• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil observasi dokumen, pengamatan langsung dan wawancara diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu data kuantitatif dan data kualitatif.

Data kualitatif dianalisis dengan mengidentifikasi temuan yang ada dan hasilnya disajikan dalam bentuk tekstual berupa narasi. Data kuantitatif dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan yaitu indikator Depkes RI (2008), Kemenkes RI (2008), Pudjaningsih (1996) dan indikator WHO (1993) kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Data dihitung menggunakan microsoft office excel tahun 2007 dan hasil perhitungan data yang didapatkan kemudian dianalisis menggunakan descriptive statistics pada program SPSS versi 22.

Melakukan analisis data yang diperoleh dan membuat laporan penelitian.

Melakukan pengambilan data langsung pada saat pelayanan resep oleh peneliti di instalasi RSUD Langsa tersebut

Pengumpulan dan pencatatan data yang termaksud dalam data yang akan diambil di instalasi farmasi RSUD Langsa dalam bulan Juli-Oktober 2019 di instalasi farmasi RSUD Langsa.

Mengurus surat persetujuan dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Langsa untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data Mengurus surat persetujuan dari Komite Etik Penelitian bidang kesehatan di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Mengurus surat permohonan izin dari Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara untuk melakukan penelitian di RSUD Langsa.

Universitas Sumatera Utara

44 3.7 Analisis Parameter

Langkah-langkah analisis setiap parameter dalam penelitian ini adalah:

a. seleksi

i. kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium Nasional Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:

X : Jumlah obat yang sesuai dengan formularium Nasional Y : Total jumlah obat

b. perencanaan dan pengadaan (procurement) i. frekuensi pengadaan tiap item obat pertahun

Nilai frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun diperoleh melalui pengumpulan data secara retrospektif dari laporan pengadaan tahun 2018. Total item obat disampling secara acak sebesar 30% dari keseluruhan total obat yang diadakan (Ihsan, dkk., 2014).

Rumus: Data diambil dari laporan pengadaan obat tahun 2018, berdasarkan laporan tersebut dapat diketahui berapa kali obat dipesan.

c. distribusi

i. ketepatan data jumlah obat pada kartu stok

Data diambil secara prospektif dengan cara mencocokkan jumlah sediaan yang tertera pada kartu stok dengan jumlah fisik obat yang sebenarnya. Kartu stok obat yang diambil sebagai sampel sebanyak 10% dari total kartu stok obat yang ada, dicocokkan dengan barang yang ada (Satibi, 2014).

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:

X: Jumlah item obat yang sesuai dengan kartu stock Y: Jumlah kartu stock yang diambil

Universitas Sumatera Utara

45

ii. persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak

Data diambil secara retrospektif berupa pengamatan data obat kadaluarsa selama tahun 2018 (Djatmiko, 2008).

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:

X : Total nilai obat kadaluarsa dalam setahun Y : Nilai stok opname

iii. persentase stok mati

Data diambil secara retrospektif berupa pengamatan data pengeluaran obat di gudang farmasi pada tahun 2018 (Djatmiko, 2008).

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:

X : Jumlah jenis obat yang tidak mengalami transaksi (selama 3 bulan) Y : Jumlah item obat yang ada stoknya

iv. tingkat ketersediaan obat

Data diambil secara retrospektif berupa data stok obat per Desember 2018 dan data pemakaian obat selama tahun 2018 (Satibi, 2014).

Rumus: X+Y/Z x 1 bulan Keterangan:

X: Jumlah stock obat

Y: Jumlah pemakaian obat selama 1 tahun Z: Rerata pemakaian obat perbulan

d. penggunaan (Use)

Pengambilan data dilakukan secara prospektif dengan mengumpulkan data yang terdapat pada lembar pasien rawat jalan dan rawat inap selama 1 bulan di RSUD Langsa. Sampel yang digunakan dihitung menggunakan raosoft.com dengan tingkat kepercayaan 95% yaitu didapatkan sampel sebanyak 344 resep

Universitas Sumatera Utara

46

rawat inap dari 3.280 populasi dan sebanyak 362 lembar resep rawat jalan dari 6.240 populasi (Yuliastuti, dkk., 2013). Adapun parameter yang dihitung pada tahap penggunaan adalah sebagai berikut:

i. jumlah item obat perlembar resep Rumus: B/A

Keterangan:

A =Jumlah resep yang disurvey

B = Jumlah total produk obat yang diresepkan ii. persentase obat dengan nama generik

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:

X : Jumlah obat dalam nama generik Y : Jumlah total obat yang diresepkan iii. persentase peresepan obat antibiotika

Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:

X : Jumlah resep yang mengandung satu atau lebih antibiotika Y : Jumlah total resep

iv. persentase peresepan injeksi Rumus = X/Y x 100%

Keterangan:

X : Jumlah pasien yang menerima suntikan injeksi Y : Jumlah total resep

v. persentase obat yang masuk dalam formularium rumah sakit Rumus = X/Y x 100%

Keterangan:

X: Jumlah obat yang sesuai dengan formularium Y : Total jumlah obat yang diresepkan

Universitas Sumatera Utara

47

vi. rerata kecepatan pelayanan resep (racikan dan non racikan)

Waktu pelayanan resep obat diperoleh dengan cara mengumpulkan data waktu pelayanan resep yang masuk selama satu bulan di apotek rawat jalan. Data dikumpulkan secara prospektif. Sampel resep non racikan diambil berdasarkan perhitungan rumus raosoft dengan jumlah populasi sebanyak 7.360 didapatkan sampel sebanyak 366 resep sedangkan resep non racikan diambil berdasarkan perhitungan rumus raosoft dengan jumlah populasi 45 didapatkan sampel sebanyak 41 resep (Ihsan, dkk., 2014).

Rumus: X-Y/Z x 100%

Keterangan:

X : Waktu selesai diterima pasien Y : Waktu resep masuk ke apotek Z : Total jumlah resep

vii. persentase obat yang dapat diserahkan Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:

X : Total jumlah item obat yang diserahkan kepada pasien Y : Jumlah item obat yang diresepkan

viii. persentase obat yang dilabeli dengan lengkap Rumus: X/Y x 100%

Keterangan:

X : Jumlah obat dengan etiket yang dilabeli dengan nama pasien dan aturan pakai

Y : Jumlah total obat yang diberikan kepada pasien.

3.8 Definisi Operasional

Definsi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Universitas Sumatera Utara

48 Tabel 3.1 Definisi operasional penelitian

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

2 Pemilihan Proses penentuan obat yang akan

4 Distribusi Proses penyimpanan dan pendistribusian

49 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Penelitian

Instalasi farmasi rumah sakit merupakan bagian yang bertanggung jawab atas pengelolaan obat pada RSUD Langsa yaitu mulai dari tahap pemilihan, perencanaan dan pengadaan, distribusi hingga penggunaan obat. Dalam menjalankan tugasnya, bagian instalasi farmasi bekerja sama dengan bagian gudang dimana penerimaan obat dan penyimpanan obat dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi capaian pengelolaan obat meliputi pemilihan, perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi dan penggunaan obat yang diresepkan di RSUD Langsa.

4.2 Karakteristik Responden

Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara mendalam terhadap kepala instalasi farmasi, apoteker bagian perbekalan dan apoteker bagian pelayanan. Seluruh informan telah menandatangani lembar pernyataan kesediaan menjadi subjek penelitian setelah mendapat penjelasan maksud dan tujuan penelitian. Karakteristik informan wawancara mendalam disajikan dalam Tabel 4.1.

Table 4.1 Karakteristik informan Informan Jenis

Kelamin Pendidikan Jabatan

1 Perempuan Spesialis Farmasi Rumah Sakit

Kepala Instalasi Farmasi

2 Perempuan Apoteker Koordinator Gudang

Farmasi

Universitas Sumatera Utara

50 Table 4.1 (Sambungan)

Informan Jenis

Kelamin Pendidikan Jabatan

3 Perempuan Apoteker Koordinator Instalasi

Farmasi Rawat Inap

4 Laki-laki Apoteker Koordinator Instalasi

Farmasi Rawat Jalan

4.3 Pemilihan (Selection)

Pemilihan atau selection adalah proses memilih sejumlah obat di rumah sakit dengan tujuan untuk menghasilkan penyediaan/pengadaan yang lebih baik, penggunaan obat yang lebih rasional, dan harga yang lebih rendah (Satibi, 2014).

Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Tim Farmasi dan Terapi (TFT) untuk menetapkan kualitas dan efektifitas serta jaminan obat yang baik. Adapun salah satu fungsi TFT yaitu mengembangkan formularium rumah sakit dan merevisinya, juga membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional (Wati, 2013).

Formularium Nasional merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelaksanaan JKN. Dalam hal obat yang diperlukan tidak tercantum dalam formularium nasional maka dapat digunakan obat lain secara terbatas berdasarkan persetujuan komite medik atau direktur utama rumah sakit setempat. Formularium nasional disusun dengan tujuan untuk menjadi acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam menjamin aksesibilitas obat yang berkhasiat, bermutu, aman, dan terjangkau dalam sistem JKN, sedangkan formularium RS adalah dokumen yang selalu diperbaharui secara terus-menerus yang berisi sediaan obat yang terpilih

Universitas Sumatera Utara

51

dan informasi tambahan lainnya yang merefleksikan pertimbangan klinik mutakhir staf medik rumah sakit. Formularium RS disusun bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemakaian obat di RS (Winda, 2018). Formularium RS disusun mengacu kepada formularium nasional dimana formularium ini merupakan daftar obat yang disepakati oleh staf medis dan disusun oleh TFT yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit (Aritonang, 2017). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi RSUD Langsa sebagai berikut:

Pemilihan obat di RSUD Langsa yaitu berdasarkan formularium nasional, RSUD Langsa mengikuti yang ada di formularium nasional. Namun dari formularium nasional tidak mencakupi semua obat yang dibutuhkan di RSUD Langsa, maka dibuatlah formulrium rumah sakit. Formularium rumah sakit dibuat berdasarkan formularium nasional dan usulan/permintaan dari dokter spesialis.

Obat-obat seperti piracetam, mecobalamin dan sebagainya tidak ada didalam formularium nasional, namun dokter meminta untuk diadakan di rumah sakit sehingga dijadikan acuan juga untuk dimasukkan kedalam formularium rumah sakit (Informan 2).

Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi tersebut, diketahui bahwa kebijakan yang diambil oleh RSUD Langsa dalam hal pemilihan obat, yaitu pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa dilakukan berdasarkan acuan formularium nasional, formularium rumah sakit dan permintaan atau usulan dari dokter spesialis. Jika ada obat-obat yang tidak termasuk dalam formularium nasional tetapi obat tersebut dibutuhkan dalam proses penyembuhan penyakit dan dipakai oleh dokter untuk pasien maka obat tersebut dipilih untuk diadakan seperti mecobalamin, piracetam, ambroksol dan lain-lain.

Formularium RSUD Langsa disusun sebagai acuan penggunaan obat di RSUD Langsa dan melengkapi kebutuhan obat yang tidak tercantum di

Universitas Sumatera Utara

52

formularium nasional atas dasar usulan/permintaan dari dokter spesialis di RSUD Langsa. Formularium RSUD Langsa disusun oleh TFT yang diketuai oleh dokter spesialis dan kepala instalasi farmasi sebagai sekretaris.

Indikator yang digunakan dalam tahap pemilihan/seleksi adalah kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan penggunan obat dalam formularium nasional.

Data dikumpulkan secara retrospektif dengan membandingkan jumlah obat yang sesuai dengan formularium nasional dengan total jumlah obat dalam formularium rumah sakit, dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional Keterangan Nilai (item) Nilai Standar Jumlah item obat yang

sesuai dengan formularium Nasional

585 -

Jumlah item obat formularium RSUD Langsa

662 -

Kesesuaian item obat yang tersedia dengan

formularium nasional (%)

88,37% ≥ 80%

Berdasarkan Tabel 4.2, terlihat bahwa kesesuaian obat yang tersedia di RSUD Langsa dengan formularium nasional telah memenuhi standar yaitu sebesar 88,37%.

Berdasarkan hasil tersebut, menunjukkan bahwa obat-obat yang tercantum dalam formularium RSUD Langsa sebagian besar sudah sesuai dengan formularium nasional sehingga sebagian besar obat yang disediakan dan diberikan kepada pasien sudah sesuai dengan obat-obat yang ada tertera dalam formularium Nasional.

