• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia."

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS PENANDA DAN FUNGSI KESANTUNAN BERBAHASA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI SISWA-SISWI

KELAS XI IPS SMA PANGUDI LUHUR YOGYAKARTA : SUATU KAJIANPRAGMATIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Oleh:

Ephyfania Bahantwelu 151224047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2019

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang menjadi teladan serta senantiasi membimbing, memberkati dan menolong peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini

2. Bunda Maria yang selalu menuntun dan mendengarkan setiap permohonan peneliti dalam menyelesaikan skripsi.

3. Mama Maria Barek Aran yang selalu mendukung, mendoakan dan memotivasi peneliti dalam menyelesaikan skripsi.

4. Kakak Marianus Bahantwelu dan Maria Imaculata Bahantwelu yang selalu mendukung, memotivasi dan mendokan peneliti dalam menyelesaikan skripsi.

(5)

v MOTTO

Mimpi tidak terwujud nyata melalui ilmu sihir.

Dibutuhkan keringat, tekad, dan kerja keras (Colin Powell)

Agar sukses, kemauanmu untuk berhasil lebih besar dari ketakutanmu akan kegagalan

(Bill Cosby)

Jika kamu belum mengalami frustasi, jangan berharap untuk bersukacita (Zico - Blok B)

Bekerjalah sampai idolamu menjadi sainganmu (G-Dragon - Bigbang)

Waktu Tuhan adalah waktu yang terbaik dan jalan Tuhan adalah jalan yang menyelamatkan

(Peneliti)

(6)

vi

(7)

vii

(8)

viii

ABSTRAK

Bahantwelu, Ephyfania. 2019. Analisis Penanda dan Fungsi Kesantunan Berbahasa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Siswa- Siswi Kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta : Suatu Kajian Pragmati

k.

Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini membahas tentang kesantunan berbahasa di ranah pembelajaran. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penanda kesantunan berbahasa berdasarkan prinsip kesantunan Leech, serta mendeskripsikan fungsi kesantunan berbahasa menurut Rahardi dengan berdasarkan konteks dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif.

Data diambil selama bulan Februari sampai Maret 2019. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, catat dan rekam.

Data kemudian diidentifikasi dan dianalisis menggunakan prinsip kesantunan Leech dan fungsi kesantunan menurut Kunjana Rahardi.

Dari tuturan yang telah dianalisis, peneliti menemukan ada empat penanda kesantunan berbahasa, yakni, (1) berhati-hati dalam pemilihan kata, (2) memberikan tanggapan positif terhadap mitra tutur, (3) menanggapi pujian dari mitra tutur dengan sifat rendah hati, (4) menerima masukan dari mitra tutur.

Selain menemukan penanda kesantunan, peneliti juga menemukan fungsi kesantunan berbahasa, yakni, fungsi menyatakan informasi, fungsi menyatakan perjanjian, fungsi pemberian izin, fungsi penjelasan, dan fungsi menyetujui.

Kata kunci: pragmatik, penanda kesantunan berbahasa, fungsi kesantunan berbahasa.

(9)

ix ABSTRACT

Bahantwelu, Ephyfania.2019. Analysis of markers and functions of politeness in Indonesian Language learning for students of class XI IPS at SMA Pangudi Luhur Yogyakarta: A Pragmatic Study. Thesis. Yogyakarta:

Indonesian Language and Literature Education Study Program, Faculty of Teacher and training education, Sanata Dharma University

This research discussed language politeness in the realm of learning. This research was aimed to describe language politeness markers based on Leech’s politeness principles and to describe the function of politeness in language based on the Searle category on the context in Indonesian language learning for students of class XI IPS at SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. This research was descriptive qualitative research. The data were collected from February to March 2019. The research data were collected using observation, recording, and note- taking techniques. Then, data were identified and analyzed using Leech’s politeness principles and politeness functions according to the Searle category.

From the analyzed speech, the researcher found that there were four language politeness markers. The first was being careful in choosing words. The second was giving positive responses to the speech partners. The third was responding to the praise of the speech partners with humility. The fourth was receiving input from the speech partners. In addition, there was impoliteness in language markers, namely, firstly, the speakers did not respect the speech partners. Secondly, the speakers did not want to be harmed. Thirdly, the speakers were more concerned with their own ego. Fourthly, the speakers criticized directly. Fifthly, the speakers disparaged speech partners. Sixthly, the speakers boasted and praised themselves in front of the speech partners. From the results of data analysis, the researcher also found the functions of politeness in language namely firstly, assertive speech acts. Secondly, commissive speech acts. Thirdly, impositive (impositif) and expressive speech acts. In addition, there was also a function of impoliteness in language, namely assertive and expressive speech acts.

Keywords: Pragmatics, language politeness markers, the function of language politeness.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karena atas segala berkat dan kasih karunia-NYA sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Penanda dan Fungsi Kesantunan Berbahasa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Siswa-Siswi Kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta: Suatu Kajian Pragmatik”.

Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak pihak yang memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skrisi dapat diselesaikan dengan baik. Maka dari itu, pada kesempata ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberi dukungan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku triangulator yang telah memberikan bantuan dalam penelitian ini dengan melakukan triangulasi data penelitian.

5. Benediktus Banik Pribadi, S.Pd., selaku guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang telah membantu peneliti dalam melakukan penelitian di SMA tersebut.

(11)

xi

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Ruang Lingkup... 5

1.6. Batasan Istilah ... 5

1.7. Sistematika Penyajian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 Penelitian yang Relevan ... 7

(13)

xiii

2.2 Landasarn Teori ... 8

2.2.1 Pragmatik ... 9

2.2.2 Konteks ... 11

2.2.3 Definisi Kesantunan ... 15

2.2.4 Definisi Kesantunan Berbahasa ... 16

2.2.6 Penanda Kesantunan Menurut Leech... 18

2.2.7 Fungsi Kesantunan Berbahasa ... 25

2.3 Kerangka Berpikir ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 32

3.1 Jenis Penelitian ... 32

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian... 33

3.3 Teknik pengumpulan data ... 33

3.4 Instrumen Penelitian ... 34

3.5 Teknik Analisis Data ... 36

3.6 Triangulasi ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Deskripsi Data ... 39

4.2 Analisis Data ... 40

4.2.1 Analisis Penanda kesantunan Berbahasa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Siswa-Siswi Kelas XI IPS SMAPangudi Luhur Yogyakarta Berdasrkan Prinsip Kesantunan ... 40

4.2.1.1 Penanda Maksim Kebijasanaan ... 40

4.2.1.2 Penanda Maksim Kedermawanan ... 47

4.2.1.3 Penanda Maksim Kerendahan Hati ... 54

4.2.1.4 Penanda Maksim Kesepakatan ... 56

4.2.3 Analisis Fungsi Kesantunan Berbahasa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Siswa-Siswa Kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta ... 65

4.2.3.1 Fungsi Tuturan dalam Maksim Kebijaksanaan ... 65

(14)

xiv 4.2.3.2 Fungsi Tuturan dalam

Maksim Kedermawanan ... 72

4.2.3.3 Fungsi Tuturan dalam Maksim Kerendahan Hati ... 78

4.2.3.4 Fungsi Tuturan dalam Maksim Kesepakatan ... 80

4.3 Pembahasan ... 88

4.3.1 Penanda Kesantunan Berbahasa ... 88

4.3.3 Fungsi Kesantunan Berbahasa ... 94

BAB V PENUTUP...98

5.1 Simpulan ... 98

5.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100

BIODATA PENULIS ... 102

LAMPIRAN ... 103

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa, seseorang dapat mengungkapan pikiran atau gagasan kepada orang lain.

Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan fungsinya, bahasa mempunyai peran untuk menyampaikan pesan antar manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Dalam berkomunikasi, menurut Hendrikus (1991: 40) manusia melakukan proses pengalihan makna antar pribadi atau tukar-menukar berita dalam sistem informasi, dengan demikian, manusia seharusnya menggunakan bahasa yang santun, karena dalam proses komunikasi tidak hanya satu pihak yang terlibat. Dengan bahasa yang santun seseorang dapat menjaga harkat dan martabat dirinya dan menghormati mitra tutur sehingga proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar.

Bahasa merupakan cerminan kepribadian seseorang. Bahkan bahasa merupakan cermin kepribadian bangsa. Artinya, melalui bahasa (yang digunakan), seseorang atau bangsa dapat diketahui kepribadiannya (Pranowo, 2009: 3). Jika seseorang berbahasa secara santun, maka hal itu akan mencerminkan kepribadiannya yang baik. Akan tetapi, jika seseorang berbahasa secara tidak santun, maka hal itu akan menunjukan bahwa ia mempunyai kepribadian yang tidak baik. Dalam bertutur, penutur yang hendak menyampaikan maksud atau pesan kepada mitra tutur yang menurutnya santun, belum tentu santun menurut

(16)

mitra tuturnya. Oleh karena itu, dalam bertutur kata seseorang hendaknya memperhatikan penggunaan kosa kata dengan baik. Hal ini bertujuan agar maksud atau pesan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur dapat diterima baik tanpa menyinggung perasaan dari mitra tutur tersebut. Pemilihan dan penggunann diksi dapat menjadi penentu dalam kesantunan berbahasa. Lebih spesifik Leech membuat penanda yang dapat dijadikan penentu santun tidaknya pemakaian bahasa. Penanda tersebut terlihat pada prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Lecch (1993: 206-207) yakni maksim kebijaksaan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim kesimpatian. Selain itu, dalam bertutur juga harus memerhatikan fungsi dari kesantunan berbahasa. Apabila penanda dan fungsi kesantunan tersebut diterapkan dengan baik, maka komunikasi akan berjalan dengan lancar.

Dalam dunia pendidikan, keterampilan berbicara sangat diperlukan. Setiap peserta didik harus dapat berbicara dengan baik agar proses pembelajaran di dalam kelas dapat berjalan dengan lancar. Selain itu, berbicara merupakan salah satu keterampilan dalam berbahasa yang harus dikuasai oleh peserta didik terlebih dalam proses pembelajaran. Tentunya, di dalam proses pembelajaran, penerapan bahasa yang santun sangat diperlukan.

Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti penggunaan bahasa siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Peneliti melakukan penelitian di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta khususnya kelas XI IPS karena, peneliti melihat bahwa penggunaan bahasa siswa-siswa di sekolah tersebut masih kurang santun. Salah satu contoh

(17)

Penggunaan bahasa yang tidak santun dapat dilihat dari penggunaan kata “Dasar goblok” yang diucapkan oleh seorang siswa kepada temannya sendiri karena kurang mampu mengerjakan soal, merupakan kata yang menunjukkan ketidaksantunan. Akibatnya, siswa akan merasa minder dan kurang percaya diri.

Contoh tuturan di atas merupakan salah satu tuturan yang melanggar prinsip kesantunan Leech yakni melanggar maksim kesimpatian. Siswa yang menuturkan tuturan tersebut tidak memberikan rasa simpati kepada temannya yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal. Kasus-kasus seperti inilah yang membuat kesantunan berbahasa itu penting untuk dikaji agar dalam berkomunikasi dan berinteraksi tidak terjadi kesalahpahaman.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengharapkan semoga melalui penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk menggunakan bahasa secara santun serat menerapkan fungsi kesantunan dengan baik dalam berkomunikasi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah “Analisis Penanda dan Fungsi Kesantunan Berbahasa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Siswa-Siswi Kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta: Suatu Kajian Pragmatik.” Berdasarkan rumusan masalah utama tersebut, disusun submasalah sebagai berikut:

a. Penanda kesantunan berbahasa apa sajakah yang terdapat dalam tuturan siswa-siswi kelas XI IPS dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta?

(18)

b. Fungsi kesantunan berbahasa apa sajakah yang terdapat dalam tuturan siswa-siswi kelas XI IPS dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagai berikut:

a. Mendeskripsikan Penanda kesantunan berbahasa yang terdapat dalam tuturan siswa-siswi kelas XI IPS dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.

b. Mendeskripsikan Fungsi kesantunan berbahasa yang terdapat dalam tuturan siswa-siswi kelas XI IPS dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis bagi para pembaca. Adapun manfaat teoritis dan praktis dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Manfaat Teoretis

Secara teoritis, penelitian ini dapat membantu pembaca untuk menambah informasi serta pengetahuan mengenai penanda kesantunan berbahasa dan fungsi kesantunan berbahasa bagi siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi acuan dalam penelitian-penelitian dibidang pragmatik.

(19)

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada pembaca untuk dapat berbahasa secara santun dalam kegiatan formal yakni dalam lingkup pembelajaran di kelas.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya menyangkut penanda dan fungsi kesantunan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.

1.6 Batasan Istilah a. Pragmatik

Menurut Levinson (dalam Rahardi, 2005: 48) menjelaskan pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya.

Dengan kata lain, pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari makna kata yang terikat pada konteks.

b. Penanda kesantunan

Sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (others) Wijana, 1996:55).

c. Fungsi kesantunan

Dalam fungsi kesantunan berbahasa ini, bahasa tidak semata-mata dimaksudkan dan digunakan untuk menyamapaikan informasi; namun juga

(20)

digunakan untuk membangun dan membina relasi antarwarga masyarakar pemakai bahasa tersebut (Rahardi, 2005: 7).

d. Kesantunan berbahasa

Kesantunan berbahasa merupakan suatu penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu (Rahardi, 2005: 35). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kesantunan berbahasa adalah suatu kajian yang mengkaji tentang bagaiamana penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat.

1.7 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian ini terdiri dari Bab I. Bab II, Bab III, Bab IV, Bab V dan Daftar Pustaka. Bab I yaitu mengenai pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II yaitu kajian pustaka yang menguraikan kerangka teori.

Bab III yaitu metodologi penelitian. Bab ini berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan metode dalam penelitian yang meliputi (1) jenis penelitian, (2) sumber data, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian (5) teknik analisis data, dan (6) triangulasi data.

