• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun secara ekonomis. Siklus manajemen obat mencakup empat tahap yaitu selection (seleksi), perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan. Masing-masing tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait, sehingga harus dikelola dengan baik agar efektifitas dan efisiensi pengelolaan obat dapat tercapai.

Salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit adalah dengan melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi (monev). Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Makin sesuai yang diukur dengan indikatornya, makin sesuai pula hasil suatu pekerjaan dengan standarnya.

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Universitas Sumatera Utara

7

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

Kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium Nasional = ≥ 80%

Frekuensi pengadaan tiap item obat pertahun = rendah < 12 kali/tahun, sedang = 12-24 kali/tahun, tinggi > 24 kali /tahun

− Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok = 100%

Persentase dan nilai obat yang kadaluwarsa dan atau rusak = ≤ 0,2%

Persentase stok mati = 0%

Tingkat ketersediaan obat = 12-18 bulan

Jumlah item obat per lembar resep = 1,8-2,2

− Persentase obat dengan nama generik = 82%-94%

− Persentase peresepan obat antibiotika = < 22,70%

Persentase peresepan injeksi = 0,2-48%

Persentase obat yang

diresepkan sesuai formularium rumah sakit = 100%

Rata-rata kecepatan pelayanan resep = ≤ 60 menit (racikan), ≤ 30 menit (sediaan jadi)

Persentase obat yang dapat diserahkan = 76-100%

Persentase obat yang dilabeli dengan lengkap = 100%

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit

2.1.1 Definisi Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 pasal 1, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Presiden RI, 2009).

2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit a. Tugas Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, bahwa rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna.

b. Fungsi Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai beberapa fungsi yaitu:

i. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

ii. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

iii. penyelanggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

9

iv. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit

Menurut PerKemenkes RI Nomor 56 Tahun 2014, berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus sebagai berikut:

a. rumah sakit umum diklasifikasikan menjadi 4 yaitu, rumah sakit umum kelas A, kelas B, kelas C, dan kelas D.

b. rumah sakit khusus diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, rumah sakit khusus kelas A, kelas B, dan kelas C.

Penetapan klasifikasi rumah sakit tersebut diatas didasarkan pada pelayanan, sumber daya manusia, peralatan serta bangunan dan prasarana.

2.2 Tim Farmasi dan Terapi

Menurut Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, dalam pengorganisasian rumah sakit dibentuk Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit mengenai kebijakan penggunaan obat di rumah sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di rumah sakit, apoteker instalasi farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. Tim farmasi dan terapi harus dapat membina hubungan kerja dengan komite lain di dalam rumah sakit yang berhubungan/berkaitan dengan penggunaan obat.

Universitas Sumatera Utara

10

Ketua TFT dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah apoteker, namun apabila diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter. Tim farmasi dan terapi harus mengadakan rapat secara teratur, minimal 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan. Tim farmasi dan terapi dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan TFT, memiliki pengetahuan khusus, keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi TFT (Kemenkes RI, 2016).

Menurut Kemenkes RI (2016), TFT mempunyai tugas:

a. mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di rumah sakit.

b. melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam formularium rumah sakit.

c. mengembangkan standar terapi.

d. mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat.

e. melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional.

f. mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki.

g. mengkoordinir penatalaksanaan medication error.

h. menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di rumah sakit.

2.3 Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Menurut Permenkes RI Nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, instalasi farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara

11

2.3.1 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit a. Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Adapun tugas dari instalasi farmasi rumah sakit, yaitu:

i. menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi.

ii. melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien.

iii. melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko.

iv. melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi serta memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.

v. berperan aktif dalam TFT.

vi. melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan kefarmasian.

vii. memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium rumah sakit.

b. Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Fungsi instalasi farmasi rumah sakit dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinis. Adapun sub fungsi masing-masing yaitu:

i. pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, antara lain:

Universitas Sumatera Utara

12

a) memilih sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit.

b) merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai secara efektif, efisien dan optimal.

c) mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku.

d) memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

e) menerima sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku.

f) menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian.

g) mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai ke unit-unit pelayanan di rumah sakit.

h) melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu.

i) melaksanakan pelayanan obat secara dosis sehari (unit dose).

j) melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (apabila sudah memungkinkan).

k) mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.

l) melakukan pemusnahan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang sudah tidak dapat digunakan.

Universitas Sumatera Utara

13

m) mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.

n) melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.

ii. pelayanan farmasi klinis, antara lain:

a) pengkajian dan pelayanan resep.

b) penelusuran riwayat penggunaan obat.

c) melaksanakan rekonsiliasi obat.

d) pelayanan informasi obat.

e) konseling.

f) melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain.

g) melaksanakan pemantauan terapi obat.

h) memonitoring efek samping obat.

i) evaluasi penggunaan obat.

j) dispensing sediaan steril.

k) pemantauan kadar obat dalam darah (Kemenkes RI, 2016).

