BAB I. PENDAHULUAN
1.5. Definisi Konsep
Solidaritas dimaknai sebagai rasa persaudaraan atas dasar keyakinan, pekerjaan, sedaerah, seperjuangan, senasib, dan punya kekerabatan (keluarga).
Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat memerlukan solidaritas sosial.
Solidaritas diperlukan dalam suatu masyarakat karena dapat membentuk hubungan sosial yang akrab antara individu, kelompok yang didasari oleh perasaan dan kepercayaan bersama dengan mengutamakan nilai-nilai moral dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat.
Durkheim membagi solidaritas menjadi dua bagian yaitu solidaritas sosial mekanik dan solidaritas sosial organik. “Pembagian solidaritas tersebut diawali pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dengan munculnya spesialisasi, dan perbedaan” (Basrowi, 2005: 6). Di dalam Solidaritas mekanik masyarakat atau kelompok memiliki kesadaran kolektif, maksudnya adalah sebagai berikut:
“Di mana mereka mempunyai kesadaran bersama dan nilai-nilai sosial yang masih berlaku, ditandai dengan masyarakat yang masih sederhana, pembagian kerja belum berkembang, Sementara solidaritas sosial organik dapat ditemukan pada masyarakat dengan masing-masing anggotanya tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri melainkan ditandai oleh saling ketergantungan dengan orang atau kelompok lain maka solidaritas ini menggunakan hukum dan rasionalitas” (Nopianti, R, 2016: 223).
Solidaritas yang dimaksudkan dalam penelitian ini terdiri atas tujuh model solidaritas sosial meliputi solidaritas sosial keagamaan dan silaturrahim, pendidikan, tolong menolong, ekonomi, budaya, gotong royong dan wisata dakwah yang dimiliki oleh masyarakat perantau Pasaman Barat di kota Medan yang tergabung pada perkumpulan Pusat Pembangunan Sumber Daya Manusia Saroha (PPSDM Saroha) dan Ikatan Keluarga Batahan dan Sekitarnya (IKBS).
1.5.2 Perantau
Merantau dapat diartikan sebagai berlayar atau pergi ke negara lain dengan tujuan mencari harta dan ilmu pengetahuan. Budaya merantau hampir dilakukan setiap etnik di Indonesia seperti etnik Batak, Jawa, Minangkabau, Bugis, Madura,
Melayu, Banjar, Aceh, India dan Cina. Kesuksesan merantau di negeri orang sangat dibanggakan oleh orang kampung dan dijadikan sebagai motivasi agar pemuda kampung merantau ke kota. Tujuannya adalah untuk merobah nasib keluarga yang lebih sejahtera secara ekonomi dan dapat diharapkan untuk membangun kampung halamannya sehingga bermanfaat untuk orang banyak.
Salah satu suku perantau yang di maksud dalam penelitian ini adalah etnik Mandailing asal Ranah Batahan Pasaman Barat yang merantau ke kota Medan.
Dalam bahasa etnik Mandailing disebut kehe maranto (pergi merantau).
1.5.3 Harmoni
Di dalam kehidupan diperlukan keharmonisan untuk mempertahankan suatu hubungan keluarga. Harmoni tidak hanya berlaku dalam keluarga seperti ayah, ibu, anak, kakek, nenek, abang, adik, dan kakak tetapi diperlukan di setiap elemen masyarakat. Pentingnya mempererat harmoni dalam bermasyarakat karena seiring perkembangan zaman terjadinya perubahan sosial yang mengakibatkan berubahnya sikap, perilaku dan pandangan di dalam masyarakat seperti cemburu, akhlak tercela, menyakiti jasmani, berselisih antar kelompok, komunikasi tidak berjalan, krisis kepercayaan, dan keegoisan.
Keharmonian dalam kelompok sangat erat kaitannya dengan kebahagiaan dan keserasian baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok yang terdapat dalam sebuah perkumpulan atau persatuan. Model keharmonian tersebut terbentuk karena ada ikatan darah, kedaerahan, profesi, senasib, kesadaran kolektif dan spiritualitas kolektif.
12 2.1 Migrasi
Masyarakat Indonesia yang beragam agama, etnik, warna kulit, bahasa dan budaya sering melakukan perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain.
Perpindahan itu dinamakan migrasi artinya berpindah, bisa juga dipahami merantau. Perpindahan penduduk tersebut misalnya dari desa ke kota, dari suatu negara ke negara lain dengan alasan melanjutkan pendidikan, pemikiran rasional, ajakan teman, karir, dan bekerja untuk memperbaiki ekonomi keluarga demi masa depan keluarga. Seiring berjalannya waktu dan perubahan sosial yang semakin cepat berkembang maka semakin banyak pula masyarakat dari desa yang pindah dan menetap di wilayah perkotaan.
Popogbe & Adeosun (2020) dalam hasil risetnya menjelaskan migrasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota disebabkan karena faktor ekonomi, politik, keluarga, pendidikan, medis, terancam keselamatan diri dan karir untuk meningkatkan tarap kehidupan yang lebih baik. Dalam perspektif yang lain faktor-faktor yang memotivasi migrasi dibahas oleh Mohamed & Abdul-Thalib (2020) yaitu ekonomi, psikologis dan situasional. Faktor ekonomi tersebut adalah kurangnya kesempatan kerja dan kesulitan dalam mengaplikasikan keterampilan yang dimiliki di negara asalnya. Faktor psikologis dikarenakan tekanan dari pihak keluarga. Faktor situasional terjadinya diskriminasi di suatu negara sehingga tidak nyaman dari segi fisik dan psikologis.
Dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat beberapa penelitian yang mengkaji tentang migrasi. Misalnya, Shrestha (2011) yang meneliti tentang arus migrasi
internasional dari negara maju ke negara berkembang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar negara berkembang memiliki tenaga kerja yang melimpah tetapi kekurangan modal. Sedangkan negara maju memiliki modal dan teknologi yang melimpah tetapi kekurangan tenaga kerja untuk menghasilkan output. Pembalikan arus migrasi internasional dari negara maju ke negara berkembang dapat membantu meningkatkan output dunia secara signifikan yaitu dengan cara menyesuaikan tingkat tenaga kerja, modal dan teknologi secara tepat.
Hal ini karena ketika warga negara maju bermigrasi ke negara berkembang mereka juga akan membawa serta modal (aset fisik) dan teknologi.
Penelitian lain dilakukan oleh Pratomo (2017) tentang pentingnya pendidikan dalam melakukan migrasi untuk meningkatkan tingkat kinerja tenaga kerja di empat kota di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Pendidikan pasca-migrasi berkontribusi signifikan terhadap kinerja pasar tenaga kerja dalam hal status kerja dan upah, dibandingkan dengan pendidikan pra-migrasi. Dari segi status pekerjaan, para migran dengan memiliki pendidikan mendapatkan peluang yang besar untuk bekerja di sektor formal dibandingkan dengan migran yang kurang dalam pendidikan. Berkaitan dengan penghasilan, para migran dengan pendidikan juga cenderung dibayar lebih dari para migran dengan pendidikan kurang atau tanpa pendidikan pasca-migrasi.
Mengutip hasil riset Pelly (2016) migrasi dari suatu daerah ke daerah lain memerlukan adaptasi, mengadopsi budaya lokal dan punya misi budaya. Dari penjelasan ini migrasi tidak hanya faktor ekonomi saja yang melatarbelakangi masyarakat migrasi tetapi dalam bentuk pengembangan misi budaya. Migrasi etnik Mandailing dari Pasaman Barat ke kota Medan disebabkan oleh faktor
pendidikan, ekonomi, status sosial, dan menjaga eksistensi budaya. Menurut Pelly (2016) orang yang merantau memiliki tingkat kecerdasan dan kecakapan yang lebih dan membawa suatu misi budaya (cultural mission). Dalam aktualisasinya misi budaya ini bersamaan dengan proses kehidupan adaptasi mereka di perantauan. Karena misi budaya ini menentukan strategi adaptasi mereka di rantau, seperti pemukiman, pekerjaan, komunikasi terhadap penduduk di rantau dan hubungan terhadap daerah asal.
Penelitian yang dilakukan oleh Naim (2013) mengenai pola migrasi etnik Minangkabau. Etnik Minangkabau mengembangkan misi budaya di daerah rantau membawa sesuatu seperti harta dan ilmu pengetahuan. Setelah mencapai keberhasilan di rantau mereka kembali untuk membangun dan memperkaya kampung halaman mereka. Naim (2013) ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas migrasi etnik Minangkabau yaitu faktor ekologi, geografi, ekonomi, pendidikan, daya tarik kota, keresahan politik, dan pelembagaan sosial. Di dalam penelitiannya tidak hanya membahas migrasi etnik Minangkabau tetapi membahas beberapa etnik yaitu Batak, Manado, Ambon, Banjar, Bugis, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Aceh, dan Melayu Pesisir.
Etnik Mandailing dan Minangkabau memiliki keinginan yang kuat untuk bermigrasi atau merantau. Migrasi yang dilakukan kedua etnik ini memiliki persamaan dan perbedaan dalam melakukan migrasi. Mochtar Naim membagi tujuh pola migrasi etnik Minangkabau. Pertama, dorongan kuat untuk migrasi disebabkan oleh tekanan ekologi, geografi, demografi, ekonomi, pendidikan, keresahan politik, pelembagaan sosial, daya tarik kota. Kedua, migrasi yang dilakukan secara sukarela, tidak ada paksaan, dan atas kemauan sendiri. Ketiga,
orientasi tinggal di rantau bersifat sementara (temporary). Keempat, pilihan rantau ke kota-kota besar di Indonesia. Kelima, pola bepergian ke rantau dilakukan secara individu. Keenam, pola kediaman di rantau dilakukan secara individual, terpencar sesuai pendidikan dan profesi yang dimiliki. Ketujuh, pemilihan profesi lebih bersifat innovatif. Umumnya etnik Minangkabau berprofesi sebagai dagang (bisnis), perkantoran (pemerintahan, swasta, dan militer), dan pendidikan (guru, dan dosen).
Ada beberapa perbedaan pola migrasi yang dilakukan etnik Mandailing.
Pertama, dorongan untuk migrasi tidak disebabkan oleh struktur sosial. etnik Mandailing dalam struktur sosialnya bersifat patrilineal berbeda dengan etnik Minangkabau bersifat matrilineal. Kedua, orientasi tinggal di rantau bersifat permanen (menetap di rantau). Ketiga, cara pergi ke rantau dilakukan secara individu dan berkelompok. Keempat, pola pemukiman di rantau secara individu dan berkelompok. Kelima, pemilihan dalam profesi di rantau. Pada umumnya memilih profesi seperti etnik Minangkabau. Tetapi tetap memilih profesi yang sebelumnya ditekuni di kampung halaman misalnya, sebagai petani, dan berkebun.
2.2 Perkembangan Kota
Seiring perkembangan zaman, kota menjadi tempat pemusatan kegiatan aktivitas sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan sehingga menjadi daya tarik bagi penduduk untuk berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Mengutip Lestari, dkk (2017) perkembangan kota adalah suatu kondisi yang mengalami perubahan di suatu wilayah baik dipengaruhi oleh faktor fisik dan non fisik.
Misalnya faktor geografis, lokasi, iklim, sumber alam. Faktor non fisik misalnya
perkembangan penduduk (kelahiran dan kepadatan penduduk), pendidikan, kebudayaan, perekonomian, dan perkembangan teknologi. Teori-teori perkembangan kota yang telah dikemukakan oleh E.W. Burgess menjelaskan bahwa suatu kota yang berkembang mengalami perluasan dari yang wilayah inti ke wilayah luar (segala arah). Dengan perluasan wilayah maka akan mendorong pertumbuhan wilayah tersebut dijadikan sebagai wilayah pendukung yang saling berkaitan. Keterkaitan ini dapat berupa ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan.
Supsiolani (2013) dalam hasil risetnya menjelaskan dukungan kearifan lokal dapat memicu perkembangan kota. Dalam penelitiannya perkembangan suatu kota tidak pernah lepas dari identitasnya. Dapat dilihat dari kemampuan masyarakat untuk menjaga jati diri bangsa yang berdasarkan kearifan lokal.
Dalam perspektif yang lain faktor-faktor berkembangnya perkotaan dibahas oleh Yudantini, dkk (2017) yaitu mempertahankan kebudayaan di suatu wilayah.
Dalam penelitiannya menjelaskan kekayaan warisan budaya harus dilestarikan dan dijaga. Karena memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan dan pertumbuhan kota yang di dalamnya terdapat perpaduan budaya, nilai-nilai, terbuka, kerjasama, dan kesetaraan.
Penelitian lain dilakukan oleh Prasetyo (2017) tentang identitas suatu daerah dapat meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan kota. Hasil penelitiannya identitas tersebut dapat dimanfaatkan sebagai destinasi wisata dan dijadikan sebagai cagar budaya yang dapat menarik perhatian masyarakat lokal dan internasional. Dengan identitas tersebut dapat meningkatkan kualitas kota dengan melakukan perbaikan fisik melalui revitalisasi, preservasi dan konservasi,
meningkatkan kualitas urban street furniture, memperkuat karakter kawasan kota, meningkatkan kualitas dan kelengkapan fasilitas sarana dan prasarana kota.
Dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat beberapa penelitian yang mengkaji tentang perkembangan kota. Misalnya, Ramadhani (2013) yang meneliti tentang urbanisasi bagi perkembangan kota di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dampak urbanisasi dapat mengakibatkan dampak positif dan negatif. Dampak positif bagi perkembangan kota di Indonesia yaitu terbukanya lahan baru, bertambahnya fasilitas perkotaan, terbukanya jaringan transportasi antar daerah, perkembangan struktur tata ruang kota, dan terpenuhinya semua pekerjaan yang dibutuhkan di sektor formal dan informal. Adapun dampak negatif dari urbanisasi terhadap perkembangan kota yaitu meningkatnya kriminalitas, menurunnya kesejahteraan, kemiskinan, ketidakseimbangan pendapatan masyarakat, meningkatnya populasi di perkotaan sehingga produksi di desa menurun, permasalahan lingkungan, pemukiman yang kumuh.
Penelitian lain dilakukan oleh Miranti, dkk (2019) tentang pentingnya peran pemimpin daerah untuk kemajuan kota. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam mewujudkan perkembangan kota dan kemajuan, salah satunya yaitu visi dan misi yang telah diterapkan sejak lama di suatu wilayah yang dikuasainya.
Hasil yang paling menonjol selama kepemimpinan walikota di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan dalam mewujudkan perkembangan kota ialah ekonomi masyarakat berkembang, baik dari segi pendapatan, bahan baku, dan meluasnya jaringan antar kota/kabupaten untuk mempermudah melakukan aktifitas berdagang atau bisnis. Dari segi sosial, kemiskinan di Kota Pagar Alam mengalami penurunan pada setiap tahun. Dalam perkembangannya, Kota Pagar
Alam tumbuh menjadi Kota yang memiliki penduduk miskin paling sedikit di Sumatera Selatan.
2.3 Solidaritas Sosial
Dalam penelitian ini, digunakan teori solidaritas sosial untuk mendeskripsikan tentang jenis-jenis solidaritas sosial yang ada dalam perkumpulan sosial semisal perkumpulan Pusat Pembangunan Sumber Daya Manusia Saroha (PPSDM Saroha) dan Ikatan Keluarga Batahan dan Sekitarnya dan lainnya di kota Medan. Solidaritas sosial terbentuk karena adanya realitas sosial dan interaksi sosial antara satu dengan yang lain. Di dalam kehidupan masyarakat membutuhkan solidaritas, memiliki sikap saling tolong menolong untuk kepentingan bersama, dan rasa tanggung jawab (Offer, 2019).
Solidaritas sosial merupakan elemen pergaulan manusia yang menekankan pada ikatan sosial kohesif yang menyatukan kelompok, yang dihargai dan dipahami oleh semua anggota kelompok (Douwes et al., 2018). Menurut Douwes solidaritas sosial menekankan kepada suatu keyakinan, memiliki sikap altruisme (peduli terhadap orang lain) dan adanya hubungan timbal balik. Lindenberg et al dalam Igwe (2020) menyebutkan ada lima pola yang menentukan tingkat solidaritas sosial yang dapat diamati dalam kelompok sosial yaitu:
1. Kerjasama 2. Keadilan 3. Dukungan
4. Menghindari pelanggaran norma dan, 5. Situasi
Dalam lima tahun terakhir, terdapat beberapa penelitian yang mengkaji tentang solidaritas sosial. Misalnya, Igwe et al (2020) yang meneliti tentang solidaritas dan perilaku sosial dalam membantu komunitas untuk mengelola pandemi COVID-19 di Nigeria. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sangat besar peranan solidaritas dan perilaku masyarakat dalam menghadapi pandemi COVID-19 dimotivasi oleh nilai moral, agama, dan norma budaya. Masyarakat dan berbagai komunitas mereka saling mendukung, mendidik, dan meningkatkan kesadaran tentang penyakit dan mendukung kelompok rentan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Keles, Markova, & Fatah (2018) tentang peran jaringan solidaritas etnis dalam menentukan status migran asal Irak untuk mendapatkan akses pekerjaan di Inggris. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa solidaritas yang dibentuk antar migran asal Irak di Inggris untuk mendapatkan pekerjaan yaitu tidak didasarkan pada sikap altruisme, melainkan terkait dengan trauma kolektif, ingatan dan pengalaman serta mobilisasi politik anggota kelompok secara langsung yang diwujudkan melalui empati, simpati dan solidaritas dengan mereka yang membutuhkan, dan didukung oleh rasa tanggung jawab.
Merujuk pada beberapa hasil penelitian tersebut di atas, bahwasanya riset mengenai solidaritas sosial telah dikemukakan sebelumnya oleh Emile Durkheim.
Beliau merupakan tokoh sosiolog asal Prancis. Di dalam karyanya yang berjudul The Division of Labor in Society (1893) Durkheim mengamati kehidupan masyarakat yaitu dari masyarakat yang solidaritas mekanik di mana komunitas yang homogen hidup bersama tumbuh menuju solidaritas organis yang semakin heterogen, dan hubungan sosial yang terjalin berdasarkan kebutuhan dasar setiap individu. Pemikiran Durkheim diawali dengan munculnya fenomena sosial bagi
kehidupan manusia. Seperti gejala sosial yang terjadi pada masa revolusi industri di Inggris.
Menurut pandangan Durkheim masyarakat memerlukan solidaritas.
Solidaritas sosial dimaknai rasa persaudaraan atas dasar keyakinan, pekerjaan, seperjuangan, senasib dan kekerabatan (keluarga). Solidaritas menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosi bersama (Wijaya, dkk, 2018). Solidaritas menggambarkan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat sehingga memperkuat hubungan antar mereka.
Selanjutnya, Durkheim membedakan antara dua tipe utama solidaritas sebagai berikut:
1. Solidaritas sosial mekanik. Di dalam solidaritas mekanik ini merupakan suatu tipe solidaritas yang didasarkan atas persamaan bahwasanya solidaritas mekanik dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana yang dinamakan
“segmental”. Di dalam kategori ini terdapat ciri-cirinya yaitu masyarakat ditandai oleh adanya kesadaran kolektif yang masih tinggi, masyarakat yang masih sederhana, tinggal tersebar, dapat menjalankan peran yang diperankan orang lain, pembagian kerja yang rendah, hukuman bersifat represif (memaksa) sehingga memperkuat hubungan di antara mereka. Pembagian kerja yang masih rendah maksudnya apa yang dilakukan oleh seorang anggota masyarakat biasanya dapat dilakukan pula oleh orang lain. Dengan demikian tidak terdapat saling ketergantungan antara kelompok berbeda karena
masing-masing kelompok dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan terpisah satu dengan lain serta masih terikat satu sama lain yang didasarkan pada emosional dan kepercayaan dan komitmen. (Nopianti, 2016).
2. Solidaritas sosial organik. Pada solidaritas ini terdapat pembagian kerja yang tinggi sangat memungkinkan terjadi perbedaan, masing-masing anggotanya tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri melainkan ditandai oleh saling ketergantungan yang besar dengan orang lain atau kelompok lain.
Di solidaritas organik Dilihat dari segi hukum lebih bersifat restitutif maksudnya dari hukum ini disesuaikan dengan penyimpangan yang terjadi.
Maka hukuman yang diberikan yaitu bersifat memperbaiki dan memberikan kesempatan bagi pelakunya untuk memperbaiki atas apa yang telah dilakukan (Sunarto, 2004).
Dari kalangan muslim, muncullah sosiolog terkenal yaitu “Ibnu Khaldun lahir di Tunisia, Afrika Utara, 27 Mei 1332,” (Ritzer, 2004: 8). Karyanya cukup dikenal secara luas yaitu Al-Muqaddimah. Pemikiran Khaldun memiliki persamaan terhadap pemikiran dari sosiolog Barat seperti Emile Durkheim.
Khaldun juga melakukan riset tentang masyarakat Badui, sifat sifat manusia, fenomena-fenomena sosial masyarakat desa, perkotaan dan peradaban umat manusia.
Khaldun memandang masyarakat Badui masyarakat yang tinggal di pedesaan atau pedalaman, mereka hidup di daerah Padang Pasir dan berwatak keras. Mereka hidup dengan cara bertani, menanam sayur, buah-buahan dan juga beternak seperti kambing, sapi, domba (Sujati, 2018). Kehidupan pada masyarakat ini saling membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup dan masyarakat ini
memiliki ikatan solidaritas sosial (asabiyah) yang kuat. Masyarakat kota dimaknai masyarakat yang hidup di perkotaan dengan hidup serba kemewahan. Dalam masyarakat kota ikatan solidaritasnya (asabiyah) lemah. Pemikiran Ibn Khaldun tentang bermasyarakat bahwa manusia senantiasa hidup berkelompok, saling ketergantungan dan tidak mampu hidup sendiri dan membutuhkan orang lain.
untuk mencapai tujuan yang sama dari setiap individu. Maka betapa pentingnya asabiyah diwujudkan di antara mereka. Dari pemikiran Khaldun mengenai perubahan sosial, tidak hanya terhadap masyarakat tetapi mengenai persoalan politik dan negara.
Menurut Ibn Khaldun pentingnya asabiyah di dalam struktur negara dan politik karena, berdirinya suatu negara berkenaan dengan realitas penduduk (masyarakat) Keadaan sebuah penduduk tersebut dilihat dari faktor psikologis bahwa masyarakat tidak mungkin mendirikan negara tanpa didukung perasaan persatuan dan solidaritas yang kuat. Selanjutnya bahwa proses pembentukan negara itu harus melalui perjuangan yang keras dan berat. Apabila pemimpin tidak mampu menaklukkan lawan (musuh) maka dirinya sendiri yang akan kalah dan negara tersebut akan hancur. Oleh sebab itu, dibutuhkan kekuatan yang besar untuk mewujudkannya. Dan peran agama juga dapat membentuk memperkuat asabiyah dalam menghadapi suatu permasalahan (Alam, dkk, 2019). Dari fokus penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas tentang solidaritas sosial perantau Ranah Batahan Pasaman Barat dala menjaga harmoni keluarga di kota Medan.
2.4 Harmoni Keluarga
Harmoni berasal dari bahasa Yunani “harmonia” yang artinya terikat secara serasi atau sesuai. Dalam Bahasa Indonesia harmoni diartikan selaras atau serasi, rukun dan damai. Dari segi istilah harmoni adalah kondisi di mana individu hidup sejalan dan serasi berdasarkan kepentingan masyarakat; keluarga, kelompok, komunitas, bangsa dan negara (Faiz, 2019). Syarat-syarat terbentuk harmoni yaitu melalui komunikasi, bersikap ramah, toleransi, dan sikap menghormati terhadap keanekaragaman masyarakat. Mengutip Futaqi (2020) ada beberapa bentuk keharmonisan sosial yaitu:
1. Harmoni terhadap kelompok etnis dan budaya
Dalam kehidupan sosial harus dikembangkan sikap dan perilaku sosiokultural yang mendukung bagi penguatan etnisitas dan nasionalitas. Sikap menghargai dan menjunjung tinggi prinsip keragaman dalam kesatuan menjadi dasar filsafat hidup bangsa. Setiap kelompok etnis, siapa pun dan dari mana pun asalnya, hendaknya diterima apabila individu atau kelompok bertransmigrasi ke suatu daerah tertentu. Walaupun berbeda suku dan budaya adalah saudara sebangsa dan setanah air dan warga negara yang sah dan tentunya mempunyai hak untuk mencari nafkah di berbagai daerah di Tanah Air. Menciptakan kehidupan yang rukun dan damai tidaklah sulit jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari walaupun berbeda suku dan budaya. Misalnya kelompok etnik pendatang hendaknya menghormati tata nilai dan tata budaya masyarakat lokal. Dengan menghormati adat istiadat setempat, kelompok etnis pendatang akan mudah bergaul dan menyesuaikan diri dengan kultur dan tradisi masyarakat setempat.
Dengan mengembangkan sikap dan perilaku sosial seperti ini, konflik -konflik
sosial dapat dicegah dan dihindari. Selanjutnya untuk menciptakan kehidupan yang rukun dan damai yaitu menjauhkan sifat kecemburuan sosial. Biasanya kelompok etnis pendatang meraih kesuksesan di tanah rantau karena mereka lebih ulet, tekun, dan mempunyai motivasi dan etos kerja dibanding masyarakat lokal.
Kehadiran kelompok etnis pendatang merupakan saudara sebangsa dan setanah air. Patut disyukuri juga bahwa kelompok etnis pendatang telah berjasa dalam menghidupkan dan meningkatkan perekonomian masyarakat daerah.
2. Harmoni terhadap kehidupan beragama
Dalam kehidupan beragama hendaknya selalu hidup rukun dan damai.
Kehidupan beragama di masyarakat sering terjadinya disharmonisasi antara umat berbeda agama. Misalnya konflik yang sering terjadi di Indonesia adalah
Kehidupan beragama di masyarakat sering terjadinya disharmonisasi antara umat berbeda agama. Misalnya konflik yang sering terjadi di Indonesia adalah