• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Landasarn Teori

2.2.4 Definisi Kesantunan Berbahasa

Menurut Rahardi (2005: 35), penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji di dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Fraser melalui Rahardi (2005: 38-40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur.

1. Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di dalam masyarakat bahasa itu. Santun dalam bertutur ini disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette).

2. Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (face-saving). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama (cooperative principle). Prinsip kesantunan ini, terutama mengatur tujuan-tujuan relasional yang berkaitan erat dengan upaya pengurangan friksi dalam interaksi personal antarmanusia pada masyarakat bahasa tertentu.

3. Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). Jadi, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa.

4. Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), (honorific), dan gaya bicara (style of speaking) (Rahardi, 2005: 40).

Menurut Chaer (2010: 10), secara singkat dan umum, ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita. Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, dengan singkat bisa dikatakan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Sedangkan menurut Brown dan Levinson (1978:11) menyatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar antara nosi muka atau wajah (face), yakni “Citra diri” yang bersifat umum yang selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Muka ini meliputi dua aspek yang berkaitan yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar dia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Adapun yang dimaksud dengan muka positif

adalah mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini diakui orang lain sebagai sutau hal yang baik, yang menyenangkan, dan patut dihargai. Brown dan Levinson menyatakan bahwa konsep muka ini bersifat universal.

2.2.5 Penanda Kesantunan Menurut Leech

Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesai si penutur itu santun atau tidak. Wijana (1996: 55), mengungkapkan bahwa sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (others).

Diri sendiri adalah penutur dan orang lain adalah lawan tutur.

Leech (1993) memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung (indirect) dalam mengungkapkan maksudnya. Penutur biasanya menggunakan implikatur.

Implikatur adalah apa yang tersirat dalam suatu ujaran. Jika dibedakan “apa yang dikatakan” dan “apa yang dikomunikasikan”, implikatur termasuk yang dikomunikasian. Namun, meskipun tidak harus menggunakan implikatur, tuturan dapat dikatakan santun, jika ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Maksim kebijaksanaan (tact maxim)

Dalam maksim kebijaksanaan ini, (Leech, 1993: 2016) mengamanatkan bahwa maksim kebijaksanaan haruslah membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Dalam bertutur,

penutur harus memberikan tuturan yang menyenangkan hati mitra tutur. Dengan kata lain, apa yang dikatakan oleh penutur harus memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Pendapat lain dikemukakan oleh Kunjono, dkk (2016: 59) yang mengatakan bahwa di dalam maksim kebijaksanaan ini menjelaskan bahwa dalam bertutur yang santun setiap peserta pertuturan haruslah selalu berusaha meminimalkan kerugian kepada orang lain, dan memaksimalkan keuntungan kepada orang lain pula. Dimensi yang ditujukan dalam maksim kebijaksanna ini adalah dimensi orang lain atau others bukan dimensi diri sendiri self. Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Pranowo (2009: 103), menyatakan bahwa maksim kebijaksanaan merupakan tuturan yang dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa, dalam bertutur penutur harus mengatakan sesuatu yang menyenangkan hati mitra tutur, dan membuat mitra tutur merasa senang, dengan kata lain, tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur harus memberikan keuntungan bagi mitra tutur itu sendiri. Maksim ini dilaksanakan dengan bentuk tuturan impositif dan komisif. Tuturan impositif adalah bentuk tuturan yang digunakan untuk menyatakan perintah. Sedangkan tuturan komisif adalah tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji, penawaran, (Leech, 1993:206). Berikut contoh tuturan yang mengandung maksim kebijaksanaan:

Tuan rumah : “Silahkan makan dulu nak! Kami semua sudah mendahuluimu”.

Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu”

Konteks : Dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.

dalam tuturan di atas, tampak jelas bahwa apa yang dituturkan tuan rumah sangat memaksimalkan keuntungan bagi tamu. Penutur (tuan rumah) dengan baik hati menawarkan makanan kepada mitra tutur (tamu). Orang-orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya. Bahkan, sering kali ditemukan minuman dan makanan yang disajikan kepada tamu diupayakan agar layak diterima dan dinikmati oleh tamu tersebut (Rahardi, 2005: 61).