2.3.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016, pengorganisasian instalasi farmasi rumah sakit harus mencakup penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinis dan manajemen mutu yang bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.

Universitas Sumatera Utara

14

2.3.3 Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Instalasi farmasi harus memiliki apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan instalasi farmasi rumah sakit. Ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan tenaga teknis kefarmasian di rumah sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang ditetapkan oleh menteri (Kemenkes RI, 2016).

Menurut Kemenkes RI (2016), perhitungan kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinis dengan aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien. Berdasarkan apoteker menurut beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penyerahan obat, pencatatan penggunaan obat dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 apoteker untuk 50 pasien. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit, jumlah tenaga kefarmasian untuk masing-masing tipe rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Daftar tenaga kefarmasian minimal di berbagai klasifikasi rumah sakit umum

Tenaga Kefarmasian

Klasifikasi Kelas Rumah Sakit Umum

A B C D

15 Tabel 2.1 (Sambungan)

Tenaga Kefarmasian

Klasifikasi Kelas Rumah Sakit Umum

A B C D

2.4 Manajemen Logistik Obat Rumah Sakit

Sistem manajemen obat merupakan serangkaian kegiatan kompleks yang merupakan suatu siklus yang saling terkait, pada dasarnya terdiri dari empat fungsi dasar yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan.

Instalasi farmasi rumah sakit merupakan satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk pengelolaan semua aspek

Universitas Sumatera Utara

16

yang berkaitan dengan obat atau perbekalan kesehatan yang digunakan dirumah sakit (Quick et al., 1997). Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi, administrasi dan keuangan, sumber daya manusia, dan sistem informasi manajemen (Quick et al., 2012).

Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun secara ekonomis. Tujuan manajemen obat di rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu (Quick et al., 1997).

Siklus pengelolaan obat meliputi empat fungsi dasar yaitu seleksi (selection), perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi (distribution), dan penggunaan (use) yang memerlukan dukungan dari organisasi (organization), ketersediaan pendanaan (financing sustainability), pengelolaan informasi (information management) dan pengembangan sumber daya manusia (human resources management) yang ada di dalamnya (Quick et al., 1997).

Dalam sistem manajemen obat, masing-masing fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya. Seleksi seharusnya didasarkan pada pengalaman aktual terhadap kebutuhan untuk melakukan pelayanan kesehatan dan obat yang digunakan, perencanaan dan pengadaan memerlukan keputusan seleksi dan seterusnya. Setiap tahap siklus manajemen obat yang baik harus didukung oleh keempat faktor tersebut sehingga

Universitas Sumatera Utara

17

pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus pengelolaan obat tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Quick et al., 1997).

Gambar 2.1 Siklus pengelolaan obat

Pada dasarnya, manajemen obat di rumah sakit adalah bagaimana cara mengelola tahap-tahap dan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan saling mengisi sehingga dapat tercapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan efisien agar obat yang diperlukan oleh dokter selalu tersedia setiap saat dibutuhkan dalam jumlah cukup dan mutu terjamin untuk mendukung pelayanan yang bermutu (Quick et al., 1997).

Pengelolaan obat di rumah sakit meliputi tahap-tahap seleksi, perencanaan dan pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan yang saling terkait satu sama lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat berfungsi secara optimal. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap akan mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada (Quick et al., 1997).

Seleksi/Perencanaan

Pengadaan

Distribusi Penggunaan

Dukungan manajemen:

- organisasi

- ketersediaan pendanaan - pengelolaan informasi

- pengembangan sumber daya manusia

Universitas Sumatera Utara

18

Ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat dapat memberi dampak negatif terhadap rumah sakit, maka perlu dilakukan penelusuran terhadap gambaran pengelolaan serta pendukung manajemennya agar dapat diketahui permasalahan dan kelemahan dalam pelaksanaannya sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat (Lilihata, 2011).

Departemen Kesehatan RI dalam pedoman pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit (2008), Kemenkes RI dalam standar pelayanan minimal di rumah sakit (2008), Pudjaningsih (1996), dan WHO (1993) menetapkan beberapa indikator pengelolaan obat. Sejumlah indikator pengelolaan obat yang dipilih dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Rumah sakit harus menyusun kebijakan terkait manajemen pengunaan obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang sekurang-kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat membantu rumah sakit memahami kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan obat yang berkelanjutan (Kemenkes RI, 2016).

Tabel 2.2 Indikator efisiensi pengelolaan obat di rumah sakit

Tahapan Indikator Tujuan Nilai

Pembanding

19 Tabel 2.2 (Sambungan)

Tahapan Indikator Tujuan Nilai

Pembanding Penggunaan 1. Jumlah item obat per

lembar resep

20

Seleksi atau pemilihan obat merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat (Kemenkes RI, 2016).

Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam tim farmasi dan terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas. Pemilihan sediaan farmasi berdasarkan kepada:

a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi.

b. standar sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang telah ditetapkan.

c. pola penyakit.

d. efektivitas dan keamanan.

e. pengobatan berbasis bukti.

Universitas Sumatera Utara

21 f. mutu.

g. harga.

h. ketersediaan di pasaran.

Kriteria seleksi obat menurut formularium:

a. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan pasien.

b. memiliki rasio resiko manfaat yang paling menguntungkan.

c. praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan.

d. obat mudah diperoleh.

Seleksi obat bertujuan untuk menghindari obat yang tidak mempunyai nilai terapeutik, mengurangi jumlah jenis obat dan meningkatkan efisiensi obat yang tersedia (Quick et al., 2012). Formularium yang telah disusun digunakan sebagai sumber informasi obat yang digunakan untuk terapi di rumah sakit.

Semua tahap tersebut bertujuan untuk mendapat ketersediaan dan penggunaan obat yang lebih rasional (Quick, et al., 1997).

Berdasarkan studi pustaka, penelitian mengenai pengelolaan obat pada tahap pemilihan sudah banyak dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian Saputera (2018) tentang evaluasi tingkat ketersediaan obat di RSUD BLUD H. Hasan Basry Kandangan menunjukkan bahwa hasil evaluasi pada tahap pemilihan, yaitu persentase kesesuaian obat yang tersedia dengan formularium Nasional tingkat II masih berada di bawah nilai standar. Penelitian Fakhriadi, dkk., (2011) menunjukkan hasil bahwa pengelolaan obat belum efisien pada tahap selection.

Penelitian Oktaviani, dkk., (2018) menunjukkan bahwa pada beberapa tahap pengelolaan obat ada yang belum sesuai standar salah satunya tahap seleksi, yaitu kesesuaian dengan formularium Nasional.

Universitas Sumatera Utara

22 2.4.2 Perencanaan

Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jenis, jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia (Kemenkes RI, 2016).

Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:

a. anggaran yang tersedia;

b. penetapan prioritas;

c. sisa persediaan;

d. data pemakaian periode yang lalu;

e. waktu tunggu pemesanan; dan

f. rencana pengembangan (Kemenkes RI, 2016).

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan bahwa perencanaan kebutuhan obat adalah salah satu aspek penting dan menentukan dalam pengelolaan obat karena perencanaan kebutuhan akan mempengaruhi pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2004).

2.4.3 Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,

Universitas Sumatera Utara

23

jumlah dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan dan pembayaran (Kemenkes RI, 2016).

Pengadaan dapat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain:

a. pembelian

Untuk rumah sakit pemerintah pembelian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang berlaku (Kemenkes RI, 2016).

Hal-hal yang diperhatikan dalam pembelian adalah kriteria sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai; persyaratan pemasok;

penentuan waktu pengadaan dan kedatangan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai; dan pemantauan pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.

b. produksi sediaan farmasi

Produksi sediaan farmasi merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Instalasi farmasi dapat memproduksi sediaan tertentu apabila sediaan farmasi tidak tersedia di pasaran; sediaan farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri; sediaan farmasi formula khusus; sediaan farmasi kemasan yang lebih kecil/repacking; sediaan farmasi untuk penelitian; dan sediaan farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru (Kemenkes RI, 2016).

c. sumbangan/dropping/hibah

Universitas Sumatera Utara

24

Instalasi farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap penerimaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sumbangan/dropping/hibah (Kemenkes RI, 2016).

Tujuan pengadaan adalah memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Quick et al., 1997).

Pengadaan memegang peranan penting karena dengan pengadaan rumah sakit akan mendapatkan obat dengan harga, mutu, dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Rumah sakit tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien jika persediaan obat tidak ada, hal ini dapat berakibat fatal bagi pasien dan akan mengurangi keuntungan yang seharusnya dapat diterima di rumah sakit (Indriawati, 2001).

Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk menentukan sistem pengadaan perlu mempertimbangkan jenis, sifat, dan nilai barang/jasa yang ada. Prinsip pengadaan barang/jasa yaitu:

i. efisien: berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan.

ii. efektif: berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.

iii. terbuka dan bersaing: pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan

Universitas Sumatera Utara

25

yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan.

iv. transparan: berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya.

v. adil/tidak diskriminatif: memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun.

vi. akuntabel: harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.

Metode pemilihan penyedia barang/jasa terbagi menjadi:

a. pelelangan umum

Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Semua pemilihan penyedia barang/jasa pada prinsipnya dilakukan dengan pelelangan umum.

Universitas Sumatera Utara

26 b. pelelangan terbatas

Dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang mampu melaksanakan diyakini terbatas yaitu pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metode pelelangan terbatas dan diumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.

c. pemilihan langsung

Pemilihan yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya

Pemilihan yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya