• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang Relevan

Untuk mendukung proses pelaksanaa penelitian yang dilakukan, terdapat tiga penelitian yang relevan dengan dengan penelitian ini yakni penelitian yang dilakukan oleh Fendi Eko Prabowo yang berjudul Kesantunan Berbahasa Dalam Kegiatan Diskusi Kelas Mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014. Penelitian ini merupakan penelitian deskripsi kualitatif dalam penelitian ini Fendi Eko Prabowo mendeskripsikan tentang kesantunan berbahasa dan penanda dari kesantunan berbahasa dalam kegiatan diskusi kelas mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014.

Penelitian relevan yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Oktaviana Kurniawati yang berjudul Analisis Pemanfaatan Prinsip Kesantunan Berbahasa pada Kegaiatan Diskusi Kelas Siswa Kelas XI SMAN 1 Sleman.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskripsi kualitatif. Oktaviana

7

Kurniawati mendeskripsikan pemakaian prinsip kesantunan berbahasa dan pemanfaatannya dalam kegiatan diskusi siswa kelas XI SMAN 1 Sleman.

Penelitian relevan yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Puspa Rinda Silalahi yang berjudul Analisis Kesantunan Berbahasa Siswa-Siswi di Lingkungan Sekolah SMPN 5 Binjai. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskripsi kualitatif. Dalam penelitian ini, Puspa mendeskripsikan semua tuturan yang terjadi di lingkungan sekolah baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Dari ketiga penelitian yang relevan di atas, terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian peneliti. Adapun persamaan penelitian relavan dengan penelitian peneliti terletak pada pengkajian kesantunan berbahasa, sedangkan perbedaanya terletak pada objek penelitiannya. Penelitian dari Fendi Eko Prabowo ini bersumber pada tuturan mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014, Penelitian dari Oktaviana bersumber pada tuturan siswa kelas XI SMAN 1 Sleman, Penelitian Puspa bersumber pada tuturan siswa-siswi SMPN 5 Binjai baik di dalam kelas maupun diluar kelas, sedangkan penelitian peneliti bersumber pada tuturan siswa-siswi SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Dari uraian diatas membuktikan bahwa penelitian ini belum pernah dikaji dan penelitian ini layak untuk diangkat sebagai penelitian.

2.2 Landasan Teori

Dalam landasan teori ini berisi tentang teori yang digunakan peneliti sebagai acuan dalam menganalisis data. Teori yang digunakan oleh peneliti yakni, teori pragmatik, konteks, kesantunan berbahasa, penanda kesantunan berbahasa menurut Leech (1993) serta fungsi kesantunan berbahasa menurut Rahardi (2005)

2.2.1 Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampikan oleh penutur dan ditafisirkan oleh mitra tutur (pendengar), atau dapat dikatakan bahwa pragmatik merupakan studi tentang maksud penutur. Menurut Parker (dalam Rahardi, 2005:

48-49), menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud dengan hal itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Studi tentang pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakangi dan mewadahinya. Definisi yang disampaikan parker itu selengkapnya dapat dilihat pada kutipan berikut : “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate”(Parker, 19986: 11), yang berarti pragmatik berbeda dari tata bahasa, yang merupakan studi struktur bahasa internal. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Tarigan (dalam Rahardi dkk, 2016: 18) menyatakan bahwa telaah umum mengenai bagaimana konteks memengaruhi cara kita menafsirkan kalimat disebut pragmatik. Teori tindak ujar adalah bagian dari pragmatik, dan pragmatik sendiri merupakan bagian dari performansi linguistik. Pengetahuan mengenai dunia adalah bagian dari konteks, dan dengan demikian pragmatik mencakup bagaimana cara pemakai bahasa menerapkan pengetahuan dunia untuk menginterpretasikan ujaran-ujaran. Menurut Levinson (dalam Rahardi, 2005: 48) menjelaskan pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan

terkodefisasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam bertutur, penutur dan mitra tutur tidak terlepas dari konteks, karena konteks tersebutlah yang meletarbelakngi terjadinya sebuah tuturan.