Universitas Sumatera Utara

53

Formularium rumah sakit yang disusun mengacu pada formularium nasional merupakan salah satu upaya mendukung penggunaan obat rasional melalui peningkatan akses terhadap obat esensial (Mahdiyani, 2018). Namun dalam hal di rumah sakit, obat yang dibutuhkan tidak tercantum dalam formularium nasional dapat digunakan obat lain secara terbatas sepanjang mendapat persetujuan kepala atau direktur rumah sakit setempat (Menkes, 2018).

Atas dasar dapat digunakannya obat di luar formularium Nasional tersebut maka kemudian rumah sakit menyusun formularium rumah sakit yang dapat dijadikan sebagai acuan pengobatan oleh dokter kepada pasien (Winda, 2018).

4.4 Perencanaan dan Pengadaan (Procurement)

Pada tahap pengelolaan obat, proses perencanaan dan pengadaan sangat berpengaruh pada ketersediaan obat maupun segi ekonomi rumah sakit.

Terjaminnya item dan jumlah obat yang mencukupi menjadi salah satu aspek terpenting dari rumah sakit untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik.

Disamping itu, karena besarnya biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit pada pengelolaan obat terutama pada tahap perencanaan dan pengadaan, maka perlu diadakan evaluasi terhadap tahap tersebut (Mahdiyani, 2018).

Proses perencanaan terdiri dari perkiraan kebutuhan, menetapkan sasaran dan menentukan strategi, tanggung jawab dan sumber yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Perencanaan sediaan farmasi adalah salah satu fungsi yang menentukan dalam proses pengadaan sediaan farmasi di rumah sakit. Tujuan perencanaan sediaan farmasi adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah sediaan farmasi sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah

Universitas Sumatera Utara

54

sakit. Perencanaan sediaan farmasi merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga sediaan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi RSUD Langsa terkait pengadaan sebagai berikut:

Perencanaan dilakukan berdasarkan riwayat pemakaian obat tahun sebelumnya dengan mempertimbangkan sisa persediaan obat yang ada. Setelah dibuat perencanaan obat untuk satu tahun kedepan, setiap tiga bulan sekali dilakukan permintaan pengadaan obat kepada PPK jika terdapat obat yang tidak masuk kedalam perencanaan awal dikarenakan adanya permintaan/usulan dari dokter untuk kebutuhan penggunaan obat tersebut sesuai usulan pengobatan dari dokter spesialis yang bersangkutan (Informan 2).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa metode perencanaan obat di RSUD Langsa dilakukan dengan pola pendekatan konsumsi yaitu perencanaan berdasarkan pemakaian obat tahun lalu/sebelumnya dengan mempertimbangkan sisa persediaan yang ada dan usulan permintaan obat dari dokter. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014 bahwa perencanaan obat dilakukan untuk menghindari kekosongan dan atau kelebihan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan salah satunya metode konsumsi yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Perencanaan dilakukan secara optimal sehingga perbekalan farmasi dapat digunakan secara efektif dan efisien (Nesi, 2018). Apabila terjadi kelemahan dalam sistem perencanaan tersebut, maka akan mengakibatkan kekacauan dalam

Universitas Sumatera Utara

55

sistem pengelolaan obat, misalnya terjadi pemborosan anggaran, banyaknya obat tidak terpakai/terbuang, membengkaknya anggaran pengadaan dan penyimpanan (Pramukantoro, 2018).

Salah satu cara untuk menghindari pembengkakan biaya pengadaan dalam perencanaan dapat dilakukan melalui evaluasi farmakoekonomi. Farmakoekonomi dapat membantu pembuat kebijakan dan penyedia pelayanan kesehatan dalam membuat keputusan dan mengevaluasi keterjangkauan serta akses pengunaan obat yang rasional. Kunci utama dari kajian farmakoekonomi adalah efisiensi dengan berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk mendapatkan manfaat semaksimal mungkin dengan sumber daya yang digunakan (Khoiriyah, 2018).

Evaluasi ekonomi adalah salah satu cara untuk melakukan perbandingan terhadap tingkat efisiensi beberapa intervensi atau program kesehatan. Cost Effectiveness Analysis (CEA) adalah salah satu bentuk evaluasi ekonomi yang membandingkan rasio biaya dan efektivitas dari beberapa alternatif intervensi/program. Sebagai contoh, Cost Effectiveness Analysis dipakai sebagai metode penetepan intervensi oleh WHO dalam proyek WHO-CHOICE (Choosing Interventions that are Cost Effective). Hasil evaluasi ini diharapkan dapat dipakai dalam proses perencanaan dan penetapan prioritas pelayanan kesehatan di tingkat nasional. Evaluasi ekonomi lainnnya yang dapat digunakan adalah Cost Benefit Analysis (CBA). Cost Benefit Analysis merupakan evaluasi ekonomi yang paling kompleks karena mencoba mengukur biaya dan efektivitas dalam bentuk moneter, di mana besarnya biaya dibandingkan dengan besarnya efektifitas. Evaluasi ini juga dapat digunakan untuk penetapan perencanaan obat dengan melihat rasio biaya dan manfaat yang dihasilkan (Probandari, 2007). Namun kelemahan

Universitas Sumatera Utara

56

manajemen obat di RS saat ini adalah kurangnya penelitian dan kajian farmakoekonomi dalam proses perencanaan sehingga dapat berdampak terhadap pemborosan biaya dan resiko obat tidak terpakai atau kadaluarsa.

Pengadaan adalah suatu usaha kegiatan untuk memenuhi kegiatan operasional yang telah ditetapkan dalam fungsi perencanaan (Nesi, 2018).

Pengadaan obat-obatan di rumah sakit dilakukan berdasarkan perencanaan yang dibuat oleh IFRS. Menurut informasi yang disampaikan oleh informan 1, metode pengadaan obat yang selama ini dilakukan pada RSUD Langsa dilakukan secara e-catalog dan diluar e-catalog.

Pengadaan secara e-catalog merupakan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemajuan teknologi informasi lebih mempermudah dan mempercepat proses pengadaan barang/jasa, karena penyedia barang/jasa tidak perlu lagi datang ke Kantor Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) untuk melihat, mendaftar dan mengikuti proses pelelangan, tetapi cukup melakukannya secara online pada website pelelangan elektronik (Menkes, 2014).

Pengadaan dilakukan dengan sistem e-purchasing berdasarkan e-catalog secara online dengan aplikasi LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik).

Untuk obat-obatan diluar e-catalog, pengadaan obat dilakukan langsung oleh kepala instalasi farmasi rumah sakit dengan menggunakan surat pesanan kepada distributor. Seperti yang disampaikan oleh informan 1 sebagai berikut:

Pengadaan obat di RSUD Langsa dilakukan oleh PPK dan PPTK dibawah arahan dan petunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) RS. Pengadaannya sebisa mungkin secara e-catalog, tetapi ada juga yang diluar e-catalog karena tersangkut pembayaran atau stok barang kosong dari distributor, sehingga pengadaan

Universitas Sumatera Utara

57

dilakukan dengan SP biasa ke distributor. Pengadaan dilakukan setiap sebulan sekali, tetapi terkadang tidak bisa dipastikan juga karena menyesuaikan dengan keuangan RS juga, sehingga bisa frekuensinya tidak tetap karena kondisi pembayaran yang tidak stabil (Informan 1).

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan 1 tersebut, disimpulkan bahwa pengadaan obat-obatan di RSUD Langsa dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dibawah arahan dan petunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang ditetapkan dengan SK Direktur. Hal ini sesuai dengan Perpres No. 72 tahun 2012 tentang pengadaan barang dan jasa.

Dalam pengadaan obat-obatan dengan sistem e-catalog ditemukan hambatan saat di lapangan yaitu waktu tunggu pesanan membutuhkan waktu yang lama dari distributor menuju ke rumah sakit, terjadi kekosongan stok obat yang dari distributor atau tersangkut pembayaran (utang-piutang) oleh rumah sakit.

Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut:

Pengadaan ada yang dilakukan menggunakan e-catalog, ada juga yang menggunakan SP biasa kepada distributor (diluar e-catalog) karena biasanya pemesanan melalui e-catalog lama sampainya atau stok kosong dari distributor atau tersangkut utang-piutang RS, sehingga untuk mencegah kekosongan obat, kita pesan menggunakan SP biasa ke distributor lain yang bisa menyediakan obat yang dibutuhkan dengan tetap mempertimbangkan harga yang sesuai (Informan 2).

Oleh karena itu, berdasarkan alasan tersebut instalasi farmasi RSUD Langsa juga melakukan pemesanan dan pengadaan obat diluar e-catalog guna mencegah terjadinya kekosongan obat yang akan menganggu pelayanan obat kepada pasien.

Indikator yang digunakan pada tahap pengadaan/procurement adalah frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun (Pudjaningsih, 1996). Frekuensi pengadaan obat adalah banyaknya pengadaan tiap jenis obat selama satu tahun.

Universitas Sumatera Utara

58

Nilai frekuensi pengadaan tiap item obat diperoleh melalui pengumpulan data secara retrospektif dari dokumen pengadaan obat selama tahun 2018 yaitu menghitung berapa kali satu item obat diadakan/dipesan selama tahun 2018. Total 640 item obat disampling secara acak sebesar 30% dengan jumlah sampel sebanyak 192 item obat. Frekuensi pengadaan item obat per tahun dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 mempelihatkan frekuensi pengadaan obat tertinggi selama tahun 2018 di IFRSUD Langsa adalah 24 (dua puluh empat) kali dan terendah adalah 1 (satu) kali. Pengadaan obat dikatakan rendah jika dilakukan dibawah 12 kali dalam setahun, dikatakan sedang jika diadakan sebanyak 12 sampai 24 kali dalam setahun dan dikatakan tinggi jika pengadaan obat dilakukan diatas 24 kali dalam setahun. Berdasarkan nilai standar tersebut, maka frekuensi pengadaan obat di IFRSUD Langsa Tahun 2018 rerata masih rendah, dimana sebanyak 185 item obat yang tergolong frekuensi pengadaan rendah dan 7 item obat yang frekuensi pengadaannya tergolong sedang yaitu 2 item obat diadakan sebanyak 12 kali, 3 item obat diadakan sebanyak 14 kali, 1 item obat sebanyak 22 kali dan 1 item obat sebanyak 24 kali dalam setahun.

Tabel 4.3 Frekuensi pengadaan item obat per tahun

No Frekuensi Pengadaan Jumlah item Obat

1 Satu Kali 50

2 Dua Kali 36

3 Tiga Kali 29

4 Empat Kali 17

5 Lima Kali 19

Universitas Sumatera Utara

59 Tabel 4.3 (Sambungan)

No Frekuensi Pengadaan Jumlah item Obat

6 Enam Kali 13

7 Tujuh Kali 4

8 Delapan Kali 7

9 Sembilan Kali 3

10 Sepuluh Kali 3

11 Sebelas Kali 4

12 Dua Belas Kali 2

13 Empat Belas Kali 3

14 Dua Puluh Dua Kali 1

15 Dua Puluh Empat Kali 1

Frekuensi pengadaan yang masih tergolong rendah salah satunya dapat disesbabkan karena tersangkut pembayaran kepada distributor, seperti yang disampaikan oleh informan 1 sebagai berikut:

“Pengadaan obat semestinya dilakukan sebulan sekali, namun karena adanya utang piutang RS sehingga tersangkut pembayaran, menyebabkan pengadaan yang dilakukan pun masih rendah karena sangat menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Jika anggaran sudah tersedia langsung dipesan dan diadakan tetapi jika belum ada, tidak bisa dipesan dan diadakan dahulu”

(Informan 1).

Tingginya frekuensi pengadaan obat berarti bahwa perputaran obat dalam rumah sakit lancar dan dapat menghindari penumpukan obat. Semakin banyak jumlah barang yang disimpan di gudang maka fasilitas yang digunakan pun semakin banyak, antara lain ruang penyimpanan yang lebih besar dan biaya penyimpanan yang lebih tinggi. Frekuensi pembelian semakin sering adalah

Universitas Sumatera Utara

60

semakin baik asal tidak mengganggu pelayanan. Oleh karena itu semakin sedikit

semakin baik asal tidak mengganggu pelayanan. Oleh karena itu semakin sedikit