• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Perlindungan terhadap Debitur (Pelaksana Pekerjaan dalam Perjanjian Upah Borong (Partisipatif) Proyek Swakelola di Lingkungan Pekerjaan

5. Wanprestasi dan pembatalan perjanjian

Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.284Klausula wanprestasi merupakan suatu hal yang penting dicantumkan dalam suatu perjanjian. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.285

Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.

Dengan adanya bermacam-macam istilah mengenai wanprestasi ini telah menimbulkan kesimpangsiuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestasi tersebut.

R. Subekti menguraikan arti dari kata wanprestasi yaitu “apabila si berutang (Debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia adalah alpa atau lalai atau bercidera janji atau juga ia melanggar perjanjian yaitu apabila ia melakukan atau bebruat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya”

284

R. Subekti (2), Op.Cit, hlm 45.

285

Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, merumuskan wanprestasi “ketiadaan suatu prestasi”, dimana prestasi yang dimaksudkan disini adalah prestasi dalam Hukum Perjanjian yang berarti sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Beliau juga memberikan istilah “ketiadaan pelaksanaan janji” untuk wanprestasi.

Seorang Debitur yang lalai yang melakukan wanprestasi dapat digugat di depan Hakim dan Hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan kepada Tergugat itu.286 Akan tetapi karena wanprestasi (kelalaian) ini mempunyai akibat- akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si Debitur (si berutang) itu melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka Hakim.287

Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan seseorang harus melakukan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus melaksanakan kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau melakukan sesuatu perbuatan. Apabila debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia telah melakukan wanprestasi. Seseorang dianggap alpa atau lalai atau ingkar janji

286

R. Subekti (3), Op.Cit, hlm 146.

287

atau juga melanggar perjanjian apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.288

Namun dalam prakteknya tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang itu lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan seorang pihak diwajibkan untuk melakukan sesuatu prestasi yang dijanjikan. Yang paling mudah untuk menetapkan seseorang melakukan wanprestasi adalah dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Apabila orang itu melakukannya berarti ia melanggar perjanjian.289

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Sehingga Kreditur tidak perlu melakukan suatu penagihan atas prestasi karena dengan tidak melakukan perbuatan yang dilarang maka Debitur telah melakukan wanprestasi.

Wanprestasi dapat terjadi dengan dua cara yakni :290

1) Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak menentukan waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang wanprestasinya debitur, harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur tersebut tentang kelalaiannya atau wanprestasinya.

288

Ibid., hlm 47

289

Ibid., hlm 46

290

Ahmad Miru & Sakka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai Pasal 1465 BW, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm 8

2) Sesuai dengan perjanjian, apabila dalam perjanjian tersebut ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi pada waktu tersebut, dia telah wanprestasi.

Menurut Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan :

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”

Dari Pasal 1238 KUHPerdata mengandung makna yaitu sebelum adanya suatu permohonan untuk mengajukan gugatan wanprestasi, seorang kreditur terlebih dahulu harus memberikan suatu peringatan atau somasi kepada debitur yang menyatakan bahwa debitur telah lalai agar segera memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tertentu. Surat perintah yang dimaksud Pasal 1238 KUHPerdata adalah suatu peringatan resmi oleh juru sita pengadilan. Perkataan akta sejenis itu sebenarnya oleh Undang-undang dimaksudkan suatu peringatan tertulis.291

Menurut Wirjono Prodjodikoro, somasi adalah “suatu penagihan (in gebreke stelling) yaitu suatu pemberitahuan oleh pihak yang berhak kepada pihak berwajib, bahwa pihak pertama ingin supaya pihak kedua melaksanakan janji, yaitu dengan segera atau pada suatu waktu yang disebutkan dalam pemberitahuan itu”. Apalagi seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya,

291

maka jika tetap tidak melaksanakan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau culpa.292

Menurut J. Satrio ada beberapa wujud dari wanprestasi, yakni :293 a) Debitur sama sekali tidak berprestasi.

Dalam hal ini, debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal itu disebabkan, karena debitur memang tidak mau berprestasi atau bisa juga disebabkan, karena memang kreditur objektif tidak mungkin berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi.

b) Debitur keliru berprestasi.

Disini debitur memang dalam fikirannya telah memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya, yang diterima kreditur lain daripada diperjanjikan.

c) Debitur terlambat berprestasi.

Disini debitur berprestasi, objek prestasinya betul, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. Debitur digolongkan dalam kelompok “terlambat berprestasi” kalau objek prestasinya masih berguna bagi kreditur. Orang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai atau mora.

Menurut R. Subekti, membagi wanprestasi dalam 4 (empat) macam yaitu :294 (1) Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

(2) Melakasanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. (3) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

(4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

292

Ibid., hlm 47

293

J. Satrio, Hukum Perikatan ; Perikatan Pada Umumnya, (Bandung : Alumni, 1999), hlm 122

294

Sedangkan R. Wirjono Prodjodikoro memberikan wujud wanprestasi menjadi 3 (tiga) macam yaitu :

(a) Pihak berwajib sama sekali tidak melaksanakan perjanjian. (b) Pihak berwajib terlambat dalam melaksanakannya.

(c) Pihak berwajib melaksanakannya, tetapi tidak secara yang semestinya dan/atau tidak sebaik-baiknya.295

Dalam hal ini, pendapat umum menyatakan bahwa keadaan ini adalah sama dengan Debitur tidak melaksanakan prestasi sama sekali. Oleh karena itu tidak diperlukan somasi. Terhadap kelalaian atau kealpaan seseorang, diancamkan beberapa sanksi atau hukuman yaitu :296

1} Membayar kerugian yang diderita pihak lain yang mengalami kerugian atau dengan singkat dinamakan ganti rugi. (Pasal 1243 KUHPerdata) 2} Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian melalui

pengadilan (Pasal 1266 KUHPerdata)

3} Meminta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan pembatalan perjanjian disertai ganti rugi (Pasal 1267 KUHPerdata).

b. Pembatalan Perjanjian

Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian merupakan sanksi kedua atas kelalaian debitur, mungkin ada orang yang tidak dapat melihat sifatnya pembatalan atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman. Dengan adanya pembatalan perjanjian debitur merasa lega dan mengira

295

R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian cetakan kedelapan, (Bandung : Sumur Bandung, 1979), hlm 44.

296

Djaja S. Meiliana, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Cet I, (Bandung : Nuansa Aulia, 2007), hlm 100

ia dibebaskan dari kewajiban melakukan prestasinya. Memang ada kalanya pembatalan dirasakan sebagai suatu pembebasan, tetapi betapa beratnya pembatalan itu dirasakan.297

Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian itu diadakan. Jika suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang maka itu harus dikembalikan dengan inti pokoknya perjanjian itu ditiadakan.298 Menurut R. Wirjono Prodjodikoro pembatalan perjanjian dibagai menjadi 2 (dua) macam yaitu :299

1) Pembatalan mutlak (absolute nietigheid) yaitu suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak dan perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Batal mutlak adalah suatu perjanjian, yang diadakan tidak dengan mengindahkan cara yang dikehendaki oleh Undang-undang secara mutlak. Misal suatu penghibahan menurut KUHPerdata yang tidak dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata).

2) Pembatalan tak mutlak (relatief) yaitu hanya terjadi jika kalau diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu.

Pembatalan tidak mutlak dapat dibagi menjadi 2 macam pembatalan :300 a) Pembatalan atas kekuatan sendiri (nietig atau van rechtswegenietig), maka

pada Hakim diminta supaya menyatakan batal (nietig verklaard), misalnya dalam perjanjian yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa atau yang berada dibawah pengawasan atau dalam beberapa hal oleh seorang perempuan berkawin. (lihat Pasal 1446 KUHPerdata)

b) Pembatalan belaka oleh Hakim (vernietigbaar), yang putusan harus berbunyi:membatalkan, misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara paksaan, kekeliruan atau penipuan. (lihat Pasal 1449 KUHPerdata).

297

R. Subekti (2), Op.Cit, hlm 49

298

Ibid.

299

R. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm 121

300

Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi dari pihak ini diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan :

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya” Oleh Undang-undang kelalaian debitur dipandang sebagai suatu syarat batal yang dianggap dicantumkan dalam setiap perjanjian. Dengan kata lain, dalam setiap perjanjian dianggap ada suatu janji (klausula) apabila salah satu pihak lalai memenuhi perjanjian, maka dianggap batal. Namun, dalam hal demikian, perjanjian dapat dibatalkan begitu saja.

Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat batal atau membatalkan suatu perjanjian.301 Pembatalan perjanjian itu harus diminta kepada Hakim. Putusan Hakim ini bersifat konstitutif yang artinya secara aktif membatalkan perjanjian tersebut. Hakim mempunyai kekuasaan discretionir yang artinya kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu.302

301

R. Subekti (2), Op.Cit, hlm 50

Kalau oleh Hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian yang mungkin akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh Hakim. Dapat juga dikatakan, bahwa menuntut pembatalan hanya berdasarkan

302

suatu kesalahan kecil saja dengan adanya suatu sikap yang bertentangan dengan norma yang mengharuskan pelaksanaan suatu perjanjian dengan itikad baik.303

Berdasarkan penelitian di lapangan mengenai wanprestasi dan pembatalan perjanjian yang terjadi di Lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang yaitu adanya kelalaian yang dilakukan pihak Pengguna Barang/Jasa selaku Pemberi Kerja dengan Penyedia Barang/Jasa selaku pemborong sehingga akibat kelalaian yang dibuat pemberi kerja menimbulkan wanprestasi. Kelalaian yang dilakukan pemberi kerja berupa telatnya pembayaran yang dilakukan terhadap pemborong dengan alasan tidak tercukupi KAS yang ada di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang. Pemborong untuk mendapatkan haknya harus menunggu adanya anggaran yang tersedia di KAS Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang. Seiring waktu proses telatnya pembayaran telah melampaui batas kewajaran yang diterima oleh pihak pemborong. Pihak pemberi kerja melakukan perbuatan telat pembayaran selain harus menunggu adanya anggaran yang tersedia di KAS dan anggaran tersebut harus di anggarkan ke RABPD tahun selanjutnya.

Kenyataan dilapangan menyatakan bahwa Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang tidak menganggarkan anggaran tersebut dengan alasan tidak ada peraturan manapun pemberi kerja layak menganggarkan anggaran tersebut ke RABPD selanjutnya. Sehingga perbuatan yang dilakukan pemberi kerja bukan lagi dalam hal wanprestasi melainkan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan

303

hukum yang dilakukan di dasari dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2014.304

Mengenai pembatalan perjanjian yang terjadi dalam proyek swakelola yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang tidak bisa dilakukan karena dalam kasus ini pihak pemberi kerja tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan haknya kepada pemborong berupa tidak dibayarkan pembayaran pekerjaan yang telah dilakukan oleh pihak pemborong, sedangkan pekerjaan yang dilakukan pemborong menggunakan dananya sendiri sehingga untuk pembatalan perjanjian tidak dapat dilakukan karena hal penggunaan dananya sendiri ketika melakukan pekerjaan tersebut.