Bab IV yaitu hasil penelitian dan pembahasan. Bab ini berisi tentang analisis data dan pembahasan. Bab ini menguraikan deskripsi data dan pembahasan hasil data sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan. Bab V berisi tentang kesimpulan, dan saran.

(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik- topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri dari teori pragmatik, konteks, teori kesantunan, dan fungsi kesantunan. Kerangka berpikir berisi tentang acuan yang berdasarkan pada penelitian yang relevan dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah.

2.1 Penelitian yang Relevan

Untuk mendukung proses pelaksanaa penelitian yang dilakukan, terdapat tiga penelitian yang relevan dengan dengan penelitian ini yakni penelitian yang dilakukan oleh Fendi Eko Prabowo yang berjudul Kesantunan Berbahasa Dalam Kegiatan Diskusi Kelas Mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014. Penelitian ini merupakan penelitian deskripsi kualitatif dalam penelitian ini Fendi Eko Prabowo mendeskripsikan tentang kesantunan berbahasa dan penanda dari kesantunan berbahasa dalam kegiatan diskusi kelas mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014.

Penelitian relevan yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Oktaviana Kurniawati yang berjudul Analisis Pemanfaatan Prinsip Kesantunan Berbahasa pada Kegaiatan Diskusi Kelas Siswa Kelas XI SMAN 1 Sleman.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskripsi kualitatif. Oktaviana

7

(22)

Kurniawati mendeskripsikan pemakaian prinsip kesantunan berbahasa dan pemanfaatannya dalam kegiatan diskusi siswa kelas XI SMAN 1 Sleman.

Penelitian relevan yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Puspa Rinda Silalahi yang berjudul Analisis Kesantunan Berbahasa Siswa-Siswi di Lingkungan Sekolah SMPN 5 Binjai. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskripsi kualitatif. Dalam penelitian ini, Puspa mendeskripsikan semua tuturan yang terjadi di lingkungan sekolah baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Dari ketiga penelitian yang relevan di atas, terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian peneliti. Adapun persamaan penelitian relavan dengan penelitian peneliti terletak pada pengkajian kesantunan berbahasa, sedangkan perbedaanya terletak pada objek penelitiannya. Penelitian dari Fendi Eko Prabowo ini bersumber pada tuturan mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014, Penelitian dari Oktaviana bersumber pada tuturan siswa kelas XI SMAN 1 Sleman, Penelitian Puspa bersumber pada tuturan siswa-siswi SMPN 5 Binjai baik di dalam kelas maupun diluar kelas, sedangkan penelitian peneliti bersumber pada tuturan siswa-siswi SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Dari uraian diatas membuktikan bahwa penelitian ini belum pernah dikaji dan penelitian ini layak untuk diangkat sebagai penelitian.

2.2 Landasan Teori

Dalam landasan teori ini berisi tentang teori yang digunakan peneliti sebagai acuan dalam menganalisis data. Teori yang digunakan oleh peneliti yakni, teori pragmatik, konteks, kesantunan berbahasa, penanda kesantunan berbahasa menurut Leech (1993) serta fungsi kesantunan berbahasa menurut Rahardi (2005)

(23)

2.2.1 Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampikan oleh penutur dan ditafisirkan oleh mitra tutur (pendengar), atau dapat dikatakan bahwa pragmatik merupakan studi tentang maksud penutur. Menurut Parker (dalam Rahardi, 2005:

48-49), menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud dengan hal itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Studi tentang pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakangi dan mewadahinya. Definisi yang disampaikan parker itu selengkapnya dapat dilihat pada kutipan berikut : “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate”(Parker, 19986: 11), yang berarti pragmatik berbeda dari tata bahasa, yang merupakan studi struktur bahasa internal. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Tarigan (dalam Rahardi dkk, 2016: 18) menyatakan bahwa telaah umum mengenai bagaimana konteks memengaruhi cara kita menafsirkan kalimat disebut pragmatik. Teori tindak ujar adalah bagian dari pragmatik, dan pragmatik sendiri merupakan bagian dari performansi linguistik. Pengetahuan mengenai dunia adalah bagian dari konteks, dan dengan demikian pragmatik mencakup bagaimana cara pemakai bahasa menerapkan pengetahuan dunia untuk menginterpretasikan ujaran-ujaran. Menurut Levinson (dalam Rahardi, 2005: 48) menjelaskan pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan

(24)

terkodefisasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam bertutur, penutur dan mitra tutur tidak terlepas dari konteks, karena konteks tersebutlah yang meletarbelakngi terjadinya sebuah tuturan.

Pragmatik dapat dikatakan sejajar dengan semantik. Akan tetapi, kedua disiplin ilmu ini memiliki perbedaan yang mendasar. Makna yang dikaji semantik adalah makna linguistik (linguistic meaning) atau makna semantik (semantic sense), sedangkan makna yang dikaji pragmatik adalah maksud penutur (speaking meaning) atau (speaker sense). Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks, sedangkan makna yang dikaji dalam semantik bersifat bebas konteks , Parker dalam Wijana (1996:3).

Anlisis tuturan (1) dan (2) dibawah ini mengilustrasikan pernyataan tersebut.

1. “Minuman saya habis”

2. “Siska, pulpen saya di mana?”

Dilihat secara struktural, kedua tuturan tersebut merupakan tuturan berita dan pertanyaan. Secara semantis, tuturan (1) bermakna “Seseorang kehabisan minuman” dan tuturan (2) bermakna “Pulpennya berada di mana”. Tuturan (1) menginformasikan sesuatu kepada lawan tutur, sedangkan penutur dalam tuturan (2) ingin mendapatkan informasi dari mitra tuturnya. Kedua tuturan ini bisa dianalisis secara pragmatik dengan mencermati konteks pemakaiannya akan diperoleh hasil yang berbeda. Misalnya tuturan (1) dituturkan oleh seorang pemuda kepada temannya pada waktu makan. Tuturan tersebut dituturkan bukan

(25)

semata-mata untuk menginformasikan sesuatu, tetapi dimaksudkan untuk meminta minum kepada temannya. Demikian pula halnya bisa tuturan (2) dituturkan oleh seorang siswa kepada temannya. Tuturan itu tidak bermaksud mendapatkan informasi dari lawan tutur, melainkan dimaksudkan untuk meminta mitra tutur mengambilkan pulpen.

Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam melakukan studi pragmatik, seseorang harus mengupayakan maksud dari penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan secara tersirat di balik tuturan, juga konteks yang terjadi saat tuturan berlangsung. Konteks diperlukan oleh pragmatik. Tanpa konteks, analisis pragmatik tidak akan berjalan karena daya pragmatik itu bergantung pada konteks yang berlangsung pada waktu tuturan yang diujarkan dalam sebuah peristiwa tutur.

2.2.2 Konteks

Berbicara tentang pragmatik berarti berbicara tentang konteks. Untuk dapat menafsirkan sebuah tuturan, maka diperlukan adanya konteks. Permasalahan konteks dalam kaitannya dengan pragmatik merupakan bagian yang tidak boleh terabaikan. Kajian pragmatik selalu terikat dengan masalah perilaku pemakaian bahasa dalam konteks.

Mulyana (2005: 21) menyatakan bahwa konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Dalam pandangan ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, disetiap

(26)

tuturan selalu ada konteks yang mewadahinya, karena dengan konteks sebuah tuturan dapat terjadi.

Wijana (dalam Rahardi, dkk (2016: 41) menyatakan bahwa semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur. Semua latar belakang pengetahuan (all background) yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur itulah yang sangat berguna dalam menafsirkan makna bentuk kebahasaan tertentu yang hadir dalam pertuturan. Dalam paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penafsiran dari mitra tutur terhadap apa yang disampaiakn oleh penutur sangat bergantung pada latar belakang pengetahuan yang dimiliki keduanya. Jika penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang pengetahuan yang sama, maka maksud tuturan akan sangat mudah untuk ditafsir. Akan tetapi, jika penutur dan mitra tutur memiliki pengetahuan yang berbeda, maka maksud tuturan akan semakin sulit untuk ditafsir.

Menurut Zamzani (2007: 24), konteks secara pragmatik dapat dipandang sebagai konteks yang antara lain meliputi identitas partisipan, parameter waktu dan tempat peristiwa pertuturan. Konteks situasi atau konteks pertuturan/percakapan terkait dengan berbagai aspek. Setidaknya, syarat terjadinya suatu komunikasi ada tiga, yaitu, pembicara, lawan bicara, dan sandi atau bahasa yang digunakan.

Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang mendasari analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur dan lawan tutur yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan Leech (1993:

(27)

19-21) konteks yang semacam ini dapat disebut sebagai konteks situasi tutur.

konteks situasi tutr mencakup aspek-aspek berikut:

1. Penutur dan mitra tutur

Penutur dan mitra tutur merupakan orang yang terlibat dalam komunikasi. Aspek-aspek yang perlu dicermati dari penutur dan mitra tutur adalah jenis kelamin, umur, daerah asal, tingkat keakraban, dan latar belakang sosial budaya yang dapat menjadi penentu hadirnya sebuah makna tuturan. Konsep penutur dan lawan tutur juga mencakup penulis dan pembaca apabila sebuah tuutran tuturan dikomunikasikan dengan media tulisan. Penutur adalah orang yang bertutur, sedangkan mitra tutur adalah orang yang menajdi sasarana atau laan tutur. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur di atas, dapat mempengaruhi daya tangap mitra tutur, produksi tuturan serta pengungkapan maksud. Penutur dan mitra tutur dapat saling memahami maksud tuturan apabila keduanya mengetahui aspek-aspek tersebut.

2. Konteks sebuah tuturan

Konteks tuturan dalam penelitian linguistik mencakup semua aspek fisik dan seting sosial yang relevan dengan sebuah tuturan. Konteks yang bersifat fisik disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting sosial disebut konteks. Dalam kerangka pragmatik, konteks merupakan suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur yang membantu mitra tutur menafsirkan makna. Dengan adanya konteks, seseorang dapat menafsirkan makna kata dengan baik.

(28)

Apabila dalam berkomunikasi, penutur dan mitra tutur mempunyai pengetahuan latar belakang yang sama, maka makna bahasa dapat ditafsirkan dengan mudah. Akan tetapi, jika penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang pengetahuan yang berbeda, maka penafsiran makna bahasa akan sulit dilakukan.

3. Tujuan sebuah tuturan

Bentuk-bentuk tuturan yang muncul dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dengan kata lain, penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Secara pragmatik, suatu bentuk tuturan dapat memiliki maksud dan tujuan bermacam-macam. Sebaliknya satu maksud dan tujuan tuturan akan dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda. Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Semua tuturan memiliki tujuan, hal tersebut memiliki arti bahwa, tidak ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur selalu dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan. Dalam hubungan tersebut, bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan suatu maksud, sebaliknya, satu tuturan dapat menyatakan berbagai macam maksud.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan

Pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada tata bahasa. Tuturan disebut sebagai tindakan konkret (tindak tutur) dalam suasana tertentu. Segala hal yang berkaitan dengannya,

(29)

seperti jati diri penutur, dan mitra tutur yang terlibat, waktu, dan tempat dapat diketahui dengan jelas. Tuturan sebagai tindakan memiliki maksud bahwa, tindak tutur merupakan sebuah tindakan. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Tuturan dapat dikatakan sebagai sebuah tindakana atau aktivitas, karena dalam peristiwa tutur, tuturan dapat menimbulkan efek, sebagaimana tindakan yang dilakukan yang dilakukan oleh tangan atau bagaian tubuh lain yang dapat menyakiti orang lain atau mengekspresikan tindakan.

5. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan pada dasarnya adalah hasil tindak verbal dalam aktivitas bertutur sapa. Oleh sebab itu, tuturan dibedakan dengan kalimat. Kalimat adalah entitas produk struktural, sedangkan tuturan adalah produk dari suatu tindak verbal yang muncul dari suatu pertuturan. Tuturan sebagai produk tindak verbal merupakan tindakan mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Tuturan sebagai produk tindak verbal akan terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun tertulis antara penutur dan mitra tutur.

2.2.3 Definisi Kesantunan

Kesantunan bersifat relatif di dalam masyarakat. Ujaran tertentu bisa dikatakan santun di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi dikelompok masyarakat lain bisa dikatakan tidak santun. Menurut Zamsani, dkk (2010: 2), kesantunan merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur

(30)

yang lain. Tujuan kesantunan, termasuk kesantunan berbahasa, adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka dan efektif.

2.2.4 Definisi Kesantunan Berbahasa

Menurut Rahardi (2005: 35), penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji di dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Fraser melalui Rahardi (2005: 38-40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur.

1. Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di dalam masyarakat bahasa itu. Santun dalam bertutur ini disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette).

2. Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (face-saving). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama (cooperative principle). Prinsip kesantunan ini, terutama mengatur tujuan-tujuan relasional yang berkaitan erat dengan upaya pengurangan friksi dalam interaksi personal antarmanusia pada masyarakat bahasa tertentu.

(31)

3. Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). Jadi, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa.

4. Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), (honorific), dan gaya bicara (style of speaking) (Rahardi, 2005: 40).

Menurut Chaer (2010: 10), secara singkat dan umum, ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita. Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, dengan singkat bisa dikatakan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Sedangkan menurut Brown dan Levinson (1978:11) menyatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar antara nosi muka atau wajah (face), yakni “Citra diri” yang bersifat umum yang selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Muka ini meliputi dua aspek yang berkaitan yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar dia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Adapun yang dimaksud dengan muka positif

(32)

adalah mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini diakui orang lain sebagai sutau hal yang baik, yang menyenangkan, dan patut dihargai. Brown dan Levinson menyatakan bahwa konsep muka ini bersifat universal.

2.2.5 Penanda Kesantunan Menurut Leech

Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesai si penutur itu santun atau tidak. Wijana (1996: 55), mengungkapkan bahwa sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (others).

