• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6 Penggunaan Obat Yang Diresepkan

4.6.3 Persentase Peresepan Obat Antibiotika

Dalam hal meningkatkan peresepan nama generik oleh dokter, apoteker diharapkan dapat bertindak dengan lebih aktif untuk mengingatkan dokter sebagai penulis resep untuk menuliskan resep dengan obat-obat generik (Dianingati, 2015). Penulisan resep sesuai nama generik diperlukan adanya kesadaran dokter untuk menulis resep generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Hal ini menandakan adanya kerjasama yang baik antara profesi lain agar bisa mendukung lancarnya pelayanan farmasi pada pasien (Oktaviani, 2018).

4.6.3 Persentase Peresepan Obat Antibiotika

Menurut WHO (1993), pengukuran indikator persentase peresepan antibiotika bertujuan untuk mengukur penggunaan antibiotika, karena obat tersebut sering digunakan secara berlebihan sehingga dapat menyebabkan kerugian, diantaranya terjadi resistensi dan pemborosan biaya terapi. WHO menyarankan persentase peresepan obat dengan antibiotika adalah < 22,70%.

Persentase lembar resep yang mengandung antibiotika dihitung dengan cara membagi jumlah resep yang mengandung satu atau lebih antibiotika dengan

Universitas Sumatera Utara

79

jumlah sampel lembar resep dikalikan 100%. Hasil perhitungan persentase peresepan obat antibiotika dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11 Persentase peresepan obat antibiotika

No Keterangan Jumlah

Rajal Ranap 1 Jumlah resep yang mengandung satu atau lebih

antibiotika

39 183

2 Total jumlah resep yang disurvey 362 344

Hasil 10,66% 53,20%

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika di rawat jalan sudah memenuhi standar WHO yaitu sebesar 10,66%, sedangkan untuk pasien rawat inap melebihi dari rekomendasi WHO yaitu sebesar 53,20%. Hasil penelitian yang melebihi estimasi WHO menunjukkan adanya kecenderungan selektivitas yang kurang ketika meresepkan antibiotika, sehingga perlu adanya pengkajian ulang.

Jumlah maksimal antibiotika per lembar resep yang ditemukan pada sampel adalah dua antibiotika, hal ini memiliki arti bahwa jumlah resep yang mengandung kombinasi antibiotika tidak banyak, dikarenakan pasien yang mengidap penyakit infeksi yang memerlukan kombinasi terapi juga tidak cukup banyak, sehingga masih dapat dianggap wajar. Penggunaan siprofloksasin, sefadroksil, dan amoksisilin banyak ditemukan di instalasi farmasi rawat jalan RSUD Langsa. Kemungkinan penggunaan antibiotika-antibotika tersebut cukup tinggi dikarenakan spektrumnya yang luas dan tidak banyak pasien yang alergi maupun resisten terhadap antibiotika tersebut (Dianingati, 2015).

Pada instalasi farmasi rawat inap, antibiotika parenteral yang paling sering digunakan adalah golongan sefalosporin generasi III seperti cefotaksim dan ceftriaxon. Sefalosporin merupakan antibiotika parenteral yang aman dan

Universitas Sumatera Utara

80

mempunyai potensi antibakteri yang tinggi. Sefalosporin generasi III merupakan antibiotika intravena yang paling banyak penggunaannya, karena aktivitasnya terhadap kuman gram-negatif lebih kuat dan lebih luas lagi meliputi Pseudomonas dan Bakteroides, selain itu resistensinya terhadap laktamase juga lebih kuat (Surahman, dkk., 2008). Selain itu juga tingginya pemberian antibiotika pada pasien rawat inap dimungkinkan untuk mencegah infeksi nosokomial yang mungkin terjadi di lingkungan rumah sakit selama pasien dirawat inapkan dan biasanya dokter juga masih meresepkan antibiotika secara empiris. Seperti disampaikan informan sebagai berikut:

“Kalau antibiotika banyak digunakan sebenarnya kita harus melihat lebih dahulu diagnosa dokternya, apakah pasien memang benar-benar butuh antibiotika atau jika memang dibutuhkan harus diberikan. Oleh karena itu, kita tidak mengetahui secara pasti mengapa dokter meresepkan antibiotika tersebut”

(Informan 3).

“Kalau peresepan antibiotika di rawat jalan, dokter masih meresepkan antibiotika secara empiris, artinya berdasarkan pengalaman dokter, sehingga memang masih belum rasional penggunaannya, dan penyediaan antibiotika disini juga masih sangat terbatas, sehingga dokter memang sering meresepkan antibiotika saat pasien masuk RS. Selain itu juga pemberian antibiotika salah satunya bisa saja dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial selama di RS” (Informan 1).

