• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Perlindungan terhadap Debitur (Pelaksana Pekerjaan dalam Perjanjian Upah Borong (Partisipatif) Proyek Swakelola di Lingkungan Pekerjaan

7. Denda dan ganti kerugian

a. Denda

Menurut R. Subekti hukuman bagi debitur yang lalai (wanprestasi) adalah:313 1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat

dinamakan ganti rugi

2) Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian. 3) Peralihan resiko

4) Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Menurut Pasal 1239 KUHPerdata menyatakan :

“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga” Para pihak dalam suatu perjanjian diberikan suatu kebebasan berkontrak untuk menentukan hal-hal atau klausul apa saja yang hendak diperjanjikan dalam perjanjian tersebut termasuk di dalamnya untuk menentukan bunga atau denda dalam suatu perjanjian. Namun perjanjian tersebut tetap harus dibuat dan dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata.

Mengenai bunga, dalam hal besarnya bunga tidak diatur dalam suatu perjanjian, maka Undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 22 Tahun 1848 telah menetapkan bunga dari suatu kelalaian/kealpaan (bunga

313

moratoir) yang dapat dituntut oleh kreditur dari debitur adalah 6 (enam) % pertahun.314

Menurut Pasal 1250 KUHPerdata menyatakan :

“Dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena keterlambatan dan bunga yang timbul karena keterlambatan pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh Undang-undang khusus. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu wajib dibayar, tanpa perlu dibuktikan adanya suatu kerugian oleh Kreditur. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu baru wajib dibayar sejak diminta di muka Pengadilan, kecuali bila undang-undang menetapkan bahwa hal itu berlaku demi hukum.”

Jadi bunga yang dituntut oleh Kreditur tersebut tidak boleh melebihi batas maksimal bunga sebesar 6 (enam) % per tahun, sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-undang tersebut.315

R. Subekti berpendapat bahwa “biaya adalah segala pengeluaran atau ongkos yang secara nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak, sedangkan rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur”. Dari definisi biaya dan rugi yang diberikan R. Subekti jelas bahwa denda yang yang belum diperjanjikan sebelumnya tidak dapat

Salah satu akibat hukum dari wanprestasi adalah denda, dimana di dalam Pasal 1239 KUHPerdata menyebutkan “tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya”.

314

Ibid., hlm 49

315

dikualifisir sebagai biaya dan rugi. Namun demikian, sudah menjadi yurisprudendi tetap, bahwa pihak yang dikalahkan akan dihukum untuk membayar biaya perkara.316

Berdasarkan Peraturan LKPP Nomor 14 Tahun 2012 menyatakan bahwa pada dasarnya denda merupakan sanksi finansial yang dikenakan kepada Penyedia Barang/Jasa. Dalam perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengenai denda diatur dimulai dari Pasal 118 sampai Pasal 120 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Pasal 118 menyebutkan :

Ayat (1) Perbuatan atau tindakan Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi adalah :

a. Berusaha mempengaruhi Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apa pun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Melakukan persengkongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran di luar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/ memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/ atau merugikan orang lain.

c. Membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan.

d. Mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran atau mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.

e. Tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab ; dan/atau

316

f. Berdasarkan hasil pemeriksaaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.

Ayat (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa :

a. Sanksi administratif

b. Sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam c. Gugatan secara perdata ; dan/atau

d. Pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang.

Ayat (3) Pemberian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan oleh PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.

Ayat (4) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan oleh PA/KPA setelah mendapat masukan dari PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.

Ayat (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat (6) Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang, dimasukkan dalam Daftar Hitam, dan jaminan Pengadaan Barang/Jasa dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/daerah.

Ayat (7) Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, ULP :

a. Dikenakan sanksi administrasi. b. Dituntut ganti rugi ; dan/atau c. Dilaporkan secara pidana. Pasal 119 menyebutkan

“Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf f, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a dan huruf b, dikenakan sanksi finansial”.

Pasal 120 menyebutkan

“Selain perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1), Penyedia Barang/Jasa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan denda keterlambatan sebesar

1/1000 (satu perseribu) dari nilai Kontrak atau nilai bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan”.317

Peraturan LKPP Nomor 14 Tahun 2012 menyatakan besarnya denda kepada Penyedia atas keterlambatan adalah sebagai berikut :

a) 1/1000 (satu perseribu) dari harga bagian Kontrak yang tercantum dalam Kontrak dan belum dikerjakan, apabila bagian pekerjaan dimaksud sudah dilaksanakan dan dapat berfungsi ; atau

b) 1/1000 (satu perseribu) dari harga Kontrak, apabila bagian barang yang sudah dilaksanakan belum berfungsi.

Berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 ditentukan bahwa besarnya keterlambatan adalah 1/1000 dari harga kontrak atau bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan dan tidak melampaui besarnya Jaminan Pelaksanaan dan ditentukan mengenai denda maksimal sebesar 5%, hal ini juga terkait dalam Pasal 70 ayat (4) mengenai besaran nilai Jaminan Pelaksanaanyaitu:

(1) Untuk nilai penawaran terkoreksi antara 80% (delapan puluh perseratus) sampai dengan 100% (seratus perseratus) dari nilai total HPS (harga perkiraan sendiri), Jaminan Pelaksanaan sebesar 5% (lima perseratus) dari nilai Kontrak ; atau

(2) Untuk nilai penawaran terkoreksi di bawah 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai total HPS, besarnya Jaminan Pelaksanaan 5% (lima perseratus) dari nilai total HPS.

317

Bagian kontrak adalah bagian pekerjaan yang tercantum di dalam syarat-syarat kontrak yang terdapat dalam rancangan kontrak dan dokumen kontrak. Penyelesaian masing-masing pekerjaan yang tercantum pada bagian kontrak tersebut tidak tergantung satu sama lain dan memiliki fungsi yang berbeda, di mana fungsi masing-masing bagian kontrak tersebut tidak terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.

Sedangkan di Pasal 120 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 untuk mengenai denda maksimal 5% tidak diatur lagi sehingga untuk menentukan besarnya denda keterlambatan yaitu ditentukan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai Kontrak atau nilai bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan dan untuk maksimal denda keterlambatan itu sendiri tidak ditentukan dan untuk mengenai tata cara pembayaran denda lebih lanjut diatur berdasarkan yang ada di dalam Dokumen Kontrak.

b. Ganti kerugian

Akibat wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi, dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang mempunyai hak menerima prestasi. Dalam hal debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasi, kreditur atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dapat memilih dan mengajukan tuntutan hak berdasarkan Pasal 1267 KUHPerdata, ada 5 (lima) kemungkinan sebagai berikut :

1) Memenuhi/melaksanakan perjanjian.

2) Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi 3) Membayar ganti rugi

4) Membatalkan perjanjian, dan

5) Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Penggantian kerugian bagi pihak yang melakukan wanprestasi harus sesuai dengan kesepakatan yang telah tertuang dalam perjanjian. Perjanjian merupakan

bentuk persetujuan dari dua pihak atau lebih yang saling berjanji untuk mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu. Oleh karenanya perjanjian ini sangat penting, sehingga dalam pelaksanaannya hendaknya selalu di buat dalam bentuk tertulis agar memiliki kekuatan hukum dan kepastian hukum.

Menurut KUHPerdata pengertian rugi adalah kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan oleh para pihak pada saat mereka membuat kontrak, yang timbuk sebagai akibat dari wanprestasi. Keharusan adanya hubungan sebab akibat yang langsung dan konkrit antara kerugian nyata dan wanprestasi ditegaskan dalam Pasal 1248 KUHPerdata bahwa jika hal tidak dipenuhinya kontrak itu disebabkan karena tipu daya debitur, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditor dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya kontrak.

Ganti rugi sebagai upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat subsidair. Hal ini memiliki makna bahwa apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak diharapkan lagi, maka ganti rugi merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh kreditur.

Ganti kerugian terdiri dari :318

a) Ganti rugi pengganti adalah ganti rugi yang diakibatkan oleh tidak adanya prestasi yang seharusnya menjadi hak kreditur.

318

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta : Laksbang Mediatama, 2008), hlm 236.

b) Ganti rugi pelengkap adalah ganti rugi sebagai akibat terlambat atau tidak dipenuhinya prestasi debitur sebagaimana mestinya atau karena pemutusan kontrak.

Menurut R. Subekti, ganti rugi memiliki 3 (tiga) unsur yaitu :319

(1) Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak.

(2) Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan Kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si Debitur.

(3) Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (winstderving) yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh Kreditur. Dalam KUHPerdata, pengaturan kerugian dan ganti rugi dirumuskan dalam 2 (dua) pendekatan yaitu :320

(a) Ganti rugi umum

Yakni ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus, baik untuk kasus-kasus wanprestasi kontrak, maupun kasus-kasus yang berkenaan dengan perikatan lainnya termasuk di dalamnya perbuatan melawan hukum. Ketentuan tentang ganti rugi umum ini dalam KUHPerdata diatur dalam bagian keempat dalam Buku Ke III, mulai dari Pasal 1243 sampai pasal 1252, dalam hal ini untuk ganti rugi tersebut, KUHPerdata secara konsisten untuk ganti rugi digunakan istilah :

1} Biaya

Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap cost atau uang atau apapun yang dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan, sebagai akibat dari wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum, misal biaya perjalanan, konsumsi, biaya akta notaris, dan lain-lain.

