• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.8 Definisi Operasional

Definsi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Universitas Sumatera Utara

48 Tabel 3.1 Definisi operasional penelitian

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

2 Pemilihan Proses penentuan obat yang akan

4 Distribusi Proses penyimpanan dan pendistribusian

49 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Penelitian

Instalasi farmasi rumah sakit merupakan bagian yang bertanggung jawab atas pengelolaan obat pada RSUD Langsa yaitu mulai dari tahap pemilihan, perencanaan dan pengadaan, distribusi hingga penggunaan obat. Dalam menjalankan tugasnya, bagian instalasi farmasi bekerja sama dengan bagian gudang dimana penerimaan obat dan penyimpanan obat dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi capaian pengelolaan obat meliputi pemilihan, perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi dan penggunaan obat yang diresepkan di RSUD Langsa.

4.2 Karakteristik Responden

Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara mendalam terhadap kepala instalasi farmasi, apoteker bagian perbekalan dan apoteker bagian pelayanan. Seluruh informan telah menandatangani lembar pernyataan kesediaan menjadi subjek penelitian setelah mendapat penjelasan maksud dan tujuan penelitian. Karakteristik informan wawancara mendalam disajikan dalam Tabel 4.1.

Table 4.1 Karakteristik informan Informan Jenis

Kelamin Pendidikan Jabatan

1 Perempuan Spesialis Farmasi Rumah Sakit

Kepala Instalasi Farmasi

2 Perempuan Apoteker Koordinator Gudang

Farmasi

Universitas Sumatera Utara

50 Table 4.1 (Sambungan)

Informan Jenis

Kelamin Pendidikan Jabatan

3 Perempuan Apoteker Koordinator Instalasi

Farmasi Rawat Inap

4 Laki-laki Apoteker Koordinator Instalasi

Farmasi Rawat Jalan

4.3 Pemilihan (Selection)

Pemilihan atau selection adalah proses memilih sejumlah obat di rumah sakit dengan tujuan untuk menghasilkan penyediaan/pengadaan yang lebih baik, penggunaan obat yang lebih rasional, dan harga yang lebih rendah (Satibi, 2014).

Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Tim Farmasi dan Terapi (TFT) untuk menetapkan kualitas dan efektifitas serta jaminan obat yang baik. Adapun salah satu fungsi TFT yaitu mengembangkan formularium rumah sakit dan merevisinya, juga membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional (Wati, 2013).

Formularium Nasional merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelaksanaan JKN. Dalam hal obat yang diperlukan tidak tercantum dalam formularium nasional maka dapat digunakan obat lain secara terbatas berdasarkan persetujuan komite medik atau direktur utama rumah sakit setempat. Formularium nasional disusun dengan tujuan untuk menjadi acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam menjamin aksesibilitas obat yang berkhasiat, bermutu, aman, dan terjangkau dalam sistem JKN, sedangkan formularium RS adalah dokumen yang selalu diperbaharui secara terus-menerus yang berisi sediaan obat yang terpilih

Universitas Sumatera Utara

51

dan informasi tambahan lainnya yang merefleksikan pertimbangan klinik mutakhir staf medik rumah sakit. Formularium RS disusun bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemakaian obat di RS (Winda, 2018). Formularium RS disusun mengacu kepada formularium nasional dimana formularium ini merupakan daftar obat yang disepakati oleh staf medis dan disusun oleh TFT yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit (Aritonang, 2017). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi RSUD Langsa sebagai berikut:

Pemilihan obat di RSUD Langsa yaitu berdasarkan formularium nasional, RSUD Langsa mengikuti yang ada di formularium nasional. Namun dari formularium nasional tidak mencakupi semua obat yang dibutuhkan di RSUD Langsa, maka dibuatlah formulrium rumah sakit. Formularium rumah sakit dibuat berdasarkan formularium nasional dan usulan/permintaan dari dokter spesialis.

Obat-obat seperti piracetam, mecobalamin dan sebagainya tidak ada didalam formularium nasional, namun dokter meminta untuk diadakan di rumah sakit sehingga dijadikan acuan juga untuk dimasukkan kedalam formularium rumah sakit (Informan 2).

Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi tersebut, diketahui bahwa kebijakan yang diambil oleh RSUD Langsa dalam hal pemilihan obat, yaitu pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa dilakukan berdasarkan acuan formularium nasional, formularium rumah sakit dan permintaan atau usulan dari dokter spesialis. Jika ada obat-obat yang tidak termasuk dalam formularium nasional tetapi obat tersebut dibutuhkan dalam proses penyembuhan penyakit dan dipakai oleh dokter untuk pasien maka obat tersebut dipilih untuk diadakan seperti mecobalamin, piracetam, ambroksol dan lain-lain.

Formularium RSUD Langsa disusun sebagai acuan penggunaan obat di RSUD Langsa dan melengkapi kebutuhan obat yang tidak tercantum di

Universitas Sumatera Utara

52

formularium nasional atas dasar usulan/permintaan dari dokter spesialis di RSUD Langsa. Formularium RSUD Langsa disusun oleh TFT yang diketuai oleh dokter spesialis dan kepala instalasi farmasi sebagai sekretaris.

Indikator yang digunakan dalam tahap pemilihan/seleksi adalah kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan penggunan obat dalam formularium nasional.

Data dikumpulkan secara retrospektif dengan membandingkan jumlah obat yang sesuai dengan formularium nasional dengan total jumlah obat dalam formularium rumah sakit, dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional Keterangan Nilai (item) Nilai Standar Jumlah item obat yang

sesuai dengan formularium Nasional

585 -

Jumlah item obat formularium RSUD Langsa

662 -

Kesesuaian item obat yang tersedia dengan

formularium nasional (%)

88,37% ≥ 80%

Berdasarkan Tabel 4.2, terlihat bahwa kesesuaian obat yang tersedia di RSUD Langsa dengan formularium nasional telah memenuhi standar yaitu sebesar 88,37%.

Berdasarkan hasil tersebut, menunjukkan bahwa obat-obat yang tercantum dalam formularium RSUD Langsa sebagian besar sudah sesuai dengan formularium nasional sehingga sebagian besar obat yang disediakan dan diberikan kepada pasien sudah sesuai dengan obat-obat yang ada tertera dalam formularium Nasional.

Universitas Sumatera Utara

53

Formularium rumah sakit yang disusun mengacu pada formularium nasional merupakan salah satu upaya mendukung penggunaan obat rasional melalui peningkatan akses terhadap obat esensial (Mahdiyani, 2018). Namun dalam hal di rumah sakit, obat yang dibutuhkan tidak tercantum dalam formularium nasional dapat digunakan obat lain secara terbatas sepanjang mendapat persetujuan kepala atau direktur rumah sakit setempat (Menkes, 2018).

Atas dasar dapat digunakannya obat di luar formularium Nasional tersebut maka kemudian rumah sakit menyusun formularium rumah sakit yang dapat dijadikan sebagai acuan pengobatan oleh dokter kepada pasien (Winda, 2018).

4.4 Perencanaan dan Pengadaan (Procurement)

Pada tahap pengelolaan obat, proses perencanaan dan pengadaan sangat berpengaruh pada ketersediaan obat maupun segi ekonomi rumah sakit.

Terjaminnya item dan jumlah obat yang mencukupi menjadi salah satu aspek terpenting dari rumah sakit untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik.

Disamping itu, karena besarnya biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit pada pengelolaan obat terutama pada tahap perencanaan dan pengadaan, maka perlu diadakan evaluasi terhadap tahap tersebut (Mahdiyani, 2018).

Proses perencanaan terdiri dari perkiraan kebutuhan, menetapkan sasaran dan menentukan strategi, tanggung jawab dan sumber yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Perencanaan sediaan farmasi adalah salah satu fungsi yang menentukan dalam proses pengadaan sediaan farmasi di rumah sakit. Tujuan perencanaan sediaan farmasi adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah sediaan farmasi sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah

Universitas Sumatera Utara

54

sakit. Perencanaan sediaan farmasi merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga sediaan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi RSUD Langsa terkait pengadaan sebagai berikut:

Perencanaan dilakukan berdasarkan riwayat pemakaian obat tahun sebelumnya dengan mempertimbangkan sisa persediaan obat yang ada. Setelah dibuat perencanaan obat untuk satu tahun kedepan, setiap tiga bulan sekali dilakukan permintaan pengadaan obat kepada PPK jika terdapat obat yang tidak masuk kedalam perencanaan awal dikarenakan adanya permintaan/usulan dari dokter untuk kebutuhan penggunaan obat tersebut sesuai usulan pengobatan dari dokter spesialis yang bersangkutan (Informan 2).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa metode perencanaan obat di RSUD Langsa dilakukan dengan pola pendekatan konsumsi yaitu perencanaan berdasarkan pemakaian obat tahun lalu/sebelumnya dengan mempertimbangkan sisa persediaan yang ada dan usulan permintaan obat dari dokter. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014 bahwa perencanaan obat dilakukan untuk menghindari kekosongan dan atau kelebihan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan salah satunya metode konsumsi yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Perencanaan dilakukan secara optimal sehingga perbekalan farmasi dapat digunakan secara efektif dan efisien (Nesi, 2018). Apabila terjadi kelemahan dalam sistem perencanaan tersebut, maka akan mengakibatkan kekacauan dalam

Universitas Sumatera Utara

55

sistem pengelolaan obat, misalnya terjadi pemborosan anggaran, banyaknya obat tidak terpakai/terbuang, membengkaknya anggaran pengadaan dan penyimpanan (Pramukantoro, 2018).

Salah satu cara untuk menghindari pembengkakan biaya pengadaan dalam perencanaan dapat dilakukan melalui evaluasi farmakoekonomi. Farmakoekonomi dapat membantu pembuat kebijakan dan penyedia pelayanan kesehatan dalam membuat keputusan dan mengevaluasi keterjangkauan serta akses pengunaan obat yang rasional. Kunci utama dari kajian farmakoekonomi adalah efisiensi dengan berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk mendapatkan manfaat semaksimal mungkin dengan sumber daya yang digunakan (Khoiriyah, 2018).

Evaluasi ekonomi adalah salah satu cara untuk melakukan perbandingan terhadap tingkat efisiensi beberapa intervensi atau program kesehatan. Cost Effectiveness Analysis (CEA) adalah salah satu bentuk evaluasi ekonomi yang membandingkan rasio biaya dan efektivitas dari beberapa alternatif intervensi/program. Sebagai contoh, Cost Effectiveness Analysis dipakai sebagai metode penetepan intervensi oleh WHO dalam proyek WHO-CHOICE (Choosing Interventions that are Cost Effective). Hasil evaluasi ini diharapkan dapat dipakai dalam proses perencanaan dan penetapan prioritas pelayanan kesehatan di tingkat nasional. Evaluasi ekonomi lainnnya yang dapat digunakan adalah Cost Benefit Analysis (CBA). Cost Benefit Analysis merupakan evaluasi ekonomi yang paling kompleks karena mencoba mengukur biaya dan efektivitas dalam bentuk moneter, di mana besarnya biaya dibandingkan dengan besarnya efektifitas. Evaluasi ini juga dapat digunakan untuk penetapan perencanaan obat dengan melihat rasio biaya dan manfaat yang dihasilkan (Probandari, 2007). Namun kelemahan

Universitas Sumatera Utara

56

manajemen obat di RS saat ini adalah kurangnya penelitian dan kajian farmakoekonomi dalam proses perencanaan sehingga dapat berdampak terhadap pemborosan biaya dan resiko obat tidak terpakai atau kadaluarsa.

Pengadaan adalah suatu usaha kegiatan untuk memenuhi kegiatan operasional yang telah ditetapkan dalam fungsi perencanaan (Nesi, 2018).

Pengadaan obat-obatan di rumah sakit dilakukan berdasarkan perencanaan yang dibuat oleh IFRS. Menurut informasi yang disampaikan oleh informan 1, metode pengadaan obat yang selama ini dilakukan pada RSUD Langsa dilakukan secara e-catalog dan diluar e-catalog.

Pengadaan secara e-catalog merupakan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemajuan teknologi informasi lebih mempermudah dan mempercepat proses pengadaan barang/jasa, karena penyedia barang/jasa tidak perlu lagi datang ke Kantor Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) untuk melihat, mendaftar dan mengikuti proses pelelangan, tetapi cukup melakukannya secara online pada website pelelangan elektronik (Menkes, 2014).

Pengadaan dilakukan dengan sistem e-purchasing berdasarkan e-catalog secara online dengan aplikasi LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik).

Untuk obat-obatan diluar e-catalog, pengadaan obat dilakukan langsung oleh kepala instalasi farmasi rumah sakit dengan menggunakan surat pesanan kepada distributor. Seperti yang disampaikan oleh informan 1 sebagai berikut:

Pengadaan obat di RSUD Langsa dilakukan oleh PPK dan PPTK dibawah arahan dan petunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) RS. Pengadaannya sebisa mungkin secara e-catalog, tetapi ada juga yang diluar e-catalog karena tersangkut pembayaran atau stok barang kosong dari distributor, sehingga pengadaan

Universitas Sumatera Utara

57

dilakukan dengan SP biasa ke distributor. Pengadaan dilakukan setiap sebulan sekali, tetapi terkadang tidak bisa dipastikan juga karena menyesuaikan dengan keuangan RS juga, sehingga bisa frekuensinya tidak tetap karena kondisi pembayaran yang tidak stabil (Informan 1).

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan 1 tersebut, disimpulkan bahwa pengadaan obat-obatan di RSUD Langsa dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dibawah arahan dan petunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang ditetapkan dengan SK Direktur. Hal ini sesuai dengan Perpres No. 72 tahun 2012 tentang pengadaan barang dan jasa.

Dalam pengadaan obat-obatan dengan sistem e-catalog ditemukan hambatan saat di lapangan yaitu waktu tunggu pesanan membutuhkan waktu yang lama dari distributor menuju ke rumah sakit, terjadi kekosongan stok obat yang dari distributor atau tersangkut pembayaran (utang-piutang) oleh rumah sakit.

Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut:

Pengadaan ada yang dilakukan menggunakan e-catalog, ada juga yang menggunakan SP biasa kepada distributor (diluar e-catalog) karena biasanya pemesanan melalui e-catalog lama sampainya atau stok kosong dari distributor atau tersangkut utang-piutang RS, sehingga untuk mencegah kekosongan obat, kita pesan menggunakan SP biasa ke distributor lain yang bisa menyediakan obat yang dibutuhkan dengan tetap mempertimbangkan harga yang sesuai (Informan 2).

Oleh karena itu, berdasarkan alasan tersebut instalasi farmasi RSUD Langsa juga melakukan pemesanan dan pengadaan obat diluar e-catalog guna mencegah terjadinya kekosongan obat yang akan menganggu pelayanan obat kepada pasien.

Indikator yang digunakan pada tahap pengadaan/procurement adalah frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun (Pudjaningsih, 1996). Frekuensi pengadaan obat adalah banyaknya pengadaan tiap jenis obat selama satu tahun.

Universitas Sumatera Utara

58

Nilai frekuensi pengadaan tiap item obat diperoleh melalui pengumpulan data secara retrospektif dari dokumen pengadaan obat selama tahun 2018 yaitu menghitung berapa kali satu item obat diadakan/dipesan selama tahun 2018. Total 640 item obat disampling secara acak sebesar 30% dengan jumlah sampel sebanyak 192 item obat. Frekuensi pengadaan item obat per tahun dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 mempelihatkan frekuensi pengadaan obat tertinggi selama tahun 2018 di IFRSUD Langsa adalah 24 (dua puluh empat) kali dan terendah adalah 1 (satu) kali. Pengadaan obat dikatakan rendah jika dilakukan dibawah 12 kali dalam setahun, dikatakan sedang jika diadakan sebanyak 12 sampai 24 kali dalam setahun dan dikatakan tinggi jika pengadaan obat dilakukan diatas 24 kali dalam setahun. Berdasarkan nilai standar tersebut, maka frekuensi pengadaan obat di IFRSUD Langsa Tahun 2018 rerata masih rendah, dimana sebanyak 185 item obat yang tergolong frekuensi pengadaan rendah dan 7 item obat yang frekuensi pengadaannya tergolong sedang yaitu 2 item obat diadakan sebanyak 12 kali, 3 item obat diadakan sebanyak 14 kali, 1 item obat sebanyak 22 kali dan 1 item obat sebanyak 24 kali dalam setahun.

Tabel 4.3 Frekuensi pengadaan item obat per tahun

No Frekuensi Pengadaan Jumlah item Obat

1 Satu Kali 50

2 Dua Kali 36

3 Tiga Kali 29

4 Empat Kali 17

5 Lima Kali 19

Universitas Sumatera Utara

59 Tabel 4.3 (Sambungan)

No Frekuensi Pengadaan Jumlah item Obat

6 Enam Kali 13

7 Tujuh Kali 4

8 Delapan Kali 7

9 Sembilan Kali 3

10 Sepuluh Kali 3

11 Sebelas Kali 4

12 Dua Belas Kali 2

13 Empat Belas Kali 3

14 Dua Puluh Dua Kali 1

15 Dua Puluh Empat Kali 1

Frekuensi pengadaan yang masih tergolong rendah salah satunya dapat disesbabkan karena tersangkut pembayaran kepada distributor, seperti yang disampaikan oleh informan 1 sebagai berikut:

“Pengadaan obat semestinya dilakukan sebulan sekali, namun karena adanya utang piutang RS sehingga tersangkut pembayaran, menyebabkan pengadaan yang dilakukan pun masih rendah karena sangat menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Jika anggaran sudah tersedia langsung dipesan dan diadakan tetapi jika belum ada, tidak bisa dipesan dan diadakan dahulu”

(Informan 1).

Tingginya frekuensi pengadaan obat berarti bahwa perputaran obat dalam rumah sakit lancar dan dapat menghindari penumpukan obat. Semakin banyak jumlah barang yang disimpan di gudang maka fasilitas yang digunakan pun semakin banyak, antara lain ruang penyimpanan yang lebih besar dan biaya penyimpanan yang lebih tinggi. Frekuensi pembelian semakin sering adalah

Universitas Sumatera Utara

60

semakin baik asal tidak mengganggu pelayanan. Oleh karena itu semakin sedikit barang yang ada di gudang, frekuensi pembelian akan semakin tinggi (Pudjaningsih, 1996). Frekuensi pengadaan obat di tiap rumah sakit berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya bervariasi. Frekuensi pengadaan obat yang relatif kecil di rumah sakit dapat disebabkan karena aturan penggunaan yang tidak bisa dipecah-pecah dan harus melakukan pembelian sekaligus (Istinganah, dkk., 2006).

Pengadaan obat dengan kategori frekuensi sedang adalah metil prednisolon 4 mg sebanyak 24 kali dan clopidogrel 75 mg sebanyak 22 kali dalam setahun. Pengadaan kedua obat ini cenderung tinggi dibandingkan obat lainnya dikarenakan kebutuhan pemakaiannya yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil survey sepuluh besar penyakit tertinggi di RSUD Langsa yang menunjukkan bahwa pneumonia dan Congestive Heart Failure (CHF) masing-masing termasuk peringkat kesatu dan keempat di rawat inap, penyakit kulit dan jaringan subkutan lainnya, bronkitis dan stroke masing-masing termasuk peringkat kedua, ketiga dan keempat di rawat jalan, sehingga pengadaan obat metil prednisolon dan clopidogrel cenderung tinggi karena pemakaiannya yang lebih banyak dibutuhkan bagi pasien dengan kategori lima besar penyakit tertinggi di RSUD Langsa.

Obat dengan kategori frekuensi pengadaan rendah salah satunya adalah cendo xitrol SM, tetanus texoid dan meptin inhalation masing-masing diadakan sebanyak satu kali dan dua kali dalam setahun. Hal ini dikarenakan obat-obat tersebut cenderung rendah penggunaannya sehingga pengadaannya cukup dilakukan sekali sesuai kebutuhan penggunaannya dalam setahun.

Universitas Sumatera Utara

61

Frekuensi pengadaan obat juga pernah diteliti oleh Mahdiyani, dkk., (2018) di Muntilan dimana rerata frekuensi pengadaan item obat di RSUD Muntilan pada tahun 2015 sebesar 4,16 kali dan 3,54 kali pada tahun 2016. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian, frekuensi pengadaan item obat per tahun di RSUD Langsa tergolong lebih tinggi.

4.5 Distribusi

Distribusi sediaan farmasi merupakan salah satu tugas utama pelayanan farmasi dirumah sakit. Distribusi memegang peranan penting dalam penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diperlukan ke unit-unit disetiap bagian farmasi rumah sakit termasuk kepada pasien (Satrianegara, 2018). Distribusi obat yang tidak efisien menyebabkan tingkat ketersediaan obat menjadi berkurang, terjadi kekosongan obat, banyaknya obat yang menumpuk akibat dari perencanaan obat yang tidak sesuai serta banyaknya obat yang kadaluwarsa/rusak yang disebabkan sistem distribusi yang kurang baik sehingga akan berdampak kepada inefisiensi penggunaan anggaran/biaya obat (Pramukantoro, 2018). Hal ini juga sangat berkaitan erat dengan proses penyimpanan obat yang dilakukan.

Proses penyimpanan merupakan proses yang sangat penting pada kegiatan manajemen obat. Penyimpanan merupakan suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin (Soerjono, dkk., 2004). Proses penyimpanan yang tidak sesuai, maka akan terjadi kerugian seperti mutu sediaan farmasi tidak dapat terpelihara (tidak dapat mempertahankan mutu obat dari kerusakan, rusaknya obat sebelum masa kadaluwarsanya tiba) (Palupiningtyas,

Universitas Sumatera Utara

62

2014), potensi terjadinya penggunaan yang tidak bertanggung jawab, tidak terjaganya ketersediaan dan mempersulit pengawasan terhadap inventoris (Aditama, 2003).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, sistem penyimpanan sediaan farmasi di instalasi farmasi RSUD Langsa dilakukan berdasarkan alphabetis, bentuk sediaan obat, FIFO dan FEFO. Hal tersebut seperti salah satu poin yang dikemukakan oleh Sheina, dkk., (2010) bahwa salah satu indikator penyimpanan obat yaitu sistem penataan gudang farmasi menggunakan penataan gudang standar dengan sistem penyimpanan FIFO dan FEFO. Obat yang disimpan pada gudang farmasi diinspeksi secara berkala untuk menjaga kualitas obat dan diberikan label secara jelas untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pengambilan obat.

Gudang penyimpanan obat di RSUD Langsa tidak terpisah dengan ruang pelayanan atau apotek rumah sakit, karena RSUD Langsa menggunakan sistem satu pintu. Terdapat ruang penyimpanan obat yang terpisah dengan alat kesehatan, hal ini agar obat-obatan tidak tercampur dengan alat kesehatan. Gudang memiliki jendela bertalis yang berada di lantai 2 dan memungkinkan untuk mencegah terjadinya pencurian. Penerangan dalam gudang juga cukup terang untuk mendukung kegiatan dalam gudang. Kondisi ruangan dan fasilitas penyimpanan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Indikator yang digunakan pada tahap distribusi adalah ketepatan data jumlah obat pada kartu stok, persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak, persentase stok mati dan tingkat ketersediaan obat. Hasil penelitian terhadap indikator pada tahap distribusi adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

63

4.5.1 Ketepatan Data Jumlah Obat Pada Kartu Stok

Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok dilakukan pada instalasi farmasi rawat jalan dan rawat inap. Penilaian terhadap indikator ini bertujuan untuk menilai ketepatan proses pencatatan obat yang ada di tempat penyimpanan obat pada instalasi farmasi RSUD Langsa. Data diambil secara prospektif dengan cara mencocokkan jumlah sediaan obat yang tertera pada kartu stok obat dengan jumlah fisik obat yang ada. Kartu stok obat yang diambil sebagai sampel sebanyak 10% dari total 266 kartu stok rawat jalan dan 457 kartu stok rawat inap

Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok dilakukan pada instalasi farmasi rawat jalan dan rawat inap. Penilaian terhadap indikator ini bertujuan untuk menilai ketepatan proses pencatatan obat yang ada di tempat penyimpanan obat pada instalasi farmasi RSUD Langsa. Data diambil secara prospektif dengan cara mencocokkan jumlah sediaan obat yang tertera pada kartu stok obat dengan jumlah fisik obat yang ada. Kartu stok obat yang diambil sebagai sampel sebanyak 10% dari total 266 kartu stok rawat jalan dan 457 kartu stok rawat inap