Pragmatik dapat dikatakan sejajar dengan semantik. Akan tetapi, kedua disiplin ilmu ini memiliki perbedaan yang mendasar. Makna yang dikaji semantik adalah makna linguistik (linguistic meaning) atau makna semantik (semantic sense), sedangkan makna yang dikaji pragmatik adalah maksud penutur (speaking meaning) atau (speaker sense). Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks, sedangkan makna yang dikaji dalam semantik bersifat bebas konteks , Parker dalam Wijana (1996:3).

Anlisis tuturan (1) dan (2) dibawah ini mengilustrasikan pernyataan tersebut.

1. “Minuman saya habis”

2. “Siska, pulpen saya di mana?”

Dilihat secara struktural, kedua tuturan tersebut merupakan tuturan berita dan pertanyaan. Secara semantis, tuturan (1) bermakna “Seseorang kehabisan minuman” dan tuturan (2) bermakna “Pulpennya berada di mana”. Tuturan (1) menginformasikan sesuatu kepada lawan tutur, sedangkan penutur dalam tuturan (2) ingin mendapatkan informasi dari mitra tuturnya. Kedua tuturan ini bisa dianalisis secara pragmatik dengan mencermati konteks pemakaiannya akan diperoleh hasil yang berbeda. Misalnya tuturan (1) dituturkan oleh seorang pemuda kepada temannya pada waktu makan. Tuturan tersebut dituturkan bukan

semata-mata untuk menginformasikan sesuatu, tetapi dimaksudkan untuk meminta minum kepada temannya. Demikian pula halnya bisa tuturan (2) dituturkan oleh seorang siswa kepada temannya. Tuturan itu tidak bermaksud mendapatkan informasi dari lawan tutur, melainkan dimaksudkan untuk meminta mitra tutur mengambilkan pulpen.

Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam melakukan studi pragmatik, seseorang harus mengupayakan maksud dari penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan secara tersirat di balik tuturan, juga konteks yang terjadi saat tuturan berlangsung. Konteks diperlukan oleh pragmatik. Tanpa konteks, analisis pragmatik tidak akan berjalan karena daya pragmatik itu bergantung pada konteks yang berlangsung pada waktu tuturan yang diujarkan dalam sebuah peristiwa tutur.

2.2.2 Konteks

Berbicara tentang pragmatik berarti berbicara tentang konteks. Untuk dapat menafsirkan sebuah tuturan, maka diperlukan adanya konteks. Permasalahan konteks dalam kaitannya dengan pragmatik merupakan bagian yang tidak boleh terabaikan. Kajian pragmatik selalu terikat dengan masalah perilaku pemakaian bahasa dalam konteks.

Mulyana (2005: 21) menyatakan bahwa konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Dalam pandangan ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, disetiap

tuturan selalu ada konteks yang mewadahinya, karena dengan konteks sebuah tuturan dapat terjadi.

Wijana (dalam Rahardi, dkk (2016: 41) menyatakan bahwa semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur. Semua latar belakang pengetahuan (all background) yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur itulah yang sangat berguna dalam menafsirkan makna bentuk kebahasaan tertentu yang hadir dalam pertuturan. Dalam paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penafsiran dari mitra tutur terhadap apa yang disampaiakn oleh penutur sangat bergantung pada latar belakang pengetahuan yang dimiliki keduanya. Jika penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang pengetahuan yang sama, maka maksud tuturan akan sangat mudah untuk ditafsir. Akan tetapi, jika penutur dan mitra tutur memiliki pengetahuan yang berbeda, maka maksud tuturan akan semakin sulit untuk ditafsir.

Menurut Zamzani (2007: 24), konteks secara pragmatik dapat dipandang sebagai konteks yang antara lain meliputi identitas partisipan, parameter waktu dan tempat peristiwa pertuturan. Konteks situasi atau konteks pertuturan/percakapan terkait dengan berbagai aspek. Setidaknya, syarat terjadinya suatu komunikasi ada tiga, yaitu, pembicara, lawan bicara, dan sandi atau bahasa yang digunakan.

Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang mendasari analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur dan lawan tutur yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan Leech (1993:

19-21) konteks yang semacam ini dapat disebut sebagai konteks situasi tutur.

konteks situasi tutr mencakup aspek-aspek berikut:

1. Penutur dan mitra tutur

Penutur dan mitra tutur merupakan orang yang terlibat dalam komunikasi. Aspek-aspek yang perlu dicermati dari penutur dan mitra tutur adalah jenis kelamin, umur, daerah asal, tingkat keakraban, dan latar belakang sosial budaya yang dapat menjadi penentu hadirnya sebuah makna tuturan. Konsep penutur dan lawan tutur juga mencakup penulis dan pembaca apabila sebuah tuutran tuturan dikomunikasikan dengan media tulisan. Penutur adalah orang yang bertutur, sedangkan mitra tutur adalah orang yang menajdi sasarana atau laan tutur. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur di atas, dapat mempengaruhi daya tangap mitra tutur, produksi tuturan serta pengungkapan maksud. Penutur dan mitra tutur dapat saling memahami maksud tuturan apabila keduanya mengetahui aspek-aspek tersebut.

2. Konteks sebuah tuturan

Konteks tuturan dalam penelitian linguistik mencakup semua aspek fisik dan seting sosial yang relevan dengan sebuah tuturan. Konteks yang bersifat fisik disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting sosial disebut konteks. Dalam kerangka pragmatik, konteks merupakan suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur yang membantu mitra tutur menafsirkan makna. Dengan adanya konteks, seseorang dapat menafsirkan makna kata dengan baik.

Apabila dalam berkomunikasi, penutur dan mitra tutur mempunyai pengetahuan latar belakang yang sama, maka makna bahasa dapat ditafsirkan dengan mudah. Akan tetapi, jika penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang pengetahuan yang berbeda, maka penafsiran makna bahasa akan sulit dilakukan.

3. Tujuan sebuah tuturan

Bentuk-bentuk tuturan yang muncul dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dengan kata lain, penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Secara pragmatik, suatu bentuk tuturan dapat memiliki maksud dan tujuan bermacam-macam. Sebaliknya satu maksud dan tujuan tuturan akan dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda. Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Semua tuturan memiliki tujuan, hal tersebut memiliki arti bahwa, tidak ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur selalu dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan. Dalam hubungan tersebut, bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan suatu maksud, sebaliknya, satu tuturan dapat menyatakan berbagai macam maksud.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan

Pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada tata bahasa. Tuturan disebut sebagai tindakan konkret (tindak tutur) dalam suasana tertentu. Segala hal yang berkaitan dengannya,

seperti jati diri penutur, dan mitra tutur yang terlibat, waktu, dan tempat dapat diketahui dengan jelas. Tuturan sebagai tindakan memiliki maksud bahwa, tindak tutur merupakan sebuah tindakan. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Tuturan dapat dikatakan sebagai sebuah tindakana atau aktivitas, karena dalam peristiwa tutur, tuturan dapat menimbulkan efek, sebagaimana tindakan yang dilakukan yang dilakukan oleh tangan atau bagaian tubuh lain yang dapat menyakiti orang lain atau mengekspresikan tindakan.

5. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan pada dasarnya adalah hasil tindak verbal dalam aktivitas bertutur sapa. Oleh sebab itu, tuturan dibedakan dengan kalimat. Kalimat adalah entitas produk struktural, sedangkan tuturan adalah produk dari suatu tindak verbal yang muncul dari suatu pertuturan. Tuturan sebagai produk tindak verbal merupakan tindakan mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Tuturan sebagai produk tindak verbal akan terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun tertulis antara penutur dan mitra tutur.

2.2.3 Definisi Kesantunan

Kesantunan bersifat relatif di dalam masyarakat. Ujaran tertentu bisa dikatakan santun di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi dikelompok masyarakat lain bisa dikatakan tidak santun. Menurut Zamsani, dkk (2010: 2), kesantunan merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur

yang lain. Tujuan kesantunan, termasuk kesantunan berbahasa, adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka dan efektif.

2.2.4 Definisi Kesantunan Berbahasa

Menurut Rahardi (2005: 35), penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji di dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Fraser melalui Rahardi (2005: 38-40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur.

1. Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di dalam masyarakat bahasa itu. Santun dalam bertutur ini disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette).

2. Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (face-saving). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama (cooperative principle). Prinsip kesantunan ini, terutama mengatur tujuan-tujuan relasional yang berkaitan erat dengan upaya pengurangan friksi dalam interaksi personal antarmanusia pada masyarakat bahasa tertentu.

3. Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). Jadi, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa.

4. Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), (honorific), dan gaya bicara (style of speaking) (Rahardi, 2005: 40).

Menurut Chaer (2010: 10), secara singkat dan umum, ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita. Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, dengan singkat bisa dikatakan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Sedangkan menurut Brown dan Levinson (1978:11) menyatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar antara nosi muka atau wajah (face), yakni “Citra diri” yang bersifat umum yang selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Muka ini meliputi dua aspek yang berkaitan yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar dia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Adapun yang dimaksud dengan muka positif

adalah mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini diakui orang lain sebagai sutau hal yang baik, yang menyenangkan, dan patut dihargai. Brown dan Levinson menyatakan bahwa konsep muka ini bersifat universal.

2.2.5 Penanda Kesantunan Menurut Leech

Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesai si penutur itu santun atau tidak. Wijana (1996: 55), mengungkapkan bahwa sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (others).

Diri sendiri adalah penutur dan orang lain adalah lawan tutur.

Leech (1993) memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung (indirect) dalam mengungkapkan maksudnya. Penutur biasanya menggunakan implikatur.

Implikatur adalah apa yang tersirat dalam suatu ujaran. Jika dibedakan “apa yang dikatakan” dan “apa yang dikomunikasikan”, implikatur termasuk yang dikomunikasian. Namun, meskipun tidak harus menggunakan implikatur, tuturan dapat dikatakan santun, jika ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Maksim kebijaksanaan (tact maxim)

Dalam maksim kebijaksanaan ini, (Leech, 1993: 2016) mengamanatkan bahwa maksim kebijaksanaan haruslah membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Dalam bertutur,

penutur harus memberikan tuturan yang menyenangkan hati mitra tutur. Dengan kata lain, apa yang dikatakan oleh penutur harus memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Pendapat lain dikemukakan oleh Kunjono, dkk (2016: 59) yang mengatakan bahwa di dalam maksim kebijaksanaan ini menjelaskan bahwa dalam bertutur yang santun setiap peserta pertuturan haruslah selalu berusaha meminimalkan kerugian kepada orang lain, dan memaksimalkan keuntungan kepada orang lain pula. Dimensi yang ditujukan dalam maksim kebijaksanna ini adalah dimensi orang lain atau others bukan dimensi diri sendiri self. Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Pranowo (2009: 103), menyatakan bahwa maksim kebijaksanaan merupakan tuturan yang dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa, dalam bertutur penutur harus mengatakan sesuatu yang menyenangkan hati mitra tutur, dan membuat mitra tutur merasa senang, dengan kata lain, tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur harus memberikan keuntungan bagi mitra tutur itu sendiri. Maksim ini dilaksanakan dengan bentuk tuturan impositif dan komisif. Tuturan impositif adalah bentuk tuturan yang digunakan untuk menyatakan perintah. Sedangkan tuturan komisif adalah tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji, penawaran, (Leech, 1993:206). Berikut contoh tuturan yang mengandung maksim kebijaksanaan:

Tuan rumah : “Silahkan makan dulu nak! Kami semua sudah mendahuluimu”.

Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu”

Konteks : Dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.

dalam tuturan di atas, tampak jelas bahwa apa yang dituturkan tuan rumah sangat memaksimalkan keuntungan bagi tamu. Penutur (tuan rumah) dengan baik hati menawarkan makanan kepada mitra tutur (tamu). Orang-orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya. Bahkan, sering kali ditemukan minuman dan makanan yang disajikan kepada tamu diupayakan agar layak diterima dan dinikmati oleh tamu tersebut (Rahardi, 2005: 61).

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanan merupakan maksim yang mengharuskan penutur untuk meminimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Maksim ini dituturkan dengan tuturan impositif dan komisif (Leech, 1993:

209). Jika maksim kebijasanaan berpusat pada orang lain, maka maksim kedermawanan merupakan kebalikannya, yakni berpusat pada diri sendiri. Dalam maksim ini, penutur harus berusaha membuat dirinya melakukan segala sesuatu yang dikatakan mitra tutur. Penutur harus membuat dirinya mengerjakan apa yang dikatakan mitra tutur, sekalipun apa yang dikatakan tersebut dipandang susah atau sulit dilakukan, karena hal tersebut merupakan tuntutan dari maksim ini yakni penutur harus memaksimalkan kerugian dirinya sendiri.

Pendapat lain dikemukakan oleh (Kunjono, dkk, 2016: 60) yang menyatakan bahawa, dalam maksim kedermawanan atau generosity maxim digariskan bahwa, agar tuturan seseorang dapat berciri sopan dan santun, tuturan itu harus dibuat sesederhana dan sesimpel mungkin. Orang yang menuturkannya pun harus bersikap rendah hati, tidak sebaliknya justru bersikap congkak dan

menyombongkan diri. Dengan menempatkan sosok dirinya pada posisi yang berada di bawah atau di dalam posisi yang rendah itu artinya orang tersebut bersikap baik, bersikap murah hati, dan bersikap sebagai dermawan terhadap pihak lain. Pandangan lain dikemukan oleh Pranowo (2009: 103) yang menyatakan bahwa tuturan lebih baik menimbulkan kerugian kepada penutur.

Berdasarkan pendapata ketiga ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam bertutur, penutur harus membuat dirinya rugi sebanyak mungkin yakni dengan memberikan tuturan yang bersifat membantu mitra tutur. Berikut contoh tuturan yang mengandung maksim kedermawanan.

Anak kos A : ”Mari, saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok yang kotor”.

Anak kos B : ”Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok”

Konteks : Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dngan anak yang satunya.

Di dalam tuturan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa si A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara menawarkan bantuan dengan mencucikan pakaian kotornya si B. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman dipergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005: 62) .

c. Maksim Pujian (Praise Maxim)

Maksim pujian mengharuskan penutur untuk meminimalkan kecaman terhadap orang lain, dan memaksimalkan pujian kepada orang lain tersebut

(Leech,1993:211). Pada maksim ini aspek negatifnya yang lebih penting adalah jangan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai mitra tutur. Dalam maksim ini, penutur dituntut untuk memberikan pujian kepada mitra tutur atas apa yang capainya. Maksim ini diungkapkan dengan bentuk tuturan ekspresif dan asertif. Berikut contoh tuturan yang mengandung maksim pujian.

Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”

Doesen B : “Oya, tadi aku mendengar bahasa Ingrismu jelas sekali dari sini.”

Konteks : Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.

Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berprilaku santun terhadap dosen A (Rahardi, 2005: 63).

d. Maksim Kerendahan Hati

d. Maksim Kerendahan Hati