Diri sendiri adalah penutur dan orang lain adalah lawan tutur.

Leech (1993) memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung (indirect) dalam mengungkapkan maksudnya. Penutur biasanya menggunakan implikatur.

Implikatur adalah apa yang tersirat dalam suatu ujaran. Jika dibedakan “apa yang dikatakan” dan “apa yang dikomunikasikan”, implikatur termasuk yang dikomunikasian. Namun, meskipun tidak harus menggunakan implikatur, tuturan dapat dikatakan santun, jika ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Maksim kebijaksanaan (tact maxim)

Dalam maksim kebijaksanaan ini, (Leech, 1993: 2016) mengamanatkan bahwa maksim kebijaksanaan haruslah membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Dalam bertutur,

(33)

penutur harus memberikan tuturan yang menyenangkan hati mitra tutur. Dengan kata lain, apa yang dikatakan oleh penutur harus memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Pendapat lain dikemukakan oleh Kunjono, dkk (2016: 59) yang mengatakan bahwa di dalam maksim kebijaksanaan ini menjelaskan bahwa dalam bertutur yang santun setiap peserta pertuturan haruslah selalu berusaha meminimalkan kerugian kepada orang lain, dan memaksimalkan keuntungan kepada orang lain pula. Dimensi yang ditujukan dalam maksim kebijaksanna ini adalah dimensi orang lain atau others bukan dimensi diri sendiri self. Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Pranowo (2009: 103), menyatakan bahwa maksim kebijaksanaan merupakan tuturan yang dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa, dalam bertutur penutur harus mengatakan sesuatu yang menyenangkan hati mitra tutur, dan membuat mitra tutur merasa senang, dengan kata lain, tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur harus memberikan keuntungan bagi mitra tutur itu sendiri. Maksim ini dilaksanakan dengan bentuk tuturan impositif dan komisif. Tuturan impositif adalah bentuk tuturan yang digunakan untuk menyatakan perintah. Sedangkan tuturan komisif adalah tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji, penawaran, (Leech, 1993:206). Berikut contoh tuturan yang mengandung maksim kebijaksanaan:

Tuan rumah : “Silahkan makan dulu nak! Kami semua sudah mendahuluimu”.

Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu”

Konteks : Dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.

(34)

dalam tuturan di atas, tampak jelas bahwa apa yang dituturkan tuan rumah sangat memaksimalkan keuntungan bagi tamu. Penutur (tuan rumah) dengan baik hati menawarkan makanan kepada mitra tutur (tamu). Orang-orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya. Bahkan, sering kali ditemukan minuman dan makanan yang disajikan kepada tamu diupayakan agar layak diterima dan dinikmati oleh tamu tersebut (Rahardi, 2005: 61).

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanan merupakan maksim yang mengharuskan penutur untuk meminimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Maksim ini dituturkan dengan tuturan impositif dan komisif (Leech, 1993:

209). Jika maksim kebijasanaan berpusat pada orang lain, maka maksim kedermawanan merupakan kebalikannya, yakni berpusat pada diri sendiri. Dalam maksim ini, penutur harus berusaha membuat dirinya melakukan segala sesuatu yang dikatakan mitra tutur. Penutur harus membuat dirinya mengerjakan apa yang dikatakan mitra tutur, sekalipun apa yang dikatakan tersebut dipandang susah atau sulit dilakukan, karena hal tersebut merupakan tuntutan dari maksim ini yakni penutur harus memaksimalkan kerugian dirinya sendiri.

Pendapat lain dikemukakan oleh (Kunjono, dkk, 2016: 60) yang menyatakan bahawa, dalam maksim kedermawanan atau generosity maxim digariskan bahwa, agar tuturan seseorang dapat berciri sopan dan santun, tuturan itu harus dibuat sesederhana dan sesimpel mungkin. Orang yang menuturkannya pun harus bersikap rendah hati, tidak sebaliknya justru bersikap congkak dan

(35)

menyombongkan diri. Dengan menempatkan sosok dirinya pada posisi yang berada di bawah atau di dalam posisi yang rendah itu artinya orang tersebut bersikap baik, bersikap murah hati, dan bersikap sebagai dermawan terhadap pihak lain. Pandangan lain dikemukan oleh Pranowo (2009: 103) yang menyatakan bahwa tuturan lebih baik menimbulkan kerugian kepada penutur.

Berdasarkan pendapata ketiga ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam bertutur, penutur harus membuat dirinya rugi sebanyak mungkin yakni dengan memberikan tuturan yang bersifat membantu mitra tutur. Berikut contoh tuturan yang mengandung maksim kedermawanan.

Anak kos A : ”Mari, saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok yang kotor”.

Anak kos B : ”Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok”

Konteks : Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dngan anak yang satunya.

Di dalam tuturan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa si A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara menawarkan bantuan dengan mencucikan pakaian kotornya si B. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman dipergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005: 62) .

c. Maksim Pujian (Praise Maxim)

Maksim pujian mengharuskan penutur untuk meminimalkan kecaman terhadap orang lain, dan memaksimalkan pujian kepada orang lain tersebut

(36)

(Leech,1993:211). Pada maksim ini aspek negatifnya yang lebih penting adalah jangan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai mitra tutur. Dalam maksim ini, penutur dituntut untuk memberikan pujian kepada mitra tutur atas apa yang capainya. Maksim ini diungkapkan dengan bentuk tuturan ekspresif dan asertif. Berikut contoh tuturan yang mengandung maksim pujian.

Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”

Doesen B : “Oya, tadi aku mendengar bahasa Ingrismu jelas sekali dari sini.”

Konteks : Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.

Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berprilaku santun terhadap dosen A (Rahardi, 2005: 63).

d. Maksim Kerendahan Hati

Dalam maksim kerendahan hati, (Leech, 1993: 214) mengatakan bahwa Maksim kerendahan hati mengharuskan penutur untuk meminimalkan pujian kepada dirinya sendiri, tetapi harus mengecam diri sendiri sebanyak mungkin.

Seperti halnya dengan maksim pujian, maksim ini juga diungkapkan dengan bentuk tuturan ekspresif dan asertif. Pendapat lain dikemukakan oleh (Kunjana dkk, 2016: 62) yang mengatakan di dalam maksim kerendahan hati ditegaskan bahwa, agar dapat dikatakan santun, seseorang harus bersedia meminimalkan pujian terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya seseorang harus bersedia

(37)

memaksimalkan perendahan atau penjelekan pada dirinya sendiri. Berikut contoh dari maksim kerendahan hati sebagai berikut :

Juri : “Terimalah hadiah yang kecil ini sebagai tanda penghargaan kami”.

Pemenang : “Terima kasih atas hadiahnya”

Konteks : Penutur adalah seorang juri, dan tuturan tersebut terjadi di tempat petandingan. Tuturan merupakan tanggapan yang diberikan oleh juri berupa hadiah atas kemenangan dari salah satu peserta lomba.

Tuturan yang dituturkan oleh penutur sesuai dengan maksim kerendahan hati, karena penutur telah meminimalkan pujian kepada dirinya sendiri. Penutur telah memberikan hadiah kepada mitra tutur yang telah menang dalam pertandingan, hadiah yang diberikan penutur bisa saja merupakan hadiah yang besar, akan tetapi dalam mengungkapkannya, penutur menggunakan kalimat yang menunjukan bahwa hadiah yang diberikan tidak begitu berharga nilainya.

e. Maksim Kesepakatan

Maksim kesepakatan mengharuskan seseorang untuk memaksimalkan kesepakatan dengan orang lain dan meminimalkan ketidaksepakatan dengan orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif, Lecch (1993 : 207). Dalam maksim ini, penutur harus mengupayakan kesepakatannya dengan mitra tutur.

Sesungguhnya di antara penutur dan mitra tutur itu harus ada kesamaan upaya untuk saling memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokan.

Semakin banyak dimensi-dimensi kesesuaian atau kecocokan di antara kedua belah pihak dalam praktik bertutur, harus dikatakan bahwa maksim kesepakatan telah bersama-sama ditepati dan diupayakan demi tercapaiya kondisi kesantunan (Kunjana dkk, 2016: 63). Contoh maksim kesepakatan sebagai berikut:

(38)

Siswa A : “Ujiannya sangat sulit.”

Siswa B : “Betul, kepalaku sampai pusing.”

Konteks : Tuturan dituturkan oleh seorang siswa, dan tuturan terjadi di dalam kelas tepat setelah ujian berakhir. Tuturan merupakan tanggapan dari mitra tutur (siswa B) kepada penutur (siswa A) yang menyatakan bahwa ujiannya sangat sulit.

Jawaban (B) telah memenuhi maksim ini dengan cara memaksimalkan kesepakatan dengan (A). Mitra tutur menunjukan kesepakatannya dengan penutur dengan mengatakan bahwa ujiannya memang sulit sampai kepalanya pusing.

f. Maksim Kesimpatian (Thy Maxim)

Maksim kesimpatian mengharuskan penutur dan mitra tutur memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati diantara mereka. dalam maksim ini, penutur harus memberikan dan menunjukan rasa simpati kepada mitra tutur atas apa yang dialami mitra tutur (Leech, 1993: 2017). Maksim ini diperlukan untuk mengungkapkan kesantunan karena setiap orang perlu bersimpati terhadap prestasi serta terhadap musibah yang dialami oleh orang lain. Maksim diungkapkan menggunakan tuturan asertif dan ekspresif. Berikut contoh dalam maksim kesimpatisan:

Tuturan 1 : “Saya turut berdukacita atas meninggalnya ayahmu, kamu yang sabar yah, kita sama-sama mendoakan beliau.”

Tuturan 2 : Iya terima kasih banyak

Konteks : Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang siswa kepada temannya, dan tuturan tersebut terjadi di rumah duka. Tuturan merupakan tanggapan yang diberikan penutur terhadap musibah yang dialami oleh temannya.

Tuturan di atas telah memenuhi maksim kesimpatisan karena penutur telah memaksimalkan rasa simpati kepada mitra tutur. Contoh tuturan diatas merupakan ucapan simpati dari penutur kepada salah satu temannya yang ayahnya meninggal.

(39)

2.2.6 Fungsi Kesantunan Berbahasa

Fungsi kasantunan berbahasa tidak semata-mata dimaksudkan dan digunakan untuk menyamapaikan infromasi; namun juga digunakan untuk membangun dan membina relasi antarwarga masyarakat pemakai bahasa tersebut (Rahardi, 2005: 7). Fungsi utama tuturan jika dilihat dari pihak penutur adalah fungsi menyatakan (deklaratif), fungsi menanyakan (interogatif), fungsi menyuruh (imperatif), fungsi eksklamatif, dan fungsi empatik (Rahardi, 2005: 74-86).

Berikut penjelasannya:

a. Fungsi menyatakan (deklaratif)

Fungsi menyatakan di dalam kajian gramatika dilakukan dalam bentuk kalimat deklaratif, yakni kalimat yang menyampaikan berita atau keadaan di sekeliling penutur. Dengan tuturan dalam kalimat deklaratif ini, penutur tidak mengharapkan adanya komentar dari lawan tutur; juga memang memang tidak ada kewajiban lawan tutur untuk mengomentarinya. Akan tetapi, bukan berarti lawan tutur tidak boleh mengomentarinya. Kalimat deklaratif dalam bahasa Indonesia dapat merupakan tuturan langsung dan tuturan tidak langsung.

Contoh:

A: Ibu menyahut, “Si Atik akan segera pulang dari jepang bulan depan.”

B: “Ibu menyahut dengan mengatakan bahwa Si Atik akan segera pulang dari Jepang bulan depan.”

Konteks: Dituturkan oleh ibu Atik kepada suaminya ketika mereka bersama- sama duduk dengan santai di serambi rumah mereka sambil membaca koran.

Baik tuturan (A) mapun (B) kedunya mengandung maksud menyatakan atau memberitahukan seseuatu. Dalam hal ini, informasi bahwa seseorang yang

(40)

bernama Atik itu akan pulang dari negara Jepang. Dengan demikian, jelas bahwa kedua kalimat itu merupakan kalimat deklaratif (Rahardi, 2005: 74-75).

b. Fungsi menanyakan (interogatif)

Tuturan dengan fungsi menanyakan dilakukan dalam bentuk kalimat bermodus interogatif. Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengandung maksud menanyakan sesuatu kepada si mitra tutur. Dengan perkataan lain, apabila seseorang penutur bermaksud mengetahui jawaban terhadap suatu hal atau suatu keadaan, penutur akan bertutur dengan menggunakan kalimat interogatif kepada si mitra tutur. Dalam bahasa Indonesia, terdapat paling tidak lima macam cara untuk mewujudkan tuturan interogatif. Kelima macam cara itu sebagai berikut: (1) dengan membalik urutan kalimat, (2) dengan menggunakan kata apa atau apakah, (3) dengan menggunakan kata bukan atau tidak, (4) dengan mengubah intonasi kalimat menjadi intonasi tanya, dan (5) dengan menggunakan kata-kata tanya tertentu. Kalimat interogatif dapat dibedakan menjadi dua, yakni (1) kalimat interogatif total dan (2) kalimat interogatif parsial. Kalimat interogatif total dimaksudkan untuk menanyakan secara keseluruhan informasi yang terdapat dalam pertanyaan. Lazimnya, kalimat interogatif total itu menanyakan kesetujuan dan ketidaksetujuan mitra tutur. Dengan kata lain, kalimat interogatif total menuntut dua kemungkinan tanggapan, yakni tanggapan mengiyakan (iya atau sudah) dan tanggapan menidakkan (tidak, bukan, atau belum). Adapun kalimat interogatif parsial adalah kalimat interogatif yang dimaksudkan untuk menanyakan sebagain informasi yang terkandung di dalam pertanyaan.

(41)

Contoh :

A: “Apakah surat permohonan bantuan ke negeri Belanda sudah diselesaikan?”

B: “Siapakah yang menyelesaikan surat permohonan bantuan ke negeri Belanda?”

Konteks: Kedua tuturan itu ditutrkan oleh seorang pimpinan pimpinan kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang pimpinan.

Tuturan (A) dianggap sebagai kalimat interogatif total karena tuturan itu tidak mengharapkan jawaban yang hanya menanyakan sebagai dari kalimat interogatif itu, melainkan menanyakan isi tuturan secara keselurahan. Sebaliknya, tuturan (B) mengharapkan jawaban yang hanya merupakan bagian dari kalimat interogatif. Oleh karena itu, kalimat tersebut disebut kalimat interogatif parsial (Rahardi, 2005: 76-78).

c. Fungsi memerintah (imperatif)

Tuturan dengan fungsi memerintah dilakukan dalam kalimat bermodus imperatif. Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan suatu sebagaimana diinginkan penutur. Kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia dapat berkisar antara suruhan yang sangat keras atau kasar sampai dengan permohonan yang sangat halus atau santun. kalimat imperatif merupakan suruhan untuk melakukan sesuatu sampai larangan untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia itu kompleks dan banyak variasinya. Secara singkat, menjadi lima macam, yakni (1) kalimat imperatif biasa, (2) kalimat imperatif permintaan, (3) kalimat imperatif pemberian izin, (4) kalimat imperatif ajakan, dan (5) kalimat imperatif suruhan.

(42)

Contoh:

A: Monik tolong ambil botol minumku.”

Konteks: Dituturkan oleh teman Monik pada saat pada saat ia mau minum, tetapi botol airnya tidak berada didekatnya

Dalam tuturan (A) menunjukan bahwa penutur meminta mitra tutur untuk mengambil botol minumnya yang pada saat itu tidak berada di dekatnya. Tuturan tersebut mengandung maksud meminta.

d. Fungsi Eksklamatif

Kalimat eksklamatif adalah kalimat yang dimaksudkan untuk menyatakan rasa kagum. Karena kalimat eksklamatif menggambarkan suatu keadaan yang mengundang kekaguman. Kalimat ini disusun dari kalimat deklaratif yang berpredikat adjektiva. Ketentuan-ketentuan berikut dapat digunakan untuk membentuk tuturan eksklamatif yakni, (1) susunan kalimat dibuat invensi, (2) pertikel-nya melekat pada predikat yang telah diletekan di depan subjek, (3) kata seru alangkah dan bukan main diletakan di posisi terdepan.

Contoh:

A: “Wah... Bukan main sopannya kedua penjaga makam Ibu Negara yang sebelah utara itu.”

Konteks: Dituturkan oleh seorang pengunjung yang sudag berusia lanjut di makam Ibu Negara. Tuturan itu disampaikan pada saat ia bersama dengan temannya beranjak meninggalkan kompleks makam.

Dalam tuturan (A), penutur mengutarakan rasa kagunya terhadap kedua penjaga makam Ibu Negara yang sangat sopan. Tuturan di atas menunjukan bahwa penutur mengutarakan rasa kekagumannya kepada keadaan di sekitar.

(43)

e. Fungsi Empatik

Kalimat empatik adalah kalimat yang di dalamnya terkandung maksud memberikan penekanan khusus. Dalam bahasa Indonesia, penekanan khusus itu biasanya dikenakan pada bagian subjek kalimat. Penekanan khusus itu dapat dilakukan dengan cara menambahkan informasi lebih lanjut tentang subjek itu.

Dengan demikian, terdapat dua ketentuan pokok yang dapat digunakan untuk membentuk kalimat empatif dalam bahasa Indonesia, yakni (1) menambahkan partikel-kah pada subjek dan (2) menambahkan kata sambung yang di belakang subjek.

Contoh:

A: “Para pengurus kopma-lah yang pertama kali harus mempertanggungjawabkan ketidakberesan uang dan barang dagangan itu”

Konteks: Dituturkan oleh seorang dosen kepada rekannya yang juga seorang dosen pada sebuah kampus. Tuturan itu muncul karena pada saat itu sedang ada kasus ketidakberesan keungan koperasi mahasiswa di kampus itu.

Dalam tuturan (A) merupakan tuturan yang mengandung kalimat empatik.

Tuturan tersebut menunjukan bahawa penutur telaj memberikan penekanan pada kata kopma yakni menambahkan partike kah.

2.3 Kerangka Berpikir

Dalam kerangka berpikir, peneliti akan memberikan gambaran mengenai apa yang peneliti lakukan. Penelitian ini dilatarbelakngi masalah-masalah siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta yang kurang mampu menggunakan bahasa secara santun pada saat berkomunikasi khususnya dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia. Peneliti bisa merekam suara, membuat video ataupun mencatat hasil pembicaraan siswa-siswi yang dianggap santun serta

(44)

fungsi tuturan santun selama proses pembelajaran berlangsung, antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Berdasarkan judul yang diambil oleh peneliti, pengetahuan ataupun teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah terori pragmatik, konteks, kesantunan, prinsip kesantunan dan fungsi kesantunan dalam berkomunkasi. Berikut ini digambarkan hasil kerangka berpikir:

2.1 Kerangka Berpikir

ANALISIS PENANDA DAN FUNGSI KESANTUNAN

BERBAHASA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI SISWA-SISWI KELAS XI IPS SMA PANGUDI LUHUR

YOGYAKARTA

KAJIAN PRAGMATIK

FUNGSI KESANTUNAN BERBAHASA MENURUT

KUNJANA RAHARDI PENANDA

KESANTUNAN LEECH

KESANTUNAN BERBAHASA

(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam metode penelitian ini akan dibahas mengenai enam hal diantaranya (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data penelitian, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data, (6) triangulasi data. Keenam hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian penanda dan fungsi kesantunan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta ini, menggunakan jenis penelitian yaitu metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskpriptif yaitu metode paparan hasil temuan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang diperoleh berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan. Menurut Moleong (2007: 6), penelitian kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya prilaku, persepsi, tindakan, dll secara holistik dan dengan cara deskrispi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pendekatan deskriptif kualitatif yang dimaksud adalah penelitian yang akan memberikan berbagai gambaran mengenai penanda kesantunan dan ketidasantunan berbahasa serta fungsi kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa- siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif karena data yang digunakan sebagai objek dalam

32

(46)

penelitian yaitu berupa tuturan dari siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan penelitian terhadap tigas kelas yakni kelas XI IPS 1, XI IPS, dan XI IPS 3 yang masing-masing kelas terdiri dari 30 siswa. Peneliti mulai mengambil data pada tanggal, 13 February 2019 sampai dengan tanggal, 27 Maret 2019. Peneliti melakukan pengambilan data tiga kali dalam seminggu, yakni pada hari Rabu, Kamis, dan Jumat. Dalam melaukan penelitian, durasi yang digunakan peneliti untuk mengambil data yaitu, dua jam dalam sekali pertemuan. Adapun data dalam penelitian ini berupa tuturan dari siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, rekam dan catat. Berikut uraian dari tiga teknik tersebut.

a. Teknik observasi

Teknik observasi merupakan teknik pengumpulan data, yakni peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. Dalam teknik observasi ini, peneliti akan mengamati penggunaan bahasa dari siswa kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Dalam hal ini, peneliti akan mengamati penggunaan tuturan yang mengandung penanda kesantunan yakni

(47)

ada enam maksim serta fungsi kesantunan yakni ada lima fungsi. Selain itu, peneliti juga mengamati konteks selama berinteraksi.

b. Teknik catat

Teknik catat merupakan teknik untuk mencatat data yang diperoleh dari informan. Dalam melakukan teknik catat, peneliti sudah membekali diri dengan membuat kartu data yang telah disediakan. Dalam teknik catat ini, peneliti akan mencatat tuturan-tuturan yang mengandung prinsip kesantunan berbahasa serta fungsi kesantunan berbahasa disertai konteksnya.

c. Teknik rekam

Teknik rekam digunakan untuk merekam tuturan yang terajadi di kelas.

Peneliti merekam menggunakan alat yang sudah peneliti sediakan yakni menggunakan handphone. Tekni rekam ini digunakan peneliti untuk kembali mendengar tuturan yang belum sempat dicatat.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan penelitian. Adapaun instrumen yang akan diguanakan peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan berbekal pengetahuan pragmatik dengan fokus penanda dan fungsi kesantunan berbahasa.

Peneliti sebagai instrumen penelitian, memegang peranan yang sangat penting dalam penelitian. Salah satu peran tersebut yakni dalam mengumpulkan data.

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik utama yaitu teknik observasi. Dalam teknik observasi ini, peneliti melakukan pengamatan terhadap

(48)

penggunaan bahasa. Selain teknik observas, peneliti juga menggunakan teknik catat, yakni mencatat tuturan-tuturan yang dituturkan oleh siswa dan guru yakni, tuturan-tuturan yang diduga merupakan tuturan yang termasuk dalam enam penanda kesantunan berbahasa dan lima fungsi kesantunan berbahasa. Selain teknik observasi dan catat, peneliti juga melakukan teknik rekam untuk mendengar kembali tuturan-tuturan yang belum sempat dicatat.

Sebagai bekal pengumpulan data, peneliti melengkapi diri dengan format pengumpulan data sebagai berikut:

1. Penanda kesantunan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta

Data tuturan ...

...

Konteks ...

...

Analisis ...

...

2. Fungsi kesantunan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta

(49)

Data tuturan ...

...

konteks ...

...

Analisis ...

...

3.5 Teknik Analisis Data

(Moleong 2006: 247) menyatakan bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan hasil observasi untuk menganalisis data tuturan.

Dalam penelitian kualitatif, data dianalisis pada saat pengumpulan data dan setelah selesai pengumpulan data. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskpriptif, yakni metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data yang sudah terkumpul sebagaimana adanya.

Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan langkah sebagai berikut:

a. Peneliti mengidentifikasi data

Identifikasi merupakan kegiatan mencari, menemukan, mengumpulkan, meneliti, mendaftarkan, mencatat data dan informasi dari kebutuhan lapangan.

(50)

Pada tahap identifikasi, peneliti mengidentifikasi penanda dan fungsi kesantunan berbahasa yang dituturkan oleh siswa. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui tuturan-tuturan mana yang masuk dalam penanda dan fungsi kesantunan dan yang tidak termasuk.

b. Peneliti mengklasifikasi data

Klasifikasi data berguna untuk mengelompokan dan mengklasifikasikan data.

Setelah peneliti melakukan identifikasi data, peneliti kemudian mengelompokan data tuturan berdasarkan prinsip kesantunan dan fungsi kesantunan. Klasifikasi data bertujuan untuk mengetahui tuturan mana saja yang termasuk dalam penanda kesantunan yang terdiri dari enam, yakni penanda maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim kesimpatisan. Selain itu, untuk mengetahui tuturan mana saja yang termasuk dalam fungsi kesantunan berbahasa, yakni fungsi menyatakan (Deklaratif), fungsi menanyakan (interogatif), fungsi memerintah (imperatif), fungsi eksklamatif, dan fungsi empatik.

c. Peneliti menginterpretasi data (pemaknaan data)

Interpretasi merupakan sebuah bentuk dari kegiatan untuk melakukan penggabungan terhadap sebuah hasil dari analisis dengan berbagai macam pertanyaan dan kriteria, maupun pada sebuah standar tertentu guna untuk dapat mencipatakan sebuah makna. Peneliti menginterpretasi tuturan siswa untuk mengetahui penanda dan fungsi yang terdapat dalam tuturan tersebut. Selain itu, peneliti juga melihat respon yang diberikan siswa setelah guru memberikan tuturan.

(51)

d. Melaporkan

Melaporkan merupakan catatan mengenai informasi mengenai data yang diperoleh dan dikembangkan menjadi sebuah paragraf. Melaporkan menjadi tahap akhir peneliti untuk mendeskripsikan data. Peneliti menjelaskan dalam kata-kata mengenai penanda dalam kesantunan berbahasa serta fungsi dalam kesantunan berbahasa itu sendiri.

3.6 Triangulasi Data

Penelitian penanda dan fungsi kesantunan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa-siswi kelas XI IPS SMA Pangudi Luhur Yogyakarta menggunakan teknik triangulasi untuk memeriksa keabsahan data yang telah diperoleh dari hasil penelitian. Menurut Lexi J. Moleong (2006: 330), triangulasi adalah teknik pemerikasaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data.

Dalam penelitian ini, peneliti membuat triangulasi dengan tujuan untuk melakukan pengecekan terhadap validitas dan keterpercayaan hasil temuan.

Triangulasi dalam penelitian ini menggunakan teknik pemeriksaan yang memanfaatkan keahlian peneiliti lain untuk membantu mengurangi ketidakcermatan dalam langkah pengumpulan data. Penelitia lainnya yang melakukan pengecekan dalam triangulasi penelitian ini adalah pakar yang ahli dalam bidang pragmatik yakni, Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum.

Referensi

Dokumen terkait

dengan prioritas masalah Gangguan Nutrisi Kurang Dari kebutuhan. Mampu melaksanakan implementasi keperawatan

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. © Wahyu Purnama 2014 Universitas

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah “ Adakah pengaruh penggunaan media silsilah raja-raja terhadap

Analisis Penggunaan Huruf Lam dalam Al-Qur`an serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Tarjamah.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Judul Skripsi : Sintesis Pati Sitrat Dari Pati Singkong (Manihot utilissima P.) Dengan Metode Basah (Adebiyi). Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini ditulis berdasarkan

Pengaruh Praktik Kerja Industri (PRAKERIN) terhadap Kesiapan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam Berwirausaha.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Dengan keamanan data tersebut, maka dalam pembuatan laporan rekapitulasi gaji guru, pengontrolan dan keakuratan data akan lebih terjamin, sehingga gaji akan diterima oleh guru

Judul : Perbedaan Self-Esteem Proses Penuaan Pada lansia Pria Dan Wanita Terhadap Citra Tubuh Di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Binjai.. Nama Mahasiswa :