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanan merupakan maksim yang mengharuskan penutur untuk meminimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Maksim ini dituturkan dengan tuturan impositif dan komisif (Leech, 1993:

209). Jika maksim kebijasanaan berpusat pada orang lain, maka maksim kedermawanan merupakan kebalikannya, yakni berpusat pada diri sendiri. Dalam maksim ini, penutur harus berusaha membuat dirinya melakukan segala sesuatu yang dikatakan mitra tutur. Penutur harus membuat dirinya mengerjakan apa yang dikatakan mitra tutur, sekalipun apa yang dikatakan tersebut dipandang susah atau sulit dilakukan, karena hal tersebut merupakan tuntutan dari maksim ini yakni penutur harus memaksimalkan kerugian dirinya sendiri.

Pendapat lain dikemukakan oleh (Kunjono, dkk, 2016: 60) yang menyatakan bahawa, dalam maksim kedermawanan atau generosity maxim digariskan bahwa, agar tuturan seseorang dapat berciri sopan dan santun, tuturan itu harus dibuat sesederhana dan sesimpel mungkin. Orang yang menuturkannya pun harus bersikap rendah hati, tidak sebaliknya justru bersikap congkak dan

menyombongkan diri. Dengan menempatkan sosok dirinya pada posisi yang berada di bawah atau di dalam posisi yang rendah itu artinya orang tersebut bersikap baik, bersikap murah hati, dan bersikap sebagai dermawan terhadap pihak lain. Pandangan lain dikemukan oleh Pranowo (2009: 103) yang menyatakan bahwa tuturan lebih baik menimbulkan kerugian kepada penutur.

Berdasarkan pendapata ketiga ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam bertutur, penutur harus membuat dirinya rugi sebanyak mungkin yakni dengan memberikan tuturan yang bersifat membantu mitra tutur. Berikut contoh tuturan yang mengandung maksim kedermawanan.

Anak kos A : ”Mari, saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok yang kotor”.

Anak kos B : ”Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok”

Konteks : Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dngan anak yang satunya.

Di dalam tuturan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa si A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara menawarkan bantuan dengan mencucikan pakaian kotornya si B. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman dipergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005: 62) .

c. Maksim Pujian (Praise Maxim)

Maksim pujian mengharuskan penutur untuk meminimalkan kecaman terhadap orang lain, dan memaksimalkan pujian kepada orang lain tersebut

(Leech,1993:211). Pada maksim ini aspek negatifnya yang lebih penting adalah jangan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai mitra tutur. Dalam maksim ini, penutur dituntut untuk memberikan pujian kepada mitra tutur atas apa yang capainya. Maksim ini diungkapkan dengan bentuk tuturan ekspresif dan asertif. Berikut contoh tuturan yang mengandung maksim pujian.

Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”

Doesen B : “Oya, tadi aku mendengar bahasa Ingrismu jelas sekali dari sini.”

Konteks : Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.

Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berprilaku santun terhadap dosen A (Rahardi, 2005: 63).

d. Maksim Kerendahan Hati

Dalam maksim kerendahan hati, (Leech, 1993: 214) mengatakan bahwa Maksim kerendahan hati mengharuskan penutur untuk meminimalkan pujian kepada dirinya sendiri, tetapi harus mengecam diri sendiri sebanyak mungkin.

Seperti halnya dengan maksim pujian, maksim ini juga diungkapkan dengan bentuk tuturan ekspresif dan asertif. Pendapat lain dikemukakan oleh (Kunjana dkk, 2016: 62) yang mengatakan di dalam maksim kerendahan hati ditegaskan bahwa, agar dapat dikatakan santun, seseorang harus bersedia meminimalkan pujian terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya seseorang harus bersedia

memaksimalkan perendahan atau penjelekan pada dirinya sendiri. Berikut contoh dari maksim kerendahan hati sebagai berikut :

Juri : “Terimalah hadiah yang kecil ini sebagai tanda penghargaan kami”.

Pemenang : “Terima kasih atas hadiahnya”

Konteks : Penutur adalah seorang juri, dan tuturan tersebut terjadi di tempat petandingan. Tuturan merupakan tanggapan yang diberikan oleh juri berupa hadiah atas kemenangan dari salah satu peserta lomba.

