• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5. Definisi Konsep

Desa mandiri atau desa sembada adalah desa yang memiliki kemampuan

kehidupan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa dengan ketahanan sosial, ketahanan ekonomi, dan ketahanan ekologi secara berkelanjutan. Desa dapat dikatakan mandiri, jika memiliki akses pelayanan dasar memadai untuk masyarakat, kondisi infrastruktur dan transportasi yang tidak sulit untuk diakses semua masyarakat, pelayanan umum kepada masyarakat desa yang sudah baik, kemandirian desa, dan kualitas sumber daya manusia yang baik.

2. Pemerintahan Desa

Pemerintahan desa adalah sebagai bagian subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintahan terendah langsung dibawahi oleh kepala desa. Pemerintah desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya untuk tercapainya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

3. Stakeholder

Stakeholders merupakan sebuah individu atau kelompok yang memiliki peranan penting dan dapat mempengaruhi atau dipengaruhi dalam pencapaian tujuan pembangunan di desa. Stakeholder dalam penelitian ini diantaranya pemerintah daerah atau desa, pihak swasta baik perusahaan dan perorangan, lembaga pemerintahan desa, dan masyarakat desa. Konsep ini peneliti gunakan untuk melihat keberadaan stakeholder yang berpengaruh untuk mendukung tercapainya sebuah tujuan pembangunan.

4. Sinergitas

Sinergitas adalah sebuah proses interaksi multipihak atau gabungan dengan menggabungkan berbagai perpaduan unsur sosial seperti modal sosial, kekuatan sosial, gotong royong, dan norma untuk menghasilkan output yang lebih

baik. Sinergitas muncul ketika bagian-bagian organisasi sosial atau aktor saling berinteraksi untuk menghasilkan dampak gabungan yang lebih besar daripada apabila dilakukan sendiri oleh masing-masing bagian.

5. Sinergitas Antar Stakeholder

Sinergitas antar stakeholder dapat dipahami sebagai hubungan lanjutan dari proses interaksi sosial karena adanya rasa kepercayaan, rasa memiliki, komunikasi yang efektif, kreativitas dan inovatif sehingga membentuk kerjasama oleh individu, kelompok, atau organisasi yang terdapat pada tingkat masyarakat dan memiliki sebuah kepentingan dan dampak atau pengaruh penting dalam keterlibatan proses pembangunan. Sinergitas antar stakeholder dalam penelitian ini dilihat dari pola interaksi dan hubungan kerjasama yang berlangsung pada pemerintah desa, pihak swasta, lembaga desa dan masyarakat.

7. Pengembangan Desa

Pengembangan desa adalah sebagai upaya yang dilakukan dalam mengembangkan dan memajukan desa dari tertinggal menjadi berkemajuan dan mandiri. Pengembangan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mampu mempertimbangkan manfaat atau resiko yang ada untuk masyarakat desa.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep pengembangan desa yang memerlukan strategi yang matang dalam mencapai tujuan dan cita – cita kemajuan dan berkelanjutan di desa Buntu Pane.

8. Pengembangan Desa Mandiri

Pengembangan desa mandiri adalah sebagai upaya yang dilakukan dalam mengembangkan dan memajukan desa dari maju menuju mandiri. Pengembangan desa mandiri memperhatikan kualitas hidup masyarakat desa secara sosial,

ekonomi, dan lingkungan, serta tersedia secara baik sarana dan prasarana yang menjadi akses mobilitas sosial masyarakat desa.

9. Faktor Pendorong

Faktor pendorong adalah suatu kondisi atau beberapa usaha yang mampu mendukung dan mendorong suatu kegiatan dalam mencapai suatu tujuan. Faktor pendorong dalam penelitian ini dilihat dari kondisi yang berasal dari dalam dan luar unit analisis seperti potensi sumber daya alam, modal sosial, dan dukungan pihak luar, sehingga dapat mempermudah untuk tercapainya pembangunan desa.

10. Faktor Penghambat

Faktor penghambat adalah suatu kondisi atau beberapa usaha yang menghambat jalannya suatu kegiatan dalam mencapai suatu tujuan. Faktor penghambat dalam penelitian ini dilihat dari kondisi yang berasal dari dalam dan luar unit analisis seperti terbatasnya potensi sumber daya alam, rendahnya kepercayaan, konflik horizontal diantara masyarakat, sehingga perlu dilakukan solusi penyelesaian dan mengoptimalkan faktor pendorong.

