengorbanan yang merupakan suatu tindakan penghormatan kepada dewa-dewa dalam peribadatan. Upacara kurban berupa persembahan hadiah dengan maksud untuk memproleh keuntungan –keuntungan dari Tuhan, seperti kemakmuran, kesehatan,panjang umur, ternak, keturunan laki-laki dan lainnya. Upacara kurban bukan saja persembahan , tetapi juga suatu penyucian, suatu perpindahan dari profan ke yang kudus (yang Suci atau sakral).

Melalui kurban dibangun komunikasi antara yang kudus dengan yang profan, Iman adalah pengantara dewa-dewa dan pelaksana pengurbanan. Sisa dari persembahan diambil dan dimakan oleh yang melakukan pengorbanan, ini mencerminkan sebuah tindakan religius yang dimaknai, mengambil bagian dari kehidupan para dewa, makanan itu bersifat ilahi, sebagaimana dikatakan berulang- ulang dalam kitab Brahmana. Susu, mentega, gandum dan beras merupakan persembahan biasa. Dalam upacara kurban binatang biasanya dipersembahkan kambing, namun bisa juga yang lain. Soma adalah tanaman yang memabukan, jika dipersembahkan dan sisa dimakan diyakini tidak bisa mati, berati turut mengambil bagian dalam kodrat ilahi para dewa.

Dalam upacara domestik dan umum biasa dipesembahkan hasil bumi sederhana, bunga-bunga, dupa sayur –mayur, dan buah buahan. Rangkaian upacara dilakukan dengan menyalakan api, melemparkan beberapa butir beras yang direndam dalam minyak mentehga sambil mengucakan mantra-mantra. Upacara kurban Kuda (ashvamedha) adalah bentuk pengorbanan yang paling meriah dan utama, dipersembahkan kepada Sang Dewa pencipta yaitu Prajapati. Upacara ini dimaksudkan sebagai suatu penghormatan kepada para dewa-dewa yang funsinya untuk membangun komunikasi dengan dunia ilahi, yang dimintai tolong untuk menjamin kesejatraan umum atau beberapa manfaat khusus seperti, memohon kemurahan hati para dewa , untuk tidak mengutuk, berhenti melakukan hal yang merugikan . Hakikat upacara kurban dijelaskan sebagai penyerahan diri sepenuh hati dari seorang mahluk kepada dewa , disertai iman dan kepercayaan akan kekuasaan ilahi. Secara lebih dalam arti dan hakikat upacara kurban sebagai sistem rumit, hubungan dunia manusia sebagai mikrokosmos, dengan dunia para

dewa sebagai penerima kurban sebagai makrokosmos, yang diyakini oleh para iman akan menghasilkan suatu keteraturan kosmis, menjamin berlangsungnya keteraturan fungsi kosmis dan upacara – upacara religius , karena keteraturan manusia, etika dan tingkah laku sosial bergantung pada tata kosmis. (Dhavamony, : 209-210 )

Disamping pendekatan hakikat seperti disebutkan diatas, pendekatan lain seperti pendekatan filsafat tantra dapat digunakan. Melalui pendekatan tantra diuraikan bahwa antara alam dengan isinya termasuk manusia adalah berada dalam sumber yang suci yaitu Dewa sang pencipta yang juga disebut dengan maha sakti. Hubungan isi alam dan manusia dengan penciptanya adalah hubungan penyembah dan yang disembah yaitu yang disebut Dewa sebagai Sadguna brahman. Di alam ini manusia bersenang senang, bisa menikmati makanan, minuman, dan juga hubungan seks dalam suatu kesadaran tinggi . Hal ini dapat dilihat dari kutipan Heinrich Zimer dalam bukunya Philosophy of India (Sejaraf Filsafat India) , ... “ Dunia ini adalah sebuah rumah kebahagiaan besar, disini aku dapat makan, disini aku minum dan bersuka ria “ artha (kemakmuran, kama (nafsu indrawi) , dharma (ritual-ritual religius dan moral dalam kehidupan sehari hari dengan menerima semua beban kewajiban) dan moksa (pelepasan dari semuanya) adalah satu.

Selanjutnya dalam Tantrisme, sebagai sebuah wacana, menegaskan kesucian dan kemurnian segalanya; oleh karenanya, lima larangan (lima M demikian mereka menyebutnya) merupakan bahan makanan sakramen dalam ritus ritus tantric tertentu : anggur (madya), daging (mamsa), ikan (mattsya), butir-butir padi yang dibakar (mudra), dan hubungan seks (maithuna). ( Zimmer, 2003:550). Makan terhadap lima unsur - unsur tersebut berati melanggar larangan, melanggar larangan itu berarti dosa. Untuk menghidari dosa maka dilakukan persembahan unsur tersebut. Menikmati berlebihan dilarang, sebab menimbulkan efek tidak baik bagi kehidupan manusia, sehingga ada ukuran keseimbangan.

Karena manusia menikmati makan minum tersebut maka manusia berkewajiban menjaga, keharmonisan, kesucian, alam ini sebagai tempat manusia hidup. Untuk itu manusia wajib mempersembahkan apa yang dinikmati. Ketika

menikmatan makanan dari butir butir padi yang dibakar merupakan simbol kehidupan ( pertiwi), minuman anggur (madya) sebagai simbol dari teja (panas) daya imajinasi, daging sebagai simbol kekuatan dan tenaga (bayu), ikan disimbolkan sebuah lautan (apah), hubungan sek dalam kesadaran tertinggi sebagai simbol ether (akasa). Ketika itu dinikmati oleh manusia menjadikan mereka memiliki daya dan kekuatan hidup yang disimbolkan sebagai kekuatan sek sebagai simbol Lingga. Sedangkan pertiwi yaitu alam semesta ini sebagai simbol Yoni. Dalam setiap ritual - ritual tantrik menjadikan hal tersebut butir- butir padi, daging, ikan , air, kesadaran tertinggi sebagai komponen ritual sekaligus simbol dalam setiap peribadatan tantrik klasik.

Dalam Panca Balikrama dengan menggunakan pendekatan tantrik beberapa komponen upakara menggunakan unsur - unsur tersebut, sesungguhnya sebagai esisiensi persembahan kepada bhuta sebagai wujud persembahan untuk pembersihan disebut Bhutasuddhi atau pembersihan (suddhi), lima unsur penyusun tubuh (bhuta ) (Zimmer, 2003: 561). Berdasarkan pendekatan tersebut sesungguhnya tawur Panca Balikrama adalah bentuk persembahan untuk penyucian alam (bhuwana agung dengan unsur panca mahabhutanya) dan badan (bhuwana alit), menjadi harmonisasi suatu kehidupan. Lebih lanjut, jika Panca Balikrama yang merupakan sebuah yadnya dapat dipahami melalui pendekatan hakikat pengertian fungsi ,tujuan dan maknanya .

Sudarsana (2009) mengupas pengertian Panca Balikrama dari kosa kata, yaitu Panca berarti lima, kata Bali adalah wali sebagai korban suci (wewalian), karma adalah tujuan keyakinan atau kehidupan. Berdasarkan atas kosa kata tersebut maka pengertian Panca Balikrama dimaksudkan adalah Upacara korban suci yang memiliki fungsi untuk menetralisir dan memelihara keharmonisan kekuatan Pancamahabhuta baik di bhuwana agung dan bhuwana alit agar keseimbangannya dapat selalu dijaga dan dilestarikan untuk dapat tercapainya ketentraman, kesejatraan didalam kehidupan masyarakat.

Dalam hubungan dengan korban, bila Panca Balikrama dilihat sebagai korban suci, dikaji dari pendekatan teori Evans-Pritchard dalam penelitian Neur

Religion (1956) ( dalam Brian Morris, 244-248) yang berlatar belakang perzinahan dan pembunuhan memaparkan bahwa :

“ pengorbanan pada dasarnya merupakan ritus kesusahaan dan dilakukan untuk memenuhi tuntutan roh. Yang dilakukan demi kepentingan kolektif, khususnya sebagai bagian dari ritus perjalanan, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Pada dasarnya pengorbanan lebih berkaitan dengan dengan krisis moral dan sepritual dari pada pristiwa natural terkecuali jika peristiwa peristiwa tersebut mengintervensi kesejatraan manusia. Persembahan binatang kepada roh yang diidealnya berupa lembu jantan, penstabihan binatang, doa yang dilakukan oleh pemimpin upacara sambil memegang tombak, dan mengemukakan tujuan pengorbanan dan persoalan- persoalan yang berkaitan dengannya, terakhir dibunuh dan dikorbankannya objek pengorbanan., dia menulis bahwa kehidupan dan darah binatang korban oleh agama Neur (agama bumi) diyakini milik roh, sementara daging binatang korban itu diambil oleh mereka yang turut serta dalam upacara pengorbanan. Ritual dalam bentuk pengorbanan adalah sebuah bentuk penebusan dosa atas perbuatan .

Panca Balikrama dilihat dari bentuk pengorbanan, tetapi bukan menyamakan dasar latar belakang dari perzinahan dan pembunuhan dalam penelitian agama Neur (agama bumi) evans Pritchard, tetapi dilihat dari bentuk makna dari perngorbanan tersebut, yang beorientasi pada pengorbanan dikaitkan dengan roh dan kematian dalam suatu ritual, menunjukan kemiripan sehingga digunakan sebagai bentuk pendekatan kajian Panca Balikrama secara filosofis.

Panca Balikrama sebagai korban suci menggunakan binatang sebagai korban suci yang dibunuh, darah dan dagingnya dipersembahkan kepada bhuta, dagingnya dikonsumsi oleh mereka yang turut dalam ritual itu, dapat diyakini sebagai ritual yang berkenaan dengan ritus kolektif, dan ritual untuk suatu bencana yang menimbulkan banyak kematian manusia, binatang dan kerusakan alam. Mungkin dahulu kala telah terjadi krisis moral dan sepiritual, yang menyebabkan terjadinya pristiwa - pristiwa alam yang mengintervensi kesejahtraan manusia, sehingga ritual semacam ini dilaksanakan di Pura Besakih.

Bentuk-bentuk upacara (ritual) seperti ini diterima oleh peradaban pada masa itu, ketika suku Neur dari Sudan melaksanakan ritual tersebut sekitar abad ke 19. Peristiwa-peristiwa dan kejadian kejadian alam terjadi seperti bencana alam tahun 1917, gunung agung meletus tahun 1963, dan pristiwa yang terjadi di Bali menyebabkan banyak orang meninggal , seperti G.30 S tahun 1965 misalnya sebagai alasan dilakukan upacara penyucian alam Bali melalui pelaksanaan Panca Balikrama tahun 1978 dan Ekadasarudra tahun 1979, seterusnya dilaksanakan secara berkesinambungan.

Selanjutnya Panca Balikrama dikaji dari pedekatan makna bhuta dan dewa seperti apa yang dikemukan Agastia (2009)

Bahwa : “ Apa yang disebut Panca Mahayajna sebagaimana tertulis dalam kitab- kitab suci Hindu atau Weda (lih. Die Religionen Indies I, Veda und alterer Hinduismus, Kohlhamer 1960) terdiri atas Dewa yajna, Bali yajna (perhatian istilah ini, pen), pitra yajna, brahma yajna dan manusya yajna. Yang menarik diperhatian adalah baliyajna, tidak lain yang dimaksudkan adalah apa yang disebut sebagai bhutayajna, persembahan kepada panca mahabhuta (pretiwi, apah, teja, bayu, akasa). “ Selanjutnya didalam kitab Satapata Brahmana (II, 5,6,1) menyebutkan bahwa panca mahayajna terdiri atas : bhutayajna, manusyayajna, pitryajna, devayajna dan brahmayajna. Sloka tentang bhutayajna dalam Satapatha Brahmana sbb : ahar-ahar bhutebyo balim haret, tathaitam bhuta yajnam samapnoti (persembahan kepada bhuta berupa upakara Bali disebut bhutayajna).

Dalam kitab Manawa Dharmasastra ternyata ada juga menguraikan tentang pancayajna yaitu pada sloka III, 68, 69, 70, 71 dan 72. Kita petik sloka 70 yang berkait dengan tujuan catatan ini : adyapanam brahma yajnah, pitryajnah tu tarpanam, homo daivo balir bhauto, nryajno ‘tithi pujanam. (Mengejar dan belajar adalah yadnya bagi Brahmana, upacara menghaturkan tarpana adalah yadnya untuk para leluhur, upacara dengan mempersembahkan minyak dan susu adalah yadnya kepada para dewa, upacara bali adalah yadnya kepada bhuta, dan penerimaan tamu dengan ramah tamah adalah yadnya untuk manusia). Kalimat- kalimat singkat dalam sloka tersebut telah menunjukan bahwa persembahan kepada bhuta disebut bali (balir bhauto).

Sloka lain dalam kitab Manawa Dharmasatra lebih memberikan kejalasan : svadhyayenar-cayetarsin, homair devan yatjavidhi, pitrn chraddhena nrn annair, bhutani balikrama (III, 81). (Hendaknya ia sembahyang sesuai dengan paraturan, kepada pandita dengan mempelajari Weda, kepada Dewa dengan persembahan yang dibakar, kepada para leluhur dengan sraddha, kepada bhuta dengan upakara bali (bali karmana).

Rujukan rujukan sebagai petikan tersebut di atas sudah tentu diharapkan dapat meneguhkan pengertian tentang pelaksanaan yajna yang sedang dilakukan, yang memang ada landasannya dalam kitab-kitab suci Hindu. Panca Balikrama merupakan persembahan kepada bhuta yang tak lain adalah unsur-unsur yang membangun alam semesta, dari lima unsur yang disebut panca mahabhuta terdiri atas pretiwi (tanah) apah (air) teja (sinar) wayu (angin) dan akasa (ether), yang dibentuk oleh lima unsur yang lebih halus disebutkan panca tanmatra (gandha, rasa, sparsa, rupa, dan sabda). Unsur-unsur tersebutlah yang membangun, baik bhuwana alit maupun bhuwana agung, atau yang membangun segala bentuk material di alam raya ini. Kepada unsur-unsur tersebut dipersembahkan upakara bali, berupa caru atau tawur. Selanjutnya Vasudewa S.Agraval (dalam Agastia)

Diuraikan, bahwa dalam tulisannya tentang “Dewa and Bhuta” Vasudewa S. Agraval menyatakan “Deva is the divine principle and Bhuta is matter. Siva is called Bhutapati, the Lord of Matter or the five gross material elements. Deva is light and Bhuta is darkness. These two opposite principles are locked in eternal conflict which in Sanskirt is known as Daivasuram. The Devas represent truth, death and darkness…. In the body of Siva the devas and the asuras become reconciled and their coexistence is repressed as the rhythmic dance of the Great God. In the scheme of the creator darkness also have a place as inetitable as light. This is the basic duality of the cosmos”. (Agastia , 2008 : 9)

Lima unsur Bhuta sebagai perwujudan dari Acetana (pradana) mendapat perhatian penting dalam pemikiran Hindu. Alam semesta (bhuwana agung) dibentuk oleh lima unsur yang disebut Panca Mahabhuta, terdiri atas pretiwi

(unsur tanah), apah (unsur air), teja (unsur api), bayu (unsur angin), dan akasa (ether). Panca Maha Bhuta dibentuk oleh unsur-unsur yang sangat halus yaitu Panca Tan Matra, terdiri atas gandha (unsure bau), rasa (rasa), sparsa (sinar), rupa (rupa) dan sabda (suara). Semua unsur tersebut berstruktur, bersistem dan harmoni. Namun dalam perjalanan waktu, termasuk karena tindakan dan perbuatan manusia, unsur-unsur tersebut boleh jadi menjadi disharmoni. Oleh karena itu dalam setiap kurun waktu tertentu diadakan upacara mengharmoniskan unsur-unsur yang membangun alam semesta, diadakan upacara Bhutayajna. Harapan yang ingin dicapai adalah Bhuta-hita atau Jagat-hita, Sarwaprani hita, keharmonisan yang akan memberikan kerahayuan hidup bagi manusia dan mahluk lainnya.

Bhuta-yajna diadakan pada tempat dan waktu terpilih (pangaladesa, subhadiwasa), seperti halnya Ekadasa Rudra-Eka Bhuwana diadakan pada tilem Cetra (tilem kasanga), ketika matahari berada di atas khatulistiwa, dan ketika bhumi, bulan dan matahari dalam posisi garis lurus. Posisi Bhuwana agung pada saat ini (terlebih dalam saat sandhya-kala) dalam posisi sedemikian rupa, posisi yang tepat untuk mengadakan bhuta yadnya. Penyelenggaraannya dilakukan di sebuah tempat yang secara simbolis dianggap sebagai madhyanikang bhuwana (tengahnya dunia), di sebuah natar (lebhuh,pempatan) di mana pretiwi (bhumi, tanah) akasa (langit), bertemu.