Tuturan yang dituturkan oleh penutur sesuai dengan maksim kerendahan hati, karena penutur telah meminimalkan pujian kepada dirinya sendiri. Penutur telah memberikan hadiah kepada mitra tutur yang telah menang dalam pertandingan, hadiah yang diberikan penutur bisa saja merupakan hadiah yang besar, akan tetapi dalam mengungkapkannya, penutur menggunakan kalimat yang menunjukan bahwa hadiah yang diberikan tidak begitu berharga nilainya.

e. Maksim Kesepakatan

Maksim kesepakatan mengharuskan seseorang untuk memaksimalkan kesepakatan dengan orang lain dan meminimalkan ketidaksepakatan dengan orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif, Lecch (1993 : 207). Dalam maksim ini, penutur harus mengupayakan kesepakatannya dengan mitra tutur.

Sesungguhnya di antara penutur dan mitra tutur itu harus ada kesamaan upaya untuk saling memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokan.

Semakin banyak dimensi-dimensi kesesuaian atau kecocokan di antara kedua belah pihak dalam praktik bertutur, harus dikatakan bahwa maksim kesepakatan telah bersama-sama ditepati dan diupayakan demi tercapaiya kondisi kesantunan (Kunjana dkk, 2016: 63). Contoh maksim kesepakatan sebagai berikut:

Siswa A : “Ujiannya sangat sulit.”

Siswa B : “Betul, kepalaku sampai pusing.”

Konteks : Tuturan dituturkan oleh seorang siswa, dan tuturan terjadi di dalam kelas tepat setelah ujian berakhir. Tuturan merupakan tanggapan dari mitra tutur (siswa B) kepada penutur (siswa A) yang menyatakan bahwa ujiannya sangat sulit.

Jawaban (B) telah memenuhi maksim ini dengan cara memaksimalkan kesepakatan dengan (A). Mitra tutur menunjukan kesepakatannya dengan penutur dengan mengatakan bahwa ujiannya memang sulit sampai kepalanya pusing.

f. Maksim Kesimpatian (Thy Maxim)

Maksim kesimpatian mengharuskan penutur dan mitra tutur memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati diantara mereka. dalam maksim ini, penutur harus memberikan dan menunjukan rasa simpati kepada mitra tutur atas apa yang dialami mitra tutur (Leech, 1993: 2017). Maksim ini diperlukan untuk mengungkapkan kesantunan karena setiap orang perlu bersimpati terhadap prestasi serta terhadap musibah yang dialami oleh orang lain. Maksim diungkapkan menggunakan tuturan asertif dan ekspresif. Berikut contoh dalam maksim kesimpatisan:

Tuturan 1 : “Saya turut berdukacita atas meninggalnya ayahmu, kamu yang sabar yah, kita sama-sama mendoakan beliau.”

Tuturan 2 : Iya terima kasih banyak

Konteks : Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang siswa kepada temannya, dan tuturan tersebut terjadi di rumah duka. Tuturan merupakan tanggapan yang diberikan penutur terhadap musibah yang dialami oleh temannya.

Tuturan di atas telah memenuhi maksim kesimpatisan karena penutur telah memaksimalkan rasa simpati kepada mitra tutur. Contoh tuturan diatas merupakan ucapan simpati dari penutur kepada salah satu temannya yang ayahnya meninggal.

2.2.6 Fungsi Kesantunan Berbahasa

Fungsi kasantunan berbahasa tidak semata-mata dimaksudkan dan digunakan untuk menyamapaikan infromasi; namun juga digunakan untuk membangun dan membina relasi antarwarga masyarakat pemakai bahasa tersebut (Rahardi, 2005: 7). Fungsi utama tuturan jika dilihat dari pihak penutur adalah fungsi menyatakan (deklaratif), fungsi menanyakan (interogatif), fungsi menyuruh (imperatif), fungsi eksklamatif, dan fungsi empatik (Rahardi, 2005: 74-86).

Berikut penjelasannya:

a. Fungsi menyatakan (deklaratif)

Fungsi menyatakan di dalam kajian gramatika dilakukan dalam bentuk kalimat deklaratif, yakni kalimat yang menyampaikan berita atau keadaan di sekeliling penutur. Dengan tuturan dalam kalimat deklaratif ini, penutur tidak mengharapkan adanya komentar dari lawan tutur; juga memang memang tidak ada kewajiban lawan tutur untuk mengomentarinya. Akan tetapi, bukan berarti lawan tutur tidak boleh mengomentarinya. Kalimat deklaratif dalam bahasa Indonesia dapat merupakan tuturan langsung dan tuturan tidak langsung.

Contoh:

A: Ibu menyahut, “Si Atik akan segera pulang dari jepang bulan depan.”