11. Model Sinergitas

Model sinergitas dalam penelitian ini secara sederhana menjelaskan dan memberikan gambaran atas suatu bentuk hubungan sinergitas yang terjadi antar stakeholder dalam pengembangan desa mandiri berdasarkan hasil penelitian dan interpretasi data lapangan.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa konsep dan teori sebagai dasar atau batas analisis atas fakta dan fenomena sosial yang terjadi berkaitan dengan topik penelitian untuk menjelaskan bagaimana sinergitas antar stakeholder dalam pengembangan desa mandiri. Berkaitan dengan topik penelitian ini, peneliti mengeksplorasi sejumlah konsep dan teori antara lain sebagai berikut:

2.1 Sinergitas

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori sinergitas untuk menganalisis hubungan sinergi yang digunakan oleh stakeholder dan permasalahan yang sedang berlangsung. Sinergitas berasal dari bahasa Yunani synergos yang berarti bekerja bersama-sama. Sinergitas sebagai suatu bentuk hubungan sinergi yang tercipta dari sebuah proses atau interaksi dan menghasilkan suatu keseimbangan harmonis sehingga mampu atau diharapkan menghasilkan sesuatu yang optimum. Penciptaan sinergitas dapat terjadi didalam hubungan sinergi dengan beberapa syarat utama yakni kepercayaan, komunikasi yang efektif, feedback yang cepat, dan kreativitas (Doctoroff, 1977; Mukhtaromi, dkk 2012).

Menurut Covey (2004) sinergitas adalah hubungan komunikasi tingkat tertinggi yang terbentuk atas integrasi dan kerjasama yang tinggi dari beberapa individu dalam sebuah kelompok atau organisasi sosial. Sinergitas dapat terbangun dari rasa kepercayaan, adanya rasa kertebukaan, kerjasama yang baik antar individu untuk membentuk sebuah kreatifitas guna menemukan pemecahan

masalah atau ide baru dalam alternatif jalan ketiga (jalan tengah) tanpa menimbulkan konflik sosial dengan individu lain.

Hal yang sama disampaikan oleh Williams (2006; Handoko, 2017) menyatakan bahwa sinergitas diartikan sebagai sebuah proses interaksi dari dua bagian atau lebih, yang akan menghasilkan pengaruh gabungan lebih besar dibandingkan dengan jumlah dari pengaruh masing-masing secara individual.

Sinergitas dapat terjadi dalam beberapa aktor dalam organisasi maupun kelompok. Hubungan sinergitas dapat berkembang dan mengalir antara individu, kelompok dengan bekerja bersama secara terus menerus satu dengan yang lain, sehingga diantara mereka dapat berpikir dan bergerak sebagai satu kesatuan.

Williams yang menyebutkan bahwa sinergitas bukanlah sesuatu yang dapat kita pegang oleh tangan kita tapi suatu istilah yang berarti melipatgandakan pengaruh (multiplier effect) yang memungkinkan energi pekerjaan atau jasa individu berlipat ganda secara bertahap melalui usaha bersama. Sinergitas penting untuk membuat tujuan dan output yang lebih besar. Sinergitas dapat dilakukan dengan positif dan kerjasama antar pihak satu dengan pihak yang lain (Williams, 2006;

Handoko, 2017).

Hal yang sama ditulis oleh Najiyati, dkk (2011; Pramono, 2018) menyatakan bahwa sinergitas sebagai kombinasi atau paduan unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran atau output lebih baik dan besar. Sinergitas dapat dipahami sebagai operasi gabungan atau perpaduan unsur untuk menghasilkan output yang lebih baik. Sinergitas muncul ketika bagian-bagian organisasi saling berinteraksi untuk menghasilkan dampak gabungan yang lebih besar daripada apabila dilakukan sendiri oleh masing-masing bagian. Untuk

mencapai kondisi yang sinergi atau demi menghasilkan output yang jauh lebih besar, tidak dapat dihindari bahwa terdapat tingkat kebergantungan antara satu pihak dengan pihak yang lain.

