• Tidak ada hasil yang ditemukan

Derajat Keterbukaan Perdagangan (Trade Openness) dan Inflasi

Teori perdagangan internasional menyatakan bahwa dengan adanya kelimpahan sumber daya, setiap wilayah yang memiliki keunggulan komparatif akan melakukan spesialisasi guna memroduksi komoditi yang harganya relatif murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional. Kondisi sebaliknya, apabila terjadi keterbatasan sumber daya, melalui perdagangan interregional dan pasar internasional, kebutuhan akan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, mengingat adanya keunggulan komparatif dari wilayah atau negara lain, dapat dipenuhi melalui kegiatan impor.

Oleh karenanya, kegiatan ekspor-impor dianggap dapat meningkatkan

kesejahteraan penduduk suatu wilayah atau negara karena konsumen akan mendapatkan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, terkait dengan adanya spesialisasi antar wilayah atau negara (Salvatore, 1996).

Berdasarkan teori standar tersebut, seharusnya dengan semakin besar kapasitas perdagangan internasional, diduga akan menurunkan harga barang/jasa kebutuhan konsumen sehingga secara tidak langsung hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan (trade openness) dengan inflasi diprediksi akan berbanding terbalik atau memiliki hubungan negatif. Terkait dengan prediksi dari teori perdagangan standar tersebut, Romer (1993, dalam Al-Nasser et al., 2010) memberikan bukti empiris yang menyatakan terdapat hubungan negatif antara tingkat keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Keterkaitan antara keterbukaan perdagangan dan inflasi dari Romer tersebut dibangun berdasarkan model dari

Barro-Gordon untuk menguji hipotesis bahwa pada perekonomian yang lebih besar dan kurang terbuka akan memicu terjadinya tingkat inflasi yang lebih tinggi. Berdasarkan analisis data cross section, Romer menemukan bahwa rata-rata tingkat inflasi yang lebih rendah terjadi pada negara dengan perekonomian lebih kecil dan lebih terbuka. Argumen Romer mengenai hal ini adalah masalah independensi dari bank sentral terkait dengan hubungan antara keterbukaan dan inflasi. Kondisi di negara-negara dengan bank sentral yang lebih independen, adalah bank sentral akan melaksanakan tugasnya dengan kredibilitas sehingga seharusnya tidak akan ada hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Sebaliknya, pada negara-negara dengan kondisi otoritas moneter yang tidak independen, keterbukaan akan berperan untuk mengurangi insentif pemerintah dalam memicu terjadinya inflasi.

Menurut Al-Nasser et al. (2010), meskipun beberapa penelitian sebelum dan sesudahnya mendukung pendapat Romer, namun tidak hal tersebut karena setidaknya beberapa peneliti setelahnya seperti Terra (1998), Bleaney (1999) dan Temple (2002) kemudian menentangnya. Melihat prediksi dari teori perdagangan internasional dan hasil empiris yang ambivalen maka perlu ditelusuri bagaimana sebenarnya mekanisme transmisi dari tingkat keterbukaan perdagangan terhadap inflasi. Bowdler and Malik (2006) dalam papernya menyatakan ada 2 jalur mengenai bagaimana keterbukaan dalam perdagangan internasional dapat berpengaruh terhadap volatilitas inflasi. Jalur pertama, keterbukaan memengaruhi biaya terkait dengan volatilitas inflasi, yaitu dengan menciptakan insentif bagi pemerintah dan bank sentral untuk mengimplementasikan kebijakan yang akan memberikan implikasi yang berbeda-beda terhadap tingkat volatilitas. Menurut Cavelaars (2006, dalam Bowdler and Malik, 2006), mekanisme pada jalur ini cukup rumit karena harus melihat faktor apa yang mendorong terjadinya peningkatan keterbukaan perdagangan, apakah didorong oleh kemajuan teknologi sehingga menyebabkan penurunan harga atau berasal dari penurunan tarif impor yang akan menimbulkan terjadinya diskresi dalam kebijakan moneter dan akan membuat inflasi menjadi lebih volatile. Berdasarkan beberapa penelitian berikutnya, Bowdler and Malik (2006) kemudian menyimpulkan bahwa stabilitas

kebijakan moneter memegang peranan penting dalam menentukan tingkat volatilitas inflasi.

Jalur kedua, keterbukaan perdagangan akan memengaruhi struktur konsumsi dan produksi, dan melalui diversifikasi konsumsi akan menyebabkan terjadinya cancel out dalam agregasi indeks harga. Sesungguhnya jalur ini mengacu pada teori perdagangan standar seperti telah dijelaskan sebelumnya, yaitu akibat spesialisasi produksi dan diversifikasi konsumsi akan menurunkan volatilitas inflasi. Meskipun demikian, terdapat jalur lainnya yang mungkin dapat menyebabkan keterbukaan perdagangan akan meningkatkan terjadinya volatilitas inflasi. Adanya spesialisasi pada kegiatan produksi misalnya, akan meningkatkan terjadinya kerapuhan dari sektor-sektor tertentu yang bergantung pada kegiatan ekspor. Ketergantungan ekspor tersebut akan membuat permintaan untuk produk domestik menjadivolatile dan melalui jalur tersebut akan memicu meningkatnya fluktuasi inflasi yang tinggi. Dampak terhadap tingginya volatilitas inflasi juga akan terjadi jika meningkatnya keterbukaan dalam perdagangan diikuti dengan keterbukaan dalam konteks finansial.

Dalam perspektif perekonomian global, Benigno and Faia (2010) mencoba menjelaskan bagaimana globalisasi dapat memengaruhi dinamika inflasi di dalam negeri. Dalam papernya, mereka berfokus pada bagaimana mekanisme transmisi dari globalisasi terhadap inflasi. Jalur pertama adalah melalui pass-through dari kombinasi antara nilai tukar nominal dan biaya marginal dari luar negeri melalui barang-barang impor, baik barang-barang untuk kebutuhan konsumsi akhir atau yang tergolong sebagai input antara, sehingga akan memberikan pengaruh terhadap tingkat kompetisi produk dalam dan luar negeri. Jalur kedua adalah melalui pengaruh secara tidak langsung yang akan menimbulkan dampak pada strategi harga dari perusahaan domestik dalam menjual produknya untuk pasar internal. Akibatnya, perusahaan domestik dan luar negeri akan berkompetisi untuk meningkatkanmarket sharedari produk mereka melalui strategi penentuan harga. Hasil penelitian tersebut kemudian menyimpulkan bahwa derajat pass-through akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk asing ke pasar domestik. Lebih lanjut, tingkat ketergantungan dari perusahaan domestik yang menggunakan

komponen impor dalam melancarkan strategi penentuan harga juga meningkat bila kemudian terjadi peningkatan derajat kompetisi dengan perusahaan asing.

Berdasarkan beberapa kajian teoritis dan penelitian empiris yang telah disampaikan, cukup rumit juga untuk meramalkan pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi karena terkait erat dengan perilaku dari pembuat kebijakan dan struktur perekonomian dari suatu wilayah, terlepas berbagai kemungkinan mekanisme transmisi yang akan terjadi. Oleh karenanya, untuk melihat seberapa jauh pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi atau tingkat volatilitas inflasi akan lebih bijaksana bila melibatkan beberapa faktor lainnya seperti kondisi spesifik dari suatu negara dan kondisi global sebagaimana dilakukan oleh Beirne (2009), meskipun tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengetahui tingkat vulnerabilitas dari inflasi.