• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter

5.6 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah dan Otoritas Moneter .1 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat.1 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat

5.6.3 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter

Sangat disadari bahwa pihak otoritas moneter memiliki beberapa pilihan kebijakan moneter melalui banyak mekanisme transmisi untuk memengaruhi

output dan tingkat inflasi. Berkenaan dengan banyaknya pilihan atas kebijakan moneter, penelitian ini dibatasi hanya untuk melihat kebijakan moneter yang terkait dengan penyesuaian suku bunga acuan (BI rate) dan penambahan jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1). Lebih lanjut mengenai pembahasan mengenai dua jalur mekanisme transmisi yang akan diteliti adalah sebagai berikut. Estimasi dengan metode FD-GMM dan SAB pada Tabel 13 menunjukkan bahwa pengaruh laju penyesuaian BI rate terhadap volatilitas inflasi adalah negatif dan signifikan pada taraf 1%. Besarnya pengaruh laju penyesuaian BI rate terhadap volatilitas inflasi dengan metode FD-GMM adalah -0,0086; sementara dengan metode SAB sebesar -0,0070; artinya jika laju penyesuaian BI rate sebesar 1% akan menurunkan volatilitas inflasi tidak lebih dari 0,0086%. Menurut Bank Indonesia, kecilnya pengaruh dari penyesuaian BI rate terhadap inflasi karena suku bunga acuan hanya bisa memengaruhi inflasi inti saja dan tidak dapat memengaruhi inflasi umum (Gambar 16). Meski dalam penjelasannya, memungkinkan BI rate dapat memengaruhi inflasi melalui beberapa jalur mekanisme transmisi, namun dari beberapa jalur transmisi kebijakan moneter sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 16, tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan.

Pada jalur suku bunga misalnya, seharusnya BI rate bisa memengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit, namun ternyata hanya dapat memengaruhi suku bunga deposito saja sementara suku bunga kredit seakan tidak terpengaruh dan tetap berada pada level yang tinggi sebagaimana telah dibahas sebelumnya (Gambar 9). Pengaruh BI rate juga kian berkurang setelah diterbitkannya obligasi pemerintah sejak April 2006 yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi dari suku bunga deposito sehingga dimungkinkan terjadi kekeringan likuiditas. Hal yang sama juga terjadi, ketika BI rate diharapkan bisa memengaruhi kredit, karena didapati nilai kredit yang disalurkan lebih besar dari nilai simpanan hanya terjadi di 14 dari 26 provinsi yang diteliti dan umumnya untuk tahun 2008 atau 2009 saja (Gambar 10).

Sumber : www.bi.go.id

Gambar 16. Jalur mekanisme transmisi kebijakan penetapan BI rate.

Sedikit berbeda dengan dua jalur mekanisme transmisi kebijakan moneter yang telah dijelaskan sebelumnya, penyesuaian BI rate terlihat cukup efektif dalam memengaruhi nilai tukar, namun tidak secara keseluruhan melainkan hanya pada beberapa episode saja (Gambar 11). Adapun dampak tidak langsung dari efektivitas penyesuaian BI rate ini lebih lanjut adalah akan terjadi penurunan exchange rate pass-through (ERPT) dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Contoh nyata dari penyesuaian BI rate seperti dicatat dalam penelitian Habermeier et al. (2009) adalah ketika terjadi krisis finansial global tahun 2008, BI mulai menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin sejak Mei 2008 guna menstabilkan nilai tukar disamping berusaha untuk meredam tekanan inflasi yang dikhawatirkan akan mencapai dua digit dan tekanan kenaikan harga minyak di pasar internasional. Kebijakan ini dinilai cukup berhasil karena setidaknya inflasi pada tahun 2008 lebih rendah dibanding inflasi pada tahun 2005, meski tetap saja tingkat inflasi berada pada kisaran dua digit dan lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Jalur mekanisme transmisi lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 16 adalah jalur harga asset dan jalur ekspektasi inflasi. Untuk jalur harga

asset tidak akan dibahas lebih lanjut, sementara untuk jalur ekspektasi inflasi nampaknya juga tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Alasannya adalah pada pembahasan sebelumnya mengenai peran inersia inflasi dalam pembentukan inflasi, diperoleh hasil estimasi yang cukup tinggi. Secara tidak langsung, hasil ini menyatakan masih tingginya derajat persistensi inflasi di Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi cenderung bersifat backward looking dibanding melihat tingkat inflasi yang ditargetkan Bank Indonesia atau bersifat forward lookingdan kondisi ini akan membuat mekanisme transmisi menjadi bias terhadap sasaran yang ditargetkan. Terlepas besar-kecilnya pengaruh dari penyesuaian BI rate terhadap inflasi, namun pengaruhnya yang signifikan secara tidak langsung menyatakan bahwa BI rate dapat dijadikan opsi dalam mengendalikan inflasi. Hasil ini sesuai dengan kajian dari Wimanda et al. (2011) yang menyatakan bahwa suku bunga merupakan determinan inflasi di Indonesia.

Kebijakan moneter lainnya yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah dampak laju pertumbuhan M1 terhadap inflasi. Pada Tabel 13 dapat dilihat pengaruhnya terhadap inflasi adalah positif pada estimasi dengan SAB dan negatif berdasarkan estimasi metode FD-GMM, namun keduanya tidak signifikan pada taraf nyata 10%. Mengingat pengaruhnya yang tidak signifikan terhadap inflasi, maka tanda koefisien dari estimasi dari metode FD-GMM dapat dikesampingkan. Temuan ini berbeda dengan penelitian Wimandaet al. (2011) dengan berdasarkan pendekatan level nasional dan rentang data tahun 1980 – 2008, sebaliknya menyatakan bahwa jumlah uang beredar merupakan determinan inflasi. Perbedaan hasil kajian ini dengan Wimandaet al. (2011) dimungkinkan terjadi sebagai akibat perbedaan rentang data dan pendekatan yang digunakan, namun demikian, perbedaan ini merupakan temuan penting dan signifikan dari penelitian ini.

Terkait dengan perbedaan temuan ini dengan hasil Wimanda et al. (2011), perlu dicatat bahwa selama rentang waktu penelitian, secara rata-rata, inflasi yang terjadi pada sebagian besar provinsi di Indonesia adalah inflasi moderat. Menurut Anglingkusumo (2005) yang meneliti tentang hubungan antara penawaran uang dan inflasi di Indonesia, pada krisis 1998, hiper inflasi yang terjadi di Indonesia didorong oleh kelebihan penawaran stok uang sehingga hubungan antara inflasi

dan pertumbuhan M1 terlihat demikian kuat, sementara pada masa non krisis, ketika inflasi pada level yang cukup moderat, hubungan tersebut tidak terlalu kuat. Penelitian dari Anglingkusumo (2005) tersebut sepertinya memberi jawaban mengapa pertumbuhan M1 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Selain hasil penelitian tersebut, pada pembahasan bab sebelumnya telah diperlihatkan dampak tidak langsung dari pertumbuhan M1 terhadap jumlah kredit dan simpanan pada level provinsi (Gambar 10). Secara umum, dari gambar tersebut dapat dilihat jumlah simpanan cenderung lebih besar dibanding jumlah pinjaman pada hampir seluruh provinsi, sementara kondisi sebaliknya hanya terjadi pada tahun 2008 atau 2009 dan sebagian provinsi saja. Berdasarkan penjelasan tambahan yang merujuk pada data faktual dan hasil penelitian sebelumnya tersebut, maka kesimpulan yang menyatakan bahwa penambahan M1 tidak secara signifikan menyebabkan terjadi inflasi telah terjawab.