B: “Ibu menyahut dengan mengatakan bahwa Si Atik akan segera pulang dari Jepang bulan depan.”

Konteks: Dituturkan oleh ibu Atik kepada suaminya ketika mereka bersama-sama duduk dengan santai di serambi rumah mereka sambil membaca koran.

Baik tuturan (A) mapun (B) kedunya mengandung maksud menyatakan atau memberitahukan seseuatu. Dalam hal ini, informasi bahwa seseorang yang

bernama Atik itu akan pulang dari negara Jepang. Dengan demikian, jelas bahwa kedua kalimat itu merupakan kalimat deklaratif (Rahardi, 2005: 74-75).

b. Fungsi menanyakan (interogatif)

Tuturan dengan fungsi menanyakan dilakukan dalam bentuk kalimat bermodus interogatif. Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengandung maksud menanyakan sesuatu kepada si mitra tutur. Dengan perkataan lain, apabila seseorang penutur bermaksud mengetahui jawaban terhadap suatu hal atau suatu keadaan, penutur akan bertutur dengan menggunakan kalimat interogatif kepada si mitra tutur. Dalam bahasa Indonesia, terdapat paling tidak lima macam cara untuk mewujudkan tuturan interogatif. Kelima macam cara itu sebagai berikut: (1) dengan membalik urutan kalimat, (2) dengan menggunakan kata apa atau apakah, (3) dengan menggunakan kata bukan atau tidak, (4) dengan mengubah intonasi kalimat menjadi intonasi tanya, dan (5) dengan menggunakan kata-kata tanya tertentu. Kalimat interogatif dapat dibedakan menjadi dua, yakni (1) kalimat interogatif total dan (2) kalimat interogatif parsial. Kalimat interogatif total dimaksudkan untuk menanyakan secara keseluruhan informasi yang terdapat dalam pertanyaan. Lazimnya, kalimat interogatif total itu menanyakan kesetujuan dan ketidaksetujuan mitra tutur. Dengan kata lain, kalimat interogatif total menuntut dua kemungkinan tanggapan, yakni tanggapan mengiyakan (iya atau sudah) dan tanggapan menidakkan (tidak, bukan, atau belum). Adapun kalimat interogatif parsial adalah kalimat interogatif yang dimaksudkan untuk menanyakan sebagain informasi yang terkandung di dalam pertanyaan.

Contoh :

A: “Apakah surat permohonan bantuan ke negeri Belanda sudah diselesaikan?”

B: “Siapakah yang menyelesaikan surat permohonan bantuan ke negeri Belanda?”

Konteks: Kedua tuturan itu ditutrkan oleh seorang pimpinan pimpinan kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang pimpinan.

Tuturan (A) dianggap sebagai kalimat interogatif total karena tuturan itu tidak mengharapkan jawaban yang hanya menanyakan sebagai dari kalimat interogatif itu, melainkan menanyakan isi tuturan secara keselurahan. Sebaliknya, tuturan (B) mengharapkan jawaban yang hanya merupakan bagian dari kalimat interogatif. Oleh karena itu, kalimat tersebut disebut kalimat interogatif parsial (Rahardi, 2005: 76-78).

c. Fungsi memerintah (imperatif)

Tuturan dengan fungsi memerintah dilakukan dalam kalimat bermodus imperatif. Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan suatu sebagaimana diinginkan penutur. Kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia dapat berkisar antara suruhan yang sangat keras atau kasar sampai dengan permohonan yang sangat halus atau santun. kalimat imperatif merupakan suruhan untuk melakukan sesuatu sampai larangan untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia itu kompleks dan banyak variasinya. Secara singkat, menjadi lima macam, yakni (1) kalimat imperatif biasa, (2) kalimat imperatif permintaan, (3) kalimat imperatif pemberian izin, (4) kalimat imperatif ajakan, dan (5) kalimat imperatif suruhan.

Contoh:

A: Monik tolong ambil botol minumku.”

Konteks: Dituturkan oleh teman Monik pada saat pada saat ia mau minum, tetapi botol airnya tidak berada didekatnya

Dalam tuturan (A) menunjukan bahwa penutur meminta mitra tutur untuk mengambil botol minumnya yang pada saat itu tidak berada di dekatnya. Tuturan tersebut mengandung maksud meminta.

d. Fungsi Eksklamatif

Kalimat eksklamatif adalah kalimat yang dimaksudkan untuk menyatakan rasa kagum. Karena kalimat eksklamatif menggambarkan suatu keadaan yang mengundang kekaguman. Kalimat ini disusun dari kalimat deklaratif yang berpredikat adjektiva. Ketentuan-ketentuan berikut dapat digunakan untuk membentuk tuturan eksklamatif yakni, (1) susunan kalimat dibuat invensi, (2) pertikel-nya melekat pada predikat yang telah diletekan di depan subjek, (3) kata seru alangkah dan bukan main diletakan di posisi terdepan.