319

R. Subekti (2), Op.Cit, hlm 47

320

R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, cetakan ke 9, (Bandung : Sumur Bandung, 1993), hlm 136

2} Rugi

Dalam arti sempit, yang dimaksud dengan rugi atau kerugian adalah keadaan berkurang atau merosotnya nilai kekayaan kreditur sebagai akibat adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum.

3} Bunga

Merupakan suatu keuntungan yang seharusnya diperoleh, tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur karena adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum. Pengertian bunga ini lebih luas dari pengertian bunga sehari-hari yang hanya berarti “bunga uang” (interest), yang hanya dihitung dari persentase hutang pokoknya.

(b) Ganti rugi khusus

Yakni ganti rugi khusus terhadap kerugian yang timbul karena perikatan- perikatan tertentu. Dalam hubungan dengan ganti rugi yang terbit dari suatu perbuatan melawan hukum. Selain dari ganti rugi dari bentuk yang umum, KUHPerdata juga menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap hal-hal berikut :

1} Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (lihat Pasal 1365 KUHPerdata).

2} Ganti rugi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (lihat Pasal 1366 dan 1367 KUHPerdata).

3} Ganti rugi untuk pemilik binatang.

4} Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (lihat Pasal 1369 KUHPerdata).

5} Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh (lihat Pasal 1370 KUHPerdata).

6} Ganti rugi karena orang telah cacat anggota badan (lihat Pasal 1371).

7} Ganti rugi karena tindakan penghinaan (lihat Pasal 1380 KUHPerdata).

Penentuan ganti kerugian merupakan tugas para pembuat perjanjian untuk memberikan maknanya serta batasan ganti kerugian tersebut karena prinsip ganti

rugi dalam sistem hukum Indonesia mungkin berbeda dengan prinsip ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUHPerdata, prinsip ganti kerugian diatur dalam Pasal 1365 yang menentukan “setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian mengganti kerugian tersebut”

Setiap perbuatan yang melawan hukum karena kesalahan mengakibatkan orang lain dirugikan, maka ia harus mengganti kerugian yang diderita orang lain, tetapi harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian dimaksud sebab tidak akan ada kerugian jika tidak terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh si pelaku dengan timbulnya kerugian tersebut.321

Dalam soal penuntutan ganti rugi, Undang-undang diberikan pembatasan mengenai apa yang dapat dituntut sebagai ganti rugi. Dalam hal ini Undang- undang memberikan perlindungan bagi si Debitur yang lalai terhadap tindakan Kreditur meminta ganti rugi. Seperti yang diatur dalam beberapa Pasal dalam KUHPerdata sebagai berikut :

Pasal 1247 KUHPerdata menyatakan :

“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang telah nyata, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”

321

Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm 6

Pasal 1248 KUHPerdata menyatakan :

“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan”

Dalam Pasal 122 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menyebutkan tentang ganti rugi dengan ketentuan sebagai berikut :

a} Besarnya ganti rugi yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran adalah sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar, berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu menurut ketetapan Bank Indonesia ; atau

b} Dapat diberikan kompensasi sesuai ketentuan dalam Kontrak.

Jadi, kita melihat bahwa ganti rugi itu dibatasi hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi.322 Apabila prestasi yang harus dilaksanakan berupa membayar sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh Kreditur apabila pembayaran itu terlambat adalah berupa

interest, rente atau bunga. 323

Berdasarkan penelitian di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang menyatakan bahwa untuk denda dan ganti kerugian yang dialami pihak Debitur (pelaksana pekerjaan/pemborong), pihak debitur tidak menerimahal tersebut dikarenakan tidak adanya satu upaya yang dilakukan pihak pemborong untuk menagih akan hal denda dan ganti kerugian yang dialami pihak mereka, itu

322

R. Subekti (2), Op.Cit, hlm 48

323

dilakukan pihak pemborong tidak mau ambil resiko ke depannya jika hal tersebut mereka lakukan terhadap pihak pemberi kerja, maka kedepannya pihak pemborong jika ingin melakukan kegiatan proyek tersebut tidak diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan proyek di Lingkungan pihak pemberi kerja. Meskipun dalam hal ini posisi pihak debitur sangat lemah akibat yang ditimbulkan pihak pemberi kerja terhadap pihak pemborong. Bagi pihak debitur yang penting mereka bisa ikut terus dalam kegiatan proyek yang diselenggarakan pihak pemberi kerja tanpa harus menuntut hal denda dan kerugian yang mereka alami akibat yang dilakukan kreditur terhadap debitur.324