Menurut pedoman penerapan formularium nasional, antibiotika hanya diresepkan apabila kecurigaan infeksi disebabkan oleh bakteri, antibiotika lini pertama harus dipilih untuk mengatasi infeksi yang bersifat umum dan terapi antibiotika secara empirik harus didasarkan pada data surveilans bakteri patogen penyebab infeksi di rumah sakit setempat (Kemenkes RI, 2011). Pada terapi secara empiris, pemberian antibiotika diberikan pada kasus infeksi yang belum diketahui secara jelas jenis kumannya seperti pada kasus gawat karena sepsis, pasien imunokompromise dan sebagainya. Terapi antibiotika pada kasus ini diberikan dengan berdasarkan data epidemiologi kuman yang ada (Negara, 2014).

Universitas Sumatera Utara

81

Data dari Negara lain menunjukkan penggunaan antibiotika yang tinggi yaitu 60,9% di India, 66,0% di Kamboja, 66,2% di Yemen dan di Malaysia lebih rendah dibandingkan negara lain yaitu 23,2% (Kardela, dkk., 2014). Jika dibandingkan dengan Negara tersebut, persentase peresepan antibiotika di IFRSUD Langsa masih berada dibawah nilai Negara yang disebutkan. Perbedaan nilai dari berbagai Negara ini dapat disebabkan karena variasi dalam kerentanan/resistensi bakteri, kebiasaan peresepandan perbedaan dalam prevalensi infeksi penyakit di negara-negara yang berbeda (Yimenu et al., 2019). Di Negara berkembang, antibiotika diresepkan 44% hingga 97% dari pasien rawat inap sering tidak diperlukan atau tidak tepat (Yimenu et al., 2019).

Menurut WHO, peresepan antibiotika untuk Negara yang lazim dengan penyakit infeksi diharapkan antara 15%-20%. Namun nilai persentase tersebut sangat sulit dicapai karena angka penyakit infeksi yang tinggi di Negara berkembang dan kebijakan penggunaan antibiotika serta program pengendalian dan pencegahan infeksi dan pengendalian resistensi antimikroba; pemberdayaan TFT belum dapat berjalan dengan baik di rumah sakit (Negara, 2014). Di negara berkembang seperti Indonesia, jenis pemeriksaan diagnostik terbatas, jangkauan asuransi kesehatan juga terbatas, sehingga penegakan diagnosis-pasti bisa tertunda hingga beberapa hari. Panduan untuk mengenali indikasi terapi antibiotika empirik yang tergantung pada keadaan klinis (bukan pada diagnosis) akan mempermudah dokter mengambil keputusan yang tepat tentang perlu tidaknya memberikan antibiotika sebelum ditegakkan diagnosis-pasti. Hal ini juga menjadi salah satu pendorong tingginya pemberian antibiotika pada rumah sakit di Indonesia (Farida, dkk., 2008).

Universitas Sumatera Utara

82

Permasalahan resistensi bakteri juga telah menjadi masalah yang berkembang di seluruh dunia sehingga WHO mengeluarkan pernyataan mengenai pentingnya mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan masalah tersebut dan strategi untuk mengendalikan kejadian resistensi. Salah satu cara untuk mengendalikan kejadian resistensi bakteri adalah dengan penggunaan antibiotika secara rasional. Penggunaan obat rasional termasuk antibiotika menurut WHO adalah pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang adekuat dan harga terendah baginya dan masyarakat sekitarnya (Negara, 2014).

Dampak negatif paling berbahaya akibat penggunaan antibiotika secara tidak rasional adalah muncul dan berkembangnya kuman-kuman kebal antibiotika atau dengan kata lain terjadinya resistensi antibiotika. Hal ini mengakibatkan pengobatan yang diberikan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas pasien, serta meningkatnya biaya perawatan kesehatan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penggunaan antibiotika secara berlebihan atau tidak rasional adalah pengetahuan dan pemahaman dokter tentang penyakit infeksi dan antibiotika yang masih kurang, ketersediaan jenis antibiotika tertentu yang belum memadai, pemeriksaan kultur yang lama dan kurangnya pengawasan Pedoman Pengunaan Antibiotika (PPAB) di rumah sakit (Negara, 2014).

Untuk pencegahan terjadinya resistensi antibiotika di rumah sakit, maka kebijakan dan pedoman pengunaan antibiotika yang rasional mesti dilaksanakan.

Skrining pasien dan petugas perlu dilakukan, peran tim Program Pencegahan Resistensi Antimikroba (PPRA) dioptimalkan, demikian juga kerjasama dan

Universitas Sumatera Utara

83

koordinasi dengan tim terkait seperti PPRA, Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), TFT dan mikrobiologi klinis.