Contoh:

A: “Wah... Bukan main sopannya kedua penjaga makam Ibu Negara yang sebelah utara itu.”

Konteks: Dituturkan oleh seorang pengunjung yang sudag berusia lanjut di makam Ibu Negara. Tuturan itu disampaikan pada saat ia bersama dengan temannya beranjak meninggalkan kompleks makam.

Dalam tuturan (A), penutur mengutarakan rasa kagunya terhadap kedua penjaga makam Ibu Negara yang sangat sopan. Tuturan di atas menunjukan bahwa penutur mengutarakan rasa kekagumannya kepada keadaan di sekitar.

e. Fungsi Empatik

Kalimat empatik adalah kalimat yang di dalamnya terkandung maksud memberikan penekanan khusus. Dalam bahasa Indonesia, penekanan khusus itu biasanya dikenakan pada bagian subjek kalimat. Penekanan khusus itu dapat dilakukan dengan cara menambahkan informasi lebih lanjut tentang subjek itu.

Dengan demikian, terdapat dua ketentuan pokok yang dapat digunakan untuk membentuk kalimat empatif dalam bahasa Indonesia, yakni (1) menambahkan partikel-kah pada subjek dan (2) menambahkan kata sambung yang di belakang subjek.

Contoh:

A: “Para pengurus kopma-lah yang pertama kali harus mempertanggungjawabkan ketidakberesan uang dan barang dagangan itu”

Konteks: Dituturkan oleh seorang dosen kepada rekannya yang juga seorang dosen pada sebuah kampus. Tuturan itu muncul karena pada saat itu sedang ada kasus ketidakberesan keungan koperasi mahasiswa di kampus itu.

Dalam tuturan (A) merupakan tuturan yang mengandung kalimat empatik.

Tuturan tersebut menunjukan bahawa penutur telaj memberikan penekanan pada kata kopma yakni menambahkan partike kah.

2.3 Kerangka Berpikir

Dalam kerangka berpikir, peneliti akan memberikan gambaran mengenai apa yang peneliti lakukan. Penelitian ini dilatarbelakngi masalah-masalah siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta yang kurang mampu menggunakan bahasa secara santun pada saat berkomunikasi khususnya dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia. Peneliti bisa merekam suara, membuat video ataupun mencatat hasil pembicaraan siswa-siswi yang dianggap santun serta

fungsi tuturan santun selama proses pembelajaran berlangsung, antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Berdasarkan judul yang diambil oleh peneliti, pengetahuan ataupun teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah terori pragmatik, konteks, kesantunan, prinsip kesantunan dan fungsi kesantunan dalam berkomunkasi. Berikut ini digambarkan hasil kerangka berpikir:

2.1 Kerangka Berpikir

ANALISIS PENANDA DAN FUNGSI KESANTUNAN

BERBAHASA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI SISWA-SISWI KELAS XI IPS SMA PANGUDI LUHUR

YOGYAKARTA

KAJIAN PRAGMATIK

FUNGSI KESANTUNAN BERBAHASA MENURUT

KUNJANA RAHARDI PENANDA

KESANTUNAN LEECH

KESANTUNAN BERBAHASA

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam metode penelitian ini akan dibahas mengenai enam hal diantaranya (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data penelitian, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data, (6) triangulasi data. Keenam hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian penanda dan fungsi kesantunan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta ini, menggunakan jenis penelitian yaitu metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskpriptif yaitu metode paparan hasil temuan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang diperoleh berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan. Menurut Moleong (2007: 6), penelitian kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya prilaku, persepsi, tindakan, dll secara holistik dan dengan cara deskrispi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pendekatan deskriptif kualitatif yang dimaksud adalah penelitian yang akan memberikan berbagai gambaran mengenai penanda kesantunan dan ketidasantunan berbahasa serta fungsi kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif karena data yang digunakan sebagai objek dalam

32

penelitian yaitu berupa tuturan dari siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan