• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Perencanaan dan Pengadaan

4.5.1 Ketepatan Data Jumlah Obat Pada Kartu Stok

Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok dilakukan pada instalasi farmasi rawat jalan dan rawat inap. Penilaian terhadap indikator ini bertujuan untuk menilai ketepatan proses pencatatan obat yang ada di tempat penyimpanan obat pada instalasi farmasi RSUD Langsa. Data diambil secara prospektif dengan cara mencocokkan jumlah sediaan obat yang tertera pada kartu stok obat dengan jumlah fisik obat yang ada. Kartu stok obat yang diambil sebagai sampel sebanyak 10% dari total 266 kartu stok rawat jalan dan 457 kartu stok rawat inap yaitu 27 kartu stok rawat jalan dan 46 kartu stok rawat inap. Hasil ketepatan data jumlah obat pada kartu stok dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok No Keterangan

Nilai (item)

Rawat Jalan Rawat Inap

1 Jumlah sampel 27 46

2 Jumlah obat yang sesuai dengan kartu stok

27 46

Persentase ketepatan data jumlah obat dengan kartu stok

100% 100%

Berdasarkan Tabel 4.4, diketahui bahwa item sampel obat yang diambil sudah sesuai 100% antara data jumlah obat di kartu stok terhadap jumlah fisik obat yang sebenarnya. Hasil ini sudah sesuai dengan standar menurut Pudjaningsih (1996) yaitu 100% ketepatan data jumlah obat pada kartu stok dengan kondisi fisik, ini menandakan bahwa administrasi di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah dikerjakan dengan baik dan optimal. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya mekanisme bagi setiap pegawai untuk melakukan kontrol kesesuaian obat dengan kartu stok setiap hari atau minimal melakukan kontrol

Universitas Sumatera Utara

64

setiap barang datang maupun keluar. Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut:

Untuk pengendalian kartu stok selalu dihimbau untuk para pegawai khususnya Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang ada untuk selalu mencatat penambahan atau pemotongan kartu stok setiap obat yang masuk dan keluar, sehingga tidak terjadi perbedaan antara data di kartu stok dengan jumlah fisik obat yang ada. Setiap petugas sudah dibagi jatah bagian rak obat sehingga semua dapat terhandle dengan baik. Evaluasi berkala juga dilakukan dengan adanya stock opname setiap bulannya sehingga dapat terdeteksi jika terjadi ketidaksesuaian data kartu stok obat dengan fisik obat yang ada dan diketahui sisa stok yang ada lengkap dengan data kadaluarsa masing-masing obat. Apotekernya juga setiap hari mengecek secara random beberapa kartu stok untuk melihat kinerja dari TTK (Informan 3).

Penyimpanan dan pendistribusian berhubungan erat dengan pengendalian, yang merupakan inti dari manajemen logistik obat. Pengendalian didalamnya terdapat kegiatan memonitor/mengawasi dan mengamankan seluruh fungsi logistik obat (Fera, dkk., 2017). Pengawasan obat pada instalasi farmasi rumah sakit ada dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang bertujuan untuk mengawasi pemasukan dan pengeluaran obat yang dilakukan oleh instalasi farmasi yang guna untuk mengefesiensikan dan mengefektifkan pembelian dan pengeluaran obat. Pengawasan internal pada instalasi farmasi salah satunya dengan melakukan stock opname dan pengisian kartu stok obat. Pengawasan internal pada rumah sakit dilakukan oleh SPI (Satuan Pengawas Internal) rumah sakit sedangkan pengawasan eksternal pada rumah sakit dilakukan oleh inspektorat dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dengan memeriksa pelaporan pembelian dan pengeluaran obat (Yunita, dkk., 2016).

Pengisian kartu stok bertujuan untuk mengetahui banyaknya obat yang tersedia dan sesuai antara jumlah dalam pencatatan dengan jumlah obat secara fisik di instalasi farmasi (Susanto, dkk., 2017). Pencatatan stok yang tidak akurat

Universitas Sumatera Utara

65

akan menyebabkan kerancuan untuk melihat obat kurang atau berlebih.

Permasalahan ini terjadi karena pengelola obat tidak langsung mencatat pada saat penerimaan dan pengeluaran obat (Chaira, dkk., 2016). Stock opname merupakan kegiatan mencocokkan kondisi fisik obat dengan kartu stok (Yunita, dkk., 2016).

Stock opname dilakukan untuk mencari dan mengevaluasi stok yang akan atau kadaluarsa, kerusakan obat, obat dengan kategori fast moving dan slow moving (Fera, dkk., 2017).

4.5.2 Persentase dan Nilai Obat Yang Kadaluarsa dan atau Rusak

Persentase nilai obat kadaluwarsa diperoleh dari perbandingan antara nilai obat kadaluwarsa dan atau rusak dengan nilai stock opname obat dikalikan dengan 100%. Obat kadaluwarsa dilihat dari stok obat yang tanggal kadaluwarsanya berakhir pada tahun 2018. Berdasarkan hasil pengamatan dokumen laporan obat kadaluwarsa instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018, diperoleh jumlah obat kadaluwarsa sebanyak 114 item obat dan tidak terdapat obat yang rusak. Hasil persentase nilai obat kadaluarsa dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Persentase nilai obat kadaluarsa

No Keterangan Jumlah (Rp)

1 Total nilai obat kadaluarsa 83.793.366

2 Nilai stock opname per Desember 2018 3.172.427.510

Persentase nilai obat kadaluarsa 2,64%

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persentase nilai obat kadaluarsa dari 114 item obat dengan total kerugian sebesar Rp. 83.793.366 adalah sebesar 2,64%. Terjadinya kadaluarsa obat di IFRSUD Langsa diakibatkan oleh penggunaan yang kurang maksimal pada item obat yang kadaluarsa. Salah satu cara penanganan terhadap kejadian tersebut perlu diperhatikan prinsip distribusi

Universitas Sumatera Utara

66

obat berdasarkan FIFO dan FEFO dimana obat-obat yang lebih duluan masuk dan memiliki tanggal kadaluarsa yang paling dekat dikeluarkan terlebih dahulu.

Menurut standar yang ditetapkan, persentase obat kadaluwarsa adalah ≤ 0,2%, sehingga persentase nilai obat kadaluwarsa di RSUD Langsa belum memenuhi standar yang telah ditetapkan. Berdasarkan keterangan kepala gudang instalasi farmasi, hal ini disebabkan karena obat yang kadaluwarsa adalah obat yang sebagian besar berasal dari pembelian tahun sebelumnya yang stok obatnya sebagian tidak berjalan, obat tidak diresepkan lagi oleh dokter dan adanya human error pada saat pengadaan sehingga terjadi kelebihan stok menyebabkan obat kadaluwarsa karena banyak yang tidak digunakan. Seperti disampaikan oleh informan 2 sebagai berikut:

Obat kadaluarsa dapat terjadi karena obatnya tidak berjalan, artinya tidak diresepkan lagi oleh dokter karena alasan-alasan tertentu dan berbanding lurus dengan stok mati, artinya karena obat tersebut tidak berjalan/tidak mengalami pergerakan akhirnya menumpuk sampai kadaluarsa. Selain itu, karena pada tahun 2017 sempat terjadi human error pada saat menginput pesanan (kelebihan mengetik angka 0) yaitu seharusnya yang dipesan adalah sebanyak 500 item menjadi 5000 item sehingga menyebabkan stoknya berlebih. Akhirnya hanya sebagian besar yang terpakai dan sisanya tidak terpakai sampai tanggal kadaluarsanya. Kemudian dari bagian gudang juga selalu mengkonfirmasi kepada kepala instalasi farmasi jika ada obat-obat yang mendekati masa kadaluarsa agar disampaikan kepada dokter untuk diresepkan atau diminta pengganti kepada distributornya dengan masa kadaluarsa baru, tetapi mungkin terkadang lupa disampaikan atau karena faktor lainnya (Informan 2).

Penelitian terkait oleh Kasmawati, dkk., (2018) di RSUD Kota Kendari bahwa persentase nilai obat kadaluarsa adalah sebesar 0,47% dan di RSUD dr. R.

Soedjono Selong Lombok Timur bahwa persentase obat kadaluwarsa yaitu sebesar 0,19% dengan total kerugian sebesar Rp. 2.109.293, serta di RS PKU Muhammadiyah Temanggung, persentase obat kadaluwarsa yaitu sebesar 1,79%

dengan total kerugian sebesar Rp. 8.492.686. Jika dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara

67

penelitian terkait terdahulu, persentase nilai obat kadaluarsa di RSUD Langsa memiliki nilai lebih besar. Terdapatnya obat kadaluwarsa dan rusak menunjukkan bahwa sistem perencanaan dan penyimpanan yang dilakukan belum efisien.

Adanya obat kadaluwarsa atau rusak mencerminkan ketidaktepatan perencanaan atau kurang baiknya sistem distribusi terutama pada ketersediaan obat, atau perubahan pola penyakit (Depkes RI, 2007).

Obat yang rusak atau kadaluarsa merupakan kerugian bagi rumah sakit.

Distribusi obat yang efektif harus memiliki desain dan sistem manajemen yang baik dengan cara menjaga supply obat tetap konstan, mempertahankan mutu obat yang baik selama proses distribusi, meminimalkan obat yang kadaluwarsa dan rusak, memiliki catatan penyimpanan yang akurat dan pemberian informasi untuk memperkirakan kebutuhan obat (Razak et al., 2012).

Besarnya persentase nilai obat kadaluarsa mencerminkan kurangnya pengawasan dalam penyimpanan (Purwidyaningrum et al., 2012). Upaya yang dilakukan pihak rumah sakit dalam menangani obat yang hampir kadaluarsa dari pihak instalasi farmasi rumah sakit akan memberikan rekomendasi kepada para dokter untuk meresepkan daftar obat hampir kadaluarsa terlebih dahulu. Obat yang kadaluarsa dan rusak dapat disebabkan oleh penggunaannya cenderung lebih kecil sehingga obat menumpuk dan menjadi kadaluarsa. Terjadinya obat yang kadaluarsa dan rusak mencerminkan ketidaktepatan perencanaan, kurang baiknya sistem distribusi dan kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat sehingga mencerminkan kurang baiknya pengelolaan obat (Razak et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

68 4.5.3 Persentase Stok Mati

Persentase stok mati adalah perbandingan antara jumlah obat yang tidak mengalami transaksi dengan jumlah item obat yang ada stoknya dikalikan dengan 100%. Data dikumpul secara retrospektif berupa pengamatan data pengeluaran obat di gudang farmasi pada tahun 2018. Obat stok mati yaitu obat yang selama 3 bulan atau lebih tidak mengalami mutasi atau tidak digunakan. Terdapatnya stok mati ini menunjukkan bahwa sebagian ketersediaan obat masih belum benar-benar dibutuhkan atau tidak pernah diresepkan kepada pasien (Razak et al.,2012). Hasil persentase nilai stok mati di instalasi farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Persentase stok mati instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018

No Keterangan Jumlah (item)

1 Jumlah item obat stok mati 26

2 Jumlah item obat yang ada stoknya 803

Persentase stok mati (%) 3,24%

Berdasarkan Tabel 4.6, persentase stok mati di RSUD Langsa sebesar 3,24%, sedangkan menurut standar stok mati sebesar 0%. Hasil ini mengindikasikan nilai tersebut belum memenuhi standar yang ada. Hasil penelitian terkait yang dilakukan Dyahariesti, dkk., (2019) menunjukkan peresentase stok mati sebesar 2,27%, sedangkan penelitian Oktaviani (2018) menunjukkan nilai persentase stok mati sebesar 4%. Dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa persentase stok mati di RSUD Langsa menunjukkan hasil yang lebih besar, yang menandakan bahwa persentase stok mati di IFRSUD Langsa tergolong tinggi dan melebihi nilai standar yang ada.

Universitas Sumatera Utara

69

Stok mati merupakan kerugian bagi rumah sakit karena menyebabkan perputaran modal yang tidak lancar, jika ini berlangsung lama maka obat dapat rusak dan kadaluarsa. Pada saat perencanaan pengadaan obat seharusnya berdasarkan pada kebutuhan, pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia sehingga dapat meminimalisir obat menumpuk dan terjadinya stok mati obat. Selain itu, stok mati juga bisa disebabkan oleh tren penyakit yang sedang terjadi pada saat itu dan menyebabkan pemakaian terhadap obat tersebut menjadi berkurang atau dokter sudah mengganti jenis obat yang digunakan (Akbar, 2015).

Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi RSUD Langsa, adanya stok mati di instalasi farmasi RSUD Langsa dikarenakan dokter tidak meresepkan lagi obat tersebut atau penggunaannya rendah atau terbatas di RS, seperti disampaikan sebagai berikut:

Stok mati disebut death stock. Death stock biasanya disebabkan karena dokter tidak meresepkan lagi obat tersebut karena berbagai alasan, salah satunya karena faktor distributor atau perubahan terapi obat dari dokter dan karena memang penggunaan obat tersebut rendah di rs seperti obat pro TB tab yang merupakan obat program pemerintah sehingga biasanya penggunaannya lebih banyak di puskesmas. Tetapi karena standarnya di rs juga harus tersedia obat tersebut sehingga pemakaiannya sedikit dan cenderung tidak berjalan. Instalasi farmasi juga ada membuat laporan obat-obat yang sudah 3 bulan tidak berjalan lalu diteruskan ke bagian pengadaan agar obat-obat tersebut diresepkan kembali oleh dokter agar pemakaiannya berjalan. Tetapi lebih lanjut dari bagian pengadaan yang menyampaikan informasi kepada dokter-dokter untuk meresepkan kembali obat yang tidak berjalan. Oleh karena itu harus ada komunikasi aktif dengan dokter agar pemakaian obat maksimal dan berjalan lancar (Informan 2).

Upaya evaluasi yang dilakukan rumah sakit terhadap adanya stok mati menginformasikan kepada dokter agar obat-obat tersebut diresepkan terlebih dahulu dan juga selalu dievaluasi tanggal kadaluarsa dengan cara dicatat di kartu stok obat agar mempermudah pengecekan (Dyahariesti, 2019).

Universitas Sumatera Utara

70

Persentase stok mati yang tinggi menunjukkan perputaran obat yang tidak lancar karena banyak persediaan obat yang tertahan dan menumpuk di gudang.

Banyaknya obat yang menumpuk di gudang tentunya akan menimbulkan kerugian karena meningkatnya resiko kerusakan obat kadaluwarsa serta perputaran persediaan yang tidak lancar. Terjadinya kerusakan obat dan perputaran sediaan yang tidak lancar akan mempengaruhi pendapatan rumah sakit itu sendiri. Selain itu kerugian yang disebabkan akibat stok mati adalah perputaran uang yang tidak lancar, kerusakan obat akibat terlalu lama disimpan sehingga menyebabkan obat kadaluwarsa. Jika dibiarkan terus menerus terjadi, rumah sakit akan mengalami kerugian secara terus menerus (Kasmawati, 2018).

4.5.4 Tingkat Ketersediaan Obat

Tingkat ketersediaan obat adalah tingkat persediaan obat baik jenis maupun jumlah obat, yang diperlukan oleh pelayanan pengobatan dalam periode waktu tertentu, diukur dengan cara menghitung jumlah stok obat Desember 2018 dengan jumlah pemakaian obat setahun dibagi pemakaian rerata per bulan dikali satu bulan. Indikator tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi digunakan untuk mengetahui kisaran kecukupan obat. Kecukupan obat merupakan indikasi kesinambungan pelayanan obat untuk mendukung pelayanan kesehatan di rumah sakit (Kasmawati, 2018). Tingkat ketersediaan obat menggambarkan berapa bulan persediaan obat yang ada di instalasi farmasi dalam memenuhi kecukupan pemakaian obat (Waluyo, dkk., 2015). Hasil tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Berdasarkan Tabel 4.7, menunjukkan tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sebesar 13,42 bulan atau sekitar 13 bulan 12 hari, sesuai

Universitas Sumatera Utara

71

dengan standar tingkat ketersediaan obat yaitu 12-18 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat ketersediaan obat di RSUD Langsa telah mencukupi kebutuhan rumah sakit.

Tabel 4.7 Tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa

No Keterangan Jumlah (Rp)

1 Jumlah stok obat per Desember 2018

3.172.427.510

2 Rerata pemakaian obat per bulan 2.411.520.901

3 Pemakaian obat per Tahun 28.938.250.810

Tingkat Ketersediaan Obat 13,42 bulan ~ 13 bulan 12 hari Ketersediaan obat sebagai unsur utama dalam pelayanan kesehatan selain keterjangkauan, keamanan, mutu dan manfaat, faktor ketersediaan obat sangat terkait dengan pendanaan. Salah satu persyaratan penting dari pelayanan kesehatan masyarakat yang bermutu adalah tersedianya obat yang cukup, baik jenis maupun jumlahnya setiap saat diperlukan oleh masyarakat dan mutu yang terjamin. Obat dengan tingkat kecukupan kurang akan berdampak pada pelayanan pasien karena kebutuhan obat pasien tidak terpenuhi atau terlayani dengan baik sehingga pengobatan obat yang rasional tidak akan tercapai. Solusinya adalah mengevaluasi dan melakukan sistem perencanaan dan pengadaan obat dengan selektif disesuaikan dengan kebutuhan RS serta mengacu pada prinsip efektif, aman, ekonomis dan rasional (Kasmawati, 2018).

4.6 Penggunaan Obat Yang Diresepkan

Tahap penggunaan merupakan suatu proses yang dimulai dari kegiatan penulisan resep oleh dokter sampai kegiatan pemantauan khasiat dan keamanan obat. Efektivitas dan efisiensi pelayanan medik tercermin dari cara peresepan

Universitas Sumatera Utara

72

tenaga medik yaitu peresepan yang rasional maupun tidak rasional. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat berpengaruh pada kualitas pengobatan, pelayanan dan biaya obat (Razak et al., 2012).

Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian adalah pelayanan kefarmasian dimana seorang apoteker memiliki tanggung jawab secara langsung untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satu peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian adalah menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang rasional. Pengobatan yang rasional adalah pemberian obat berdasarkan diagnosa penyakit, bukan berdasarkan gejala yang dialami pasien, dimana diberikan hanya jenis obat yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit atau mengatasi masalah kesehatan secara efektif, aman dan dalam batas-batas kemampuan dana yang tersedia (Dianingati, 2015). Penggunaan obat secara rasional merupakan kunci dalam pembangunan pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pengobatan yang belum rasional selama ini telah memberikan dampak negatif berupa pemborosan dana masyarakat, efek samping yang berupa resistensi, interaksi obat yang berbahaya yang menurunkan mutu pengobatan dan mutu pelayanan kesehatan (Yuliastuti, dkk., 2013).

Rumah sakit sebagai instansi penyedia layanan kesehatan dan JKN sebagai jaminan sosial untuk masyarakat Indonesia yang berlaku sejak 1 Januari 2014 memerlukan suatu pantauan dan evaluasi yang berkelanjutan untuk menjaga rasionalitas pengobatan dan kualitas pelayanan kesehatan. Salah satu cara untuk mengetahui tingkat rasionalitaspengobatan adalah dengan menggunakan indikator yang dikembangkan oleh International Network for the Rational Use of Drug (INRUD) yang kemudian ditetapkan oleh WHO sebagai metode dasar untuk

Universitas Sumatera Utara

73

menilai penggunaan obat di unit-unit rawat jalan (WHO, 1993). Evaluasi mengenai penggunaan obat yang terarah sesuai dengan indikator yang ditetapkan oleh WHO tentunya dapat diketahui masalah yang ada dalam proses pengobatan dilihat dari kesesuaian data evaluasi tersebut dengan indikator yang ditetapkan (Pratiwi, 2014).

Indikator penggunaan obat yang diresepkan menurut WHO (1993) dan Kemenkes RI (2008) terdiri dari jumlah item obat per lembar resep, persentase obat dengan nama generik, persentase peresepan obat antibiotika, persentase peresepan injeksi, persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit, rerata kecepatan pelayanan resep, persentase obat yang dapat diserahkan dan persentase obat yang dilabeli dengan lengkap.

Hasil penelitian terhadap indikator penggunaan obat yang diresepkan dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Hasil indikator penggunaan obat yang diresepkan

No Indikator Nilai

Pembanding

Hasil 1 Jumlah item obat per lembar resep 1,8-2,2 4,27 (rajal)

4,36 (ranap) 2 Persentase obat dengan nama

generik

82%-94% 61,27% (rajal) 71,78% (ranap) 3 Persentase peresepan obat

antibiotika

< 22,70% 10,66% (rajal) 53,20% (ranap) 4 Persentase peresepan injeksi 0,2-48% 3,59% (rajal)

68,02% (ranap) 5 Persentase obat yang diresepkan

sesuai formularium rumah sakit

100% 90,61% (rajal) 96,40% (ranap) 6 Rerata kecepatan pelayanan resep ≤ 60 menit

(racikan);

7 Persentase obat yang dapat diserahkan

76-100% 96,44% (rajal) 99,87% (ranap)

Universitas Sumatera Utara

74 Tabel 4.8 (Sambungan)

No Indikator Nilai

Pembanding

Hasil 8 Persentase obat yang dilabeli

dengan lengkap

4.6.1 Jumlah Item Obat Per Lembar Resep

Perhitungan rerata jumlah item obat per lembar resep bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kecenderungan polifarmasi dalam peresepan (WHO, 1993). Perhitungan rerata jumlah obat per lembar resep didapat dari pembagian total obat yang diresepkan dengan total lembar sampel resep (WHO, 1993).

Rerata jumlah item obat per lembar resep terbaik menurut estimasi WHO (1993) adalah 1,8-2,2 item per lembar resep. Hasil perhitungan jumlah item obat per lembar resep di RSUD Langsa dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Jumlah item obat per lembar resep

No Keterangan Jumlah (item)

Rajal Ranap

1 Total jumlah obat yang diresepkan 1544 1499

2 Total jumlah resep yang disurvey 362 344

Hasil 4,27 4,36

Berdasarkan Tabel 4.9, rerata jumlah item obat per lembar resep adalah 4,36 untuk rawat inap dan 4,27 untuk rawat jalan, melebihi estimasi terbaik menurut WHO. Nilai tersebut menunjukkan adanya kecenderungan terjadi polifarmasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan masih ditemukan banyak resep yang memiliki jumlah obat lebih dari 2, bahkan hingga 11 item obat per lembar resep. Peresepan item obat melebihi 5 item bahkan sampai 11 item obat per lembar resep paling banyak ditemukan pada poli saraf dan penyakit dalam. Seperti yang disampaikan oleh informan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

75

Banyaknya jumlah obat yang diresepkan oleh dokter rerata tergolong banyak, tetapi ada juga yang masih 4-6 obat dalam satu resep tergantung dari penyakitnya. Biasanya resep yang banyak item obatnya itu dari poli saraf (neurologi). Sebenarnya waktu itu sudah pernah rapat dengan dokter untuk masalah ini, namun dokternya karena neurologi itu akumulasi dari beberapa penyakit sehingga mereka harus meresepkan banyak obat. Dan kita dari farmasi juga punya SPO tentang peresepan obat per lembar resep, dan sudah disosialisasikan juga ke dokter-dokter, hanya saja dokternya masih banyak polifrmasi juga (Informan 3).

Kalau dirawat jalan biasanya memang kecenderungan polifarmasi pasti ada, terutama paling banyak di poli saraf dan penyakit dalam, biasanya lebih dari 5 item obat per resep, sangat jarang ditemukan hanya dua obat dalam satu resep pada poli tersebut. Kenapa bisa seperti itu, lebih lanjutnya hanya dokter yang mengetahui terutama mengenai diagnosa pasiennya. Untuk mencapai hanya 2 atau 3 item obat per lembar resep sangat ideal sekali untuk kasus-kasus pada poli saraf dan penyakit dalam, ini harus didukung oleh penunjang-penunjang terkait seperti hasil laboratorium dan radiologi. Karena terlalu idealis jika hanya dua obat per resep, kecuali mungkin jika diluar negeri dengan fasilitas penunjang medik yang memadai (Informan 4).

Berdasarkan informasi dari informan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingginya kecenderungan polifarmasi sulit dihindari pada kasus-kasus seperti pasien pada poli saraf dan penyakit dalam yang memang membutuhkan lebih banyak obat dalam pengobatannya. Nilai rerata jumlah obat yang lebih tinggi dari estimasi WHO belum dapat menunjukkan ada atau tidak penggunaan obat yang irrasional, karena dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang melihat dari diagnosa, efikasi, keamanan, kecocokan, dan harga. Jumlah obat rerata yang digunakan cukup banyak, peresepan masih bisa dikatakan rasional jika memang pasien memiliki indikasi yang membutuhkan beberapa macam obat (Dianingati, 2015).

Peresepan obat dengan jumlah yang relatif banyak dapat disebabkan juga karena pasien mempunyai beberapa komplikasi penyakit (Oktaviani, 2018).

Jumlah rerata tiap item obat per lembar resep lebih rendah di sebagian besar negara berkembang (kisaran = 1,3-3,0). Sebagai contoh, 3 di Sri Lanka; 2,1 di Nepal; 2,2 di Vietnam; 2,3 di Botswana; 2,3 di Burkina Faso; 1,8 di Malawi;

Universitas Sumatera Utara

76

1,4 di Sudan; dan 1,3 di Zimbabwe. Namun, jumlah rerata tiap item obat per resep lebih tinggi di Afghanistan (3,9), India (5,6), Ghana (4,8) dan Nigeria (5,2).

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan jumlah obat yang lebih tinggi dalam resep, salah satunya kompetensi dari dokter, tidak tersedianya pedoman praktik

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan jumlah obat yang lebih tinggi dalam resep, salah satunya kompetensi dari dokter, tidak tersedianya pedoman praktik