Sinergitas dapat terbangun melalui dua cara yaitu:

a. Komunikasi, dibedakan atas dua bagian yaitu: pertama, komunikasi yang dilakukan dengan berorientasi pada sumber kegiatan guna mendapatkan tanggapan. Kedua, komunikasi yang berorientasi pada penerima memandang bahwa komunikasi sebagai semua kegiatan untuk (penerima) dalam menanggapi

stimulus atau rangsangan.

b. Koordinasi, menyebutkan koordinasi adalah integrasi dari kegiatan-kegiatan individual dan unit-unit ke dalam satu usaha bersama yaitu bekerja kearah tujuan bersama. Moekijat (1994; Dicky, 2018) menyebutkan 9 syarat mewujudkan

koordinasi yang efektif, yaitu:

1. Hubungan langsung, bahwa koordinasi dapat lebih mudah dicapai melalui

hubungan pribadi langsung.

2. Kesempatan awal, koordinasi dapat dicapai lebih mudah dalam tingkat awal

perencanaan dan pembuatan kebijaksanaan.

3. Kontinuitas, koordinasi merupakan proses yang kontinue dan harus berlangsung pada semua waktu mulai dari tahap perencanaan.

4. Dinamis, koordinasi harus secara terus-menerus diubah mengingat perubahan lingkungan baik intern maupun ekstern.

5. Tujuan yang jelas untuk memperoleh koordinasi yang efektif.

6. Organisasi yang sederhana struktur organisasi yang sederhana memudahkan

koordinasi yang efektif.

7. Perumusan wewenang dan tanggung jawab yang jelas dapat mengurangi

pertentangan tetapi juga membantu pekerjaan dengan kesatuan tujuan.

8. Komunikasi yang efektif sebagai persyaratan koordinasi ya ng baik.

9. Kepemimpinan supervisi yang efektif kepemimpinan yang efektif menjamin koordinasi kegiatan pada tingkat perencanaan maupun pada tingkat.

Sinergitas harus mampu menghadapi tantangan atau masalah yang menjadi penghambat tercapai tujuan organisasi dengan analisis medan kekuatan. Menurut Covey (2004), analisis medan kekuatan diartikan situasi yang saling tergantung, sinergi sangat kuat dalam menghadapi kekuatan negatif yang bekerja melawan pertumbuhan dan perubahan. Lewin (Covey, 2004) mengembangkan model

"Force Field Analysis" yang menggambarkan setiap tingkat kinerja saat ini atau sebagai keadaan keseimbangan antara kekuatan pendorong yang mendorong gerakan ke atas dan kekuatan pengekang yang menghambatnya. Kekuatan pendorong umumnya positif, masuk akal, logis, sadar, dan ekonomis. Dalam perjalanannya, kekuatan penahan sering negatif, emosional, tidak logis, tidak sadar, dan sosial atau psikologis. Kedua kekuatan itu sangat nyata dan harus diperhitungkan dalam menghadapi perubahan. Meningkatkan kekuatan pendorong dapat membawa hasil yang lebih baik untuk sementara waktu. Tetapi selama kekuatan penahan ada, itu akan menjadi semakin sulit. Dengan menggunakan perilaku, keterampilan, dan interaksi untuk bekerja langsung pada kekuatan yang menahan guna mencairkannya, melonggarkannya, dan menciptakan wawasan baru yang benar-benar mengubah kekuatan penahan itu menjadi kekuatan baru yang

positif. Dalam proses ini melibatkan beberapa orang dalam masalah, membuat mereka masuk ke dalamnya, sehingga mereka merasa bahwa masalah itu bagian dari hidup mereka dan menciptakan bagian penting yaitu solusi.

Akhirnya sebuah tujuan baru atau bersama diciptakan, dan seluruh aktor atau pelaku bergerak ke atas, sering kali dengan cara yang tidak seorang pun dapat mengantisipasi. Dan hasil yang terkandung dalam gerakan atau perumusan itu menciptakan ide baru. Individu yang terlibat di dalamnya tergabung satu sama lain dan menciptakan pemikiran baru yang segar, oleh alternatif dan peluang kreatif baru (Covey, 2004).

Sinergitas memiliki makna membangun dan memastikan hubungan kerja sama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas, dengan perilaku utama yaitu memiliki sangka baik, saling percaya, dan menghormati, serta menemukan dan melaksanakan solusi terbaik.

Sinergitas dapat terbangun diantara aktor atau individu dengan membangun kepercayaan. Kondisi saling mempercayai harus dibangun walaupun memerlukan waktu. Ini penting karena kepercayaan (trust) yang bijak dan cerdas adalah hal yang dapat mengubah sesuatu atau mewujudkan dinamika menuju perubahan yang diharapkan. Dalam membangun hubungan saling percaya, masing-masing pihak yakin bahwa segala suatu tindakan untuk mencapai tujuan bersama sangat diyakini akan disambut dukungan dari rekan sekelompoknya.

Percaya terhadap kemampuan rekannya untuk melakukan tugas dengan segala kemampuan yang dimilikinya, dan dapat diandalkan (Geller 1999; Sulasmi, 2006).

2.2 Jaringan Sosial

Jaringan sosial adalah hubungan antar individu yang memiliki makna subjektif yang berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan. Simpul dilihat melalui aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan merupakan hubungan antar aktor tersebut. Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan. Pada tingkatan antar individu, jaringan sosial dapat didefinisikan sebagai rangkaian hubungan yang khas di antara sejumlah orang dengan sifat tambahan, ciri-ciri dari hubungan ini sebagai keseluruhan digunakan untuk menginterpretasikan tingkah laku sosial dari individu-individu yang terlibat (Mitchell, 1969; Damsar, 2019). Pada tingkatan struktur, jaringan sosial dipahami sebagai pola atau struktur hubungan sosial yang meningkatkan atau menghambat perilaku orang yang terlibat dalam bermacam arena dari kehidupan sosial pada tataran struktur sosial. Oleh karena itu tingkatan ini memberikan suatu dasar untuk memahami bagaimana perilaku individu dipengaruhi oleh struktur sosial.

Jaringan sosial biasa dikaitkan dengan bagaimana individu atau kelompok berhubungan antara satu dengan yang lain dan ikatan afiliasi melayani baik sebagai pelicin dalam memperoleh sesuatu yang dikerjakan, sebagai jembatan untuk memudahkan hubungan antara satu pihak dengan pihak lainnya, maupun sebagai sumber perekat yang memberikan tatanan dan makna pada kehidupan sosial (Powell dan Smith-Doer,1994; Damsar, 2019).

Menurut Ritzer dan Godman (2003; Damsar, 2019) teori jaringan ini bersandar pada sekumpulan prinsip yang berkaitan secara logis, yaitu antara lain:

1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris dalam kadar maupun intensitasnya.

2. Ikatan antara individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan yang

lebih luas.

3. Struktur ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan yang nonacak di antara satu pihak jaringan adalah transitif.

4. Adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan silang antar kelompok jaringan maupun antar individu.

5. Ada ikatan simetris antara unsur-unsur dalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tak merata.

6. Distribusi yang timpang akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan bekerjasama.

Jaringan sosial (Damsar, 2019) terbagi beberapa tingkatan yang dapat beroperasi dalam menganalisis permasalahan yang ada. Adapun tingkatan tersebut ialah :

1. Jaringan Mikro

Sebagai makhluk sosial, manusia hidup bersama dengan orang lain. Oleh sebab itu dalam hubungannya seorang anak manusia atau individu selalu ingin melakukan interaksi sosial dengan individu lainnya. Interaksi sosial antara individu tersebut mengkristal menjadi suatu hubungan sosial. Hubungan sosial yang terus-menerus dan antara individu bisa menghasilkan suatu jaringan sosial diantara mereka. Jaringan mikro memiliki tiga fungsi yaitu: sebagai pelicin, sebagai jembatan, dan sebagai perekat. Fungsi pelicin, jaringan sosial memberikan kemudahan untuk individu mengakses sumberdaya langka, seperti barang atau kekuasaan. Fungsi jembatan, jaringan sosial pada tingkat ini dapat memudahkan

hubungan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Fungsi perekat, jaringan sosial antar individu memberikan tatanan dan makna pada kehidupan sosial.

2. Jaringan Meso

Dalam berinteraksi sosial dengan orang lain pada umumnya orang melakukannya dalam suatu konteks sosial, biasanya dalam suatu kelompok.

Hubungan yang dibangun para aktor dengan atau didalam kelompok sehingga terbentuk suatu ikatan maka dapat disebut sebagai jaringan sosial pada tingkat meso.

Hal yang sama dengan jaringan mikro, jaringan meso juga memiliki tiga fungsi yaitu: sebagai pelicin, sebagai jembatan, dan sebagai perekat. Fungsi sebagai pelicin, memberikan kemudahan untuk para anggota/kelompok untuk mendapatkan akses sumberdaya langka, barang, atau jasa. Fungsi sebagai jembatan, merupakan daya hubung atau kekuatan relasi yang dimiliki seseorang karena keanggotaannya pada suatu kelompok untuk kehidupan sosial. Fungsi perekat, dapat dipahami kemampuan kelompok sebagai sebuah entitas objektif yang memberikan makna dalam kehidupan sosial. Melalui tatanan tersebut, individu dapat direkat dalam kelompok.

3. Jaringan Makro

Jaringan makro merupakan ikatan yang terbentuk karena terjalinnya simpul-simpul dari beberapa kelompok. Dengan kata lain, jaringan makro terajut dari ikatan antara dua kelompok atau lebih.

2.3 Konsep Pembangunan Desa Mandiri

Menurut Badan Pusat Statistik (2018) desa mandiri sebagai desa yang mempunyai ketersediaan dan akses terhadap pelayanan dasar yang mencukupi, infrastruktur yang memadai, aksesibilitas/transportasi yang tidak sulit, pelayanan umum yang bagus, serta penyelenggaraan pemerintah yang sudah sangat baik.

Secara teknis, desa mandiri merupakan desa dengan nilai IPD lebih dari 75 dengan skala 1-100 persen. Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (2015) ada beberapa strategi yang secara umum dapat dipraktikkan dalam membangun kemandirian desa dari dalam yaitu:

1. Membangun kapasitas warga dan organisasi masyarakat sipil di desa yang kritis dan dinamis.

2. Memperkuat kapasitas pemerintahan dan interaksi dinamis antara organisasi warga dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

3. Membangun sistem perencanaan dan penganggaran desa yang responsif dan partisipatif.

4. Membangun kelembagaan ekonomi lokal yang mandiri dan produktif.

Pembangunan desa yang dilakukan oleh stakeholder dapat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:

a. Faktor Pendorong

Berdasarkan hasil penelitian (Widiastuti, dkk: 2019) faktor pendorong pengembangan desa adalah sebagai berikut:

1. Kesadaran dan kemauan masyarakat setempat untuk mengembangkan desa.

2. Tersedianya potensi sumber daya alam yang memadai.

3. Dukungan dari pemerintah daerah atau setempat.

4. Adanya rasa ingin membantu sesama masyarakat.

Selain adanya faktor pendukung yang dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan kemajuan desa, juga terdapat faktor penghambat yang membuat pelaksanaan pembangunan tidak berjalan dengan baik.

b. Faktor Penghambat

Beberapa faktor penghambat dalam pengembangan desa, diantaranya sebagai berikut:

1. Sumber daya alam dan manusia yang terbatas.

2. Konflik sosial yang bersifat merusak terjadi didalam masyarakat.

3. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang rendah.

2.4 Kelembagaan

Kajian pustaka dalam penelitian ini, selain menggunakan teori sinergi untuk menganalisis bentuk sinergitas antar stakeholder dan permasalahan penelitian. Peneliti juga menggunakan teori kelembagaan untuk menganalisis hubungan kelembagaan di Desa Buntu Pane dalam pengembangan desa mandiri.

Kelembagaan menurut Ostrom (Suwarno, dkk: 2015) sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai para anggota untuk mengatur hubungan yang saling mengikat dan tergantung satu sama lain. Aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat

keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya (Suwarno, dkk : 2015). Dalam kelembagaan ada terdapat aturan yang digunakan untuk mengatur hubungan tersebut.

Hal yang sama dikatakan oleh North (1994: Vipriyanti, 2018) Kelembagaan adalah aturan dan norma dalam masyarakat yang menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan atau kewajiban yang harus atau tidak harus dilakukan. Kelembagaan juga sebagai aturan permainan dalam suatu organisasi (tempat bermain). Tujuan kelembagaan diartikan oleh North sebagai bentuk membatasi perilaku menyimpang manusia di dalam struktur interaksi politik, sosial, dan ekonomi. Kelembagaan dapat terbangun karena adanya motivasi dan kemauan manusia, karena kedua hal itu akan mampu membangun kelembagaan yang memiliki fondasi kuat untuk menyelesaikan masalah koordinasi dan produksikemauan manusia merupakan dua hal penting dalam membangun kelembagaan. Kedua hal tersebut akan mampu menjadikan kelembagaan dengan fondasi kuat untuk menyelesaikan masalah koordinasi dan produksi. Bagi North, dengan adanya kelembagaan, perekonomian akan bergerak apabila terdapat kontrak dan kerjasama ekonomi antara pelaku ekonomi tersebut (North dan Thomas, 1973: Vipriyanti, 2018). Kelembagaan bersifat lebih memaksa agar suatu kegiatan sosial atau ekonomi mampu memberikan manfaat optimal bagi masyarakat.

Secara umum, kelembagaan sendiri seringpula didefinisikan sebagai seperangkat aturan formal dan informal yang memfasilitasi koordinasi atau hubungan antar individu di dalam masyarakat. Pendapat ini diperkuat oleh Pejovich (1999: Yustika, 2013), bahwa kelembagaan terdiri dari aturan formal, aturan informal, dan mekanisme penegakan. Aturan formal meliputi konstitusi, hukum, dan seluruh regulasi pemerintah. Aturan formal ini akan membentuk sistem politik seperti struktur pemerintahan, dan sistem ekonom mengenai hak kepemilikan atas kelangkaan sumber daya, kontrak kerjasama, maupun sistem keamanan seperti pengadilan. Aturan informal meliputi pengalaman individu, nilai adat istiadat, agama, dan seluruh faktor yang mempengaruhi individu memiliki pandangan subyektif di tempat ia berada. Terakhir adalah mekanisme penegakan sebagai bentuk kontrol terhadap suatu lembaga, seperti undang-undang anti trust.

2.5 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan telah memberikan ide dalam melakukan penelitian ini baik secara referensi, perbandingan maupun sebagai dasar pemilihan topik. Masing-masing dari penelitian tersebut akan dipaparkan sebagai berikut :

1. Hasil Penelitian (Jurnal) Subagyo, dkk, (2018) yang berjudul “Sinergi TNI AD Dengan Polri Dan Pemerintah Daerah Dalam Penanganan Konflik Sosial (Studi Kasus Kota Tarakan).” Penelitian ini menggunakan teori konflik sosial Gillin dan Gillin. Penelitian yang menggunakan pendekatan kualititatif mendapatkan hasil bahwa sinergi antara Kodim 0907/Tarakan bersama dengan Polresta Tarakan dan

Pemda Kota Tarakan dalam mencegah, mendeteksi, menangkal, dan meredam konflik sosial selama ini sudah cukup efektif, cukup optimal, dan cukup baik. Hal ini ditandai dengan adanya sinergi, kerjasama dan kolaborasi antara personil di ketiga pihak, khususnya dengan mengedepankan tiga pilar Kamtibmas, yakni Babinsa, Babhinkamtibmas, dan Lurah, dalam mendeteksi gangguan di tengah masyarakat.

Hambatan yang dihadapi oleh Kodim 0907/Tarakan dengan Polresta Tarakan dan Pemda Kota Tarakan dalam menangani konflik sosial adalah persepsi masyarakat yang masih menganggap bahwa penanganan konflik sosial hanya tugas Polri dan TNI semata, partisipasi masyarakat yang rendah dalam deteksi dini di tengah masyarakat, demokrasi pemilihan umum yang mengangkat isu politik identitas, tokoh masyarakat atau tokoh adat dan tokoh agama yang belum dewasa dalam mensikapi persoalan sosial di tengah masyarakat, serta ego sektoral antar instansi dalam penanganan konflik sosial.

Persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Subagyo, dkk (2018) adalah sama-sama meneliti mengenai sinergi dalam tataran ilmu sosial dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Perbedaan dari penelitian ini, peneliti mengambil fokus analisis pengembangan desa dengan menggunakan analisis teori kelembangaan dan jaringan sosial dalam mengkaji sinergitas antar stakeholder di Desa Buntu Pane. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Subagyo, dkk (2018) memusatkan perhatian pada penangan konflik sosial oleh pemerintah tanpa melibatkan pihak swasta atau stakeholder lain yang dapat terlibat di dalam penyelesaian masalah.