Bhuta-yajna tidak dapat dilepaskan dengan Dewa-yajna. Setelah bhuta- yajna dilaksanakanlah dewa-yadnya, dan saat yang dipilih adalah ketika bulan sempurna di langit (purnama). Purnama kadasa (juga Purnama Kartika) adalah purnama yang dianggap sebagai paling “sempurna”, yaitu ketika bulan purnama yang terdekat dengan garis khatulistiwa. Inilah subhadiwasa untuk melaksanakan dewa-yajna. Oleh karena itu upacara Ngusaba-Kadasa yang disebut juga Bhatara Turun Kabeh diselenggarakan pada saat itu.

Manusia yang hidup “di antara” Bhuta dan Dewa, dengan melaksanakan Bhuta-Yajna dan Dewa-Yajna diharapkan menyadari dirinya yang pada hakikatnya adalah “Cahaya Tuhan” yang berasal dan akan kembali kepada Sang Maha Cahaya. Bukan sebaliknya “jatuh” ke dalam kegelapan (bhuta). Tetapi

bhuta perlu dijaga keharmonisannya (somya) dengan berbagai upaya sebagaimana diajarkan dalam ajaran agama. Bhuta-yajna juga diselenggarakan karena manusia menjadikan bhuta (juga tanmatra) sebagai objek indrianya. Obyek indria diupayakan dalam keadaan bhuta-hita, dengan demikian kerahayuan hidup akan dapat dicapai. Setelah Bhuta menjadi somya, maka Hyang Bhutapati yang juga adalah Hyang Pasupati, Hyang Jagatpati disthanakan lalu dipuja. Dengan demikian Panca Bali Krama disamping sebagai bhuta-yajna, pada hakekatnya adalah juga Dewa-yajna, pemujaaan kepada Tuhan Mahakuasa.

Tuhan Yang Maha-kuasa menciptakan dan menguasai seluruh ciptaanya, dasar berada dimana - mana. Dalam melihat Panca Balikrama dari pendekatan kekuatan Tuhan Mahakuasa yang berada dimana mana memancar ke seluruh penjuru mata angin, maka pada upacara Panca Balikrama memuja kekuatan Tuhan Maha Esa yang menguasai penjuru arah mata angin. Kekuatan Tuhan Yang Mahakuasa dibayangkan pertama-tama memancarkan ke empat penjuru, selanjutnya ke delapan penjuru, akhirnya ke seluruh penjuru. Pada upacara Panca Balikrama, Tuhan Yang Maha Kuasa dipuja dengan kekuatanNya yang memancar ke empat penjuru. Dalam hal ini beliau disebut sebagai Sadasiwa yang bersthana di atas Padmasana (singgasana tahta teratai), dengan empat kemahakuasaanNya disebut Cadusakti.

Dalam kitab Wrehaspati-tattwa disurat sbb : Savyaparah Sivah Suryah caittatattvah/sapadah saguno vyapi arupatvat pracaryate //utpadako na sadhakah tat tasyanugrahaparah/virocanakaro nityah sarvajna sarvkrdvibhuh//” Sawyaparah Bhatara Sadasiwa, hana padmasana pinaka palungguhannira, aparan ikang padmasana ngaranya,sakti nira, sakti ngaranya wibhusakti, prabhusakti,jnanasakti, kriyasakti, nahan yang cadusakti”.

(Tuhan Yang Mahakuasa disebut sebagai Sadasiwa menyerap, membentang keempat penjuru alam semesta; adalah Padmasana sebagai singgasana Beliau; apa yang disebut padmasana (singgasana teratai) tersebut : Saktinya (Kemahakuasaannya) yang terdiri atas Wibhu-Sakti (Maha Ada), Prabhu-sakti (Maha-Kuasa), Jnana-Sakti (Maha-Tahu) dan

Kriya Sakti (Maha-Pencipta). Demikian yang disebut Cadu-Sakti atau Catur-Sakti, Empat Kemaha-kuasaan Hyang Siwa”.

Cadu Sakti tersebut membentang ke empat penjuru alam semesta. Secara antrophomorfis ke empat kemahakuasaan yang maha gaib itu diwujudkan sebagai empat dewa yang menjadi penguasa empat penjuru alam semesta. Dalam kitab

Dalam dokumen 349204647 Buku Panca Balikrama pdf (Halaman 189-200)